Jumat, 26 Oktober 2012
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan Tafsir al-Mishbah Riview atas Tafsir al-Mishbah (Kesan, Pesan, dan Keserasian al-Quran) karya M. Quraish Shihab
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan Tafsir al-Mishbah
Riview atas Tafsir al-Mishbah (Kesan, Pesan, dan Keserasian al-Quran) karya M. Quraish Shihab
A. M. Quraish Shihab
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari
1944 di Rapang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang
terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar
dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama,
pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi
Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua
perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah
perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin
Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI
1959-1965 dan IAIN 1972–1977.
Sebagai seorang yang berpikiran progresif, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan
adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu
dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair, sebuah lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari
tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena
lembaga ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur
Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-guru yang didatangkan ke
lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika.
Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan
2
benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anakanaknya
duduk bersama setelah magrib. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah
menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur'an. Quraish kecil
telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia
harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain
menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah
dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.
Pendidikan formalnya di Makassar dimulai dari sekolah dasar sampai kelas 2 SMP.
Pada tahun 1956, ia di kirim ke kota Malang untuk “nyantri” di Pondok Pesantren Darul
Hadis al-Faqihiyah. Karena ketekunannya belajar di pesantren, 2 tahun berikutnya ia
sudah mahir berbahasa arab. Melihat bakat bahasa arab yg dimilikinya, dan ketekunannya
untuk mendalami studi keislamannya, Quraish beserta adiknya Alwi Shihab dikirim oleh
ayahnya ke al-Azhar Cairo melalui beasiswa dari Propinsi Sulawesi, pada tahun 1958 dan
diterima di kelas dua I'dadiyah al-Azhar (setingkat SMP/Tsanawiyah di Indonesia) sampai
menyelasaikan tsanawiyah al-Azhar. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas
al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih
gelar Lc. Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada
jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i al-Qur'an al-Karim
(kemukjizatan al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”. Pada tahun 1973 ia dipanggil
pulang ke Makassar oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu
mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan
kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping mendududki jabatan resmi itu, ia juga
sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok
tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti
koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu
pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan
jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih sempat
merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup
Beragama di Indonesia (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).
Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish
Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar Cairo, mengambil spesialisasi
dalam studi tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar
3
doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i, Tahqiq
wa Dirasah (Nazm ad-Durar karya al-Biqa’i, Analisis dan Kajian)” berhasil
dipertahankannya dengan predikat dengan predikat penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah
asy-Syaraf al-Ula (summa cum laude).
Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan
kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Makassar ke Fakultas Ushuluddin di IAIN
Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum al-Quran di Program S1, S2 dan
S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga
dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996
dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama
selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik
Arab Mesir merangkap negara Republik Djibouti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan
disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang
dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk
menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Al-Qur'an Departemen Agama
sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini
didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah,
dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika:
4
Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, dan Refleksi
jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.
Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis
dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia
tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan
pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, dan
kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang
bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah
masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat
pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media
elektronik, khususnya di.bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan
Metro TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode
tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-
Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian
menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik
kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya,
dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai
masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan
perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara
kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang
terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak
memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan
al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah
dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir.
Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu
dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan
ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim
suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar
bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama al-Qur'an.
5
B. Tafsir al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran)
M. Quraish Shihab termasuk penulis yang produktif, bahkan hingga kini. Telah
banyak karya-karya beliau yang diterbitkan dan beredar luas di tengah-tengah masyarakat.
Namun dari itu, Karya beliau di bidang tafsir yang menghimpun al-Quran secara
menyeluruh, “Tafsir al-Misbah, Kesan, Pesan, dan Keserasian al-Quran”, merupakan
karya beliau yang kolosal serta fenomenal, setidaknya untuk dunia akademisi Indonesia.
Banyak karya ilmiyah yang ditulis dengan merujuk atau menjadikan tafsir ini sebagai
bahan kajian. Bahkan dalam suatu perbincangan dengan pihak jurusan Tafsir Hadits
Universitas Islam Negeri Bandung, mahasiswa diharapkan untuk tidak lagi menyususn
skripsi dengan merujuk pada tafsir ini, hal ini tidak lain karena telah amat banyaknya
kajian terkait tafsir tersebut yang dijadikan skripsi.
