Selasa, 30 Oktober 2012

Tanda-Tanda Datangnya Kematian

Tanda-Tanda Datangnya Kematian


Datangnya ajal atau kematian, hanya Tuhanlah yang tahu. Dan jika ajal sudah tiba, tidak akan bisa ditunda. Dan manusia tidak bisa menghindar dari kematian. Demikian pula kelahiran, hanya Tuhan yang bisa menentukan waktunya. Manusia hanya bisa berusaha, ketentuan ada pada Tuhan. Meskipun ketentuan ada pada Tuhan, manusia tetap harus berusaha, sekuat tenaga. Jika ternyata mentok, barulah itu namanya ketentuan Tuhan.

Dokter sering memperkirakan sisa umur pasien yang dirawatnya. Misalnya diperkirakan hanya tinggal dua tahun, satu tahun, atau bahkan tinggal satu bulan. Perkiraan itu berdasar pada diagnosa penyakit pasiennya, kondisi tubuhnya dan hal-hal lain yang bisa diterima secara ilmiah. Meskipun begitu, dokter tidak bisa menentukan dengan pasti kapan hari H dan jamnya. Itupun masih ada kemungkinan meleset.

Demikian pula saat bayi lahir, yang perhitungannya ilmiah, juga tidak bisa dengan pasti menentukan kapan hari H dan jamnya. Hanya kira-kira kurang seminggu, kurang lima hari dan sebagainya.

Tidak ketinggalan ada pula perkiraan kapan datangnya ajal berdasarkan tanda-tanda yang tercantum dalam primbon. Tanda-tanda tersebut hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan. Tetapi primbon juga tidak berani menentukan hari H dan jamnya. Tidak berani mendahului ketentuan Yang Maha Esa. Hanya berani memperkiraan kurang berapa tahun, bulan atau hari. Seperti misalnya yang terdapat dalam primbon Betaljemur Adammakna.

Seseorang yang sering merasa capai menjalani kehidupan, atau bosan melihat keadaan dunia, dan sering mimpi bepergian ke utara, merupakan tanda ajalnya kurang 3 tahun.

Jika merasa rindu pada orang yang sudah meninggal, dan sering mimpi membangun rumah, itu tanda ajalnya kurang 2 tahun. Kalau sering melihat hal-hal yang tidak kelihatan, itu jadi tanda kalau ajalnya kurang 1 tahun.

Apabila sering mendengar suara yang tidak pernah terdengar seperti misalnya mendengar bisik-bisik jin dan setan, kemudian mendengar binatang berbicara, itu tanda umurnya tinggal 6 bulan lagi.

Sedang kalau sering mencium bau mahluk halus, yang baunya seperti menyan dibakar, tanda hidupnya hanya tinggal 3 bulan. Atau sering melihat sesuatu berbeda dengan aslinya. Misalnya melihat air, sepertinya warnanya merah, api berwarna hitam, itu pertanda hidupnya hanya tinggal 2 bulan.

Kalau melihat pergelangan tangan sendiri putus, tanda ajalnya kurang 1 bulan. Kalau melihat wajahnya sendiri, umurnya hanya tinggal setengah bulan.

Tanda-tanda berikutnya meskipun tidak secara ilmiah, tetapi bisa diterima dengan akal.

Yaitu kalau sudah tidak perduli pada keadaan sekitar, tidak mau makan dan tidak mau tidur, hanya tinggal kurang beberapa hari lagi. Kalau sudah tidak bisa apa-apa kemudian mengeluarkan tinja tahun dan tinja kalong, atau cacing kalung, itu tanda hidupnya tinggal 3 hari.

Kalau semua lubang dalam tubuhnya merasa mengeluarkan angin dan kadang ada rasa kasihan pada diri sendiri, tandanya sisa hidupnya tinggal 2 hari.

Sedang kalau semua urat pada pergelengan kaki terasa kendor, dan sekujur tubuh mengeluarkan keringat sampai basah kuyup, seperti kecapaian, tanda hidupnya hanya tinggal 1 hari.

Kalau saat kulitnya diraba tidak lagi terasa gemerisik, dan denyut nadi di tangan sudah tidak ada, telinga sudah tidak berbunyi, itu tandanya sudah saatnya meninggal dunia.

Kalau Jodoh Tak Kunjung Datang

Kalau Jodoh Tak Kunjung Datang


Lebaran Haji akan datang, artinya akan banyak undangan kawinan. Siap-siap untuk menjawab pertanyaan, kapan jodohku datang? Lebih baik jangan ke kondangan, daripada kebingungan.”
Kata-kata itu adalah status dari seorang teman di facebook saya. Mungkin itu curhatnya, tapi ide untuk mengeluarkan dalam bahasa yang kocak benar-benar bisa membuat tersenyum.
Tak perlu merisaukan kapan si jodoh ditemukan. Sama seperti rezeki, mati dan hidup seseorang, jodoh juga tak bisa diperkirakan kapan datangnya. Kalau malah risau, atau pusing terus mengenai jodoh dan akhirnya membuat pekerjaan lain terbengkalai lebih baik tak usah dipikirkan.
Kalau memang benar-benar ingin segera berjodoh, jangan memandang ‘keluar’ tapi lebih baik perbaiki diri sendiri. Coba pelajari kekurangan diri, siapa tahu masih bisa diperbaiki. Memang benar, kalau jodoh yang baik itu akan menerima kita apa adanya. Tapi apa salahnya memperbaiki kekurangan kita?

Ada beberapa yang bisa dilakukan setidaknya agar si jodoh cepat datang.

