KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢﺍﻟﻟﻪﺍﻟﺭﺤﻤﻦﺍﻠﺭﺤﯿﻢ
Puji syukur kepada Allah SWT karena atas
izin dan karunia-Nya makalah ini dapat penulis selesaikan. Tak lupa pula
shalawat dan salam penulis hantarkan kepada junjungan alam, Nabi besar Muhammad
Saw yang telah membawa kita dari alam kebdohan kealam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Rasa terima kasih penulis haturkan kepada Bapak dosen pengampu mata kuliah
Ilmu Hadis yang telah membimbing kami sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Ilmu
Rijalil Hadits: Tarikh Al-Ruwwat/Thabaqat Al-Ruwwat.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak luput
dari kelemahan dan kekurangan,oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif
dari pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini sangat penulis
harapkan.
Bandung, 24 Oktober 2013
Penulis
|
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik
( 650-1250 ). Dalam sejarah sejak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun
650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar yang tidak sedikit jumlahnya
baik di bidang tafsir, hadist, fiqih dll.
Berdasarkan bukti historis ini menggambarkan
bahwa periwayatan dan perkembangan hadist sejalan dengan perkembangan ilmu lainnya.
menatap persektif keilmuan hadits bergambar jelas bahwa ajaran hadist ternyata
mempunyai andil besar dalam mendorong kemajuan umat islam. Sebab hadist nabi
sebagaimana Al Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut
pengetahuan dengan demikian disiplin ilmu hadist justru menyebabkan kemajuan
umat islam.
Setiap hadist mengandung dua bagian, yaitu teks
( Matn ) hadist itu sendiri dan matan transmisi atau isnadnya yang menyebutkan
nama-nama riwayat rowinya para prasejarah klasik maupun modern sependapat bahwa
mula-mula hadist muncul tanpa dukungan isnad pada masa sahabat ( periode
periwayatan hadits ) sampai lebih kurang pengantian abad ke 11/ 7 M. Sekitar
masa ini pulalah hadist muncul secara besar-besaran ketika ilmu pengetahuan
formal yang tertulis mulai di rintis baru pada abad 99 H- 101 H. Umar bin Abdul
Aziz mempunyai ide untuk membukukan hadist dengan jalan memrintahkan semua
ulama di seluruh dunia untuk menggumpulkan hadist-hadist Rasul yang menurut
anggapan mereka sama, pembukuan hadist pada periode ini dilakukan dengan cara
mengemukakan riwayat-riwayat di sertai dengan sanadnya sehingga memungkinkan
untuk mengetahui mutu hadist yang di riwayatkan baik shohih maupun dhoif dengan
cara meneliti sanadnya dengan bantuan ilmu lain yang bermacam-macam.
Sebagaimana diketahui bahwa sanad itu ialah
rwi-rawi hadits yang dijadikan sandaran oleh pentakhri hadits dalam
mengemukakan suatu matan hadits. Nilai suatu hadits, sangat dipengaruhi oleh:
hal-hal, sifat-sifat, tingkah laku, biografi, mazhab-mazhab yang dianutnya dan
cara-cara menerima dan menyampaikan hadits dari para perawi.
Mengetahui hal-hal tersebut, perlu sekali, dan
memberi faedah yang sangat berguna. Seorang penuntut ilmu hadits belum dianggap
sempurna, jika belum mendalami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan sanad,
disamping ilmu-ilmu yang berpautan dengan matan hadits, seperti ilmu gharibul
hadits, asbabul wurud, tawarikhul mutun, ilalul hadits dan lain
sebagainya.sebab sudah dimaklumi bersama, bahwa hadits itu terdiri dari matan
dan sanad. Dengan demikian menguasai ilmu sanad berarti dapat mengetahui separo
ilmu hadits.
Ilmu Rijalul Hadist merupaka salah satu cabang
besar yang tumbuh dari hadist riwayah dan Diroyah dengan ilmu ini dapat
membantu kita untuk mengetahui keadaan para perowi yang menerima hadist dari
Rasulullah dengan keadaan rowi yang menerima hadist dari sahabat dan
seterusnya. Dengan mengetahui keadaan para perowi yang menjadi sanad, dan
memudahkn kita menilai kualitas suatu hadist maka bisa di simpulkan bahwa ilmu
Rijalul Hadis merupakan separuh dari ilmu hadist.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ilmu Rijal Al- Hadits
1.
Pengertian
Sebelum masuk ke pembahasan utama,
perlu diketahui apa itu ilmu hadits dirayah. Ilmu hadits dirayah adalah ilmu
yang diketahuinya hakikat riwayat, syarat-syaratnya, hukum-hukumnya, keadaan
perawi dan syarat-syarat mereka, maacam-macam apa yang diriwayatkan dan, apa
yang berkaitan dengannya. Atau secara ringkas : “Kaidah-kaidah yang
diketahui dengannya keadaan perawidan yang diriwayatkan”. Dan perawi
adalah orang yang meriwayatkan hadits dari orang yang ia mengambil darinya.
Adapun marwiy adalah hadits yang disampaikan dengan cara periwayatan,
dan yang diriwayatkan ini secara istilah dinamakan dengan matan. Adapun
orang-orang yang meriwayatkannya dinamakan dengan perawi atau Rijal Al-Isnad.
Maka apabila Imam Bukhari berkata
misalnya,”Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Quraisyi,
dia telah berkata: Telah menceritakan kepadakami bapakku, dia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Abu Burdah bin Andillah bin Abi Burdah, dari Abi
Burdah, dari Abu Musa radliyallaahu ‘anhu, dia berkata,”(Para shahabat)
bertanya: ‘Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama? Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من سلم المسلمون من لسانه ويده
”Barangsiapa yang kaum muslimin
selamat dari lisannya dan tangannya”.
Orang-orang
yang telah disebutkan Imam Bukhari ini – mulai dari Sa’id bin Yahya bin Sa’id
Al-Quraisyi sampai yang paling terakhir yaitu Abu Musa – mereka ini disebut
periwayat hadits. Dan rangkaian mereka disebut sanad, atau rijalul-hadits.
Sedangkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam :”Barangsiapa yang kaum
muslimin selamat dari lisannya dan tangannya” adalah yang diriwayatkan atau
hadits; dinamakan matan. Dan orang yang meriwayatkan hadits dengan smua
rijalnya yang disebutkan tadi disebut musnid. Sedangkan perbuatannya ini
dinamakan isnad (penyandaran periwayatan).
