Masyarakat
Arab, sebelum kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad SAW, dikenal dengan
sebutan jahiliyah. Jika merujuk pada arti kata jahiliyah (yang berasal
dari bahasa Arab dari kata jahala yang berarti bodoh), maka secara harfiyah bisa disimpulkan bahwa masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang bodoh.
Sebutan
jahiliyah ini perlu mendapat penjelasan lebih lanjut, sebab dari
situlah akan terbangun pola kontruksi terhadap masyarakat Arab masa itu,
yang di dalamnya adalah juga nenek moyang Nabi Muhammad SAW dan
sekaligus cikal bakal masyarakat Islam. Jika masyarakat jahiliyah kita
artikan sebagai masyarakat bodoh dalam pengertian primitif yang tak
mengenal pengetahuan atau budaya; tentu sulit dipertanggungjawabkan,
karena berdasarkan data sejarah, masyarakat Arab waktu itu juga telah
memiliki nilai-nilai peradaban—sesederhana pun peradaban itu.
M. Quraish Shihab dalam Mukjizat Al Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaaan Ghaib (Mizan, 1999) menyebut beberapa pengetahuan yang dimiliki masyarakat Arab, diantaranya dalam bidang:
- Astronomi, tetapi terbatas pada penggunaan bintang untuk petunjuk jalan, atau mengetahui jenis musim.
- Meteorologi mereka gunakan untuk mengetahui cuaca dan turunnya hujan.
- Sedikit tentang sejarah umat sekitarnya.
- Pengobatan berdasarkan pengalaman.
- Perdukunan dan semacamnya.
- Bahasa dan Sastra (sering diadakan musabaqah [perlombaan] dalam menyusun syair atau petuah dan nasehat. Syair-syair yang dinilai indah, digantung di Ka’bah, sebagai penghormatan kepada penggubahnya sekaligus untuk dapat dinikmati oleh yang melihat atau membacanya. Penyair mendapat kedudukan yang istimewa. Mereka dinilai sebagai pembela kaumnya. Dengan syair mereka mengangkat reputasi satu kaum atau seseorang dan juga sebaliknya dapat menjatuhkannya).
Sementara itu Prof. Dr. Hamka (Sejarah Umat Islam, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, 2002) mencirikan masyarakat Arab (Utara) dengan beberapa ciri:
- Bahasa. Bahasa banyak bercampur dengan bahasa negeri lain yang bergaul dengan mereka, terutama ketika Quraisy menjadi penjaga Mekkah. Banyak kabilah yang berdatangan berziarah ke Mekkah tiap-tiap tahun. Juga karena keperluan perniagaan, banyak orang-orang Quraisy berniaga ke luar negeri, ke Yaman, Iraq, Habsyi, Hauraan, Parsi, Hindustan. Dalam pergumulan itu terjadi penambahan perbendaharaan bahasa sehingga menjadikan bahasa Arab kaya raya.
- Pepatah dan Petitih. Bangsa Arab banyak sekali mempunyai amsal dan perumpamaan. Amsal dan perumpamaan itu lekas tersiar di dalam kalangan orang banyak, karena pendek, jitu, dan mudah menghafalnya.
- Syair.Dengan syair itulah mereka akan dapat melepaskan senak yang menggelora dari dalam jiwa raga, terutama dalam perjuangan dan pertempuran. Ahli syair mendapatkan kedudukan tertinggi di dalam kabilahnya.
- Ahli Pidato. Ahli pidato ini mulai mendapat perhatian ketika ahli syair sudah mulai mengharap upah dari karyanya. Ahli pidato diperlukan untuk membangkitkan semangat (perang). Berbeda dengan syair yang menggunakan bahasa yang pelik, ahli pidato cukup menggunakan kata-kata biasa, tetapi dapat menumpahkan segenap yang terasa dalam hati.