Tafsir ini mulai ditulis ketika belaiu ditugaskan sebagai Duta Besar RI untuk Mesir,
yaitu tahun 1999 M. namun baru selesai tatkala beliau sudah kembali ke tanah air. Metode
yang beliau gunakan dalam penyususnan tafsir ini ialah metode ijmali-tahlili, yaitu
menghimpun sejumlah ayat yang memiliki tema pembicaraan yang sama sesuai dengan
tata urutan mushaf. Hal ini terlihat jelas dengan pengelompokan yang beliau lakukan
terhadap ayat-ayat dalam satu surat. Seperti misalnya al-Fatihah beliau jadikan dua
kelompok, ayat 1-4 beliau jadikan satu kelompok, lalu beliau jelaskan tafsir menurut
pandangan belaiu, kemudian ayat 5-7 dijadikan sebagai kelompok kedua, dan kemudian
beliau jelaskan tafsirnya. Demikian juga dengan al-Baqarah yang beliau kelompokkan
menjadi 23 kelompok ayat. Dan beliau menjelaskan tafsir dari tiap-tiap kelompok tersebut
secara berturut-turut.
Suatu keistimewaan dari kitab ini ialah upaya penuyusun untuk menjelaskan makna
dari sejumlah kata berdasar tinjauan kebahasaan, yang menurut penyusun menarik untuk
dibahas dan dibicarakan. Dan pada beberapa kasus, penyusun menyebutkan pengulanganpengulangan
yang terdapat dalam al-Quran atas suatu kata serta konteks dari penggunaan
kata-kata tersebut pada masing-masing tempat.
Penyusun melalui kitabnya ini berusaha “membumikan Indonesia-kan al-Quran”,
sebagaimana yang sering kali beliau dakwakan melalui tulisan, juga lisan beliau.
Menjelaskan al-Quran sehingga tetap relevan dengan konteks kekinian, bahkan ke-
Indonesia-an. Secara sepintas hal ini pantas untuk mendapatkan dukungan dan ucapan
selamat. Namun realitanya—seperti tampak dari kitab beliau ini—makna dari dakwaan
6
beliau tersebut ialah menjadikan al-Quran sesuai dengan adat dan kehendak manusia yang
bergaul dengan al-Quran. Waliyadzu billah. Atau setidaknya bisa dikatakan bahwa beliau
telah melangkah terlalu jauh—sehingga keluar dari jalan Rasulullah dan para
sahabatnya , bahkan jalan para ulama kaum muslimin rahimahumullah—dalam cita-cita
beliau tersebut.
Terkait dengan sumber penafsiran, penyusun—di samping menafsirkan suatu ayat
atau sekelompok ayat dengan istibath pribadinya—banyak menukil dari orang-orang
sebelum beliau dalam bidang tafsir bi ad-dirayah, seperti Mahmud Syaltut, Muhammad
Ali ash0Shabuni, Muhammad Thanthawi, Muhammad Husain ath-Thabathaba’i, terlebih
Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i serta Muhammad Thahir bin ‘Asyur. Sejauh penelitian kami
terhadap beberapa bagian dari kitab beliau ini, tiga nama terakhir merupakan yang paling
banyak penyusun bawakan perkataan dan pandangan mereka. Lebih dari itu, penyusun
sendiri banyak mengikuti, baik dengan menegaskan atau sekedar mendiamkan,
pandangan-pandangan ath-Thathaba’i serta Ibn ‘Asyur.
Tafsir ini merupakan tafsir bi ad-dirayah yang hampir tidak ditemukan di dalamnya
penukilan riwayat dari Rasulullah , para shabat, serta tabi’in , kecuali amat sedikit
sekali. Dan jika pun ada penukilan dari sumber demikian, tidak satu pun disebutkan oleh
penyusun rujukan yang jelas sehingga orang lain akan kesulitan dalam menelusuri asalusul
penukilan tersebut. Padahal, di antara bentuk amanah ilmiah dalam hal riwayat ialah
setidak-tidaknya seseorang yang membawakan suatu riwayat menyebutkan siapa yang
telah mediwankan riwayat tersebut. Dan jika riwayat tersebut berupa perkataan Rasulullah
, maka ia harus menyebutkan sahabat yang meriwayatkannya pula.