Dari
penjelasan di atas dapat kita kenal istilah-istilah yang sering dipakai dalam
ilmu hadits sebagai berikut :
1)
As-Sanad,
dalam bahasa artinya menjadikannya sandaran atau penopang yang dia menyandarkan
kepadanya. Sanad dalam istilah para ahli hadits yaitu : “jalan yang
menghubungkan kepada matan”, atau “susunan para perawi yang menghubungkan ke
matan”. Dinamakan sanad karena para huffadh bergantung kepadanya dalam
penshahihan hadits dan pendla’ifannya.
2)
Al-Isnad
adalah mengangkat hadits kepada yang mengatakannya. Ibnu Hajar mendefiniskannya
dengan : “menyebutkan jalan matan”. Disebut juga : Rangkaian para rijaalul-hadiits
yang menghubungkan ke matan. Dengan demikian maknanya menjadi sama dengan
sanad.
3)
Musnid
adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya.
4)
Matan
menurut bahasa adalah “apa yang keras dan meninggi dari permukaan bumi”. Matan
menurut para ahli hadits adalah perkataan yang terakhir pada penghujung sanad.
Dinamakan matan karena seorang musnid menguatkannya dengan sanad dan
mengangkatnya kepada yang mengatakannya, atau karena seorang musnid
menguatkan sebuah hadits dengan sanadnya.( Tadriibur-Raawi halaman 5-6
dan Nudhatun-Nadhar halaman 19)
Isnad memiliki kedudukan yang agung dalam
Islam, karena asalnya adalah ummat menerima agama ini dari sahabat dan mereka
menerimanya dari Rasulullah Sawdan beliau menerimanya dari Rabbul-izzah baik
dengan perantara ataupun tidak. Dan diriwayatkan dengan jalan shohih dari
Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhuma bahwasanya Rasulullah Saw bersabda :
تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ
مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ
Artinya : “Kalian mendengar lalu didengar dari kamu dan didengar dari yang mendengar dari kamu” (HR. Abu Daud dan Ahmad, keduanya dengan sanad yang shohih)
Imam
Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mubarak bahwasanya beliau
berkata:
« الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا
الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
»
“Isnad itu bagian dari din, kalaulah bukan isnad maka orang akan mengatakan sekehendaknya”
Dan
beliau (Muslim) meriwayatkan juga dengan isnadnya dari Ibnu Sirin ucapannya :
« إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا
عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ »
“Sesungguhnya
ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu”
Imam
Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari Imam Abdullah ibnul Mubarak bahwa ia
berkata:
« بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْقَوَائِمُ
يَعْنِي الْإِسْنَادَ »
“Antara kita dengan kaum-kaum itu (yang
berdusta atas nama hadits) adalah isnad”
Ibnu Hibban meriwayatkan dari Imam Sofyan Ats
Tsauri ucapannya :
«الإِسْنَادُ سِلَاحُ المُؤْمِنِ فَإِذَا لَمْ
يَكُنْ مَعَهُ السلَاح فَبِأَي شَيءٍ يُقَاتِلُ»
“Isnad
itu adalah senjata seorang mukmin, maka kalau ia tidak punya senjata dengan apa
ia berperang?”
Ilmu Rijaalul Hadits adalah :
علم يعرف به رواة الحديث من حيث
انهم رواة للحديث
“Ilmu Untuk mengetahui para perawi
hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis”
Ilmu Rijaalul-Hadits,
dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat (Ilmu Sejarah Perawi) adalah
ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi
kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri
dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan
sejarah perawi dan keadaan mereka.
Pertama kali orang yang sibuk
memperkenalkan ilmu ini secara ringkas adalah Al-Bukhari (w.230 H) kemudian
Muhammad bin sa’ad (w.230 H) dalam Thabaqatnya. Kemudian berikutnya Izzuddin
Bin al-Atsir(w.630 H) menulis Usud Al-Ghabah Fi Asma Ash-Shahabah, Ibnu hajar
Al-asqalani (w.852 H) yang menulis Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash-shahabah kemudian
diringkas oleh as-suyuthi(w.911 H ) dalam bukunya yang berjudul ‘ayn
Al-Ishabah. Al-Wafayat karya Zabir Muhammad bin Abdullah Ar-rubi (w.379 H)
2.
Munculnya Ilmu Rijaalul Hadits
a.
Mulainya Penggunaan Isnad
Penggunaan isnad ini sebenarnya telah ada di
masa sahabat Rasulullah Saw. yaitu bermula dari sikap kehati-hatian
mereka terhadap berita yang datang kepada mereka, sebagaimana diriwayatkan dari
Abu Bakar Ash Shiddiq dalam kisah nenek yang datang meminta bagian
warisan, kemudian kisah Umar bin Al Khaththab dalam peristiwa isti’dzan
(minta izinnya) Abu Musa, juga kisah tatsabbut (klarifikasi) Ali bin Abi Thalib
dimana beliau meminta bersumpah bagi orang yang menyampaikan padanya
hadits Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam.
Hanya saja makin banyaknya pertanyaan terhadap
isnad dan makin intensnya orang meneliti dan memeriksa isnad, itu mulai terjadi
setelah terjadinya fitnah Abdullah bin Saba dan pengikut-pengikutnya yaitu di
akhir-akhir kekhalifaan Utsman bin Affan dan penggunaan sanad terus
berlangsung dan bertambah seiring dengan menyebarnya para
Ashabul-ahwaa(pengikut hawa nafsu) di tengah-tengah kaum muslimin, juga
banyaknya fitnah yang mengusung kebohongan sehingga orang-orang tidak mau
menerima hadits tanpa isnad agar supaya mereka mengetahui perawi-perawi hadits
tersebut dan mengenali keadaan mereka.
Imam Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari
Muhammad bin Sirin bahwasanya beliau berkata :
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنْ الْإِسْنَادِ
فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ
إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ
الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Dahulu orang-orang tidak pernah menanyakan
isnad, akan tetapi setelah terjadi fitnah maka dilihat hadits Ahli Sunnah lalu
diterima dan dilihat haditsnya ahlil-bida’ lalu tidak diterima (ditolak)”
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa Muhammad bin
Sirin adalah orang yang selalu melihat hadits dan memeriksa isnadnya, kami
tidak mengetahui seorang pun yang lebih dahulu darinya.
b.