- Ilmu Keturunan. Di antara sekian banyak bangsa-bangsa, maka bangsa Arab itulah suatu bangsa yang sangat mementingkan menghafal pohon keturunan dari mana nenek, dari mana asal, pecahan dari siapa, keturunan siapa dan ke mana pula turun si fulan, sehingga dengan menyebutkan nama kabilah saja, sudah mudah yang lain mengetahui di keturunan ke berapa bertemu sejarah nasab mereka. Mereka perlu benar mengetahui dan memelihara itu, sebaba mereka kerap kali berperang untuk merapatkan perhubungan di antara yang seketuruanan di dalam menghadapi yang lain. Tingkat keturunan itu mereka bagi enam. Sya’ab, Kabilah, Imarah, bathn, fakhidz, dan fusailah.
- Cerita Pusaka (Dongeng). Bangsa Arab kuat sekali menghafal cerita pusaka nenek moyang terutama yang berhubungan dengan kisah perjuangan kaum mereka dengan kaum lain, atau kabilah dengan kabilah lain.
- Tenung dan Ramal.
- Ilmu Bintang. Bangsa Arab mengerti juga tentang keadaan bintang, meskipun sekedar untuk mengetahui musim korma berbuah atau untuk mengetahui bilamana mereka patut berangkat ke Syam atau ke Tha’if.
- Berkuda dan Memanah. Bangsa Arab pun terhitung satu bangsa yang tahu tuah dan celaka kuda, pandai pula memperhatikan bentuk badan dan belangnya. Mereka juga terhitung bangsa yang terpandai dalam urusan panah-memanah, karena bukan saja hidup mereka adalah memanah burung dan binatang, tetapi panah itu juga merupakan alat peperangan yang terpenting. Mereka juga pandai mempermainkan tombak dan pedang.
Meskipun
memiliki pengetahuan pada beberapa bidang, namun sesungguhnya ciri lain
yang melekat pada masyarakat Arab adalah masyarakat ummiyyin (jamak dari ummiy dari kata umm yang berarti ibu; jadi masyarakat ummiy berarti masyarakat yang keadaannya sama dengan keadaaan saat dia dilahirkan oleh ibu—tidak bisa baca tulis).
Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda: “Kami umat yang ummiy, kami tidak pandai menulis, tidak juga pandai berhitung. Bulan, begini, begini, dan begini.”
(Beliau menggunakan jari-jari kedua tangannya untuk mengisyaratkan
angka dua puluh sembilan atau tiga puluh hari). [HR. Muslim dan An
Nasa’ai]
Kemampuan
baca tulis sangat minim. Jumlah yang bisa baca tulis sangat terbatas.
Oleh karena itu mereka mengandalkan hafalan, yang pada gilirannya
menjadi tolok ukur kecerdasan dan kemampuan ilmiah seseorang.
Masyarakat Arab waktu itu juga dikenal tidak mahir berhitung. Bahkan bahasa Arab memperkenalkan apa yang dinamai wawu tsamaniyah, yaitu huruf wawu yang
digandengkan dengan angka delapan), karena angka yang sempurna bagi
mereka adalah tujuh sehingga bila menghitung dari satu sampai tujuh,
mereka menyebutnya secara berurut, tetapi ketika sampai ke angka delapan
mereka menambahkan wawu. Karena itu angka tujuh bukan saja berarti angka di atas enam dan di bawah delapan, melainkan juga berarti banyak.
Dengan
demikian apakah karena minimnya kemampuan baca-tulis-hitung masyarakat
Arab yang menyebabkan mereka disebut jahiliyah? Tentu tidak, karena Nabi
Muhammad SAW sendiri termasuk yang tidak bisa baca-tulis.
Lantas, apa yang dimaksud masyarakat jahiliyah? Dalam Sejarah Hidup Muhammad Sirah Nabawiyah (Robbani
Pres, 1998), Syaikh Shafiyyur Rahman Al Mubarakfuy menjelaskan kondisi
sosial masyarakat Arab yang disebut dengan jahiliyyah, diantaranya yang
bisa dilihat dari hubungan antara laki-laki dengan wanita di kalangan
masyarakat biasa. Dalam hal perkawinan, misalnya, dikenal 4 macam,
yaitu:
- Seorang lelaki meminang (calon istri) kepada walinya, kemudian memberinya mahar dan menikahinya (pernikahan lazimnya sekarang).