Terkait dengan al-asma wash shifat Allah , amat menunjukkan kurangnya sikap
amanah dari penyusun dalam perkara-perkaraa ilmiah. Penyusun selalu menyatakan “Ada
ulama yang berpendapat demikian dan demikian”, “Sebagian ulama berkata demikian dan
demikian, namun sebagian yang lain berpandangan begini dan begitu”, dan sama sekali
penyusun tidak menyebutkan siapa ulama yang beliau maksudnkan dalam penjelasan
tersebut. Atau barang kali penyusun khawatir ia dikecam dan kaum muslimin yang
membaca karyanya ini membuang kitab ini sejauh-jauhnya karena beliau menukil dari
orang-orang yang ditahdzir oleh para ulama kaum muslimin yang telah dikenal
keilmuannya, tidak hanya kalangan ahli ilmu dan penuntut ilmu, namun juga kalangan
7
awam mereka?! Hanya penyusun yang mengetahui alasan yang sebenarnya dari sikap dan
tindakan beliau ini.
Perlu kiranya kami bawakan beberapa contoh dari penjelasan beliau terkait dengan
hal ini dan kemudian kami jelaskan beberapa perkara yang perlu terkait dengan penjelsan
beliau tersebut, sehingga menjadi jelas perkaranya bagi siapa pun yang menghendaki
kebenaran.
Allah berfirman1;
Penyusun menjelaskan: Kalimat ( خلقت بيدي ) khalaqtu bi yadayya /Ku ciptakan
dengan kedua tangan-Ku, diperbincangkan maknanya oleh para ulama. Ada yang
mengambil jalan pintas, lantas berkata bahwa ada sifat khusus yang disandang Allah
dengan nama itu sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat
kebendaan/jasmani dan keserupaan dengan makhluk. Ada juga yang memahami kata
tangan dalam arti kekuasaan, dan penggunaan bentuk dual sekedar untuk
menginformasikan betapa besar kekuasaan-Nya itu. Ada lagi yang berpendapat bahwa
yang bermaksud dengan kedua tangan adalah anugerah duniawi dan ukhrawi yang
dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau sebagai isyarat tentang kejadian manusia dari dua
unsur utama yakni debu tanah juga ruh Ilahi. Pendapat yang lebih memuaskan dalam
memahami kata tersebut sebagai isyarat tentang betapa manusia memperoleh penanganan
khusus dan penghormatan dari sisi Alla swt. Dari sini pula sehingga ayat ini tidak
menggunakan bentuk tunggal untuk kata tangan tetapi bentuk dual yakni yadayya/kedua
tangan-Ku.2
Siapa yang dimaksud penyusun dengan “ada yang mengambil jalan pintas...”? Siapa
pula yang dimaksud beliau dengan “Ada juga yang memahami kata tangan dalam arti
kekuasaan”? Lalu siapa yang dimaksud “Ada lagi yang berpendapat bahwa yang
bermaksud dengan kedua tangan adalah anugerah duniawi dan ukhrawi...”? Dalam kasus
ini, bisa jadi hanya penyusun yang mengatahuinya. Dan tindakan seperti ini ialah tindakan
yang amat tidak ilmiah dalam “dunia” yang ilmiah ini.
1 ) Surah Shad [38]/75
2 ) M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Kesan, Pesa, dan Keserasia al-Quran (Jakarta; Lentera
Hati) , tahun 2002, hal. 170, jilid 12.
8
Contoh lain ialah firman Allah berikut3;
Penyusun berkata: Dahulu—sampai abad III H—hampir semua ulama enggan
menafsirkan makna wajah Tuhan . Mereka hanya menegaskan bahwa Allah bukanlah
seperti makhluk dan kita tidak tahu apa yang dimaksud dengan wajah-Nya. Ulama-ulama
yang hidup sesudah merika tidak puas dengan penjelasan demikian dan berusaha
memahami maknanya. Ada yang berkata bahwa wajah adalah bagian yang termulia dari
sesuatu dan yang menunjukkan identitasnya. Anda dapat mengenal seseorang yang
terbuka wajahnya walau tertutup semua badannya, dan tidak jika sebaliknya. Karena itu,
wajah diartikan dengan dzat dan diri sesuatu, dan itulah meurut ulama dewasa ini makna
kalimat wajhu rabbik/ wajah Tuhan-Mu.4
Umumnya pembaca tidak akan memahami dan tidak akan mengetahui siapa orangorang
yang beliau sebut “ulama-ulama yang hidup sesudah mereka”, juga “ada yang
berkata bahwa...”, serta “dan itulah menurut ulama dewasa ini”. Siapa yang beliau maksud
dengan kata-kata tersebut? Bahkan sejumlah kalangan akademisi pun banyak yang tidak
mengetahui hakikat dari kata-kata ini, yang mereka ketahui hanya “ada ulama”. Menjadi
kewajiban penyusun untuk menjelaskan hal ini semua, sehingga tidak lagi meninggalkan
kebingungan terhadap sejumlah pembaca yang setia membaca karya-karya beliau, baik
dari kalangan akademisi, maupun awam. Hal ini penting karena menyangkut perkara
paling fundamental bagi kaum muslimin, yaitu aqidah.
Sebelum kami membahas permasalahan ini lebih jauh, sebaiknya kami bawakan satu
contoh lain dari penyusun terkait dengan sifat Allah ini. Namun contoh kali ini secara
zhahir nash penyusun menunjukkan bahwa demikian ini hakikat atau mauqif beliau terkait
dengan perkara ini. Karena beliau tidak menyinggung pihak lain dalam menjelaskan
makna ayat tersebut. Allah berfirman5;
3 ) Surah ar-Rahman [55]/27
4 ) M. Quraish Shihab, Op. cit, hal. 297-298, jilid 13.
5 ) Surah Hud [11]/37
9
Penyusun menulis: Kata ( بأعيننا ) bi a’yunina terambil dari kata ( أعين ) a’yun yang
merupakan bentuk jamak dari kata ( عين )’ain yang antara lain berarti mata. Selanjutnya,
karena mata antara lain digunakan untuk mengawasi dan memperhatikan sesuatu, baik
untuk mengetahui kesalahan yang diamati maupun dalam arti membimbing dan
menghindari kesalahannya. Maka makna terakhir inilah yang dimaksud di sini, karena
Allah swt. Maha Suci dari kepemilikan alat untuk melihat sebagaimana hal nya makhluk.
Bentuk jamak di sini, dipahami dalam bentuk pengawasan dan perhatian penuh lagi
banyak.6
Ada beberapa perkara yang tampak bagi kami ketika meneliti sejumlah ayat yang
menyebutkan sifat-sifat Allah yang beliau jelaskan dalam kitab tafsirnya ini. Dan di antara
ayat-ayat tersebut ialah tiga ayat yang kami bawakan di sini. Dan tentu saja sikap dan
pandangan beliau terkait dengan ayat-ayat yang lain pun sama dengan sikap dan
pandangan beliau terhadap tiga ayat ini. Oleh karenya kami mencukupkan dalam
menyebutkan tiga ayat ini saja.
Perkara yang kami maksudkan tersebut ialah “Apa dan bagaimana aqidah Dr.
Quraish Shihab terkait dengan al-asma` wash shifat Rab tabaraka wata’ala?” Selain itu
ialah “Apa dan bagaimana metode beliau dalam penafsiran?”
Perkara pertama, amat jelas bagi kami kabar dan peringatan yang disampaikan
kepada kami oleh sebagian ikhwan bahwasanya beliau beraqidah Jahmiyah dalam hal alasma`
wash shifat. Yaitu suatu golongan yang muncul pada abad II H. yang nama
golongan ini diambil dari ulamanya yang menyebarluaskan aqidah tersebut, yaitu Jahm
bin Shafwa, yang menafikan sebagian atau keseluruhan dari sifat-sifat Allah , atau
mereka memalingkan maknanya kepada makna ayng bathil yang tidak dikenal oleh para
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalih mereka ialah
mensucikan Allah dari tasybih. Wallahul musta’an.
Hal ini amat jelas dan menjelaskan bahwa yang penyusun maksud dengan “ulama”
dalam penjelasan belaiu yang kami bawakan tadi ialah ulama-ulama dari kalangan
Mu’tazilah Jahmiyah serta golongan Asya’irah yang beraqidah sama dengan mereka. Hal
ini pun tampak jelas ketika beliau menjelaskan sifat istawa Allah . Beliau dengan
lantang menolak hadits Jariyah yang diriwayatkan oleh rijal yang tsiqat, yang menempati
6 ) M. Quraish Shihab, Op. Cit, hal. 246, jilid 6.
10
puncak tetinggi dalam hal periwayatan. Suatu ketika beliau menyatakan bahwa Allah
ada di mana-mana, suatu saat beliau mengatakan bahwa Allah tidak di dalam, tidak di
luar, tidak di atas, tidak di bawah, singkatnya tidak di mana-mana. Waliyadzu billah.
Puluhan bahkan ratusan—jika dianggap terlalu berlebihan sekiranya dikatakan
ribuan—kitab yang ditulis aimmah ahlus sunnah terkait hal ini, baik yang murni
menjelaskan aqidah yang benar, atau pun berupa bantahan terhadap aqidah Jahmiyah ini.
Di antaranya ialah Syarhu as-Sunnah Imam al-Muzanni di antara murid utama Imam asy-
Syafi’i, Ushulus Sunnah dan Raddu ‘ala Jahmiyah Imam Ahmad, as-Sunnah Abdullah bin
Ahmad, Raddu ‘ala Jahmiyah ad-Darimi, al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah Imam Abul
Hasan al-‘Asy’ari, Syarh Ushul I’tiqad Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah Imam al-Lalikai,
dan selain itu.
Namun, tidak satu pun dari penjelasan penyusun yang sesuai dengan apa yang
dijelaskan para ulama tersebut, justru pernyataan penyusun sejalan dengan aqidah yang
dibantah dan diperangi oleh mereka rahimahumullah. Terlebih jika diharapkan sesuai
dengan penjelasan para sahabat, atau pun sebagian dari sahabat . Amat jauh bagaikan
bumi dan langit, bahkan lebih jauh lagi.
Seluruh ulama tersebut, sejak masa sahabat hingga hari ini, menetapkan sifat ( (وجه
wajah, ( عينين ) kedua tangan, ( يدين ) kedua mata, dan sifat-sifat lainnya dengan makna hakiki
yang dipahami memalui bahsanya yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan Allah ,
tanpa takyif (mempertanyakan/menetapkan kaifiyat), tidak pula tasybih (menyerupakan),
serta tidak juga tahrif (memalingkan maknanya dari makna yang dipahami secara bahasa).
Maka dari ini, kesimpulan yang didapat ialah bahwa penyusun tidak mengikuti manhaj
salaf ash-shalif dalam memahami dan menjelaskan ayat-ayat yang berkenaan dengan alasma`
wash shifat Allah . Namun beliau cenderung pada madzhab golongan yang
seluruh ulama kaum ahlus sunnah menyatakan mereka sebagai ahlul ahwa wal bida’.
Ini merupakan dampak buruk dari pemahaman terhadap al-Quran, bahkan as-Sunnah
yang tidak mengikuti metode para sahabat dalam memahami keduanya. Padahal,
selamanya kaum muslimin wajib memahami al-Quran dan as-Sunnah dengan berjalan di
atas metode salaf al-ummah dari kalangan para sahabat khususnya. Dan demikian inilah
yang diisyaratkan oleh Rasulullah dan diperingatkan oleh orang-orang setelah beliau,
bahkan seluruh ulama hingga hari ini, . Ini merupakan dampak buruk dari terlalu
dominannya akal dalam memahami wahyu dengan meninggalkan penjelasan dari as11
Sunnah, padahal as-Sunnah adalah tafsir al-Quran. Bukankah ar-Razi sendiri yang berkata
bahwa hasil dari menjadikan akal dominan dalam perkara din adalah akal-akalan? Kita
semua tahu siapa Fakhruddin ar-Razi.