Munculnya Ilmu Rijal
Kemunculan ilmu Rijal merupakan buah dari
berkembang dan menyebarnya penggunaan isnad serta banyaknya pertanyaan
tentangnya. Dan setiap maju zaman, maka makin banyak dan panjang jumlah perawi
dalam sanad. Maka perlu untuk menjelaskan keadaan perawi tersebut dan
memisah-misahkannya, apalagi dengan munculnya bid’ah-bid’ah dan hawa nafsu
serta banyaknya pelaku dan pengusungnya. Karena itu tumbuhlah ilmu Rijaal yang
merupakan suatu keistimewaan ummat ini di hadapan ummat-ummat lainnya.
Akan tetapi kitab-kitab tentang ilmu Rijal
nanti muncul setelah pertengahan abad-2. Dan karya tulis ulama yang pertama
dalam hal ini adalah kitab At Tarikh yang ditulis oleh Al Laits bin Sa’ad
(wafat 175 H) dan kitab Tarikh yang disusun oleh Imam Abdullah bin Mubarak
(wafat 181 H). Imam adz Dzahabi menyebutkan bahwa Al Walid bin Muslim (wafat
195 H) juga memiliki sebuah kitab Tarikh Ar Rijaal, lalu secara berturut-turut
muncul karya-karya tulis dalam ilmu ini, dimana sebelum masa kodifikasi ini
pembahasan tentang perawi hadits dan penjelasan hal ihwal mereka hanya bersifat
musyafahah(lisan), ditransfer sedemikian rupa oleh para ulama dari masa ke
masa.
3.
Maudlu’ dan faedahnya
Secara definitive yang dimaksud dengan ilmu
rijalil hadits ialah: “ilmu pengetahuan yang dalam pembahasannya membicarakan
hal ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in dan
tabi’it-tabi’in.”
Disamping sahabat, tabi’iy dan tabi’it tabi’in,
dalam ilmu ini juga dibahas muhadlramin, mawaly dan hal-hal yang berpautan
dengannya.
a.
Sahabat
Para ulama berselisish paham tentang siapa yang
dapat dikatakan sahabat. Sebagian ahli ushul menetapkan, bahwa yang dikatakan
sahabat ialah: orang yang bertemu dan hidup bersama Rasulullah saw. minimal
setahun lamanya. Pendapat iniberdasarkan ta’rif sahabat yang dkemukakan
oleh Sa’id Ibnul Musayyab, ialah: orang yang bertemu dan berperang bersama Nabi
setahun atau dua tahun.
Menurut Jumhurul Muhaditsin, yang dikatakan
sahabat ialah: “orang yang bertemu Rasulullah saw. dengan pertemuan yang
wajar sewaktu Rasulullah saw. masih hidup, dalam keadaan Islam lagi iman.”
Dengan ketentuan ini, maka orang-orang yang
pernah bertemu dengan Rasulullah saw., tetapi ia tidak mempercayai
kerasulannya, orang-orang Islam lagi iman, yang hidup segenerasi dengan
Rasulllah saw., seperti An-Najasyi, dan orang-orang yang bermaksud menemui Rasulullah
saw. dengan iman, tetapi bertemu dalam keadaan Rasulullah telah wafat, mereka
semuanya tidak dapat dikatakan sahabat.
Penggunaan kata bertemu, yang
dimaksudnya bergaul, adalah lebih tepat daripada menggunakan perkataan melihat
pada ta’rif jumhur tersebut. Yang demikian itu agar orang yang tidak dapat
melihat Rasulullah dengan mata kepala, lantaran buta, tetapi selalu bergaul
dengan beliau, seperti Ibnu Ummi maktum, dapat dimasukkan dalam golongan
sahabat.
Menurut ta’rif jumhur di atas, orang-orang yang
pernah bergaul dengan Rasulullah saw., kendatipun mereka tidak pernah
meriwayatkan sepotong hadits pun atau tidak lama pergaulannya dengan beliau,
tetap dikatakan sahabat. Sebab bertemu, apalagi sampai bergaul denga Rasulullah
saw. itu adalah besar sekali kesannya pada hati nurani seseorang daripada
bertemu orang lain sekalipun orang besar. Oleh karena itu A’raby, orang arab
dari pedesaan, yang menghadap hanya melulu ingin bertemu dengan Rasulullah saw.,
tetapi karena didasari suatu keimanan, maka terpancarlah dari hai sanubarinya
beberapa mutiara hikmah berkat melihat Rasulullah saw.
- Cara Mengetahui Shahabat
Untuk menggolongkan seseorang kepada sahabat,
hendaklah menggunkan salah satu dari lima ketentuan tersebut dibaah ini.
1)
Diketahui keadaan seseorang sebagai shahabat
secara mutawatir.
2)
Dengan ketenaran, meskipun belum sampai batasan
mutawatir.
3)
Riwayat dari seorang shahabat bahwa dia adalah
shahabat.
4)
Keterangan seorang tabi’iy yang tsiqah.
5)
Atau dengan mengkhabarkan dirinya bahwa dia
adalah seorang shahabat.
Dan diperselisihkan mengenai siapa yang pertama
kali masuk Islam dari kalangan shahabat. Ada yang mengatakan Abu Bakar
Ash-Shiddiq. Ada juga yang mengatakan : Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain :
Zaid bin Haritsah. Pendapat lain mengatakan : Khadijah binti Khuwailid. Ibnu
Hajar menyebutkan bahwa Khadijah adalah orangyang pertama membenarkan
pengutusan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam secara mutlak.
- Ke-'adalah-an Shahabat
Menurut Ahlus-Sunnah wal- Jama'ah, semua
shahabat itu adalah 'adil, karena Allah ta'ala telah memuji mereka dalam Al-
Qur'an; dan As-Sunnah pun juga telah memuji akhlaq dan perbuatan mereka, serta
pengorbanan mereka kepada rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam baik harta
dan jiwa mereka; hanya karena ingin mendapatkan balasan dan pahala dari Allah
ta'ala.
Adapun pertikaian yang terjadi sesudah beliau
shallallaahu 'alaihi wasallam, ada diantaranya yang terjadi karena tidak
disengaja seperti Perang Jamal. Dan ada pula yang terjadi karena ijtihad mereka
seperti Perang Shiffin. Ijtihad bisa salah, bisa pula benar. Jika salah
dimaafkan dan tetap mendapatkan pahala, dan jika benar maka akan mendapatkan
dua pahala.
Dan di antara shahabat yang banyak meriwayatkan
hadits dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam adalah Abu Hurairah,
Abdullah bin 'Umar bin Al- Khaththab, Anas bin Malik, 'Aisyah Ummul-Mukminin,
'Abdullah bin 'Abbas, Jabir bin Abdillah Al- Anshari, dan Abu Sa'id Al-Khudry
(Sa'ad bin Malik bin Sinan Al- Anshary).
Dan di antara mereka ada yang sedikit
meriwayatkan, atau tidak meriwayatkan sedikitpun. Shahabat yang paling terakhir
meninggal adalah Abu Thufail 'Amir bin Watsilah Al-Laitsi, meinggal pada tahun
11 Hijriyyah di Makkah.
3.
Seutama-utamanya sahabat
a)
Para sahabat, tabi’in dan fuqaha telah sepakat
bahwa sahabat yang paling utama secara mutlak ialah Abu Bakar ash-Shiddiq
r.a. penetapan tersebut berdasarkan petunjuk-petunjuk beberapa hadits yang
menjelaskan nama beliau, dengan sebutan “ash-Shiddiq”. Bahkan Allah sendiri pun
mengabadikan nama beliau dengan nama ash-Shiddq juga. Hal itu kita ketahui
berdasarkan jawaban Nabi atas pertanyaan salah seorang sahabat tentang pribadi
Abu Bakar r.a. jawab Nabi : “Itulah oran yang disebut oleh Allah Ta’ala dengan
nama ash-Shiddiq.”
b)
Kemudian setelah Abu Bakar r.a., sahabat yang
lebih utama ialah Amirul-Mukminin ‘Umar bin Khatthab r.a., ‘Utsman bin
‘Affan r.a. dan Ali bin Abi Thalib r.a.
c)
Kemudian sepuluh orang sahabat yang
digembirakan dengan jaminan surga, selain empat orang khulafaur rasyidin
tersebut.
d)
Para sahabat yang mengikuti Prang Badar Kubra. Mereka itu
berjumlah 313 orang.
e)
Para sahabat yang mengikuti Perang Uhud. Jumlah mereka
banyak sekali. Mereka yang gugur sebagai syuhada sebanyak 70 orang.
f)
Para sahabat yang menghadiri Bai’atur Ridwan di Hudaibiyah.[1]
Allah telah rela terhadap orang-orang mukmin yang telah mengadakan janji
prasetia yang diucapkan dibawah pohon, demi membela utusan Rasul yang ditahan
oleh orang musyrik, dalam firman-Nya, surat Fath: 18:
ôs)©9
_ÅÌu
ª!$#
Ç`tã
úüÏZÏB÷sßJø9$#
øÎ)
tRqãèÎ$t7ã
|MøtrB
Íotyf¤±9$#
“Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon…….”
Rasulullah sendiri telah menjamin mereka yang berjanji
prasetia, bebas dari siksa neraka, sabdanya: “Tidak akan masuk nerka,
seseorang dari mereka yang mengingkari janji prasetia dibawah pohon.” (HR.
Ahmad)
g) As-Sabiqunal
awwaluna. Dalam hal ini diperselisihkan oleh para ulama tentang arti
as-Sabiqunal awwalun. Sebagian ulama menafsirkannya dengan ahli baitur Ridwan.
Sebagian yang lain mengatakan mereka yang dapat mengalami salat dua kali
pergantian kiblat.sebagian yang lain mengatakan ahli Badar dan sebagian lagi
mengatakan mereka yang masuk agama Islam sebelum fathul Makah.[2]
4.
Sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
Sahabat-sahabat yang paling banyak meriwayatkan
hadist (lebih dari 1000 hadist) ialah:
1)
Abu Hurairoh, Beliau
meriwayatkan hadist sebanyak 5374 buah. Di antara jumlah tersebut, 325 buah
hadits disepakati oleh Bukhari Muslim, 93 buah diriwayatkan oleh Bukhari
sendiri dan 189 buah diriwayatkan oleh Muslim sendiri (infaradah bihi Muslim).
2)
Abdullah bin Umar r.a. Hadits yang
beliau riwayatkan sebanyak 2630 buah. Diantara jumlah tersebut yang
mutafaq’alaih sebanyak 170 buah, yang infaradah bihi Bukharii sebanyak 80 buah
dan yang infaradah bihi Muslim sebanyak 31 buah.
3)
Anas bin Malik r.a. Hadits
yang beliau riwayatkan sebanyak 2286 hadist. Diantara jumlah tersebut, yang
mutafaq’alaih sebanyak 168 buah. Yang infaradah bihi Bukhari sebanyak 8 buah
dan yang infarada bihi Musli sebanyak 70 buah.[3]
4)
Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a., Beliau
meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. sebanyak 2210 buah. Dari jumlah
tersebut 174 mutafaq’laih, 64 buah infarada bihi Bukhari, dan 68 buah infarada
Muslim.
5)
Abdullah bin Abbas r.a. Hadits-hadits yang
beliau riwayatkan sebanyak 1660 buah. Dari jumlah tersebut yang mutafaq’alah
sebanyak 95 buah, yang infarada bihi Bukhari sebanyak 28 buah dan yang infarada
bii Muslim sebanyak 49 buah.
6)
Jabir bin Abdullah r.a.
Hadits-hadits yang beliau riwayatkan sebanyak 1540 buah. Dari jumlah tersebut
yang muttafaq’alaih sebanyak 60 buah, yang infarada bihi Bukhari sebanyak 16
buah dan yang infarada bihi Muslim sebanyak 126 buah.
7)
Abu Sa’in Al-Khudri r.a.
Hadits-hadits yang beliau riwayatkan sebanyak 1170 buah. Dari jumlah tersebut
yang mutafaq’alaih sebanyak 46 buah, ayng infarada bihi bukhari sebanyak 16
buah dan yang infarada bihi Muslim sebanyak 52 buah.
b.