- Perkawinan istibdha’ (mencari bibit unggul), yaitu apabila seorang istri sudah bersih dari haidnya, sang suami berkata kepadanya, “Pergilah kepada fulan dan mintalah bersetubuh dengannya.” Maka, sang suami menjauhinya dan tidak menyetubuhinya selama belum nyata kehamilannya dari hasil persetubuhan dengan orang tersebut. Setelah nyata kehamilannya, sang suami baru menggaulinya bila menginginkannya. Hal tersebut dilakukan karena keinginannya memiliki keturunan anak yang pandai dan berani.
- Sekelompok orang berjumlah kurang dari sepuluh mendatangi seorang wanita, semuanya menyetubuhinya. Apabila sudah hamil dan melahirkan anaknya, wanita tersebut mendatangi mereka, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu menolak sehingga mereka berkumpul di tempat wanita tersebut. Kemudian wanita tersebut berkata kepada mereka, “Kalian sudah mengetahui perbuatan yang telah kalian lakukan. Saya telah melahirkan seorang anak. Anak ini adalah anakmu wahai fulan (sambil menyebutkan nama salah seorang dari mereka yang dicintai).” Kemudian anak tersebut dinisbatkan kepadanya.
- Orang banyak berkumpul lalu mendatangi seorang wanita pelacur yang tidak pernah menolak orang yang datang kepadanya. Para pelacur itu meletakkan bendera di depan pintunya sebagai tanda bahwa siapapun yang menginginkannya boleh memasukinya. Setelah pelacur tersebut hamil dan melahirkan, mereka berkumpul di tempatnya dan mereka mengundang Qafah (orang yang bisa nengetahui persamaan anatara anak dan bapak lewat tanda-tanda yang tersembunyi). Kemudia sang Qafah tersebut menisbatkan anak pelacur tersebut kepada orang yang dia lihat (memiliki tanda persamaan dengan anak tersebut), dan orang tersebut menganggapnya sebagai anaknya, tidak boleh menolak.
Selain
empat macam perkawinan di atas, ada bentuk-bentuk lain hubungan
laki-laki dengan wanita yang termasuk jahiliyah misalnya dalam
peperangan antarkabilah, yang menang menawan para istri dari kabilah
yang kalah, dan menghalalkan kehormatannya. Sedangkan anak-anak para
wanita tersebut akan menanggung aib selama hidupnya.
Dalam
hal poligami, mereka melakukan tanpa batas; misalnya menawini dua
wanita yang bersaudara; mengawini istri bapak mereka setelah ditalak
atau ditinggal mati. Ada di antara suku Arab yang suka membunuh anak
perempuannya sendiri karena malu, atau karena anak itu tidak menarik
hatinya. Ada pula yang membunuh karena takut miskin.
Namun
begitu, di kalangan bangsawan Arab, hubungan laki-laki dengan wanita
(istri) sudah berada pada tingkat kemajuan. Seorang istri memiliki
kebebasan berpikir dan berbicara dalam porsi yang cukup besar. Seorang
istri dihormati dan dilindungi, dan apabila kehormatan diganggu,
pedanglah yang berbicara dan darah pun tumpah.
Perlakuan
buruk terhadap wanita; ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
Arab melainkan juga justru sudah menjadi tradisi bangsa-bangsa yang
memiliki “peradaban” besar. Di kalangan masyarakat Yunani, yang dikenal
dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, wanita di kalangan elit
ditempatkan (disekap) dalam istana-istana.
Sementara
di kalangan bawah lebih menyedihkan lagi. Mereka diperjualbelikan,
sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan
suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak waris pun
tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani, wanita diberi kebebasan
sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan
seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan; tempat-tempat
pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra/seni.
Patung-patung wanita telanjang di negara-negara Barat adalah bukti atau
sisa pandangan ini.
Dalam
peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya.
Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang ayah. Kekuasaan
itu mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh.
Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil
usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki. Pada zaman
kaisar Constantine terjadi perubahan yaitu dengan diundangkannya hak
pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan bahwa setiap transaksi
harus disetujui oleh keluarga (suami dan istri).