Ubah kebiasaan jelek!
Mengupil, buang angin, tertawa nyaring, menggigit kuku adalah hal-hal yang paling bikin illfeel kalau melihat seseorang melakukannya di depan kita. Karena itu, biasakanlah selalu membersihkan wajah (termasuk hidung). Kalau seorang muslim/ah, akan lebih baik dilakukan setiap kali sebelum berwudhu.
Untuk hal-hal lain seperti tertawa bisa dilatih saat bercermin, agar menampilkan tawa yang santun tapi tetap tulus dan tidak terkesan dibuat-buat. Atau perhatikanlah teman-teman lain di sekitar kita yang tertawanya kelihatan enak dilihat, agar bisa mencontohnya.
Pelajarilah hal-hal mendasar seperti cara makan dan bicara. Cara makan tak perlu harus menguasai tatakrama makan secara keseluruhan, tapi setidaknya memahami batas-batas kesopanan, terutama bagi seorang wanita. Jangan sampai cara makan anda membuat orang yang melihatnya merasa jijik.
Hal-hal lain, pasti bisa menilainya sendiri. Berusahalah untuk memperbaikinya agar menambah point penilaian diri.
Perbanyaklah pengetahuan!
Sekolah tinggi dan bergelar macam-macam tak menjamin pengetahuan seseorang menjadi luas. Satu-satunya cara adalah membaca buku. Belilah buku-buku dari bermacam kategori, atau bisa juga sesekali sebuah majalah atau koran.
Ini karena saya pernah bertanya pada teman-teman cowok, jika ingin menikahi seorang wanita pilih yang cantik atau yang smart. Pilihan lebih banyak tentu yang smart, meskipun mereka lebih memimpikan yang cantik dan smart sekaligus :).
Jangan segan membaca hal-hal seperti sepakbola atau bola basket! Setidaknya harus tahu berapa jumlah pemain bola dalam satu tim, supaya ada bahan untuk dibicarakan dengan lawan jenis yang mungkin seorang penggila bola. Sangat tidak menyenangkan berbicara dengan seseorang yang kelihatan cantik dan manis, tapi kosong melompong.
Oh ya, juga tak ada salah sesekali membeli buku humor agar belajar cara melempar humor (tapi jangan yang suka meledek ya)  karena orang dengan selera humor yang tinggi selalu bisa diterima di lingkungan manapun. Siapapun orangnya pasti memiliki sisi humoris yang tersembunyi, jadi kembangkanlah pengetahuan itu dalam diri sendiri.
Silaturahim, silaturahim, silaturahim!
Menolak hadir dalam kondangan, jelas bukan solusi terbaik. Malah akan mencegah kita dari kesempatan untuk bertemu banyak orang. Tidak mau menemani Mama atau Papa, karena menganggap acara mereka adalah acara orangtua juga prasangka yang salah.
Kalau kejadiannya seperti teman di atas, cobalah mengganti cara untuk menghadapinya. Ketika mereka bertanya kapan jodoh kita datang? Maka pancinglah lagi dengan meminta mereka untuk mencarikan teman yang mungkin bisa diperkenalkan. Begitu pula kalau orangtua yang bertanya, minta mereka memperkenalkan anak atau keponakan mereka yang mungkin cocok. Bukankah itu membuka kesempatan lebih besar? Lagipula menemukan jodoh yang orangtuanya telah berteman baik dengan orangtua kita sendiri akan lebih mudah dalam urusan berikutnya. Jangan merasa tersinggung ketika seseorang bertanya tentang jodoh, justru jadikanlah itu sebagai salah satu bentuk perhatian dari mereka.
Sesekali kunjungi teman-teman lama, baik perempuan maupun laki-laki. Mungkin saja ada saudara atau teman-teman mereka yang lain. Siapa tahu ada salah satunya yang menjadi calon pasangan di masa depan.
Perbaikilah penampilan
Walaupun sedikit, berusahalah berpenampilan lebih baik. Tak perlu harus mengorbankan banyak uang, atau mengubah penampilan dalam keseharian karena yang terpenting tetaplah kepribadian seseorang. Tampil dengan sopan, bersih dan tidak berantakan adalah syarat utama dalam pergaulan sosial.
Terakhir, tentu saja berdoa…
Dekatkanlah diri pada Allah, Sang Maha Pemberi, Pengatur Jodoh. Perbanyaklah ibadah, selain membuat akan lebih tenang, lebih sabar dan lebih rendah hati, ibadah juga akan membantu mempercepat jodoh yang datang. Ibadah juga bukan hanya tentang diri sendiri, namun juga belajar berbagi dengan sesama manusia.
Sekarang, kalau memang jodoh tetap tak juga datang meskipun sudah melakukan semua hal tersebut. Jangan panik atau takut! Mungkin inilah yang terbaik untuk saat ini, mungkin Allah sedang mempersiapkan hal yang lebih baik. Terkadang rencana Allah lebih indah daripada perkiraan manusia. Datang sedikit terlambat, tapi insya Allah lebih membahagiakan. Yang penting sabar, dan tetap mengisi hari-hari dengan melakukan hal-hal yang baik karena sesuai janji-Nya, bahwa pria-pria yang baik untuk wanita-wanita yang baik, demikianlah sebaliknya.

3 Hal

3 Hal

Ada 3 hal dalam hidup yang tidak akan kembali :
1. Waktu
2. Kata-kata
3. Kesempatan.

Ada 3 hal yang dapat menghancurkan hidup seseorang :
1. Kemarahan
2. Keangkuhan
3. Dendam.


Ada 3 hal yang tidak boleh hilang :
1. Harapan
2. Keikhlasan
3. Kejujuran.

Ada 3 hal yang paling berharga :
1. Kasih Sayang
2. Cinta
3. Kebaikan.

Ada 3 hal dalam hidup yang tidak pernah pasti :
1. Kekayaan
2. Kejayaan
3. Mimpi.

Ada 3 hal yang membentuk watak seseorang :
1. Komitmen
2. Ketulusan
3. Kerja keras.

Ada 3 hal yang membuat kita sukses :
1. Tekad
2. Kemahuan
3. Fokus.

Ada 3 hal yang tidak pernah kita tahu :
1. Rezeki
2. Umur
3. Jodoh.

Tapi, ada 3 hal dalam hidup yang pasti, yaitu :
1. Tua
2. Sakit
3. Kematian.

Dari Mana Harus Memulai Perubahan?

Dari Mana Harus Memulai Perubahan?

Perubahan : Hanya wacana?
Fakultas Ushuluddin menjadi jantungnya UIN, demikian salah satu semangat perubahan yang didengungkan oleh Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Rosihon Anwar M.ag dalam beberapa kesempatan. Semangat perubahan ini sangat beralasan karena ushuluddin memiliki jurusan yang focus pada sumber utama umat Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist. Sebuah jurusan yang seharusnya menjadi referensi atau pijakan utama bagi jurusan-jurusan yang lain. Hal ini, karena setiap penjelasan dalam berbagai disiplin ilmu selalu mengait-ngaitkan dengan ayat-ayat al-Qur’an atau Hadis. Sedangkan jurusan yang benar-benar mengupas al-Qur’an dan Hadis mulai cara baca tekstualnya sampai pada teori-teori memahami bahkan teori mengungkap makna batin al-Qur’an dan Hadist hanya jurusan Tafsir Hadis.
Namun, untuk mewujudkan cita-cita ideal ini membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Sangat tidak tepat jika harapan ini hanya ditumpukan pada Dekanat, sang pemegang kebijakan. Demikian juga tidak akan berhasil secara optimal jika hanya dibebankan pada mahasiswa dan dosen sebagai pelaksana proses pembelajaran. Sebuah perubahan pasti membutuhkan proses yang tidak cepat dan tidak mudah. Masing-masing pihak harus mau melibatkan diri secara aktif dan tanpa pamrih.
Ibda’ bi Nafsik
Salah satu cara untuk mengawali perubahan adalah memulai dari diri sendiri (ibda’ bi nafsik). Ungkapan sederhana ini memiliki dampak yang luas. Masing-masing individu dalam masing lembaga atau ketiga pihak tadi harus memulai berubah. Pihak pimpinan, misalnya, memulai introspeksi diri, kemajuan-kemajuan apa yang pernah dialami di Ushuluddin dan kegagalan dalam bidang apa yang pernah terjadi. Dengan demikian, kemajuan-kemajuan masa lalu dapat dibangkitkan kembali dengan sedikit modifikasi sesuai kebutuhan saat ini dan kegagalan masa lalu diupayakan tidak terulang lagi. Pembacaan sejarah masa lalu seperti ini dapat dijadikan pijakan untuk kemajuan masa depan. Karena setiap periode pasti ditemukan kemajuan dan kegagalan dalama bidang-bidang tertentu. Menatap masa depan tidak mungkin menghapus jasa-jasa tokoh masa sebelumnya.
Pihak pengajar diharapkan juga mulai merenung kembali keberhasilan apa saja yang telah terwujud dalam proses belajar mengajar. Apakah sudah bisa memenuhi target utama yang telah direncanakan. Jika sudah, maka dapat dirumuskan cara pencapaiannya sehingga dapat dipertahankan dan kemudian ditingkatkan. Jika belum memenuhi target, apa saja kendalanya, sehingga dapat dimusyawarahkan solusi terbaiknya. Namun, peningkatan proses pembelajaran harus dilihat dari peningkatan atau kemajuan dari masa ke masa masing-masing individu, bukan dengan cara membanding-bandingkan satu dosen dengan dosen yang lain. Oleh karena itu sangat tidak tepat jika mengukur peningkatan perubahan seseorang dengan parameter perubahan yang dilakukan oleh orang lain. Karena masing-masing individu memiliki potensi sekaligus kelemahan yang berbeda-beda dalam bidang yang berbeda-beda pula.
Demikian juga, pihak mahasiswa harus ada niat untuk merubah diri sendiri menjadi lebih baik. Semangat memburu ilmu pengetahuan harus terus berkobar di mana saja dan kapan saja. Ilmu Allah Maha Luas dan Dia akan memberikan setetes ilmuNya pada hamba pilihanNya. Seorang hamba yang memang menurutNya layak untuk memperoleh ilmu dan hikmaNya. Oleh karena itu, perolehan ilmu jangan hanya terbatas pada pembelajaran di kelas yang hanya beberapa menit dengan beban beberapa silabus yang harus terselesaikan. Jika paradigma ini yang terbangun oleh mahasiswa, kelas adalah gudang segala ilmu dan dosen adalah ilmu itu sendiri, maka dia akan selalu mengalahkan pihak lain setiap kali merasakan kegagalan dalam proses belajarnya.
Disinilah hebatnya pesan “Ibda’ bi nafsik” merubah kebiasaan orang lain adalah sulit, tetapi lebih sulit merubah diri sendiri. Karena kesadaran untuk merubah diri sendiri berarti sadar pula bahwa dalam dirinya ada kekurangan atau ketidaksempurnaan yang mungkin tidak seorangpun mengetahuinya. Masing-masing individu, jika mau merenung, pasti menemukan titik-titik kelemahannya di balik kehebatan yang dimilikinya dan jika ada niat baik untuk berubah, pasti menemukan solusi untuk memperbaiki kelemahan.
Selamat menciptakan perubahan dalam diri sendiri. Semoga kita menjadi lebih bertanggungjawab atas segala amanah agar menjadi lebih baik dihadapan sang Kholiq dan lebih banyak memberi kemanfaatan kepada sesama makhluq. Keikhlasan kita kepada sesama makhluk,sampai kapanpun tidak akan sebanding dengan keikhlasan sang Kholik kepada makhlukNya.

Zaenal Mutaqin
MahasiswaTafsir HadisUIN SGD BDG

Metamorft TH V


Metamorf TH V
Reformasi Budaya dan Paradigma Akademis Sebagai Kausais dalam Mewujudkan Mahasiswa Ideal
Ciwidey 28-30 September 2012

Homoseksual, Gay dan Lesbian dalam Perspektif al-Qur'an

Homoseksual, Gay dan Lesbian dalam Perspektif al-Qur'an

Oleh: Zaenal Mutaqin*
Pendahuluan
Orientasi seks menyimpang yang terjadi akhir-akhir ini menyedot perhatian masyarakat. Bermacam kasus bermunculan disebabkan karena perilaku seks yang menyimpang dan dampaknya. Misalnya kasus  pembunuhan yang menjerat seorang laki-laki dari jombang jawa timur, Ryan, beberapa waktu lalu yang terang-terangan tanpa malu menyatakan bahwa dirinya adalah seorang homoseks. Penyimpangan seksual yang kian marak di masyarakat adalah fenomena sosial yang tidak hanya berdampak buruk terhadap anak-anak dan para remaja yang sedang menginjak usia pubertas, tetapi juga bagi orang dewasa. Gaya hidup dan seks bebas menjadi salah satu alasan mengapa tingkat penyimpangan seks di masyarakat kian bertambah.

Pengertian Homoseks
Dalam kamus Bahasa Indonesia homoseks adalah hubungan seks dengan pasangan sejenis, homoseksual adalah keadaan tertarik kepada orang dari jenis kelamin yang sama. Istilah lain yang digunakan untuk mengartikan perilaku homoseks adalah sodomi,yang dalam istilah kedokteran berarti hubungan seks melalui anus, yakni hubungan seks yang  dilakukan orang-orang yang homoseks, gay dan waria.
Homoseksual dalam Al-Qur’an
Perbuatan  homoseksual dan akibatnya disebutkan  dalam al-Qur’an diantara kisah-kisah umat nabi-nabi yang durhaka dan dijatuhi hukuman oleh Allah, yaitu kisah  umat nabi Luth. Informasi al-Qur’an tentang homoseks, liwath atau sodomi dalam Islam diungkap dalam al-Qur’an
Artinya: “Dan (Kami juga Telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia Berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?"(80). “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, kamu  adalah kaum yang melampaui batas”. (81). (QS al-‘Araf [7] 80).
Ayat ini menegur kaum nabi Luth yang melakukan tindakan yang sangat buruk yang perlu diluruskan yaitu melampiaskan nafsu syahwat kepada sesama jenis,  sehingga perbuatan tersebut disifati sebagai al-fahisyah. perbuatan mana tidak pernah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya, karena perbuatan itu melanggar fitrah manusia dan tujuan penciptaannya, yaitu memiliki kecendrungan kepada lawan jenisnya untuk memelihara kesinambungan jenis manusia di dunia. Dalam QS al-Syu’ara [26]166: disebutkan bahwa mereka telah meninggalkan wanita pasangannya yang secara naluriah seharusnya kepada merekalah laki-laki menyalurkan naluri seksualnya ( QS. al-Baqarah [2] 223).
Kalau hubungan antara dua jenis selain dilandasi oleh kenikmatan jasmani juga kenikmatan rohani dan tanggung jawab memelihara keturunan sebagai hasil dari hubungan tersebut, Orang yang melakukan homoseksual hanya merasakan kenikmatan jasmani, lepas dari tanggung jawab sebagai akibat dari perbuatannya. Oleh sebab itu, potongan ayat berikutnya menyebutkan orang-orang yang melakukan homoseksual sebagai orang-orang yang melampaui batas, yaitu melampaui batas fitrah manusia, karena hubungan seks yang merupakan fitrah manusia hanyalah kepada lawan jenisnya.
Penyimpangan perilaku seksual dari para laki-laki kepada laki-laki, menurut Hamka dalam tafsirnya menyebabkan perempuan tidak diberi kepuasaan setubuh oleh laki-laki, maka penyakit semacam ini berjangkit pula di kalangan sesama perempuan. Dari sini muncullah istilah lesbian. Dengan demikian kaum Luth saat itu telah memberikan contoh terburuk untuk semua manusia sepanjang zaman. Di era modern ini penyimpangan seksual semakin marak, bahkan dengan dalih Hak Asasi Manusia sehingga banyak orang yang kemudian mencoba melegalkan perilaku ini sebagai  pilihan atas dasar hak asasi manusia. Namun Islam tidak membenarkannya baik secara fitrah maupun sunnatullah. Karena manusia secara fitrah diciptakan berpasang-pasangan,(QS. Adz-Dzariat [51]: 49) bukan mahluk  yang berjenis kelamin sama.
Menurut pakar Andrologi dan seksologi, Wimpie Pangkahila, seseorang berpotensi menjadi homoseks karena beberapa faktor, diantaranya gangguan psikoseksual pada masa kecil, faktor biologis (kelainan otak dan genetik), faktor sosio kultural dan faktor lingkungan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan homoseks terbentuk karena faktor biologis merupakan pendapat yang masih kontroversi. Psikolog Dadang Hawari bahkan mengatakan bahwa faktor utama penyebab homoseksualitas adalah lingkungan. Keberadaan faktor-faktor di atas yang membuat seseorang bisa melakukan penyimpangan seks, tidak serta merta membenarkan perbuatan homoseksual itu sendiri, atau mengatakan bahwa menjadi gay atau lesbi adalah kodrat atau takdir, atau melegalkannya atas nama hak asasi manusia. Karena manusia adalah mahluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya. Dengan akalnya seharusnya manusia dapat mengendalikan dorongan-dorongan hasratnya, mengatasi tuntutan-tuntutan biologisnya sesuai dengan tuntunan agama, bukan dengan perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah swt. Allah telah menurunkan kitab suci yang telah menjelaskan hukum-hukumnya secara jelas, tentang perbuatan baik dan buruk tentang pahala dan dosa yang akan dimintakan pertanggung jawabannya kelak di akhirat.
 Tindakan homoseks tentu lahir dari gejolak dan dorongan yang bersifat instingtif atau gharizah. Gejolak ini timbul karena ada rangsangan. Untuk itu cara mencegah aktivitas seks  menyimpang tersebut adalah dengan menjauhi dan menghilangkan rangsangan-rangsangan terkait dengannya. Dalam masalah ini Rasulullah bersabda:”Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki ,jangan pula perempuan melihat aurat perempuan. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan seorang laki-laki dalam satu selimut, begitu juga perempuan jangan tidur  dengan perempuan lainnya  dalam satu selimut”. (HR Muslim).  Laki-laki yang melihat aurat laki-laki atau perempuan melihat aurat sesama perempuan bisa terangsang. Ini adalah bibit dari penyimpangan seksual, apalagi kalau tidur dalam satu selimut. Islam sangat menjaga hal ini terbukti dengan perintah memisahkan kamar tidur anak,s baik dengan orang tua maupun dengan saudara kandungnya yang perempuan sejak anak berumur tujuh tahun atau sebelum baligh. Islam juga melarang penampilan laki-laki yang meniru perempuan dan perempuan yang meniru laki-laki (HR. Bukhari).Rasulullah juga menganjurkan berpuasa bagi orang yang  menghadapi rangsangan seksual tapi  belum mampu berumah tangga.
Cara lain mencegah penyimpangan seksual adalah dengan melarang dan menghentikan pornografi dan pornoaksi baik di TV maupun dunia maya apalagi terkait dengan film-film yang memamerkan dan mempromosikan penyimpangan seksual. Sesuai perintah Allah swt. yang melarang penyebaran al-fahisyah dikalangan orang mukmin, Allah berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak Mengetahui. (QS. An-Nur [24] 19).
Perbuatan homoseksual dianggap lebih keji dari perbuatan binatang, karena binatang tidak melakukan penyimpangan seks dengan sesama jenis. Manusia yang  diciptakan sebagai mahluk termulia dimuka bumi ini (QS al-Isra’[17]70), menghinakan diri dengan perbuatannya sendiri sehingga Allah menghinakan mereka. Firman Allah swt.
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (4 “Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) (5).(QS. At-Tin [95] 4-5).
Kaum Luth yang melakukan penyimpangan seksual dihukum Allah swt. sebagaimana QS. Al-‘Araf [7] 84:
Artinya:“Dan kami turunkan kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu
Untuk menghindari semakin maraknya penyimpangan seksual di masyarakat karena dampaknya yang berbahaya seperti merebaknya penyakit HIV dan Aids, maka pemerintah dihimbau untuk memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang menyebar luaskan penyimpangan seksual secara kasat mata tanpa memperhatikan etika dan moral, Sejalan dengan perintah Allah swt. dalam QS. An-Nisaa [4] 16:
Artinya: “Dan terhadap dua orang (laki-laki) yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Permasalahan penyimpangan seksual harus ditangani secara terpadu, baik oleh pemerintah,spsykolog ,pemuka agama dan pendidik. Sebab bila tidak, Allah akan menimpakan hukumannya kepada kita semua. Disisi lain  apabila perbuatan kaum Nabi Luth itu tumbuh subur tentu akan mengganggu regenerasi kehidupan, karena fitrah alami seksualitas manusia lawan jenis adalah untuk perkembangbiakkan manusia selanjutnya.
*Penulis Adalah Mahasiswa Jurusan TH FU, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Selamat atas terbitnya Buletin Tahdits

Selamat atas terbitnya Buletin Tahdits





 Buletin Tahdits (Tersurat dalam Risalah Tertuang dalam Fikrah)
Selamat atas terbitnya Buletin ini....
Edisi Pertama berisi tentang wacana, Puisi, Motivasi dan Tips.
Semoga menambah wacana dan wawasan. Selain itu juga bisa menjadi media buat sahabat/i Mahasiswa Tafsir Hadits khususnya untuk mengembangkan kreatifitas dan mencapai aspirasinya. Selamat sekali lagi, maju terus pantang mundur. Semoga bermanfaat. Hidup Tafsir Hadits!!!

Problem Seputar Kemungkinan Kerterbalikan Sanad; Kajian tentang Riwayat al-Akâbir ‘an al-Ashâghir

Problem Seputar Kemungkinan Kerterbalikan Sanad; Kajian tentang Riwayat al-Akâbir ‘an al-Ashâghir

Oleh: Zaenal Mutaqin[1]

Pendahuluan
Otentisitas merupakan salah satu persoalan pokok dalam ilmu hadis. Para pakar ilmu ini memberikan lima ukuran dasar untuk menilai keaslian suatu hadis: [1] ‘adalah [ketaat-asasan dalam beragama], [2] dhabth [kekuatan hafalan rawi], [3] ittishal al-sanad [ketersambungan mata rantai sanad], [4] adam al-syudzudz [tidak ada kejanggalan akibat berlawanan dengan riwayat lain], dan [5] ‘adam al-‘ilal [ketiadaan cacat].[2]
 
Masing-masing ukuran dasar di atas memiliki mekanisme tersendiri dalam penggunaannya. Semisal, untuk mengetahui sisi ‘adalah seorang rawi dapat merujuk kepada komentar pakar jarh wa ta’dil, yang pada umumnya didasarkan pada kesaksian tokoh yang semasa, tokoh yang lebih yunior, atau seorang pakar yang bergelut dengan problem ketaat-asasan para rawi. Sedangkan untuk mengetahui kualitas hafalan seorang rawi [dhabth al-râwi], selain menggunakan kesaksian, dapat juga ditambahkan model perbandingan riwayat seperti i’tibar, muqâranah, atau yang sejenisnya.
Syarat keempat dan kelima, lebih banyak menitikberatkan pada penggunaan perbandingan riwayat untuk menilai apakah terdapat syâdz dan ‘illat dalam suatu riwayat. Sedangkan untuk menilai terpenuhi-tidaknya syarat ketiga terkait ketersambungan sanad [ittishal al-sanad], dapat digunakan metode perbandingan riwayat, data-data hubungan guru-murid para rawi yang terdapat dalam buku-buku biografi rawi [tarâjum], dan analisa tahun kelahiran-kematian rawi [târîkh mawâlid, al-wafayât].
Secara umum, ketidaklengkapan lima ukuran dasar di atas berimplikasi pada kualitas kesahihan, di samping pengkategorisasian pada jenis hadis lemah tertentu sesuai unsur yang kurang dalam suatu hadis. Masing-masing kriteria di atas mempunyai problematikanya sendiri-sendiri. Dalam makalah ini, permasalahan akan dibatasi pada problem ittishal al-sanad terutama terkait dengan kemungkinan adanya keterbalikan susunan sanad [musykilah haula imkaniyyah tawahhum fi inqilab al-sanad]. Pemakalah akan mengangkat tiga tema tentang al-mutaqaddim wa al-muta’akhhir, riwayat al-akâbir ‘an al-ashâghir dan riwâyat al-âbâ’ ‘an al-abnâ’. Di mana ketiganya merupakan kajian yang secara khusus membahas tentang model periwayatan yang ‘tidak wajar’ dan terkesan ‘mengalami keterbalikan’. Pembahasan dilanjutkan dengan metode pengungkapan dan pembuktian ketiadaan keterbalikan sanad.   

Keterbalikan: Suatu Masalah [?]
Keterbalikan sanad memang menjadi masalah dalam sebagian kasus. Seperti sedikit disinggung di atas, keterbalikan dapat berakibat pada penurunan kualitas sanad. Keterbalikan yang dalam istilah ilmu hadis disebut al-qalb[3] dan hadisnya disebut al-maqlub mempunyai dua pola; disengaja dan tidak disengaja. Pertama, jika suatu sanad mengalami keterbalikan [tanpa sengaja] yang berasal dari seorang rawi di bawah rawi-rawi yang mengalami keterbalikan, maka hal tersebut menunjukkan kelemahan hafalan sang rawi [1]. Konsekuensinya, hadis menjadi lemah akibat kelemahan hafalan rawi.
Kedua, bila terjadi pembalikan sanad secara sengaja, maka dilakukan dua pemilahan, melihat motif pembalikan. Jika pembalikan dilakukan dengan tujuan untuk menguji hafalan, dan sanad dikembalikan seperti semula sesuai aslinya setelah ujian selesai, maka yang demikian tidak menjadi soal seperti yang dilakukan pada al-Humaidi dan al-Bukhari [2]. Berbeda jika pembalikan yang disengaja bertujuan memperoleh popularitas tertentu atau tujuan lain yang tidak dibenarkan, maka hadis dapat menjadi maqlub yang tergolong hadis lemah, bahkan maudhu’ atau palsu [3]. Di sinilah problem terkait dengan keterbalikan dalam sanad berada. Di mana keterbalikan dapat berimplikasi pada kesahahihan hadis.
Namun, di sini tidak akan dibicarakan tentang keterbalikan atau pembalikan sanad. Pembicaraan diarahkan pada sanad yang dikesankan mengalami keterbalikan, yang sejatinya tidak ada keterbalikan sama sekali. Seperti dalam konteks periwayatan rawi senior dari rawi junior. Model riwayatan semacam ini menimbulkan kesan telah terjadi keterbalikan sanad karena melihat keumuman periwayatan hadis, di mana kebanyakan seorang junior mendapatkan hadis dari seniornya. Bukanlah sesuatu yang lumrah, wajar, jika seorang jauh lebih tua dari segi umur mendapatkan hadis dari orang yang sangat muda. Tidak lumrah pula jika seorang yang terkenal kealimannya, ternyata mempunyai guru yang tidak sealim muridnya. Sebagaimana tidak lazim seorang bapak mendapatkan hadis dari anaknya. Dualisme semacam inilah yang memunculkan kesan adanya keterbalikan. Dualisme antara yang senior dan junior. Di sinilah senioritas menjadi problem.         

Senioritas: [Bukan] Problem ittishal al-sanad
Salah satu persoalan yang dihadapi untuk mengetahui ketersambungan sanad adalah senioritas. Dalam beberapa kasus, yang memunculkan anggapan keterbalikan. Senioritas dapat berarti ketinggian dalam umur, kapasitas intelektual, keberislaman, atau kualitas-kualitas tertentu lainnya. Senioritas mengandaikan keunggulan di atas ‘yang junior’. Sekalipun dikotomi senior-junior merupakan gejala umum yang lazim dikenal dalam hubungan sosial, keilmuan, politik dan lain sebagainya, namun dalam beberapa hal dikotomi ini menjadi masalah. Karena adanya anggapan yang berat sebelah. Bahkan, cenderung diskriminatif. Dan terkadang berujung pada pensikapan yang tidak benar.   
Dalam tradisi ulama hadis, dikenal pula problem senioritas ini. Di mana sebagian orang telah mencapai taraf akademik tertentu, popularitas yang tinggi di mata masyarakat, dan di sisi lain dia mempunyai guru yang lebih rendah kapasitas keilmuan, usia atau lainnya, maka sang guru tidak mendapatkan haknya untuk menerima ‘penghormatan’, penilaian yang layak, dan pengakuan yang semestinya. Lebih memprihatinkan lagi, posisinya sebagai guru dicurigai, dan dinilai telah terjadi keterbalikan dalam rangkaian mata rantai keilmuan. Padahal, keterbalikan dalam menyusun rangkaian sanad [inqilâb] atau pembalikan [qalb] dapat berakibat fatal pada kualitas hadis.[4]
Sejatinya, ‘keterbalikan’ periwayatan dapat ditemui sejak masa Nabi. Seperti diriwayatkan secara lengkap oleh al-Imam Ahmad, dan al-Imam Muslim dalam bentuk potongan, Nabi mendapatkan riwayat dari Tamim al-Dari. Umumnya, hadis berasal dari Nabi, kemudian sahabat, dilanjutkan tabi’in dan seterusnya. Namun dalam riwayat ini, dijelaskan bahwa Nabi mendapatkan riwayat dari Tamim al-Dari. Di bawah ini, penulis kutip riwayat al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya secara lengkap.

 27390 - حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يونس بن محمد قال ثنا حماد يعنى بن سلمة عن داود بن أبي هند عن الشعبي عن فاطمة بنت قيس : ان رسول الله صلى الله عليه و سلم جاء ذات يوم مسرعا فصعد المنبر ونودي في الناس الصلاة جامعة فاجتمع الناس فقال يا أيها الناس اني لم أدعكم لرغبة ولا لرهبة ولكن تميم الداري أخبرني ان نفرا من أهل فلسطين ركبوا البحر فقذف بهم الريح إلى جزيرة من جزائر البحر فإذا هم بدابة أشعر لا يدري ذكر هو أو أنثى لكثرة شعره فقالوا من أنت فقالت أنا الجساسة فقالوا فأخبرينا فقالت ما أنا بمخبرتكم ولا مستخبرتكم ولكن في هذا الدير رجل فقير إلى ان يخبركم والى ان يستخبركم فدخلوا الدير فإذا هو رجل أعور مصفد في الحديد فقال من أنتم قالوا نحن العرب فقال هل بعث فيكم النبي قالوا نعم قال فهل اتبعه العرب قالوا نعم قال ذاك خير لهم قال فما فعلت فارس هل ظهر عليها قالوا لا قال أما انه سيظهر عليها ثم قال ما فعلت عين زغر قالوا هي تدفق ملأى قال فما فعل نخل بيسان هل أطعم قالوا نعم أوائله قال فوثب وثبة حتى ظننا انه سيفلت فقلنا من أنت فقال أنا الدجال أما اني سأطأ الأرض كلها غير مكة وطيبة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أبشروا معاشر المسلمين هذه طيبة لا يدخلها
Abdullah menceritakan kepadaku, ayahku menceritakan kepadaku, Yunus bin Muhammad menceritakan kepada kami, Hammad [putra Salamah] menceritakan kepada kami, dari Dawud bin Abi Hind, dari al-Sya’bi, dari Fathimah binti Qais bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. datang dengan tergesa-gesa. Lalu beliau naik mimbar dan dikumandangkan di tengah orang-orang “al-shalat jami’ah” [mari tunaikan shalat secara berjamaah]. Orang-orang berkumpul, dan Rasulullah berkata, “Wahai umat manusia. Aku tidak mengundang kalian karena cinta dan takut. Tapi karena Tamim al-Dari telah memberi kabar kepadaku bahwa sekelompok penduduk Palestina berlayar di lautan. Kemudian angin membawa mereka kepada sebuah pulau di tengah samudera. Mereka bertemu seekor hewan melata berbulu lebat. Tidak diketahui ia jantan atau betina karena kelebatan bulunya. Mereka bertanya, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku al-Jassasah” Mereka bertanya, “Berilah kami informasi.” Ia berkata, “Aku tidak akan memberi informasi kepada kalian tidak pula akan bertanya kepada kalian. Tapi di biara ini ada seorang laki-laki butuh memberi informasi kepada kalian dan butuh informasi dari kalian.” Mereka memasuki biara tersebut. Dia ternyata seorang laki-laki buta yang diikat dalam rantai besi. Dia bertanya, “Siapa kalian?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang Arab.” Dia bertanya, “Apakah telah diutus seorang Nabi di antara kalian?” Mereka menjawab, “Benar.” Dia bertanya, “Apakah orang-orang Arab mengikutinya?” Mereka menjawab, “Benar.” Dia berkata, “Itu lebih baik bagi mereka.” Dia berkata lagi, “Apa yang dilakukan orang-orang Persia? Apakah mereka mengalahkan orang Arab?” Mereka menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Sesungguhnya Nabi itu akan mengalahkan orang Persia.” Kemudian dia berkata lagi, “Apa yang terjadi pada sumber mata air Zughar?” Mereka menjawab, “Memancar penuh.” Dia bertanya, “Apa yang terjadi dengan kebun kurma desa Baisan? Apakah ia dapat menyediakan sumber pangan?” mereka menjawab, “Benar. Sejak awalnya.” Tamim al-Dari berkata, “Kemudian lelaki itu melompat dengan sekali lompat hingga kami mengira bahwa ia akan lepas dari rantai besi itu. Kami bertanya, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku Dajjal. Aku akan menginjak seluruh bumi kecuali Mekah dan Thaibah.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Berbahagialah kalian wahai kaum muslimin. [Madinah ] inilah Thaibah itu. Dajjal tidak akan memasukinya.”[5]        

Tamim al-Dari bernama lengkap Abu Ruqayyah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Judzaimah al-Lakhmi al-Filisthini. Dia datang bersama rombongannya kepada Nabi pada tahun kesembilan hijriah, lalu masuk Islam. Nabi mendapatkan cerita tentang al-Jassasah, cerita tentang Dajjal. Tamim terkenal sebagai ahli ibadah dan banyak membaca kitab suci dan meninggal pada tahun 40 H. Selama bergaul dengan Nabi, Tamim berhasil mengoleksi delapan buah hadis. Dan seperti disinggung sebelumnya, Nabi menerima berita yang dibawa Tamim tentang Dajjal.[6]   
            Menurut al-Suyuthi hadis di atas merupakan bukti bagi keabsahan model periwayatan senior-junior. Di mana Nabi menerima berita dari seorang sahabat bernama Tamim al-Dari. Praktik Nabi di atas menunjukkan kebolehan menerima periwayatan senior dari junior.[7] Praktik semacam ini terus berlangsung pada masa setelahnya. Seorang sahabat besar mendapatkan hadis dari sahabat kecil, sahabat mendapatkan riwayat dari tabiin, seorang tabiin meriwayatkan dari tabiit tabiin dan seterusnya.
Di bawah ini disebutkan hadis riwayat al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman. Di dalamnya terdapat riwayat seorang sahabat Ibnu Umar, dari seorang tabiin, Ka’b bin al-Ahbar.  

6269 - أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ كَعْبٍ، قَالَ: ذَكَرَتِ الْمَلَائِكَةُ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ وَمَا يَلْقَوْنَ مِنَ الذُّنُوبِ، فَقَالَ لَهُمْ: " اخْتَارُوا مِنْكُمْ مَلَكَيْنِ "، فَاخْتَارُوا هَارُوتَ وَمَارُوتَ، فَقَالَ لَهُمَا: " إِنِّي أُرْسِلُ رُسُلِي إِلَى النَّاسِ، وَلَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ رَسُولٌ انْزِلَا، وَلَا تُشْرِكَا بِي شَيْئًا، وَلَا تَزْنِيَا، وَلَا تَسْرِقَا " قَالَ ابْنُ عُمَرَ، قَالَ كَعْبٌ: فَمَا اسْتَكْمَلَا يَوْمَهُمَا الَّذِي نَزَلَا فِيهِ حَتَّى عَمِلَا مَا حَرَّمَ عَلَيْهِمَا . قَالَ الشَّيْخُ أَحْمَدُ: هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ مِنْ قَوْلِ كَعْبٍ، وَقَدْ رَوَيْنَاهُ فِي بَابِ الْإِيمَانِ بِالْمَلَائِكَةِ مِنْ حَدِيثِ زُهَيْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُوسَى بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَمَّ مِنْ ذَلِكَ "

“Menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafizh dan Muhammad bin Musa bin Uqbah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Ka’b yang berkata, “Para malaikat memperbincangkan perilaku umat manusia dan dosa-dosa yang mereka lakukan. Kemudian Allah berkata kepada mereka, “Pilihlah dua malaikat dari kalian.” Mereka memilih Harut dan Marut. Allah berkata kepada mereka berdua, “Aku utus utusan-utusanku kepada umat manusia. Tiada utusan antara aku dan kalian yang diturunkan. Jangan kalian menyekutukan-Ku, jangan kalian berzina, jangan kalian mencuri.” Ibnu Umar berkata, “Ka’b berkata, ‘Mereka tidak menyempurnakan hari di mana mereka diturunkan hingga mereka melakukan apa yang diharamkan bagi mereka.” Syaikh Ahmad berkata, “Inilah riwayat yang sahih dari Ka’b. Kami telah meriwayatkannya dalam bab al-Iman bi al-Malaikat dari hadis Zuhair bin Muhammad dari Musa bin Jubair dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah saw. dengan riwayat yang lebih sempurna.”[8]
Contoh lain dapat kita lihat dalam hadis yang terdapat dalam al-Muwattha’ di bawah ini.
 397 - وحدثني عن مالك عن عبد الله بن دينار قال :رأيت عبد الله بن عمر يقف على قبر النبي صلى الله عليه و سلم فيصلي على النبي صلى الله عليه و سلم وعلى أبي بكر وعمر

“Dan menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abdullah bin Dinar yang berkata, “Aku melihat Abdullah bin Umar berhenti di depan makam Nabi saw. lalu beliau bershalawat kepada Nabi, kepada Abu Bakr, dan Umar.”[9]
Malik dalam sanad hadis di atas adalah al-Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki. Dikenal luas sebagai pemimpin spiritual-intelektual Madinah [imam dar al-hijrah]. Menurut Ibnu al-Atsir dia dilahirkan pada 95 H. dan meninggal pada 179 H. dalam usia 84 tahun. Sedangkan Abdullah bin Dinar adalah seorang ahli hadis yang selain menjadi murid, juga menjadi guru al-Imam Malik. Al-Tahdzib menuturkan dia meninggal pada tahun 127 H. Dengan demikian, secara umur, Abdullah bin Dinar lebih tua daripada al-Imam Malik. Namun kapasisitas keilmuannya jauh di bawah al-Imam Malik. Menurut al-Nawawi, al-Imam Malik mempunyai dua kualitas sekaligus. Selain sebagai penghafal hadis [al-hâfizh], juga mempunyai pemahaman yang mendalam dan keilmuan yang tidak diragukan [al-‘âlim].[10] Berbeda dengan Abdullah bin Dinar yang memiliki tergolong riwayat banyak hadis [katsîr al-hadîts], sebagaimana informasi Ibnu Sa’d, namun tidak mempunyai keahlian dalam pemaknaan hadis.[11] Riwayat ini tergolong sebagai model riwayat senior dari yunior secara keilmuan [riwayat al-akâbir ‘an al-ashâghir], melihat tingkat dan kapasitas keilmuan kedua tokoh tersebut.
al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya mencantumkan satu hadis dengan sanad Hamid bin Yahya-Sufyan-Wa`il bin Dawud-Bakr bin Wa`il-Zuhri-Anas bin Malik-Nabi. Secara lengkap riwayat tersebut penulis cantumkan sebagaimana berikut.

3746 - حَدَّثَنَا حَامِدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا وَائِلُ بْنُ دَاوُدَ عَنِ ابْنِهِ بَكْرِ بْنِ وَائِلٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِسَوِيقٍ وَتَمْرٍ.

“Menceritakan kepada kami Hamid bin Yahya, menceritakan kepada kami Sufyan, menceritakan kepada kami Wa`il bin Dawud, dari anaknya Bakr bin Wa`il, dari Zuhri, dari Anas bin Malik bahwa Nabi saw. merayakan pernikahan Shafiyah dengan bubur Sawiq dan kurma.”[12]
Bila dicermati dalam sanad hadis ini terdapat tokoh yang bernama Wa`il bin Dawud yang mengambil hadis dari anaknya Bakr bin Wa`il. Al-Mizzi menginfromasikan bahwa nama lengkapnya adalah Abu Bakr Wa`il bin Dawud al-Taimi al-Kufi. Dia meriwayatkan sebagian hadis dari anaknya, Bakr bin Wa`il tentang perayaan perkawinan. Bakr meninggal terlebih dahulu daripada ayahnya. Al-Mizzi mencatat bahwa Wa`il tidak pernah berguru kepada al-Zuhri. Hanya anaknya yang pernah mendapatkan hadis darinya.[13]  

Pola Periwayatan Senior-Junior: Riwayat al-Akâbir ‘an al-Ashâghir dan Riwâyat al-Âbâ’ ‘an al-Abnâ’
Beberapa contoh di atas menunjukkan sebagian pola periwayatan yang ‘tidak wajar’. Di mana seorang rawi senior mengambil hadis dari rawi yang lebih junior. Riwayat Nabi saw. dari Tamim al-Dari merupakan contoh bagi model riwayat al-akâbir ‘an al-ashâghir. Begitu pula periwayatan Ibnu Umar dari Ka’b al-Ahbar dan Malik bin Anas dari Abdullah bin Dinar. Sedangkan riwayat Wa`il bin Dawud dari Bakr bin Wa`il merupakan pola periwayatan bapak dari anak atau dalam ilmu hadis sering disebut dengan riwâyat al-âbâ’ ‘an al-abnâ’.
Mahmud al-Thahhan mendefinisikan riwayat al-akâbir ‘an al-ashâghir dengan periwayatan seseorang dari orang sebawahnya dalam usia, tingkatan generasi, keilmuan dan hafalan. Al-Thahhan membagi riwayat al-akâbir ‘an al-ashâghir  ke dalam tiga pola: [1] rawi lebih tua dari pada gurunya dalam segi umur dan tingkatan generasi, [dan lebih tinggi tingkatan keilmuan dan hafalannya], [2] rawi lebih tinggi tingkatan keilmuannya daripada sang guru, tidak dalam usia, [3] rawi lebih tinggi daripada gurunya dari segi usia dan tingkat keilmuannya.[14]
Pola riwâyat al-âbâ’ ‘an al-abnâ’ diartikan al-Thahhan dengan ditemukannya periwayatan seorang ayah dari anaknya dalam suatu sanad hadis. Sebagai contoh adalah riwayat Wa`il bin Dawud dari Bakr bin Wa`il yang mendapatkan hadis dari al-Zuhri.

Metode Pembuktian Ketiadaan Problem Keterbalikan
Seperti disinggung sebelumnya, pola periwayatan senior-junior seringkali memunculkan anggapan bahwa telah terjadi keterbalikan susunan periwayat. Karena, lazimnya periwayatan menggunakan pola junior mengambil hadis dari senior. Anak mengambil riwayat dari bapaknya, tabiin meriwayatkan dari sahabat, tabiit tabiin meriwayatkan dari tabiin, rawi yang muda mengambil dari yang tua, yang terkenal alim mendapatkan dari yang hanya sekadar penghafal. Untuk memastikan bahwa tidak ada keterbalikan sanad, dapat dilakukan dengan menempuh beberapa langkah berikut.

Biografi
Dalam konteks ini, mengetahui biografi seorang rawi menjadi sangat penting untuk mendapatkan data tentang nama lengkap, tahun kelahiran dan kewafatan, daftar guru dan murid, serta pendapat ulama tentang sang rawi.

Semisal dalam kasus Ibnu Umar-Ka’b al-Ahbar. Jika tidak dipastikan, akan muncul anggapan bahwa Ka’b al-Ahbar adalah seorang sahabat. Karena Ibnu Umar yang dikenal luas sebagai seorang sahabat tentunya mendapatkan hadis dari sahabat lain yang lebih senior, seusia, atau sebawahnya. Namun jarang diasumsikan bahwa seorang sahabat mendapatkan hadis dari tabiin. Kesalahan dalam menentukan status kesahabatan dapat berakibat fatal, karena dapat membuat rawi yang harusnya dapat diteliti menjadi bebas kritik. Untuk menghindari kesalahan ini, diperlukan biografi kedua rawi di atas. Disebutkan bahwa Ibnu Umar bernama lengkap Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin al-Khatthab, masuk Islam saat masih kecil dan ikut ayahnya hijrah ke Madinah. Pertama kali ikut perang ditolak karena dianggap masih terlalu kecil [tiga belas tahun]. Ketika terjadi penakhlukan kota Mekah, ia berumur dua puluh tahun. Meninggal di Mekah pada tahun 73 H. dengan usia 87 tahun.[15]
Sedangkan Ka’b al-Ahbar sepertinya merupakan pribadi yang kontroversial seputar status kesahabatannya. Ibnu Hajar al-Asqalani memuat biografinya dalam al-Ishabah fi Ma’rifat al-Shahabah. Sebuah buku ensiklopedi sahabat terbesar yang pernah dikarang. Dalam buku tersebut diterangkan bahwa ia bernama lengkap Abu Ishaq Ka’b bin Mati’ al-Himyari al-Yamani. Ia pernah bertemu Nabi saw. dan baru masuk Islam pada masa pemerintahan Umar. Menurut sebuah informasi, ia masuk Islam sejak masa Nabi. Namun pendapat yang paling kuat adalah yang menyatakan bahwa ia masuk pada era Umar. Hal ini didukung riwayat dari al-Abbas bahwa alasannya masuk Islam adalah karena ia baru menemukan kitab suci milik ayahnya yang di dalamnya terdapat informasi tentang Muhammad dan sifat umatnya. Peristiwa itu terjadi pada 12 H. di era kepemimpinan Umar. Ka’b meninggal pada akhir masa pemerintahan Utsman di daerah Himsh dalam sebuah misi perang, tepatnya pada tahun 32 H. dengan usia 104 tahun.[16]
Ka’b lebih tua daripada Ibnu Umar dalam segi umur di satu, dan lebih yunior dalam keislaman di sisi lain. Ibnu Umar merupakan generasi sahabat dan Ka’b dari generasi tabiin. Karena, Ka’b mengalami keterlambatan masuk Islam. Dengan demikian, terjadi pola periwayatan sahabat dari tabiin. Atau dalam kerangka yang lebih luas, riwayat al-akabir ‘an al-ashaghir.     
    
Nama Rawi
Tingkatan
Lahir
Meninggal
Guru-Murid
Komentar ulama
Ibnu Umar
Sahabat
-
73 H.
al-Dzahabi tidak menyebut secara jelas nama Ka’b al-Ahbar sebagai guru dari Ibnu Umar. Al-Dzahabi hanya menyebutkan wa ghairihim [dan lainnya].
Shahabi
Ka’b al-Ahbar
Tabiin
-
32 H.
Al-Dzahabi tidak menyebutkan nama Ibnu Umar  secara tegas sebagai murid yang menerima hadis dari Ka’b. Hanya digunakan ungkapan yang simplistis wa ghairihim.
Tsiqah
    
Simpulan
Uraian di atas menunjukkan kepada kita tentang pola periwayatan yang unik. Di mana seorang sahabat yang biasanya berada pada level pertama setelah Nabi, dalam riwayat di atas ternyata berada pada level kedua. Dalam rangkaian isnad semacam ini, seorang yang berstatus tabiin rawan dianggap sebagai sahabat. Anggapan semacam ini dapat ditepis dengan melakukan penelitian pada biografi rawi. Di antaranya untuk menetapkan thabaqat, guru, murid, dan sejarah hidupnya. Data-data semacam ini menjadi penting untuk menghindari salah paham. Baik kesalahpahaman terhadap keterbalikan sanad atau pada penempatan rawi tidak pada level-thabaqatnya. Demikian uraian yang dapat penulis suguhkan, kritik dan saran untuk melengkapi makalah ini sangat kami tunggu. 



[1] Penulis adalah Mahasiswa Tafsir Hadits, International Institute for Hadits Sciences Indonesia, di samping nyambi kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung pada Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin.
[2] Muhyiddin Abu Zakariya Yahya al-Nawawi. Taqrib al-Nawawi dalam Tadrib al-Rawi fi Syarhi Taqrib al-Nawawi. (Kairo: Dar al-Hadits. 2004). hlm. 45
[3] al-Thahhan mendefiniskan qalb dengan mengganti satu redaksi dengan redaksi lain dalam sanad atau matan hadis, dengan cara mendahulukan, mengakhirkan atau lainnya. Menurut latar belakangnya, qalb dapat terjadi karena kesengajaan atau kelalaian. Jika disengaja, adakalanya karena tujuan popularitas [ighrab] atau pengujian [imtihan]. Untuk yang pertama tidak diperbolehkan, bahkan dapat membuat  hadis menjadi maudhu’.  Jika tidak disengaja, artinya karena kelalaian seorang rawi, jika kelalaian itu sering terjadi, maka dapat saja hadis menjadi lemah karena kelemahan rawi. Lihat Mahmud al-Thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadits. (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah). hlm. 107  
[4] Jika terdapat keterbalikan susunan sanad, lebih-lebih pembalikan, suatu hadis dapat dimasukkan ke dalam kategori maqlub, bahkan dalam tataran tertentu dapat dikategorikan maudhu’ karena adanya penyandaran yang tidak benar.
[5] Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Musnad Ahmad. (Maktabah Syamilah). Jilid 6. Hlm. 418
[6] Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Dzahabi. Siyar A’lam al-Nubala’. (Kairo: Dar al-Hadits). juz 2. hlm. 442
[7] Abu Abdurrahman al-Suyuthi. Tadrib al-Rawi fi Syarhi Taqrib al-Nawawi. (Kairo: Dar al-Hadits. 2004). Hlm. 507
[8] Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi. Syu’ab al-Iman. (Maktabah Syamilah). jilid 9. hlm. 65 
[9] Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi al-Madani. al-Muwattha’. (Maktabah Syamilah). jilid 1. Hlm. 166
[10] al-Nawawi.  Taqrib al-Nawawi dalam Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi.  hlm. 507
[11] Yusuf bin al-Zakiy Abdurrahman Abu al-Hajjaj al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal. (Maktabah Syamilah). hlm. 473, juz 14
[12] Abu Dawud al-Sijistani. Sunan Abi Dawud. (Maktabah Syamilah). jilid 3, hlm. 396
[13] Al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal. (Maktabah Syamilah). jilid 30 hlm. 420
[14] Mahmud al-Thahhan. Taisir. hlm. 190
[15] Al-Dzahabi, Siyar a’lâm al-Nubalâ’, (Kairo: Dar al-Hadits),  juz 4, hlm. 563
[16] Al-Ishabah dan Siyar A’lam al-Nubala’ pada entri nama yang disebut di atas.

Ikhtilâf al-Hadîts Karya al-Syafi’i

Ikhtilâf al-Hadîts Karya al-Syafi’i[1]