Tabi’iy
Menurut kebanyakan ahli hadits, seperti
Al-Hakim, Ibnu Shalah, An-Nawawy dan Al-Iraqy, yang disebut tabi’iy ialah orang-orang
yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman dan islam, dan mati dalam keadaan
iman dan islam,baik perjumpaannya itu lama maupun sebentar.
c.
Muhadlramin
Muhadlramin ialah orang-orang yang mengalami
hidup pada zaman Nabi Muhammad saw. dalam keadaan islam, tetapi tidak sempat
menemuinya dan mendengarkan hadits daripadanya. Dengan demikian, muhadlramin
itu adalah sebagian dari tabiin, bahkan menurut ibnu Hajar mereka tergolong
tabi’in besar. Seperti ‘Amru bin Maimun, Aswad bin Yazid An-Nakha’iy, Su’aid
bin Ghaflah, Suraij bin Hani’ dan lain-lainnya.
Imam Muslim mencatat jumlah muhdlramin itu
sebanyak 20 orang; Al-Iraqy mencatatnya sebanyak 42 orang dan Al-Hafidh Ibnu
Hajar dalam kitabnya Al-Ishabah menghitung lebih dari jumlah-jumlah
tersebut.[4]
d.
Al-Mawaly
Al-Mawaly ialah para rawi dan ulama yang semula
asalnya budak. Mengetahui mawaly ini juga termasuk hal yang tidak baik untuk
diabaikan. Orang yang memerdekakan budak disebut maula dan hak
perwaliannya disebut wala’.
4.
Pembagian Ilmu Rijalul Hadits
Ilmu Rijalil Hadits itu terbagi kepada dua
macam ilmu yang utama. Yaitu:
a.
Ilmu Tarikhur Ruwah dan
b.
Ilmu Jarhu wat Ta’dil.
Dari dua pokok ilmu Rijalil Hadits yang utama
itu terpancarlah menjadi beberapa ilmu yang semuanya mencabang kepadanya dengan
mempunyai ciri pembahasan yang lebih mengarah kepada hal-hal tertentu. Ilmu
cabang itu antara lain:
1)
Ilmu Thabaqatir Ruwah; Yaitu suatu
ilmu yang mengelompokan para perawi ke dalam suatu angkatan atau generasi
tertentu.
2)
Ilmu All-Mu’talif wal Mukhtalif; Yakni suatu
ilmu yang membahas tentang perserupaan bentuk tulisan dari nama asli, nama
samara dan nama keturunan para rawi, namun bunyi bacaannya berlainan.
3)
Ilmu Al-Muttafiq wal Muftariq; Yaitu suatu
ilmu yang membahas tentang perserupaan bentuk tulisan dan bunyi bacaannya, akan
tetapi berlainan personalianya
4)
Ilmu Al-Mubhamat; Ilmu yang
membahas nama-nama rawi yang tidak disebut dengan jelas.
B.
Ilmu Tawarikh Ar- Ruwah
1.
Definisi Ilmu Tarikh al-Ruwah
Di muka telah diterangkan bahwa Ilmu Tawarih ar
Ruwah itu termasuk dari ilmu Rijalil Hadits. Jika Ilmu Rijalil hadits itu
membicarakan hal ihwal dan biografi para perawi pada umumnya, maka ilmu tawarih
ar ruwah ini membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi dilahirkan, dari
siapa ia menerima hadits, siapa orang yang pernah mengambil hadits daripadanya
dan akhirnya diterangkan pula dimana dan kapan ia wafat.
Dr. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib menta’rifkan
ilmu tawarih ar ruwah itu ialah:
هو العلم الذى يعرف برواة الحديث من الناحية التى
تتعلق بروايتهم للحديث, فهويتناول بلبيان احوال الرواة وبزكر تاريخ ولادة الراوى ووفا
ته وشيوخه وتاريخ سماعه منهم, ومن روى عنه وبلا دهم ومواطنهم ورحلات الراوىوتا ريخ
قدومه الى البلدان المختلفة وسماعه من بغض الشيوخ قبل الاختلاط أوبعده وغيردلك مماله
صلة بامورالحديث.
“Ilmu untuk
mengetahui para rawy dalam hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan
hadits. Karena itu ia mencangkup keterangan tentang hal ihwal para rawy,
tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggal kapan mendengar dari
guru-gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya, kota dan kampung halamannya,
perantauannya, tanggal kunjungannya ke negeri-negeri yang berbeda-beda,
mendengarnya hadits dari sebagian guru sebelum dan sesudah ia lanjut usia, dan
lain sebagainya yang ada hubungannya dengan masalah perhaditsan”.
Secara
sederhana ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah :
هوالتقريف با لوقت الذي تضبط با لاحوال من
المواليد والوفيات والوقاءع وغيرها
“Adalah
Ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran , wafat,
peristiwa/kejadian lainnya.”
Ilmu tentang
hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggal kapan
mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya,
perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per hadits.
Atau dalam
pengertian lain Ilmu Tawarikh Ar- Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal
keadaan para perawi hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan wafat
mereka, siapa gurunya siapa muridnya atau kepada siapa mereka menyampaikan
periwayatan hadits, baik dari kalangan sahabat, tabi’ maupun tabi’ tabiin.
Tujuan Ilmu ini
adalah untuk mengetahui bersambung(muttasil) atau tidaknya sanad suatu hadits.
Maksud persaambungan sanad adalah petemuan langsung apakah perawi berita itu
bertemu langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak atau hanya
pengakuan saja. Semua itu dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttasilnya sanad
ini menjadi salah satu syarat kesahihan suatu hadits dari segi sanad Ilmu ini
berkaitan dengan perkembangan riwayat. Para ulama sangat perhatian terhadap
ilmu ini dengan tujuan mengetahui para perawi dan meneliti keadaan mereka.
Karena dari situlah mereka menimba ilmu agama. Muhammad bin Sirin pernah
mengatakan: "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari
siapa kamu mengambil agamamu" (Muqaddimah Shahih Muslim).
2.
Faedah ilmu Tawarih ar-Ruwah
Ilmu ini berkembang bersama berkembangnya ilmu
Riwayah. Perhatian para ulama dalam membahas ilmu ini didorong oleh suatu
maksud untuk mengetahui dengan sebenarnya hal ihwal para rawi hadits (rijalus
sanad). Atas motif tersebut mereka menanyakan kepada para rawi yang
bersangkutan mengenai umur dan tanggal kapan mereka menerima hadits dari
guru-guru mereka, disamping para ulama tersebut meneliti tenteng identitas para
rawi itu.
Mengetahui tanggal lahir dan wafatnya para rawi
adalah sangat penting untuk menolak pengakuan seorang rawi yang mengaku pernah
bertemu dengan seorang guru yang pernah memberikan hadits kepadanya, padahal
setelah diketahui tanggal lahir dan wafat gurunya, mungkin sekali mereka tidak
saling bertemu, disebabkan kematian gurunya mendahului daripada kelahirannya.
Jika demikian halnya, maka hadits yang mereka
riwayatkan itu sanandnya tidak bersambung. Dengan kata lain faedah mempelajari
ilmu tarikhir ruwh ialah mengetahui muttasil atau munqathinya sanad hadits
dan untuk mengetahui marfu’ atau mursalnya pemberian hadits.
Mengetahui kampung halaman rawi pun besar
faedahnya. Yaitu untuk membedakan rawi-rawi yang kebetulan sama namanya akan
tetapi berbeda marga dan kampong halamannya. Sebab sebagaimana diketahui bahwa
rawi-rawi itu banyak yang namanya bersamaan, akan tetapi tempat tinggal mereka
berbeda. Tampak faedahnya pula dalam hal ini apabila rawi yang namanya
bersamaan itu sebagiannya ada yang tsiqah, sehingga dapat diterima haditsnya,
sedang sebagian yang lain adalah tidak tsiqah yang menyebabkan harus ditolak
haditsnya.
3.
Kitab-kitab Tarikh ar-Ruwah
Jika kita mempelajari dan mengkaji kitab-kitab
tentang hal ihwal para rawi ini, kita akan menemukan beberapa kitab tarikh
dengan sistem yang berbeda-beda satu sama lain.
Sebagian Muhaditsin dan Muarrikhin (ahli
tarikh) dalam menyusun kitab tarikh ar-ruwah mengetengahkan tahun wafat para
rawi, lalu diterangkan biografinya dan akhirnya diterangkan pula jumlah
hadits-haditsnya.
Sebagian muhaditsin yang lain menyusun kitabnya
dengan mengutamakan kota tempaat kelahiran dan domisili para rawi hadits. Dalam
sistem ini penulis mengemukakan lebih dahulu tentang keutamaan kota itu beserta
para sahabat dan ulama-ulama lain yang berdomisili atau berada ditempat
tersebut, dengan diatur secara alfabetis.
Disamping itu ada ulama yang dalam menyusun
kitabnya dengan mengutamakan nama asli, samara, dan laqab para rawi beserta asal-usul orang yang menurunkan
mereka.
Dan ada pula ulama yang menuliskan berdasarkan
kepada angkatan dan generasi (thabaqah) para rawi hadits.
Kitab-kitab tarikhur ruwah yang harus diketahui
oleh penggali sunah Rasulullah antara lain:
1)
At-Tarikhul Kabir, karya imam
Muhammad bin Ismail al-Bukhary (tahun 194-252 H.). dalam kitab tersebut imam
Bukhari menerangkan biografi dari guru-gurunya yang pernah memberikan hadits
kepadanya baik dari golongan tabi’in maupun sahabat sampai kurang lebih 40.000
orang. Baik merekaa itu laki-laki maupun perempuan, baik mereka yang tsiqah
maupun yang gair tsiqah. Nama-nama rawi itu disusun secara alfabetis. akan
tetapi nama yang pertama ditaruh pada bab pendahuluan adalah nama yang
menggunakan Muhammad. Setiap nam dijadikan satu bab dan disusun secara
alfabetis atau arabiyah dengan mengutamakan nama leluhurnya. Kitab tersebut
terdiri dari 4 jilid besar-besar. Pada cetakan Haiderabad tahun 1362 H, kitab
tersebut dijadikan 8 jilid.[5]
2)
Tarikh Nisabur, karya imam
Muhammad bin Abdullah Al Hakim An Nisabury ( 321-405 H ). Kitab ini merupakan
kitab Tarikh yang terbesar dan banyak faidahnya bagi para fuqoha’. Hanya saja
kitab ini telah hilang. Ia hanya ditemukan dalam koleksi cuplikan yang terdiri
dari beberapa lembar.
3)
Tarikh Bagdad, karya Abu
Bakar Ahmad Ali Al Bagdady, yang terkenal dengan nama Al khatib Al Bagdady (
392-463 H ). Kitab yang besar faidahnya ini memuat biografi darri ulama-ulama
besar dalam segala bidang ilmu pengetahuan sebanyak 7831 orang dan disusun
secara alfabetis. Perawi-perawi yang tsiqah, lemah dan yang ditinggalkan
haditsnya dimasukkan semuanya di dalam kitab ini. Ia terdiri dari 14 jilid dan
dicetak di kairo pada tahun 1349 H ( 1931 M ).
Selain kitab-kitab tersebut di atas
masih banyak lagi kitab-kitab Tarikh Al Ruwah, antara lain Al Ikmal
firaf’il-ibtiyab ‘anil mu’talif wal mukhtalif, karya Al Amir Al Hafidz Abi
Nashr ‘Ali bin Hibatillah bin Ja’far yang terkenal dengan nama Ibnu Ma’kula Al
Bagdady. Ada juga kitab Tahdzibul Kamal fi asmair-rijal, karya Al Hafidz
Jamaludin Abil Hajjad Yusuf Al Mizay Ad-dimasyqy ( 654-742 H ).
C.
Ilmu Thabaqat al-Ruwat
1.
Pengertian
Ilmu thabaqah itu termask bagian dari ilmu
rijalul hadits, karena obyek yang dijadikan pembahasannya ialah rawi-rawi yang
menjadi sanad suatu hadits. Hanya saja masalahnya berbeda. Kalau di dalam ilmu
rijalul hadits para rawi dibicarakan secara umum tentang hal ihwal, biografi,
cara-cara menerima dan memberikan al-hadits dan lain sebagainya, maka dalam
ilmu thabaqah, menggolongkan para rawi tersebut dalam satu atau beberapa
golongn, sesuai dengan alat pengikatnya.
Thabaqat dalam istilah Muhadditsin adalah suatu
kaum yang berdekatan dalam umur dan isnad, atau dalam isnadnya saja, yang mana
syuyukh (guru) dari seseorang adalah syuyukh juga bagi yang lain atau mendekati
syuyukhnya yang lain.
Asal mula pembagian perawi berdasarkan thabaqat
adalah dari tuntunan Islam sendiri, dimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Imran bin Hushain ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baik
ummatku yang ada di zamanku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang
datang sesudah mereka…” Kata Imran radhiyallohu anhu, “Saya tidak tahu
apakah ia menyebut sesudah masanya dua masa atau tiga” (HR. Bukhari)
Ilmu ini telah muncul dan berkembang di tangan para
ulama hadits sejak abad ke-2 H. Ilmu ini tidak terbatas pada pembagian ruwaat
atas thabaqat berdasarkan perjumpaan mereka terhadap syuyukh, tapi juga
berkembang di kalangan muhadditsin kepada pembagian mereka berdasarkan makna
dan I’tibar yang lainnya seperti fadhl (keistimewaan) dan sabiqah (kesenioran)
sebagaimana dalam hal sahabat, atau hal (keadaan) dan manzilah (kedudukan)
seperti yang disebutkan oleh Abbas Ad Dauraqi (wafat 271 H), ada thabaqat
fuqaha, thabaqat ruwaat, thabaqaat mufassirin dan seterusnya.
Penyusunan kitab-kitab yang berkaitan dengan
ilmu ini terus berlanjut dan berkembang hingga akhir abad-9 H. Bahkan muncul
system pembagian thabaqat dalam bidang keilmuan yang lain. Misalnya
thabaqaat al qurra, thobaqaat al fuqahaa, thobaqaat ash shufiyah, thobaqaat asy
syu’ara dan sebagainya.
Imam As Sakhawi mengatakan, “Faidah ilmu
thabaqaat ini adalah keamanan dari bercampurnya al mutasyabihin (para rijal
hadits yang memiliki kesamaan); seperti yang sama namanya atau kuniyahnya atau
yang lain, kita dapat juga menelaah terjadinya tadlis secara jelas dan
menyingkap hakikat an’anah untuk mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’
dan membedakannya dari yang musnad…”
2.
Thabaqat Ruwaat (Rijalul Isnad)
Ada empat thabaqat yang pokok bagi
ruwaat/rijaalul (para perawi) hadits, yaitu :
1)
Thobaqah Pertama : Sahabat
Ash-Shahabah merupakan jamak dari Shahabi, dan
Shahabi secara bahasa diambil dari kata Ash- Shuhbah, dan ini digunakan atas
setiap orang yang bershahabat dengan selainnya baik sedikit maupun banyak. Dan
Ash-Shahabi menurut para ahli hadits adalah setiap muslim yang pernah melihat
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam meskipun tidak lama pershahabatannya
dengan beliau dan meskipun tidak meriwayatkan dari beliau sedikitpun. Imam
Bukhari berkata dalam Shahihnya,"Barangsiapa yang pernah menemani Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam atau melihatnya di antara kaum muslimin, maka dia
termasuk dari shahabat-shahabat beliau".
Ibnu Ash-Shalah berkata,"Telah sampai
kepada kami dari Abul- Mudlaffir As-Sam'ani Al-Marwazi, bahwasannya dia berkata
: Para ulama hadits menyebut istilah shahabat kepada setiap orang yang telah
meriwayatkan hadits atau satu kata dari beliau shallallaahu 'alaihi wasalla,
dan mereka memperluas hingga kepada orang yang pernah melihat beliau meskipun
hanya sekali, maka ia termasuk dari shahabat. Hal ini karena kemuliaan
kedudukan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, dan diberikanlah julukan shahabat
terhadap setiap orang yang pernah melihatnya".
Dan dinisbatkan kepada Imam para Tabi'in Sa'id
bin Al-Musayyib perkataan : "Dapat dianggap sebagai shahabat bagi orang
yang pernah tinggal bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam setahun
atau dua tahun, dan ikut berperang bersamanya sekali atau dua kali
peperangan". Ini yang dihikayatkan para ulama ushul- fiqh. Akan tetap
Al-'Iraqi membantahnya,"Ini toadk benar dari Ibnul-Musayyib, karena Jarir
bin Abdillah Al-Bajali termasuk dari shahabat, padahal dia masuk Islam pada
tahun 10 Hijriyah. Para ulama juga menggolongkan sebagai shahabat orang yang
belum pernah ikut perang bersama beliau, termasuk ketika Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam wafat sedangkan orang itu masih kecil dan belum
pernah duduk bersamanya".
Ibnu Hajar berkata,"Dan pendapat yang
paling benar yang aku pegang, bahwasannya shahabat adalh seorang mukmin yang
pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan mati dalam
keadaan Islam, termasuk di dalamnya adalah orang yang pernah duduk bersama
beliau baik lama atau sebentar, baik meriwayatkannya darinya atau tidak, dan
orangyang pernah melihat beliau shallallaahu 'alaihi wasallam walaupun sekali
dan belum pernah duduk dengannya, dan termasuk juga orang yang tidak melihat
beliau shallallaahu 'alaihi wasallam karena ada halangan seperti buta"
(Lihat Shahih Al-Bukhari tentang kutamaan para
shahabat, Ulumul-Hadiits oleh Ibnu Shalah halaman 263 , Al-ba'itsul-Hatsits
halaman 179 , Al-Ishabah 1 /4 , Fathul-Mughits 4 /29 . dan Tadriibur-Rawi
halaman 396).
2)
Thobaqah Kedua : At Taabi’un
3)
Thobaqah Ketiga : Atbaa’ut Taabi’in
4)
Thobaqah Keempat : Taba’ul Atbaa’
Tingkatan-tingkatan thobaqot yang ada dalam ilmu-ilmu hadis itu terbagi
atas beberapa bagian diantaranya :
1.
Thobaqot yang pertama : para shahabat (الصحابة)
2.
Thobaqot yang kedua : thobaqot kibar tabi’in (كبار التابعين),
seperti sa’id bin al-musayyib, dan begitu pula para mukhodhrom. Mukhodhrom (المخضرم) :
orang yang hidup pada zaman jahiliyyah dan islam, akan tetapi ia tidak pernah
melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman.
Misalnya : seseorang masuk islam pada zaman rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, akan tetapi ia tidak pernah bertemu rasulullah karena jauhnya jarak
atau udzur yang lain. Atau seseorang yang hidup sezaman dengan rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia belum masuk islam melainkan
setelah wafatnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3.
Thobaqot ketiga : thobaqot pertengahan dari
tabi’in (الطبقة
الوسطى من التابعين), seperti al-hasan (al-bashri, pent) dan ibnu sirin, dan mereka
adalah (berada pada) thobaqot yang meriwayatkan dari sejumlah shahabat nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4.
Thobaqot keempat : tabi’in kecil (صغار التابعين),
mereka merupakan thobaqot yang sesudah thobaqot yang sebelumnya (thobaqot ke-3,
pent). Kebanyakan riwayat mereka adalah dari kibar tabi’in (thobaqot ke-1,
pent). Rowi yang dalam thobaqot ini contohnya adalah az-zuhri dan qotadah.
5.
Thobaqot kelima : thobaqot yang paling kecil
dari tabi’in (الطبقة
الصغرى من التابعين), mereka adalah yang lebih kecil dari yang thobaqot-thobaqot
tabi’in yang sebelumnya. Dan mereka adalah termasuk tabi’in, mereka melihat
seorang atau beberapa orang shahabat. Contoh thobaqot ini adalah musa bin
‘uqbah dan al-a’masy.
6.
Thobaqot keenam : thobaqot yang sezaman dengan
thobaqot ke-5 (عاصروا
الخامسة), akan tetapi tidak tetap khobar bahwa mereka pernah bertemu
seorang shahabat seperti ibnu juraij.
7.
Thobaqot ketujuh : thobaqot kibar tabi’ut
tabi’in (كبار
أتباع التابعين), seperti malik dan ats-tsauri.
8.
Thobaqot kedelapan : thobaqot tabi’u tabi’in
pertengahan (الوسطى
من أتباع التابعين), seperti ibnu ‘uyainah dan ibnu ‘ulaiyyah.
9.
Thobaqot kesembilan : thobaqot yang paling
kecil dari tabi’ut tabi’in (الصغرى
من أتباع التابعين), seperti yazid bin harun, asy-syafi’i, abu dawud
ath-thoyalisi, dan abdurrozzaq.
10.
Thobaqot kesepuluh : thobaqot tertinggi yang
mengambil hadits dari tabi’ut taabi’in (كبار الاخذين عن تبع الاتباع)
yang mereka tidak bertemu dengan tabi’in, seperti ahmad bin hanbal.
11.
Thobaqot kesebelas : thobaqot pertengahan dari
rowi yang mengambil hadits dari tabi’ut tabi’in (الوسطى من الاخذين عن تبع الاتباع),
seperti adz-dzuhli dan al-bukhori.
12.
Thobaqot keduabelas : thobaqot yang rendah dari
rowi yang mengambil hadits dari tabi’ut tabi’in (صغار الاخذين عن تبع الاتباع),
seperti at-tirmidzi dan para imam yang enam lainnya yang tertinggal sedikit
dari wafatnya para tabi’ut tabi’in, seperti sebagian para syaikh-nya an-nasa’i.[6]
Adapun ulama yang membagi thabaqah shahabah
kepada lima thabaqah, tersusun sebagai berikut:
1.
Ahli Badar.
2.
Mereka yang masuk Islam lebih dulu, berhijrah
ke Habsyi dan menyaksian pertemuan-pertemuan sesudahnya.
3.
Mereka yang ikut perang Khandaq.
4.
Wanita-wanita yang masuk Islam, setelah mekah
terkalahka dan sesudahnya.
5.
Anak-anak.[7]
DAFTAR PUSTAKA
- Syaikh Manna’
Al-Qaththan. 2004. Pengantar Studi ilmu Hadits.Terj. Mifdhol
Abdurrahman, Lc. Jakarta : Pustaka Al-Kausar.
- Dr. H. abdul
Majid Khon, M.Ag .2008. Ulumul Hadis . Jakarta : AWZAH
- Drs. Munzier
Suparta. 2002. Ilmu Hadis . Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
- Ilmu Ar
Rijaal; Nasyatuhu wa tathawwuruh, Prof.Dr. Muhammad bin Mathar Az Zahrani
- Ushul At
Takhrij wa Dirasatul Asaaniid, DR. Mahmud Ath Thahhan
- Muqaddimah
Tahqiq Syarah Shohih Muslim lin Nawawi, pada pasal Al Isnaadu minad dien oleh
Syaikh Khalil Ma’mun Syiha
- http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/ilmu-rijaalul-hadiits/
[1] Baitu’r-Ridwan ialah suatu bai’ah yang
diikrarkan oleh para sahabat bersama Nabi, di Hudaibiyah, dikala Nabi
bersama-sama beberapa sahabat hendak melakukan ‘Umrah dan meninjau keluarga
beliau di Mekah. Serenta sudah lama, Nabi bersama-sama sahabat menunggu
kedatangan ‘Utsman yang diutus menyampaikan maksud Nabi dan rombongannya kepada
orang-orang musyrik Quraisy, tidak kunjung tiba, dan bahkan terdengar kabar
bahwa ‘Utsman telah dibunuh mereka, maka para sahabat berikrar dihadapan
Nabi,berjanji akan memerangi kaum musyrikin, sampai mencapai kemenangan. Bai’ah
ini menggetarkan kaum musyrik, akbatnya ‘Utsman yang sedang ditahan, mereka
lepaskan dan mengusulkan diadakan perdamaian. Kemudian tercipta suatu
perdamaian yang disebut dengan “shulh Hudaibiyah”.
[2]
At-Taqrib, an-Nawawwy: hlm. 35
[3]
Dalilul Falihin, ibnu ‘Allan, juz I, hlm. 73.
[4]
At-Taqrib, an-Nawawy 35; Manhaj: 230
[5]
As-Sunah qablat tadwin, Muh. ‘Ajjaj al-Khathib, halaman 266.
[6]
al-Maktabah asy-Syamilah v.2
[7]
Manhaj Dzawi’n Nadhar. At-Turmusy. Hlm. 221; Ulumul Hadits, Prof.Tm. hasbi
Ash-Shiddieqy.
Assalamu'alaikum pak, izin copysebahagian artikelnya, jazakhallah khair
BalasHapus