Peradaban
Hindu dan Cina tidak lebih baik dari peradaban-peradaban Yunani dan
Romawi. Hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat
kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat
suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 M. Wanita pada
masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi apa yang
mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka mengatakan bahwa
“Racun, ular, dan api tidak lebih jahat daripada wanita”. Sementara
dalam petuah Cina kuno diajarkan “Anda boleh mendengar pembicaraan
wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya”.
Dalam
ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak
menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
Ajaran mereka menanggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang
menyebabkan adam terusir dari surga.
Dalam
pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita
adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 M
diselenggarakan konsili yang memperbincangkan apakah wanita mempunyai
ruh atau tidak, yang akhirnya dirumuskan kesimpulan bahwa wanita tidak
mempunyai ruh suci. Bahkan pada pada abad ke-6 M diselenggarakan suatu
pertemuan untuk membahas apakah wanita itu manusia atau bukan manusia.
Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang
diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. (M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an – Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, 2001)
Menjadi
sangat menarik untuk ditelah adalah, jika karena tata pergaulan
laki-laki dan wanita yang bebas pada masyarakat Arab yang dijadikan alas
an untuk memberi cap mereka masyarakat jahiliyah, maka cap apakah yang
pantas diberikan pada masyarakat non Arab yang bahkan dalam beberapa hal
lebih buruk perilakunya?
Masyarakat Pengembara
Salah satu ciri masyarakat Arab adalah masyarakat pengembara. Hidupnya tidak pernah menetap (nomaden), berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Cara hidup yang demikian ini meniscayakan mereka untuk hidup berkelompok (kabilah) berdasarkan pertalian darah atau keluarga. Pada kabilah itu kita akan menemukan prinsip-prinsip penting, diantaranya.
-
Keharusan survival, baik dari ancaman alam maupun lawan.
-
Tidak ada aturan yang mengingat mereka, kecuali asas kebebasan dan persamaan antara anggota-anggota kabilah atau kabilah-kabilah lain.
-
Menjaga kehormatan dan harga diri (muru’ah), tolong menolong, dan melindungi atas anggota kabilah dari ketidakadilan atau perlakuan buruk lainnya, sehingga mendorong munculnya prinsip lainnya, yaitu:
-
Perang, yang di dalamnya juga terkandung sikap sensitive dan pemberani.
(baca Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, 2002; juga Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi – Sebuah Biografi Kritis, Risalah Gusti, 2004).
Dalam
perspektif seperti di atas, maka (suka) perang tidak bisa begitu saja
diartikan sebagai sikap kaum barbar, yang suka menyerang dengan logika
hukum rimba, “Siapa yang kuat dialah yang menang”. Justru dari situ
nampak bahwa perang adalah bagian dari upaya untuk mempertahankan hidup
dan menjaga harga diri. Maka, jahiliyah tidak berarti prinsip suka
perang.
Sifat-sifat lain yang melekat pada masyarakat Jazirah Arab, adalah:
- Dermawan. Contoh-contoh dari sifat kedermawanan ini adalah sanggup menanggung denda yang cukup besar untuk mencegah tumpahnya darah dan hilangnya nyawa manusia.
- Menghormati Tamu. Apabila seseorang kedatangan tamu dalam situasi dingin yang mencekam dan lapar, sementara dia tidak memiliki harta selain onta yang menjadi bekal hidupnya dan keluarganya, maka onta tersebut akan disembelih untuk tamunya tersebut.
- Tepat janji, karena janji adalah hutang yang harus dipegang.
- Kuat tekat. Apabila bertekad melakukan sesuatu yang dipandang mengandung kemuliaan dan kebanggaan, mereka tidak dapat dipalingkan oleh suatu apapun.
- Santun, tekun, dan hati-hati. Meskipun sifat ini terdominasi oleh sifat pemberani.
- Bersahaja ala kehidupan Badui dan tidak ternodai oleh noda-noda dan tipu daya peradaban (kemewahan, hidup stabil). Dampak dari sifat ini adalah jujur, amanah, jauh dari penipuan dan kecurangan.
(baca Syaikh Shafiyyur Rahman Al Mubarakfuy, Sejarah Hidup Muhammad Sirah Nabawiyah, Robbani Pres, 1998)
Menurut Prof Dr. Hamka, masyarakat Arab (Utara) memeluk macam-macam agama dan kepercayaan:
- Ada yang berpegang pada agama Nabi Ibrahim. Kelompok ini terbagi lagi menjadi dua, yang tetap memegang apa yang diterimanya dari Nabi Ibrahim itu dan tidak diubah-ubahnya dan yang memberi beberapa tambahan.
- Penyembah berhala. Penyembah berhala ini juga terbagi menjadi tiga, yaitu
- Yang mengakui adanya Tuhan Yang Mahas Esa, tetapi dalam penyembahan mereka menggunakan berhala sebagai perantara.
- Menyembah berhala karena punya pendirian bahwa berhala itu tidak berubah dengan ka’bah, sama-sama dijadikan sebagai kiblat di dalam menyembah Allah Ta’ala.
- Mereka yang berkata bahwa dalam tiap-tiap berhala itu ada syaitan, yang mengatur baik buruk nasib manusia. Jadi yang disembah itu syaitan, bukan berhalanya.
- Peyembah matahari. Mereka berkeyakinan bahwa matahari itu sebangsa malaikat. Adapun bulan dan bintang-bintang semuanya meminta cahaya darinya. Buruk dan baik nasib alam ini tergantung kepada belas kasihan matahari. Karena itulah matahari perlu disembah, dibesarkan, dan dimuliakan.
- Penyembah bulan. Dia disembah karena mengatur alam sebelah bawah.
- Dahriyin. Mereka yang tidak mengakui ada yang menjadikan alam dan tidak mengakui akan datangnya hari kiamat.
- Sabiah. Mereka yang menggantungkan kepercayaannya kepada perjalanan bintang dan falak, berkeyakinan bahwasanya segala sesuatu itu, geraknya dan diamnya, berjalan dan berhentinya, semua itu bertali dan berkait dengan bintang-bintang.
- Penyembah malaikat, karena dianggap anaka perempuan Tuhan.
- Zindiq.
- Penyembah api.
- Pemeluk Yahudi. Berkembang di Hejaz, terutama di Khaibar dan di antara bani Quraizah, bani Nadhir, dan bani Qainuqa’ di Medinah.
- Pemeluk Nasrani. Masuk dari negeri Rumawi dibawa oleh anggota pemerintahan kerajaan Ghassaan yang melawat ke sana karena berniaga. Agama ini berkembang lewat dua firkah, yaitu Nasturiah di Hirah dan Ya’qubiyah di Syam.
Masyarakat jahiliyah tidak merujuk pada masyarakat bodoh dalam pengertian tiadanya pengetahuan dan peradaban, melainkan pada nilai-nilai yang jauh dari kebenaran (fitrah, Islam). [baca Al Maidah/5:50; Al Fath/48:26]
- Masyarakat jahiliyah tidak
merujuk pada kurun waktu tertentu, melainkan suatu kondisi masyarakat
(bandingkan perilaku sosial masyarakat Arab pra Islam dengan masyarakat
modern, kini) [baca Al Ahzab/33:33]
- Masyarakat jahiliyah tidak merujuk
pada masyarakat tertentu (Arab, misalnya) tetapi juga bisa pada
masyarakat lain (bandingkan, misalnya, perilaku sosial dalam hubungan
laki-laki dan wanita antara masyarakat Arab, Romawi, Yunanai, India,
atau Cina!)
- Dalam pengetahuan dan peradaban, masyarakat Arab tidak bisa disebut jahiliyyah (bodoh) dalam pengertian barbar dan primitif. Justru banyak perilaku dan pengetahuan positif yang dihasilkan mereka, yang kemudian dipelihara oleh Islam, misalnya dalam penghormatan tamu, kedermawanan, tepat janji, bersahaja.
- Yang dimaksud masyarakat jahiliyah
sebelum datangnya Islam adalah keseluruhan masyarakat (tidak hanya
Arab), yang menjauhi nilai-nilai fitrah, yang sudah dibawa oleh para
Rasul pembawa risalah tauhid.
- Penyempitan makna jahiliyah hanya pada masyarakat Arab pra Islam akan menimbulkan bias bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu lahir dari nenek moyang bodoh, yang jauh dari nilai-nilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar