Senin, 31 Desember 2012

Membahas Kitab Hadits

Ujian Tengah Semester
Nama : Enjen Zaenal Mutaqin
NIM : 1209103010
Jurusan : Tafsir Hadits
Maddah : Membahas Kitab Hadi>th I
Dosen : Dr. Dede Rodliyana
A. Perkembangan pemikiran ilmu hadi>th hingga masa al-Ha>fiz} ‘Ali bin Hajar al-
‘Asqala>ni>
Ilmu hadi>th, atau tepatnya sebagian dari us}ul riwayah telah ada sejak awal,
yakni khususnya sejak masa sahabat, bahkan pokok-pokoknya telah detetapkan sejak
masa al-Quran berada dalam proses tanzil. Namun berbicara mengenai hadi>th sebagai
suatu disiplin ilmu yang sistematis, maka bisa dikatakan awal perjalanannya ialah
sejak masa Imam Muhammad bin Idris ash-Sha>fi‘i > (150-204 H) dengan kitab yang
beliau susun, yaitu ar-Risalah, kemudian juga al-Um. Khususnya ar-Risalah, karena
ini merupakan kitab yang beliau susun lebih awal dari dua kitab tersebut, maka kitab
ini merupakan kitab pertama yang ditulis mengenai us}ul al-fiqh menurut pendapat
jumhur dan paling dekat pada kebenaran. Ini pengetahuan umum kaum muslimin
terkait dengan kitab ini. Sebenarnya tidak hanya demikian, namun kitab ini juga
merupakan kitab pertama yang disusun terkait dengan us}ul hadi>th. Hanya saja beliau
tidak menyebut dengan jelas hadi>th sebagi sebuah ilmu, tidak ditemukan nas} dari
beliau dalam kitab ini yang menyebutkan istilah mus}t}alah al-hadi>th, ‘ulum al-hadi>ts,
dan sejenisnya.
Kemudian datang Abu Muhammad Hasan bin ‘Abdurrahman bin Khalad ar-
Ramahurmuzi (sekitar 260-360 H) dengan kitabnya al-Muhaddith Fas}il baina ar-
Rawi wa al-Wa>‘i. Ibnu Hajar dalam muqaddimah Nuzhatun Nazr menyatakan bahwa
ar-Ramahurmuzi merupakan orang yang pertama kali menyusun suatu kitab khusus
yang berbicara pada bidang ilmu ini, hanya saja dalam al-Muhaddith Fasil, ar-
Ramahurmuzi tidak membahas secara tuntus disiplin ilmu ini. Dan ini jelas terlihat
pula dari judulnya. Beliau hanya banyak mebicarakan terkait dengan kaifiyat
periwayatan, manhaj dalam mempelajarinya dan kitabah, serta manhaj (metode) at2
tahdith dan at-ta’lif. Lebih dari itu, tidak pula ditemukan pada kitab ini penamaan
secara khusus disiplin ilmu ini, sebagaimana tidak didapatinya dari kitab ash-Sha>fi‘i>.
Setelahnya muncul kitab Ma‘rifah ‘Ulum al-Hadi>th yang disusun oleh Abu
‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah al-Hakim an-Nisaburi (321-405 H.). Dari sini,
maka al-Hakim merupakan ahli ilmu yang pertama kali menyebut ilmu satu ini
dengan ‘alum al-hadi>th. Dan kitab beliau ini merupakan kitab yang pertama yang
membahas sejumlah permasalahan yang terkait terkait dengan ilmu ini dan
pembagiannya serta dengan pembahasan yang tersendiri, tidak seperti ar-Risalah dan
lebih luas dari pada al-Muhaddith al-Fas}il. Al-Hakim menyebutkan dengan jelas
banyak perkara yang tidak dibicarakan dalam al-Muhaddith al-Fas}il, beliau
menyebutkan sejumlah jenis hadith berdasarkan keadaan sanad dan matannya, dan
perkara ayngterkait dengan periwayatan dan sebagainya. Maka tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa al-Hakim adalah orang pertama yang membicara ragam hadith yang
hari ini dikenal dikalangan orang-orang yang menyelami disiplin ilmu ini.
Perjalanan berikutnya dari ilmu hadith ialah munculnya Abu ‘Amr ‘Uthman
bin ‘Abdurrahman bin Musa ash-Shahruzuri (577-643 H) dengan kitabnya yang
dikenal dengan Muqaddimah Ibnu S}alah. Jika al-Hakim merupakan “Bapak” ilmu
hadits yang pertama, maka Ibnu S}alah merupakan “Bapak” kedua setelah al-Hakim.
Ibnu S}alah banyak mengambil manfa‘at dan menukil dari kitab al-Hakim, bahkan
metode penulisan yang digunakan oleh Ibnu S}alah merupakan metode penulisan yang
digunakan oleh al-Hakim. Namun dari itu, beliau memberikan penambahanpenambahan
yang berarti atas kitab Ma‘rifah ‘Ulum al-Hadi>th. Cukup banyak
istilah-istilah baru yang diperkenalkan oleh Ibnu S}alah dengan kitab beliau ini yang
tidak dikenal melalui kitab al-Hakim.
Namun demikian, apa yang kami katakan di sini tidak sedikit pun menafikan
keberadaan kitab-kitab ilmu hadith lain yang lahir setelah al-Hakim dan sebelum
Ibnu S}alah. Datang Abu Nu‘aim Ahmad bin ‘Abdullah al-As}baha>ni> (336-430 H)
dengan kitabnya, al-Mustakhraj ‘ala ‘Ulum al-Hadi>th li al-Ha>kim. Berdasarkan
namanya, maka ini tidak lebih dari “baju” yang berbeda dari kitab al-Hakim sendiri.
Kemudian Ahmad bin Thabit al-Khat}ib al-Baghdadi (392-463 H) dengan sejumlah
kitab beliau di antaranya al-Kifayah fi ‘Ilmi ar-Riwayah, Rihlah fi T{alab al-Hadi>th,
al-Ja>mi‘ li Akhlaq ar-Ra>wi wa Adab as-Sa>mi‘, dan selainnya. Kitab al-Kifayah
merupakan kitab yang luas dalam membahas kaidah-kaidah terkait periwayatan,
3
namun kurang dalam hal mus}t}alah, sehingga lebih mirip dengan kitab ar-
Ramahurmuzi dari pada kitab al-Hakim. Lebih dari itu, al-Khat}ib al-Baghdadi
menyusun kitab yang banyak terkait hampir semua cabang ilmu hadith, yang tidak
kami jumpai pada generasi sebelum beliau.
Lalu hadir Qad{i ‘Iyad{ bin Musa bin ‘Iyad{ (476-544 H) dengan kitabnya al-
Ilma‘ ila Ma‘rifah Us}ul ar-Riwayah wa Taqyi>d as-Sima‘. Kemudian kitab-kitab lain
yang semisal dengan itu semua yang mengandung banyak faidah. Namun dari itu,
dasar-dasar dalam ilmu hadith yang disinggung dalam kitab-kitab tersebut mengikuti
dasar-dasar yang dibicarakan oleh al-Hakim dalam kitabnya. Hal ini terus demikian
hingga datang Ibnu S}alah dengan ‘Ulum al-Hadith-nya yang telah kami sebutkan
sebelum ini.
Kemudian setelah era Ibnu S}alah muncul sejumlah kitab dari sejumlah ahli
ilmu yang berbentuk ikhtisar, taqrib, syarh, nukat, dari kitab Ibnu S}alah. Tampak
dari at-Taqrib yang disusun oleh an-Nawawi Yahya bin Sarf (631-676 H), karya Ibnu
Kathir Isma‘il bin ‘Umar (700-774 H), Ikhtisar fi ‘Ulum al-Hadith, al-‘Iraqi
‘Abdurrahim bin Husein (w. 806 H) dengan al-Fiyah-nya. Semua itu hampir tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan. Hingga sampai pada masa murid al-‘Iraqi,
yaitu ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani (773-852 H). Beliau menyusun kitab yang ringkas
terkait dengan mus}t}alah yaitu Nukhbah al-Fikar fi Mus}t}alah Ahl al-A<tha>r, kemudian
syarhnya yaitu Nuz{hah an-Naz{ar fi Taud{i>h Nukhbah al-Fikar fi Mus}t}alah Ahl al-
A<tha>r. Di samping itu beliau juga menyusun suatu kitab yang merupakan nukat atas
kitab Ibnu S}alah yaitu an-Nuka>t ‘ala Kita>b Ibn S}alah.
Kami tidak mengetahui perbedaan yang signifikan antara Ibnu S}alah dan Ibnu
Hajar. Hanya saja, bisa dikatakan bahwa Ibnu Hajar mengkombinasikan apa yang
telah digali oleh al-Hakim dan Ibnu S}alah, menimbang perbedaan antara keduanya,
kemudian beliau juga memberikan sejumlah komentar atau pun koreksi terhadap
pendahulunya. Dari ini, bisa dikatakan bahwa perkembangan signifikan dalam ilmu
hadi>th berakhir pada masa Ibnu S}alah. Sedangkan setelahnya hanya berupa istidrak
dari itu semua. Kitab-kitab yang muncul setelahnya—sebagaimana yang telah
dikatakan—hanya berupa ikhtis}ar, taqrib, nukat, syarh, dan sejenisnya. Singkatnya
apa yang muncul setelahnya hanya mengikuti apa yang telah ada. Wallahu ta‘ala
a‘lam.
4
B. Perbedaan corak pemikiran ilmu hadi>th antar periode sebelum Ibnu S{ala>h
(mutaqaddimi>n), antara periode Ibnu S{ala>h hingga Ibnu Hajar (mutaakhiri>n),
dan periode setelah Ibnu Hajar (mu‘as}iri>n)
Perkembangan corak pemikiran ilmu hadith dimulai sejak masa yang sangat
awal seperti misalnya, pada masa awal, seorang yang menukik sesuatu dari
Rasulullah  mesti bersumpah bahwa ia mendengar langsung dari Rasulullah  atau
berita yang ia bawa memang benar-benar dari Rasulullah . Bahkan zahir dari
perkataan Ibnu Sirin (w. 110 H) menunjukkan bahwa penggunaan sanad dengan teliti
baru digunakan pada masa setelah fitnah1. Terkait dengan fitnah yang mana yang
dimaksudkan oleh Ibnu Sirin, cukup banyak dan panjang pembicaraan mengenainya.
Namun setidaknya bisa dikatakan bahwa penggunaan isnad dengan amat teliti ini
baru dimulai pada masa Ibnu Sirin dan setelahnya. Katakan bahwa itu sekitar akhir
abad pertama hijriyah.
Sejak masa itu, maka kaum muslimin amat ketat dalam menentukan siapa ayng
riwayatnya diterima dan siapa yang tidak. Mereka hanya menerima riwayat dari
orang-orang yang terpercaya dengan sanad yang bersambung hingga Rasulullah .
Walau sedikit terdapat khilaf terkait dengan sebagian jenis hadith seperti terkait
dengan hadith mursal, maka sebagian mereka menerima dengan sarat bahwa riwayat
mursal tersebut ialah berasal dari seorang tabi’in kibar yang masyhur dan ia tidak
sembarang dalam meriwayatkan dari Nabi . Namun sebagian yang lain tetap
menetapkan bahwa sanad untuk riwayat yang diterima mesti benar-benar
bersambung sampai pada akhirnya. Di antara yang demikian ialah apa yang
dipertahankan oleh Imam ash-Shafi‘i dalam ar-Risalah. Maka setelah masa ash-
Shafi‘i, jumhur ahli ilmu tidak menerima begitu saja riwayat mursal sekali pun
mursal yang berasal dari rawi yang mashhur dengan keilmuan dan kejujuran.
Sampai pada masa ar-Ramahurmuzi, belum ada satu kitab pun yang disusun
secara khusus terkait disiplin ilmu ini. Namun dari itu, pembicaraan mengenai hal ini
telah disinggung pada kesempatan tertentu dalam kitasb-kitab yang telah disusun,
setidaknya pad bagian muqaddimah dan sejenisnya. Dan baru pada masa al-Hakim
muncul penamaan secara khusus terhadap ilmu ini sebagaimana telkah dibicarakan
pada bagian sebelum ini.
1) Muqaddimah Shahih Muslim, Bab Bayan an al-Isnad min ad-Din, hal. 19
5
Diantara bentuk perkembangan dari ilmu ini yang signifikan ialah terkait
pembagian hadith dari sisi kehujjahan atau terkait dengan hadith yang diterima dan
ditolak. Pada masa yang cukup panjang, hingga masa Abu ‘Isa at-Tirmidhi (210-279
H), istilah yang dikenal hanya hadith s}ahih yang merupakan kelompok hadith yang
diterima dalam berhujjah dan hadith d{a‘if sebagai lawannya. Atau bahkan hanya
antara hadith maqbul dan hadith mardud. Hadir at-Tirmidhi dengan kitab Jami‘-nya,
dan beliau mendatangkan satu istilah baru yaitu hadith hasan. Lalu pada masa
berikutnya, istilah hadith hasan yang banyak digunakan di kalangan ahli hadith pun
mengalami pergeseran dari makna hasan yang digunakan oleh Abu ‘Isa.
Adapun perkembangan ilmu hadith terkait dengan manhaj kitabah atau tadwin.
Pada masa awal, penyusunan hadith amat kental diwarnai oleh latar belakang fiqh
penyusunnya. Lihat saja al-Mus}annaf yang sekalipun disusun dengan tujuan awal
menghimpun riwayat, namun produk akhirnya mampu menjadikan sebagian orang
keliru mwngira itu sebagai kitab fiqh. Bahkan pengaruh fiqh dalam kompilasi hadith
tetap tampak hingga pada masa-masa munculnya kitab jami‘ dan sunan, hanya saja
tidak sekental pada masa-masa sebelumnya. Pada masa-masa akhir ini barang kali
hanya kitab masanid yang selamat dari pengaruh demikian ini.
Jika pada masa awal bahkan pada masa mutaakhir hingga masa Ibnu Hajar,
sekalipun dengan kadar yang lebih rendah, hadith adalah fiqh. Berbeda pula dengan
masa setelahnya. Terkait dengan hal ini, pada masa mu‘ssirin berbeda bahkan hampir
bisa dikatakan berbalik sam sekali, yaitu fiqh adalah hadith. Maknanya ialah bahwa
kitab-kitab fiqh yang disusun menyesuikan dengan riwayat yang menurut penelitinya
merupakan riwayat yang valid. Dan ini tentunya setelah ia meneliti riwayat-riwayat
tersebut dengan berdasarkan pada ilmu hadith yang muttafaq.
Kemudian terkait dengan mus}t}alah, sebagaimana telah disinggung pada bagian
sebelum ini, bisa dikatakan bahwa sejumlah mus}t}alah hadith yang dikenal hari ini
dimulai pada masa al-Hakim an-Nisaburi dengan kitabnya Ma‘rifah ‘Ulum al-Hadith.
Namun demikian, pada perkembangan selanjutnya muncul Abu ‘Amr Ibnu S{alah
dengan ‘Ulum al-Hadith-nya dan memunculkan sejumlah mus}t}alaha baru sebagai
tambahan yang amat berarti dari kitab al-Hakim. Banyak pembagian atau taqsim
hadith yang dibuat oleh Ibnu S}alah yang tidak didapati dari kitab al-Hakim.
Kemudian sejak masa Ibnu S}alah hingga masa Ibnu Hajar. Tidak banyak
bahkan bisa dikatakan tidak ada perkembangan dari ilmu hadith yang tampak secara
6
signifikan. Karya-karya dibidang ilmu hadith pada era ini hanya berupa penjelasan,
ringkasan, kritik, atau sekedar perbandingan terhadap karaya-karya sebelumnya,
dalam hal ini ialah antara karya al-Hakim dan Ibnu S}alah. Geliat yang nyata pad
amasa ini hanya tampak pada madrasah al-‘Iraqi, yang pada dasarnya merupakan
lanjutan dari madrasah Ibnu S}alah. Sampai pada Ibnu Hajar yang cukup kritis
menganalisa antara karya al-Hakim dan Ibnu S}alah.
Secara singkat, madrasah al-‘Iraqi merupakan madrasah yang melanjutkan
pemikiran Ibnu S}alah, sekalipun tetap kritis terhadap karya-karya pendahulunya.
Namun di sisi yang berbeda, kami mendapati juga bahwa pemikiran al-Hakim tidak
hilang ditelan dominasi dari Muqaddimah Ibnu S}alah. Setidaknya kita bisa mendapi
kitab Ibnu Daqiq al-‘Ied (625-702 H), yaitu al-Iqtirah, dan kitab adh-Dhahabi (673-
748 H), yaitu al-Mauqiz{ah, yang keduanya lebih dekat pada kitab al-Hakim dari pada
kitab Ibnu S}alah.
Kemudian beranjak pada fase berikutnya, maka setelah Ibnu Hajar, hampir
tidak ada lagi pergerakan yang nyata dari ilmu mus}t}alah khususnya. Seakan ilmu ini
sudah siap pakai dan tidak membutuhkan perlakuan sebagaimana masa-masa
sebelumnya. Jika sejak masa Ibnu S}alah hingga masa Ibnu Hajar, ilmu ini memang
tidak begitu signifikan pergerakannya, namun ia tetap menunjukkan geliat-geliat
pergerakan yang cukup dinamis. Berbeda dengan masa setelah Ibnu Hajar. Tidak ada
sesuatu yang baru dengan karya-karya setelahnya.
Maka dari ini, perbedaan corak pemikiran ilmu hadith dari tiga fase ini ialah
bahwa pada fase awal, yaitu masa sebelum Ibnu S}alah, perkembangan ilmu ini sangat
dinamis, selalu mendapatkan penambahan dan penyempurnaan. Sedangkan pada fase
berikutnya, yakni antara Ibnu S}alah hingga Ibnu Hajar, maka ilmu hadith berapa
pada fase pemantapan, dan dinamika yang tampak tidak sejelas fase sebelumnya.
Sedangkan pada masa berikutnya, yakni masa setelah Ibnu Hajar, maka tidak
tampak, bahkan amat tidak tampak adanya pergerakan sebagaimana pada masa-masa
sebelumnya, sehingga bisa dikatakan ini merupakan fase yang ilmu hadith ini sudah
siap pakai sama sekali. Wallahu ta‘ala a‘lam.
7
C. Perkembangan hadi>th abad II H. dan abad III H. karya-karya yang muncul serta
karakteristiknya
Setelah Rasulullah  wafat, maka para sahabat  merupakan guru bagi kaum
muslimin dalam hal agama. Mereka menyebar ke sejumlah negeri kaum muslimin
untuk mengajarkan agama yang baru tumbuh ini dengan teguh berpegang pada al-
Quran dan apa yang mereka terima dari Rasulullah . Kemudian tugas mulia ini
dilanjutkan oleh para tabi‘in yang mereka belajar langsung pada para sahabat .
Pada masa tabi‘in ini terjadi banyak peristiwa besar dan khat}ir yang menimpa
kaum muslimin. Khususnya yang terkait dengan permasalahan hadith ialah lahir dan
meluasnya sejumlah pengingkaran terhadap sunnah dari kalangan ahlu az-zaigh dan
pengikut hawa nafsu. Kemudian yang sama beratnya ialah munculnya pemalsuan
terhadap hadith Nabi . Dua tindakan ini, pengingkaran dan pemalsuan hadith,
merupakan dua perkara yang muncul beriringan dengan meluasnya majelis-majelis
hadith yang diadakan oleh para sahabat dan kemudian dilanjutkan oleh murid-murid
mereka.
Berdasarkan realita pada masa tersebut, muncul gagasan untuk mentadwinkan
hadith Rasulullah  agar warisan beliau  yang paling berharga setelah al-Quran ini
tetap terjaga. Gagasan ini direalisasikan untuk pertama kali pada masa kekuasaan
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (61-101 H). Kemudian setelahnya muncul beragam karya
yang disusun terkait dengan kompilasi hadith ini. Katakan saja yang pertama muncul
ialah al-Muwat}t}a’ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas (93-179 H). Ini
merupakan kompilasi hadith pertama—berdasarkan pandangan yang memasukkan
kitab ini dalam golongan kitab hadith—yang disusun dan sampai kepada kita hari
ini. Kitab ini merupakan kitab yang pada awalnya disusun untuk keperluan fiqh,
yang pada akhirnya menjadi kitab hadith karena amat kuatnya Imam Malik
berpegang pada hadith dalam setiap perkara, dan beliau mengeluarkan riwayat yang
berasal dari Nabi , jika tidak kemudian mengeluarkan riwayat dari sahabat, dan
selain mereka. Imam Malik ialah orang yang pertama kali menggunakan istilah al-
Muwat}t}a’ untuk kitab fiqh hadith. Dan setelahnya muncul kitab semisal ini yang
juga disebut al-Muwat}t}a’.
Pada masa Imam Malik, kitab-kitab yang disusun terkait dengan kompilasi
hadith banyak yang diberi nama al-Mus}annaf. Kami tidak dapat mengidentifikasi
siapa orang yang pertama kali menggunakan nama ini untuk sebuah kompilasi
8
hadith. Namun dari itu, di antara kitab al-Mus}annaf yang mashhur ialah yang disusun
oleh ‘Abdurrazzak as-} S{an‘ani (126-211 H) dan Abu Bakr Ibnu Abu Shaybah (159-
235 H). al-Mus}annaf merupakan kitab yang disusun dengan menggunakan metode
muhaddithin dan bertujuan sebagai kitab hadith, namun karena penyusunnya
memasukkan banyak aqwal dari sahabat dan selainnya, maka kitab ini menjadi kitab
yang lebih berhak dikatakan sebagai kitab fiqh, dari pada kitab hadith. Bahkan kami
sendiri, ketika membuka kitab ‘Abdurrazzak, mengira bahwa penyusun menghendaki
kitabnya ini menjadi kitab fiqh, bukan kitab hadith.
Maka dari ini perbedaan antara al-Muwat}t}a’ dengan al-Mus}annaf ialah dari
metode penyusunan dan corak daroi produknya. Yaitu al-Muwat}t}a’ merupakan kitab
yang disusun dengan metode ahli fiqh, namun produknya bercorak susunan ahli
hadith, sedangkan al-Mus}annaf ialah kebalikan darinya. Sedangkan keduanya samasama
disusun dengan tertib kitab fiqh.
Kemudian setelah masa ini, muncul sejumlah kompilasi hadith dalam berbagai
motode penyusunan. Dimulai dengan metode musnad, yaitu kitab yang menghimpun
sejumlah hadith dengan mengurutkan berdasarkan nama sahabat yang
meriwayatkannya. Diantara produk dengan metode seperti ini ialah al-Musnad Ibnu
al-Mubarrak (118-181 H), Musnad Abu Dawud at-} T{ayalisi (w. 204 H), Musnad Ibnu
al-Ja‘d yang disusun oleh ‘Ali bin Ja‘d al-Jawhari (134-230 H), al-Musnad al-
Humaidi (w. 219 H), serta al-Musnad Ahmad bin Hanbal (164-241 H). Dan setelah
masa imam Ahmad pun masih ada ahli hadith yang menyusun kitab hadith dengan
metode serupa dan amat banyak jika harus disebutkan.
Kemudian datang t}abaqat setelahnya dan masih pada qurun ke-3, ahli hadith
menyusun kitab hadith dalam bentuk sunan dan jami‘. Sunan yaitu kitab hadith yang
memang tujuan penyususnannya ialah tadwin/kompilasi hadith, namun disusun
dengan tertib bab-bab fiqh. Sedangkan jami‘ ialah yang disusun dengan menghimpun
seluruh permasalahan, baik mencakup aqidah, fiqh ibadah dan mu‘amalah, tafsir,
sirah, dan sebagainya.
Ushul al-Khamsah termasuk pada kelompok ini. Yaitu dua kitab sunan dan tiga
kitab jami‘. Sunan an-Nasai yang disusun oleh Ahmad bin Shu‘aib an-Nasai (215-
303 H) dan Sunan Abu Dawud yang disusun oleh Abu Dawud Sulaiman bin al-
Ash‘ath (202-275 H), kemudian masih banyak lagi kitab-kitab yang di susun dengan
mengikuti metode susunan kedua kitab ini. Kemduain kitab jami‘, seperti al-Ja>mi‘
9
as-} S{ahih yang disusun oleh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari (194-
256 H) dan Muslim bin al-Hajaj an-Nisaburi (204-261 H), serta al-Jami‘ yang
disusun oleh Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidhi (210-279 H).
Khusus kitab jami‘, maka ada sebagian yang disusun khusus menghimpun
hadith-hadith shahih semata, ada pula yang menghimpun beragam hadith,
sebagaimana yang diketahui dari ketiga kitab yang telah kami sebutkan. Sedangkan
jami‘ at-Tirmidhi, jama‘ kaum muslimin mengetahuinya sebagai kitab sunan.
Penamaan kitab beliau ini dengan sunan hanya karena beliau menyusunkitabnya ini
dengan memulai dari bab t}aharah dan seterusnya sebagaimana model susunan kitab
sunan. Wal ‘ilmu ‘indallahi ‘azza wa a‘la.
D. Review
1. Muallif2
Kitab yang kami bawa di sini ialah salah satu karya dari Imam Abu Abdullah
Muhammad bin Ibrahim bin Isma’il bin Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari. Al-Hafizh
Amirul Mukminin fil Hadits. Lahir pada hari Jum’at malam ketiga belas bulan
Syawal tahun 194 H. Beliau termasuk diantara ahlul ilmi yang tumbuh di bawah
pengasuhan seorang ibu dalam keadaan yatim karena ayah beliau, Isma’il meninggal
ketika beliau masih kecil. Ayah beliau merupakan murid Imam Malik bin Anas.
Beliau menuntut ilmu sejak usia dini. Berdasarkan riwayat yang dibawakan
oleh adh-Dhahabi dalam as-Siyar dari jalan Muhammad bin Abu Hatim bahwa beliau
bertanya kepada al-Bukhari mengenai awal mula beliau menuntut ilmu, dan al-
Bukhari menyatakan, “Aku terinspirasi untuk menghafal hadits ketika aku masih
belajar di tengah-tengah halaqah anak-anak”. Muhammad bin Abu Hatim bertanya,
“Berapa umurmu ketika itu?”, beliau menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang”. Pada
suatu hari beliau berada pada sebuah majelis ilmu, seorang syaikh membacakan
sebuah naskah kepada mustami’ dan ia berkata, “Sufyan dari Abu Zubair dari
Ibrahim”, lalu al-Bukhari berkata padanya, “ Abu Zubair tidak meriwayatkan dari
Ibrahim, rujuklah kepada naskah asalnya”. Kemudian syaikh itupun masuk dan
memeriksanya, kemudian beliau keluar dan bertanya kepada al-Bukhari, “Bagaimana
keadaan sebenarnya wahai anak muda?” Beliau menjawab, “Itu adalah Zubair bin
2) Sumber dari biografi ini ialah Siyar A’lam an-Nubala` al-Hafizh adz-Dzahabi (12/391)
tarjamah no. 171.
10
‘Adi dari Ibrahim”, kemudian syaikh itu mengoreksi bukunya lalu berkata, “Engkau
benar”. Pada saat itu, usia beliau sebelas tahun.
Pada usia enam belas tahun, beliau sudah menghafal buku Ibnu Mubarak dan
Waki’ dan memahami perkataan-perkataan ashabul ra`yi. Kemudian beliau beserta
ibu dan saudaranya, Ahmad, pergi menunaikan ibadah haji, setalah melaksanakan
haji, mereka kembali ke Bukhara sedangkan al-Bukhari tidak, beliau tinggal untuk
menuntut ilmu.
Beliau melakukan perjalanan ilmiah ke sejumlah pusat ilmu pengetahuan pada
masanya, diantranya ialah Balka (Bulkh), Nisabur, Rai, Baghdad, Bashrah, Kufah,
Makkah, Madinah, Mesir, dan Syam. Diantara guru-guru beliau ialah maulanya,
Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far al-Yamani al-Ju’fi, Muhammad bin
Salam al-Bikandi, dan selauin keduanya yang menjadi gurunya di Bukhara, namun
mereka tidak termasuk guru-guru besar beliau. Guru-guru beliau yang lain yang
tersebar di beberapa daerah ialah Maki bin Ibrahim, Abdan bin Utsman, Ali bin
Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin al-Fadl, Yahya bin Yahya, Ibrahim bin Musa,
Muhammad bin Isa bin ath-Thabba’, Suraij bin Nu’man, Muhammad bin Sabiq, serta
Affan.
Telah masyhur berita mengenai ujian ilmiah yang diberikan kepada beliau oleh
sejumlah hali hadits di Baghdad, sehingga kami fikir tidak perlu memperpanjang
cerita tersebut di sini. Namun dari itu, berita tersebut menunjukkan dengan jelas
kedudukan beliau dalam hal ilmu. Beliau sudah menulis sejak usia enam belas tahun,
yaitu ketika beliau tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu—selain di Bukhara—
pertama kalinya. Beliau menulis Qadhaya ash-Shahabah wat Tabi’in wa
Aqwaluhum. Beliau sudah mengimla`kan sejumlah riwayat kepada sejumlah penuntut
ilmu sejak beliau berusia tujuh belas tahun. Tatkala beliau bersama Ishaq bin
Rahawaih, sejumlah orang berkata,”Sekiranya kalian menghimpun sunnah Rasulullah
 secara ringkas”. Kalimat ini amat menggerakkan hati beliau, maka beliau
menyusun ash-Shahih. Beliau berkata, “Tidak aku masukkan hadits dalam kitab ini
kecuali yang shahih, dan aku tinggalkan sejumlah hadits shahih agar tidak
memperpanjangnya”. Beliau menyelesaikan ash-Shahih dalam jagka waktu enam
belas tahun. Ketika beliau ke Baghdad untuk kesekian kalinya, beliau duduk pada
majelis Imam Ahmad, dan beliau menunjukkan ash-Shahih kepadanya, sehingga
mendapat tanggapan positif dari Imam Ahmad.
11
Abdullah bin Munir, salah seorang guru al-Bukhari, mencatat riwayat dari
beliau dan berkata, “Aku adalah salah seorang murid Muhammad bin Isma’il, dan ia
adalah seorang guru. Imam al-Bukhari berkata tentang beliau, “Aku tidak melihat
orang semisal beliau”. Yahya bin Ja’far berkata, “Sekiranya aku mampu untuk
menambah umur Muhammad bin Isma’il dengan umurku, pasti aku lakukan, karena
kematianku hanya merupakan kematian salah seorang manusia, sedangkan
kematiannya ialah hilangnya ilmu”. Nu’aim bin Hammad berkata, “Muhammad bin
Isma’il adalah faqih umat ini”. Ahmad bin Abdissalam menceritakan pernyataan al-
Bukhari mengenai Ali Ibnul Madini—yakni “Aku tidak merasa kecil kecuali di
hadapan Ali”—lalu Ali berkata, “Tinggalkanlah itu, sesungguhnya Muhammad bin
Isma’il belum pernah melihat orang seperti dirinya”. Abu Mus’ab az-Zuhri berkata
kepada seseorang, “Jika engkau menjumpai Malik, lalu kau perhatikan wajahnya dan
wajah Muhammad bin Isma’il, engkau pasti berkata bahwa keduanya adalah sama
dalam fiqh dan hadits”. Muhammad bin Basyar berkata, “Huffazh dunia ada empat,
Abu Zur’ah di Rai, ad-Darimi di Samarkand, Muhammad bin Isma’il di Bukhara, dan
Muslim di Nisabur.
Al-Bukhari hidup pada masa yang khatir, yakni tersebarnya fitnah khalqil
quran. Beliau pun termasuk diantara yang merasakan buruknya fitnah tersebut.
Tatkala beliau datang ke Nisabur, banyak penuntut ilmu mendatangi beliau. Hingga
ada sebagian orang yang berusaha menfitnah beliau dan berusaha menumbuhkan
hasad antara syaikh Nisabur pada saat itu, yakni Muhammad bin Yahya adz-Dzihli
dengan beliau. Beliau difitnah oleh sejumlah orang yang memiliki motif buruk,
tersebar berita bahwa beliau termasuk orang yang menyatakan fitnah lafz. Dan hal
ini telah beliau bantah dengan hujjah yang jelas, dan beliau bereapas diri dengan
perkataan semacam itu.
Namun anehnya Abu Zur’ah dan Abu Hatim ar-Razi meninggalkan majelis
beliau setelah mendapat surat dari adz-Dzihli. As-Subki dalam Thabaqatusy
Syafi’iyah dengan tegas mengatakan bahwa sikap adz-Dzihli murni hasad terhadap
al-Bukhari. Wallahu a’lam. Dan sikap Abu Zur’ah serta Abu Hatim dengan berpaling
dari al-Bukhari tidak sedikitpun mengurangi kedudukan beliau di tengah-tengah
umat, beliau seorang tsiqah mutqin makmun, amirul mukminin fil hadits, dan beliau
berlepas diri dari ‘aqaid firqah-firqah sesat yang ada.
12
Beliau wafat pada malam Sabtu, malam ‘Idul Fithri, dan dikebumikan pada
hari ‘Id setelah shalat Zhuhur tahun 256 H. di Khartank, sebuah desa di Samarkand.
Tampak tanda-tanda kebaikan yang banyak atas jasad beliau yang disaksikan dan
diriwayatkan oleh kaum muslimin. Dan jelas bagi orang-orang yang menyelisihi
beliau mengenai kedudukan beliau, sehingga mereka bertaubat dan menarik celaan
yang pernah mereka lontarkan.
Di antara karya beliau selain ash-Shahih ialah;
1. Adabul Mufrad
2. Tarikh al-Kabir, al-Ausath,
dan ash-Shaghir
3. Adh-Dhu’afa`ush Shaghir
4. Kitab al-Kuna
5. Tafsir al-Kabir
6. Qadhayash Shahabah wat
Tabi’in wa Aqwaluhum
7. Raf’ul Yadain fish Shalah
8. Al-Qira’ah Khalfal Imam
9. Khalqu Af’alul ‘Ibad
10. Al-Mabsuth
11. Al-‘Ilal
12. Dan lain lagi.
2. Kitab
Nama kitab ini ialah  ,
al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillahi  wa Sunanihi wa
Ayamihi. Sedikit sekali penuntut ilmu di Indonesia yang mengetahui hal ini. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, kitab ini beliau susun selam enam belas tahun. Dan
setiap beliau hendak memuat satu hadith, maka beliau mandi dan kemudian shalat dua
raka’at terlebih dahulu.
a. Sebab penyusunan
Hal ini telah kami sebutkan pada bagian sebelumnya, namun barangkali ada
baiknya jika kembali disebutkan di sini dengan mengharap beberapa tambahan
faidah darinya. Adz-Dzahabi berkata dalam as-Siyar, “Dan berkata Khalaf bin
Haiyyam, aku mendengar Ibrahim bin Ma’qil berkata, aku mendengar Abu
Abdullah (al-Bukhari) berkata,
13
كنت عند إسهق بن راهويه فقال بعض أصحابنا لو جمعتم كتابا مختصرا لسنن النبي  فوقع ذالك في قلبي
فأخذت في جمع هذا الكتاب....... 3
Ini faktor utama al-Bukhari menyusun kitabnya ini sesuai dengan apa yang
kita terima dari penjelasan beliau sendiri.
b. Metode penyusunan
Imam al-Bukhari tidak menjelaskan metode tertentu yang beliau gunakan
dalam menyusun kitab ini. Tidak didapati satu riwayat pun mengenai hal ini dan
tidak pula kitab ini beliau mulai dengan sebuah muqaddimah. Namun dari itu,
sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafizh bahwa metode beliau dapat
dipahami dari nama yang beliau berikan bagi kitabnya ini serta dari apa yang
beliau muat didalamnya.
b.1 Metode Penyusunan Berdasarkan Nama Kitab
Dari sisi penamaan terhadap kitab, mushannif menyebutnya dengan al-
Jami’ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillahi  wa Sunanihi
wa Ayamihi—              .
Pertama, الجامع , dipahami bahwa beliau bermaksud untuk menghimpun hadits
terkait dengan segala permasalahan yang terkait dengan agama, muamalah,
fadhail, halal, haram, adab, dan sebagainya. Kemudian المسند , makna al-musnad di
sini bukan makna dari jenis kompilasi hadits seperti musnad Ahmad dan
sebagainya, namun ialah suatu riwayat dengan sanad yang bersambung hingga
kesumbernya, baik dari perkataan, atau perbuatan, dan selain itu. Sekiranya ada
ditemukan dalam kitab ini yang tidak demikian, maka itu merupakan penguat
dari riwayat lain yang telah beliau bawakan.
Kemudian الصحيح , maka jelas yang dimaksud oleh beliau dengan bukunya ini
ialah menghimpun hanya riwayat yang bernilai shahih, setidaknya menurut
penilaian beliau, tidak riwayat yang da} ’if atau lebih rendah darinya. Sebagaimana
3) Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala`, tahqiq Basyar
‘Uwwadh Ma’ruf, (Bairut; Muasasah ar-Risalah), cet. I, th. 1417 H. juz 12 halaman 401. Ahmad bin Ali
bin Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, (Beirut; Muasasah ar-Risalah), t.t., juz 3, hal. 508-509
14
yang juga telah kami sebutkan pada bagian sebelumnya dari perkataan beliau
sendiri, Dari Ibrahim bin Ma’qil,
سمعت البخاري يقول ما أدخلت في هذا الكتاب إلا ما صح،.... 4
Ada pun penamaan beliau dengan المختصر , tidak bermakna bahwa beliau
menyusun kitab ini dengan meringkas sebuah riwayat dan insya Allah akan kami
jelaskan kemudian pada tempatnya nanti terkait dengan pengulangan, ta’liq, dan
pemotongan matan yang beliau lakukan pada beberapa tempat dalam ash-Shahih.
Maksud beliau dengan mukhtashar ialah beliau tidak menghimpun seluruh
riwayat shahih yang beliau ketahui, namun hanya sebagian riwayat shahih yang
menurut beliau mencukupi bagi suatu permasalahan yang beliau muat dalam
kitab beliau tersebut. Telah shahih dari beliau bahwa beliau berkata,
ما أدخلت في هذا الكتاب إلا ما صح، وتركت من الصحاح كي لا يطول الكتاب.... 5
Al-Isma’ili menukil dari seseorang yang menghikayatkan dari al-Bukhari,
beliau berkata,
لم أخرج في الكتاب إلا صحيحا وما تركت من الصحيح أكثر.... 6
Kemudian terkait dengan kandungan kitab yang dengan jelas dapat
dianalisa, falillahil hamd, tampak tujuan dan metode al-Bukhari dalam
menyususn kitab ini. Dan terkait permasalahan ini telah disebutkan oleh
sejumlah muhaqqiq seperti an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar, dan selain mereka.
b.2 Metode Penyusunan Terkait dengan Rijal
Terkait dengan rijal, al-Bukhari tidak mengeluarkan sebuah riwayat kecuali
dari rijal yang masyhur lama bermulazamah dengan gurunya, yang memang
mengetahui banyak hal terkait gurunya karena lama masanya tersebut. Jika
terdapat beberapa rijal yang tidak demikian, maka itu hanya ia keluarkan sebagai
penguat. Dengan demikian, maka siapa pun yang menganalisa kitab beliau ini
akan mendapati kriteria yang digunakan al-Bukhari untuk riwayat yang dimuat
olehnya ke dalam kitab beliau ini. Dan ahli ilmu seluruhnya menyatakan bahwa
sarat yang digunakan oleh al-Bukhari terkait ketersambungan sanad ialah
seseorang selain harus mu’asharah, juga mesti mulazamah.
4) Adz-Dzahabi, op.cit. hal. 402.
5) Ibid.
6) Ibid, hal. 471
15
Terkait dengan tindakan beliau meringkas sanad dan bahkan matan, maka
di samping bertujuan agar kitabnya itu tidak terlalu tebal, agar kitab beliau ini
tidak terlalu panjang dan luas, tujuan lain dari sikap beliau meringkas sanad ialah
untuk menunjukkan jalur lain dari riwayat yang beliau bawakan, sehingga
menjelaskan bahwa riwayat tersebut tidak infiradh dan sebaginya. Adapun tujuan
beliau meringkas matan ialah kepentingan istinbath, yang mungkin pada sebuah
riwayat yang lengkap mencakup sejumlah permasalahan yang semua itu hendak
beliau bawakan pada babnya masing-masing dengan tidak memasukkan bagian
yang tidak terkait dengan bab, maka ini merupakan sebab mengapa terdapat
pengulangan yang cukup banyak pada kitab beliau ini.
Maka diketahui bahwa sarat al-Bukhari terkait rijal ialah tsiqah,
mu’asharah, mulazamah, dan tidak infiradh serta beliau mengupayakan untuk
mendapatkan sanad yang ‘ali, terutama ‘ali dari sisi dekatnya seorang rawi
dengan gurunya.
Faidah:
 Rahasia al-Bukhari dalam menggunakan lafaz}    dan beliau
membedakannya dengan lafaz{ .
Perbandingan ini dapat dianalisa dengan membandingkan riwayat yang
beliau bawakan pada al-Jami‘ dengan al-Adab atau bisa juga dengan riwayat
yang sam-sama dimuat dalam al-Jami‘. Beliau tampak jelas membedakan antara
lafaz{ ada’ qala li fulan dengan lafaz} haddathani fulan, padahal riwayat tersebut
berasal dari guru yang sama dengan hadith yang serupa, atau bahkan hadith yang
sama sekalipun bukan dari guru yang sama.
Sebagi contoh ialah hadith berikut;
                
    
      
Pada sanad ini al-Bukhari menggunakan lafaz{ qala li untuk hadith dari
Khalifah dari Muhammad bin Sawa’ dan Kahmas bin al-Minhal, dan lafaz{
haddathana untuk hadith dari Musaddad. Perbedaan di sini ialah bahwasanya
Khalifah dan dua gurunya termasuk rijal yang diperbincangkan dan pada
16
dasarnya bukan termasuk rijal yang memenuhi sarat al-Bukhari untuk kitabnya
ini.
Kemudian terdapat hadith-hadith lain yang beliau menggunakan lafaz{ qala
li sedangkan rijalnya tidak bermasalah, namun yang tampak bahwa hadith
tersebut mauquf. Maka dari sini jelas perbedaan dari penggunaan dua istilah ini
oleh al-Bukhari yang kami tidak temukan pada ahli hadith lain.
Maka sederhananya ialah ketika al-Bukhari menggunakan lafaz{ al-ada’ qala
li, maka jika sanadnya tidak memenuhi sarat beliau, maka matannya yang tidak
memenuhi sarat yang beliau tetapkan untuk kitabnya ini. Wallahu a’lam.
b.3 Apakah Setiap Huruf dalam al-Ja>mi‘ itu S}ahih?
Sudah menjadi perkara yang maklum bahwa kitab beliau ini, sejak beliau
masih hidup, terlebih setelah masa beliau, mendapatkan penerimaan yang amat
baik dari kaum muslimin. Dan seluruh ahli hadits sepakat menyatakan bahwa
kitab beliau ini merupakan kitab paling shahih setelah kitabullah , al-Quran al-
‘Azhim. Tidak ada yang menyelisihi ini kecuali orang-orang yang rusak akal dan
agamanya semisal Mahmud Abu Rayah, Muhammad al-Ghazali, dan semisal
mereka. Bahkan dengan sebab ini, Syaikhul Muhaddits Muhamamd Nashiruddin
al-Albani mengulang-ulang kalimat ini pada muqaddimah-muqaddimah beliau
terhadap kitab beliau, Mukhtashar Shahih al-Imam al-Bukhari dan pada
kesempatan lainnya baik pada sejumlah muqaddimah buku-buku beliau yang lain,
atau pun pada muhadharah-muhadharah beliau.
Namun dari itu, kami tidak mengetahui ada seorang ahli hadits pun yang
beri’tiqad bahwah seluruh huruf dalam kitab al-Bukhari ini selamat dari
kecacatan. Kami tidak mengetahui seorang pun dari ahli ilmu yang menyatakan
bahwa setiap kalimat, setiap kata, dan setiap huruf dari ash-Shahih adalah
shahih. Bahkan al-Hafizh dalam al-Fath mengisaratkan dengan sarat yang halus
terhadap hadits yang sadz, dan terhadap lafazh tambahan lainnya yang bukan dari
lisan Rasulullah , namun seolah-olah beliau yang mengucapkannya.
Semoga Allah  merahmati Imam asy-Syafi’i yang berkata,
} {7
7) Surah an-Nisa [4]/82
17
Maka demikian pula halnya dengan kitab ash-Shahih yang disusun oleh
Imam al-Bukhari ini. Hal ini amat berbeda dengan sejumlah orang yang
menisbatkan diri mereka kepada ilmu, namun sejatinya mereka adalah pengikut
hawa nafsu atau seorang muqallid yang telah dibutakan oleh karena ta’ashub-nya
mereka kepada tokoh atau bahkan akal dan nafsu mereka sendiri. Sehingga
mereka berkata tentang apa yang tidak mereka ketahui atau berpura-pura bodoh
dengan apa yang sejatinya mereka ketahui.
Kiranya perlu kami bawakan beberapa contoh di sini agar menjadi hujjah
yang nyata terkait permasalahan ini, wallahul musta’an.
1. Hadits Ibnu Abbas , beliau berkata { 8 {أن النبي تزوج ميمونة وهو مهرم
Ibnu ‘Abdil Bar serta al-Hafizh mengindikasikan bahwa hadits ini ganjal,
ada pun yang mahfuzh ialah beliau menikahi Maimunah dan beliau dalam
keadaan halal/tidak ihram, berdasarkan dari berita Maimunah sendiri. Ibnu Abdil
Bar—sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafizh—mengatakan bahwa hadits
Maimunah diriwayatkan dengan jalur yang beragam, ada pun hadits Ibnu Abbas
shahih isnad. Sedangkan Imam al-Bukhari tidak memasukkan hadits Maimunah
tersebut dan tidak pula hadits lainnya pada bab ini seolah-olah beliau menerima
hal ini demikian. Bagi siapa yang ingin mendapatkan faidah yang lebih,
hendaknya merujuk pada al-Fath (9/165-166).
2. Hadits Anas bin Malik , beliau berkata {.... 9 {قيل لنبي لو أتيت عبد الله بن أبي
Hadits ini munqathi’ antara Sulaiman, ayah al-Mu’tamar dengan Anas ,
karena Sulaiman tidak pernah mendengar dari Anas. Hal ini dijelaskan oleh al-
Isma’ili serta dibenarkan oleh al-Hafizh dalam al-Fath (5/298) disertai beberapa
kemusykilan terkait hadits ini yang disebutkan oleh beliau.
Kami fikir cukup dua contoh ini saja, dari bebrapa riwayat yang tidak
selamat dari kritik sejumlah ali hadits, sperti al-Baihaqi, Ibnu Hazm, dan selain
mereka, sekali pun—sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh al-Albani—
kebanyakan kritikan tersebut jauh dari kebenaran. Namun—seperti contoh yang
8) Shahih al-Bukhari Kitab Jaza`i ash-Shaid Bab Tazwijil Muhrim no. 1837 dan Kitab an-Nikah
Bab Nikah al-Muhrim no. 5114
9) Shahih al-Nukhari Kitab ash-Shulh Bab Maa Jaa fil Ishlahi bainan Nas no. 1209
18
kami bawakan—ada sejumlah riwayat yang shahih dari sisi isnad, namun
terdapat ‘illat qadihah, dari sisi yang lain. Dan hal ini telah juga dibahas oleh al-
Hafizh baik ketika menjelaskan hadits-hadits tersebut dalam al-Fath. Fal ‘ilmu
‘indallah.
b.4 Keistimewaan Tartib al-Jami’ ash-Shahih
Suatu hal yang sepantasnya diketahui oleh penuntut ilmu, bahkan sebelum
mereka mempelajari isi dari kitab ini, ialah keistimewaan tata urutan bab pada
kitab ini. Imam al-Bukhari tentu saja menyusun kitab beliau sedemikian rupa
bukan tanpa alasan. Dan terdapat faidah yang besar dari susunan tersebut.
Karenanya para ulama berkata,
الترجمة البجاري فقهه
Al-Bukhari memulai ash-Shahih dengan Kitab al-Wahyi, kemudian Kitab
al-Iman, lalu Kitab al-‘Ilmi, setelahnya ialah yang terkait dengan amaliyahamaliayah
yang ditetapkan terhadap seluruh hamba Allah yang beliau mulai
dengan ibadah kemudian mu’amalah, lalu beliau mengakhiri kitabnya ini dengan
Kitab al-I’tisham bi al-Kitab wa as-Sunnah, lalu Kitab at-Tauhid.
Imam al-Bukhari memulai kitab ini dengan Kitab al-Wahyi karena
dengannya hukum-hukum syari’at ditegakkan, dengannya pula manusia
mengetahui apa yang baik untuk mereka, apa yang buruk untuk mereka sehingga
dengannya manusia mengerjakan sesuatu dan meninggalkan sesuatu yang dapat
membawa mereka kepada keselamatan hidup di dunia, terlebih akhirat. Dengan
wahyu manusia semestinya menimbang semua itu, karena selayaknya koridor
ilahi yang dijadikan pedoman dalam segala hal. Hal ini menyelisihi aqlaniyun
yang menjadikan akal mereka sebagai mizan, sebagai mitiyaz dalam sejumlah
perkara, hatta perkara din. Waliyadzubillah.
Kemudian beliau melanjutkan dengan Kitab al-Iman lalu al-‘Ilm setelah
dengan wahyu yang diturunkan Allah  melalui utusan-utusannya, dan yang
terakhir dan penyempurna ialah nabi kita Muhammad , kaum muslimin bahkan
manusia seluruhnya mengetahui apa yang mesti mereka ketahui. Maka jelas
bahwa wahyu merupakan dasar ilmu serta sumbernya, dan seutama-utama ilmu
ialah yang terkait dengan keimanan. Dari sini juga dipahami bahwa mabda`
19
keimanan adalah wahyu, sekali lagi bukan akal sebagaimana yang didakwakan
kalamiyun yang lahir dari rahim falasifah dan selain mereka yang rusak akalnya.
Sebelum masuk pada pembahasan mengenai sejumlah amaliyah syair’yah,
Imam al-Bukhari mendahulukan Kitab al-‘Ilmi kerena sejumlah amal mesti
dibangun atas dasar ilmu, bukan selainnya. Bahkan Imam al-Bukhari membuat
bab khusus dengan judul Bab al-‘Ilmi qabla al-Qaul wa al-‘Amal. Maka ini pun
membantah sejumlah kaum muslimin yang banyak melakukan ibadah dan
selainnya tanpa dilandasi ilmu yang benar dari kitabullah dan sunnah.
Setelah itu beliau menyusun bab-bab yang terkait ibadah lalu mu’amalah,
dan susunan ini pun bukan merupakan susunan yang tanpa makna. Namun terlalu
panjang untuk disebutkan di sini.
Lalu Imam al-Bukhari mengakhiri ash-Shahih dengan Kitab al-I’tisham bi
al-Kitab wa as-Sunnah setelah sejumlah bab yang tekait dengan amaliyah hamba.
Hal ini karena di samping setiap amaliyah mesti dilandasi ilmu yang benar dari
al-kitab dan as-sunnah, maka amaliyah pun bahkan seluruh sendi kehidupan
hamba mesti berpegang dan berjalan di atas landasan kitab dan sunnah serta
menafikan berbagai perkara muhdatsat, bid’ah dan kurafat. Semestinya setiap
kali seorang hamba hendak melakukan sesuatu, terlebih yang terkait dengan
ibadah, taqarrub ilallah, ia bertanya kepada dirinya apakah hal tersebut
disyari’atkan atau tidak? Apakah hal tersebut berada di atas pemahaman yang
benar terhadap kitab Allah  dan sunnah sebagaimana yang diterima oleh para
sahabat ? Atau tidak sama sekali, sehingga ia wajib meninggalkannya dan
berhenti di mana para sahabat  berhenti.
Lalu akhir sekali beliau mengakhiri segala pembicaraan dengan Kitab at-
Tauhid. Karena seorang hamba dinilai dengan akhirnya. Hendaknya seorang
hamba hidup dan menutup kehidupannya dengan tetap berada di atas tauhid.
Maka bab terakhir pada kitab at-tauhid, sekaligus bab terakhir dari ash-Shahih
ialah
“Bab Qaulillah ta’ala {} ”
Adapun hadits pertama yang beliau muat dalam ash-Shahih ialah hadits
Umar , إنم الأعمل بالنيات . Mengisaratkan bahwa setiap amal anak adam diterima
20
hanya yang dilandasi dengan niat yang ikhlas, dan amat itu ditimbang sehingga
jelas keadaan niat tersebut, bernilai atau tidak. Wallahu a’lam.
Kami mendapatkan faidah ini dari sejumlah guru-guru kami seperti Abu
Isa ‘Adullah bin Salam, Abu Qotadah, Abu Sumayyah, dan selain mereka حفظھم
لله. Baik pada mejelis ilmu aqidah/manhaj, fiqh, terlebih hadits, dan selainnya.
Kemudian kami mendapati penejelasan yang lebih rinci mengenai hal ini dalam
Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari halaman 470-473 yang dinukil oleh al-
Hafizh dari gurunya, Abu Hafsh Umar al-Bulqini. Hendaknya para penuntut ilmu
merujuk padanya. Dan sebagaimana yang kami utarakan di awal, hendaknya
penuntut ilmu bahkan kaum msulimin mengetahui dan memahami hal ini
sebelum mereka mempelajari hadits-hadits yang ada di dalamnya. Walillahit
taufiq.


 




Metode Syarah Hadits


SYARAH
A.    Pengertian Syarah
            Kata syarah )syarh) diambil dari kata “syaraha, yashrahu, syarh” yang secara bahasa berarti menguaraikan dan memisahkan bagian sesuatu dari bagian lainnya.[1] Dalam tradisi para penulis kitab berbahasa Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matn (matan) suatu kitab.[2]
Dengan demikian istilah syarah tidak hanya uraian dan penjelasan atas naskah kitab dalam batas eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi (disertai penafsiran), sebagaimana dapat dilihat pada keumuman kitab-kitab syarah, baik syarah terhadap pada kitab haits maupun kitab lainnya. Selain itu, syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan terhadap suatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan terhadap sebagian dari kitab, bahkan uraian terhadap satu kalimat atau suatu hadits, juga disebut dengan syarah.
Maka dari itu apabila dikatakan syarah suatu kitab tertentu, seperti Syarah Shahih al-Bukhari, Syarah Alfiyyah al-‘Iraqi, dan Syarah Qurrat al-‘Ayn, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap kitab tersebut secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah hadits” secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap suatuhadits tertentu, yaitu ucapan, tindakan, atau ketetapan Rasulullah r beserta sanadnya.
Di samping itu, syarah tidak harus secara tertulis atau berbentuk kitab dan karya tulis lainnya, melainkan bisa juga secara lisan. Oleh karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan makna dan maksud suatu hadits, seperti dalam makalah dan artikel, dapat disebut syarah. Demikian juga uraian dan penjelasan had its secara lisan dalam proses belajar, pengajian, khutbah, ceramah, dan sejenisnya bisa juga disebut sebagai kegiatan mensyarah hadits.[3]

B.     Sejarang Singkat Syarah
Sejarah perkembangan syarah hadis, tentu sangat mengikuti perkembangan hadis. artinya, perkembangan syarah muncul setelah perkembangan hadis sudah mengalami beberapa dekade perjalanan. Dengan dasar ini sehingga para ulama terkadang berbeda dalam menentukan lahirnya syarah hadits. Di antaranya TM Hasbi al-Shiddieqy yang memposisikan perkembangan syarah hadits pada periode ketujuh, periode terakhir dari periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits yang dibuatnya.
Ketujuh periode yang dibuat TM Hasbi al-Shiddieqy adalah sebagai berikut: 1) Kelahiran hadits hingga Rasulullah r wafat; 2) Pembatasan riwayat; 3) Perkembangan periwayatan dan perlawatan mencari hadits, sejak 41 H sampai akhir abad ke-1 H; 4) Pembukuan hadits, selama abad ke-2 H; 5) Penyaringan dan seleksi hadits, selama abad ke-3 H; 6)Penghimpunan hadits-hadits yang terlewatkan, sejak  awal abad ke-4 H, sampai tahun 656 H; 7) Penulisan kitab-kitab syarah, kitab-kitab takhrij, dan sebagainya, sejak pertengahan abad ketujuh Hijriah.[4]
Selain TM Hasbi al-Shiddieqy, terdapat ulama lain yang relatif obyektif dalam memposisikan syarah hadits hadits dalam preodisasi perkembangan hadits dan ilmu hadits, yaitu Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli. Ia membaginya menjadi lima periode, dan periode terakhir adalah sistematisasi, penggabungan, dan penulisan kitab syarah sejak abad ke-4 Hijriah.[5]
Sedangkan penulis yang melakukan periodisasi sejarah perkembangan ilmu hadits adalah Nuruddin ‘Itr. Ia membagi sejarah perkembangan ilmu hadits menjadi tujuh tahap, yaitu: 1) kelahiran ilmu hadits, sejak masa sahabat hingga tahun 100 H; 2) Penyempurnaan, sejak awal abad kedua hingga awal abad ketiga Hijriah; 3) pembukuan ilmu hadits secara terpisah, sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah; 4) penyusunan kitab-kitab induk ilmu hadits, sejak pertengahan abad keempat sampai abad ketujuh Hijriah; 5) Pematangan dan penyempurnaan pembukuan ilmu hadits, sejak akhir abad ketujuh sampai abad kesepuluh Hijriah; 6) Kebekuan dan kejumudan, abad kesepuluh sampai abad keempat belas Hijriah; 7) kebangkitan kedua, abad keempat belas dan seterusnya.[6]
Akan tetapi karena kegiatan mensyarah hadits sebenarnya secara praktis telah terjadi pada saat kelahiran hadits itu sendiri, yaitu oleh Rasulullah r secara lisan dan dilanjutkan pada masa sahabat oleh para ulama mereka, maka periodisasi sejarah perkembangan syarah hadits tampaknya perlu dibedakan dengan periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa syarah hadits secara lisan sering dilakukan Rasulullah r dan para sahabat. Bila demikian, periode sejarah perkembangan syarah hadits secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga , yaitu syarah hadits pada masa kelahiran hadits (fi ‘ashr al-risalah), syarah hadits pada masa periwayatan dan pembukuan hadits (fi ‘ashr al-riwayah wa al-tadwin), dan syarah hadits setelah pembukuan hadits (ba’da al-tadwin).
a.       Syarah Hadits pada Masa Kelahirannnya (Fi ‘Ashr al-Risalah)
Masa kelahiran hadits sama dengan masa turunnya al-Qur’an, atau selama Nabi Muhammad r mengemban risalah yaitu sejak diangkat mnjadi nabi dan rasul hingga ia wafat. Segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi merupakan bayan kepada umatnya. Akan tetapi tidak semua sahabat mampu memahami setiap ucapan Nabi dengan baik, sehingga mereka menanyakan makna kata-kata tertentu secara langsung kepada Nabi atau kepada sahabat yang lain. Hal ini menunjukkan syarah hadits telah terjadi pada masa kelahiran hadits itu sendiri, dan penysyarahnya adlah Rasulullah r.[7]
b.      Syarah Hadits pada Masa Periwayatan dan Pembukuan Hadits (Fi ‘Ashr Al-Riwayah wa al-Tadwin)
Yang dimaksud dengan hadits pada masa periwayatan dan pembukuan hadits adalah kegiatan syarah hadits yang dilakukan secara lisan atau tulisan sejak masa sahabat hingga memasuki masa penulisan kitab-kitab syarah, yaitu dari dasawarsa kedua abad pertama Hijriah hingga akhir abad ketiga Hijriah. Periode ini dinamai masa periwayatan dan pembukuan hadits karena kedua kegiatan tersebut tidak pernah dapat dipisahkan, setidaknya selama batas waktu tersebut periwayatan dan pembukuan hadits berjalan seiring, karena periwayatan hadits juga berlangsung bedasarkan hafalan dan tulisan. Apabila periode ini diakhiri dengan munculnya kitab syarah, maka periode ini dapat berakhir pada akhir pertengahan abad keempat Hijriah, yaitu dengan lahirnya kitab syarah shahih al-Bukhari yang tertua berjudul A’lam al-Sunan karya al-Khaththabi (w. 388 H).[8]
c.       Syarah Hadits Pasca Pembukuan Hadits (Ba’da al-Tadwin)
Yang dimaksud dengan periode pasca pembukuan adalah berakhirnya penulisan-penulisan kitab-kitab hadits yang termasuk kategori al-Mashadir al-Ashliyyah, yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan hasil pencarian dan penelusuran hadits oleh penulisnya dengan sanad-nya sendiri, bukan kumpulan kutipan-kutipan hadits dari berbagai kitab, bukan himpunan di antara dua kitab atau lebih, dan bukan pula ringkasan dari kitab-kitab yang lain. Dasar pemikiran dari pembatasan awal periode ini adalah karena berakhirnya pembukuan hadits, maka penulisan syarah terhadap hadits tidak lagi tercakup dan menyatu dengan matan hadits seperti pada masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu, apabila dilihat dari kitab hadits yang terakhir disusun, maka periode ini berawal pada pertengahan –bahkan mungkin awal− abad kelima Hijriah, yaitu dengan disusunnya al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqiy (w. 458 H). Namun, apabila dilihat dari munculnya kitab syarah, boleh jadi periode ini berawal sejak pertama kali munculnya kitab syarah yang dikenal dengan sebagai kitab syarah tertua yaitu A’lam  al-Sunan karya al-Khaththabi (w. 388 H), yaitu syarah terhadap shahih al-Bukhari. Hal ini sesuai dengan periodisasi menurut al-Khuli di atas.[9]
C.     Metode Syarah Hadits
1.      Metode syarah matan hadits qawli
2.      Metode syarah matan hadits fi’li
Sebagaimana halnya dengan syarah matan hadits qawli, syarah matan hadits fi’li bertuuan untuk memberikan pemahaman kepada umat tentang maksud yang tersirat dalam tindakan yang bersangkutan, sehingga mereka dapat memahami dengan benar dan menjadikannya sebagai hujjah secara proposional serta terhindar dari kesalahpahaman. Maka dari itu mensyarah matan hadits fi’li harus ditempuh melalui langkah-langkah berikut:
a.       Menghimpun seluruh riwayat mengenai suatu tindakan yang sama atau serupa (takhrij al-hadits)
Dengan langkah ini akan ditemukan gambaran yang relatif lebih lengkap dibandingkan apabila berpegang kepada satu riwayat saja, karena sering sekali riwayat-riwayat tersebut saling melengkapi.
b.      Menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan kebahasaan untuk dipahami makna leksikal dan makan gramatikal riwayatnya.
Bagaimanapun wujud dari hadits-hadits fi’li itu adalah teks-teks berbahasa Arab yang berisikan laporan-laporan hasil pengamatan para sahabat atas tindakan Rasulullah r dalam berbagai konteks dan kesempatan.
c.       Mengkalsifikasikan

KRITERIA METODE SYARAH
CONTOH KITAB YANG MENGGUNAKAN METODE SYARAH


[1] Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, hlm. 381; lihat juga Muhammad bin Mukarram bin al-Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, t.t, jilid II, hlm. 497-498
[2] Ibid.
[3] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah
[4] Lihat misalnya TM Hasbi al-Shiddieqy, sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang , 1980, hlm. 46-47. Akan tetapi berdaskan fakta yang ada kitab syarah sudah ditulis sejak abad ke-4 dengan tersusunnya kitab Ma’alim al-Sunan Syarah Sunan Abi Dawud yang ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi al-Busti (319-388 H).
[5] Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khulli, Tarikh Funun al-Hadits, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.t, hlm. 12
[6] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, ,,,,: Dar al-Fikr, 1979, hlm. 36-72
[7] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadits, 35-36
[8] Oibid., hlm. 40
[9] Ibid., hlm. 45