Jauhnya penyusun dari metode salaf dalam memahami dan menjelaskan al-Quran
juga tampak jelas ketika beliau menjelaskan ayat ke 31 dari surah an-Nur [24]. Beliau
dengan jelas menyatakan bahwa pakaian wanita muslimah ialah sesuai dengan adat
setempat, dan hasilnya ialah beliau menolak kewajiban hijab/jilbab. Padahal perkara ini
sudah amat jelas dari al-Quran, sekiranya ia memalingkan al-Quran kepada hawa nafsunya
itu, maka perkara ini pun amat jelas dari as-Sunnah, bahkan ini telah menjadi ijma’ kaum
muslimin.
Sebagian orang berusaha membela beliau dengan madzhabnya ini, mereka
menyatakan ini merupakan pemahaman beliau, maka tidak pantas beliau disalahkan
sepenuhnya. Perlu dipahami bahwa tidak semua hasil istinbat dapat ditolerir, dan dapat
dimaklumi. Dan penyusun bukan merupakan seorang yang berhak unutk berijtihad secara
mandiri. Kemudian tidak semua perbedan pendapat pantas untuk didiamkan. Bahkan jika
seorang yang menguasai pokok-pokok ilmu syari’ah, kemudian keliru dalam istinbat-nya,
maka ia tetap dikatakan keliru dan ma’dzur. Ini halnya dengan seorang yang mendalam
dalam cabang-cabang ilmu syari’ah, namun tidak demikian halnya dengan penyusun.
Bahkan sebagian yang lain dengan membabi buta menyatakan bahwa demikian juga
madzhab Imam Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah. Sungguh ini pembelaan yang amat
tendensius. Bagaimana tidak, madzhab beliau dengan jelas menyatakan bahwa seorang
wanita mukallaf wajib menutupi auratnya, dan aurat tersebut ialah seluruh tubuhnya,
kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki7. Sedangkan penyusun al-Mishbah
menyatakan tidak wajibnya hal tersebut, dan pakaian wanita muslimah ialah yang sesuai
dengan adat lingkungannya. Sungguh jauh sekali dua fatwa ini untuk dapat dikatakan
sama. Sungguh jauh api dari panggang.
Sayangnya tulisan ini bukan tempat untuk membahas semua perkara ini secara rinci.
Maksud penyebutan beberapa hal ini ialah sebagai bukti tak bergerak bahwa penyusun
tidak mengikuti metode salaf dalam memahami dan menjelaskan makna-makna yang
terkandung dari ayat-ayat Quraniyah. Bahkan cenderung menggunakan ra`yu mujarrad.
Berpegang pada ra`yu mujarrad ketika berbicara mengenai al-Quran dan agama bahkan,
7 ) Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni,tahqiq: ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki dan ‘Abdul
Fath, (Riyadh; Dar ‘Alam al-Kutub),th. 1417 H., juz II, hal. 328.
12
merupakan perkara yang diperingati oleh para ulama untuk dijauhi, dan ancaman dalam
hal ini bukan perkara yang ringan.
Terakhir, kami memperingati kaum muslimin untuk menjauhi istilah yang
digunakan oleh penyusun ketika menyebutkan nama Allah , Rasulullah , bahakan
sahabat . Beliau—sebgaimana yang tampak dari pernyataan beliau yang kami bawakan
tadi—menyingkat lafazh taqdis/tasbih terhadap Allah dengan swt., shalawat dan salam
terhadap Rasulullah dengan saw., serta taradhi terhadap sahabat dengan ra. dan
sebagainya. Para ulama—sejak masa lalu hingga hari ini—telah memperingati perkara ini
sebagai perkara yang dibenci. Hal ini dapat menghalangi manusia dari mengucapkan
kebaikan yang disyari’atkan terhadap mereka. Dan perkara ini merupakan realita pada hari
ini.
Demikian apa yang dapat kami rangkum dari penelitian kami terhadap kitab Tafsir
al-Mishbah karya Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab. Kami memohon kepada Allah
untuk dihisupkan serta dimatikan di atas sunnah. Kai mengharap taufiq dari Allah untuk
beraqidah, beribadah, berakhlak, dengan aqidah, ibadah, dan akhlak yang telah Dia
tunjukkan dan bimbing para salaf al-ummah dengannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar