TAFSIR ADABI AL-IJTIMA’I
Makalah Untuk Tugas Mata
Kuliah
Metodologi Tafsir II
Oleh:
Enjen Zaenal Mutaqin
TH VII A
Dosen Pembimbing :
Dr. Badruzaman M Yunus, MA
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSIT ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang masalah
Abad ke-19 dunia Islam
mengalami masa suram, terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara
muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa itulah muncul
seorang pemimpin Jamaluddin al-Afghani, mengumandangkan seruan untuk
membangkitkan muslimin. Muridnya yang pertam yang mengikuti jejaknya ialah
Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan
pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern,
dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban,
kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan.[1]
Maka dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang
tidak memberikan perhatian khusus kepada segi-segi dan sisi-sisi kajian seperti
nahwu, istilah-istilah dalam balaghah,bahasa, dll. Perhatian
pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah
dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang
bernilai tinggi, yaitu member peringatan dan kabar gembira., oleh karena tafsir
yang bermanfaat bagi ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari
segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan
kepada manusia cara untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[2]
Corak ataupun model penafsiran tersebut di kenal
dengan nama al-Laun al-Adaby al-Ijtima’I. Dan salah satu kitab tafsir
yang bercorak seperti ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil
karya dari dua tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh
Muhammad Abduh dan Sayyid Muahammad Rasyid Ridha.
2. Identifikasi masalah
Dalam makalah ini,
penulis ingin memaparkan tentang pengertian tafsir bercorak bahasa dan
sastranya, perkembangan dan kepentingan penafsiran AlQuran dengan bercorak
sastra dari bahasa-bahasa AlQuran
3. Rumusan masalah
a. Apa
pengertian corak tafsir sastra, budaya, dan social kemasyarakatan
b. Siapa
sajakah tokoh Tafsir adaby al-ijtima`
c. Sebukan
contoh penafsiran adaby al-ijtima`
4. Tujuan
Penelitian
a. Mengeahui
pengertian Tafsir adaby al-ijtima`
b. Mengetahui
Tokoh-tokoh Tafsir adaby al-ijtima`
c. Menetahui
contoh penafsiran adaby al-ijtima`
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian corak tafsir al-Adabi wa al-Ijtima`iy
Kata al-adaby dilihat
dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang
berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut
bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah
laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu,
istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy
bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah
tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di
sebut dengan tafsir sosio-kultural.[3]
Berbagai model tafsir yang
sudah mulai berkembang di Indonesia adalah tafsir al-Adabi wa al-Ijtima’iy.
Model tafsir ini adalah tafsir yang pembahasannya lebih menekankan pada
aspek-aspek sastra, budaya, dan kemasyarakatan. Definisi tafsir jenis ini
dirinci dan di uraikan oleh para ahli sebagai berikut. Sebagai contoh, Dr.
Muhammad Husai al-Dzahabi mengatakan tafsir al-Adaby wa al-Ijtima’iy
adalah tafsir yang menyingkapkan balaghah, keindahan bahasa alQuran dan
ketelitian redaksinya, kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat alQuran dengan
sunatullah dan aturan hidup kemasyarakatan, yang berguna untuk memecahkan
problemaka umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya.[4]
Sedangkan Manna’ Qathan
memberikan definisi: “Tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf al-Ummah
dan dengan urayan tentang sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Menguraikan
gaya alQuran yang pelik dengan menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang
mudah serta berusaha menerangkan maslah-masalah yang musykil dengan
maksud untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta mengobati
penyakit masyarakat dengan petunjuk alQuran.”[5] Dari definisi tersebut dapat diketahui beberapa
hal, sebagai berikut:
a. Tafsir ini
menekankan penelitiannya pada keindahan gaya bahasa alQuran serta ketelitian
redaksinya, yang didalamnya terkandung hikmah mendalam yang dapat meamberikan
sentuhan iman dan rangsangan intelektual.
b. Dalam tafsir
ini makna yang dicakup oleh ayat alQuran dikaitkan dengan sunatullah sertan
peran dan kedudukan akal sangat penting.
c. Tafsir ini
mengungkapkan sunatullah yang berlaku pada umat terdahulu yang di pandang
penting untuk mendorong pembangunan demi emakmuran masyarakat. Pemahaman dan
pemamfaatan sunatullah harus dilandasi dengan nilai moral yang bersumber dari
alQuran.
d. Diampin
mempergunakan interpretasimakal, tafsir ini juga menggunakan riwayat-riwayat,
(atsr) dan sejarah. Hingga dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggabungkan
antara pendekatan akal, atsar dan sejarah.
2. Corak penafsirannya
Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah corak
tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi
penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk
ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti tapi indah didengar.[6]
Corak penafsiran pada aliran tafsir ini
meliputibeberapa hal pokok yaitu; pertama, memandang bahwa setiap surat
merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya mempunyai hubungan yang serasi. Salah
satu yang menonjol dalam tafsir ini adalah berusah membuktikan bahwa ayat-ayat
dan surat dalam alQuran merupakan satu kesatuan yang utuh, sebab mustahil
alQuran sebagai kalamullah tidak memeiliki relevansi dalam ayat-ayat dan surarnya.
Syaih Muhammad Abduh, tokoh
utama aliran tafsirini membuktikan hal tersebut, dengan member contoh pada ayat
1 dan 2 surat al-Fajr, Wal fajri walayalin ‘asrin (demi malam dan bulan
kesepuluh). Menurut beliau, para mufassir tidak menjelaskan relevansi ayat
tersebut karena menganggap tidak sejalan. Mereka member arti khusus, padahal
kata al-faj dan layal mempunyai pengertian umum. Sebab apabial alQuran
menyebutkan waktu tertentu, maka diberi ciri atau sifat tertentu pula, misalnya
yaum al-qiyamah, al-yaum amau’ud,laylat al-qadr, dan sebagainya. Jadi
al-faj dan layal di atas menunjukkan waktu secara umum. Hubungan munasabah
antara dua ayat tersebut terletak pada kesamaannya yakni fajar yang terbit
dapat menggeser kegelapan malam dan akhirnya malam dikalahkan oleh terang yang
merata.
Kedua adalah, keumuman kandungan alQuran. Menurut
Muhammad Abduh, kandungan alQuran bersifat universal dan berlaku terus sampai
hari kiamat. Di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran, janji dan ancaman,
berita gembira dan siksa, serta ajaran tentang aqidah, akhlak dan ibadah yang
dapat berlaku semua umat dan bangsa, bukan umat tertentu saja.[7]
Ketiga adalah, alQuran sumber utama aqidah dan syariat
Islam. Untuk menetapkan suatu ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang
pertama yaitu alQuran. Muhammad Abduh sebagai tokoh utama aliran tafsir ini
mengecam sementara mufassir yang menganggap bahwa sebagian ayat alQuran musykil
hanya tidak sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
Keempat adalah, menerangi taklid buta. Salah satu
aliran tafsir ini adalah berusaha menghilangkan taklid buta dalam masyrakat
Islam, karena dianggap menyebabkan umat Islam beku, tidak dinamis dan
tidak mencerdaskan masyarakat. Pendapat tengtang perlunya membuka pintu ijtihad
dan usaha memerangi taklid didasarkan atas kepercayaan alQuran pada kekuatan
akal.
Kelima adalah, penggunaan daya pikir serta nalar dan
metode ilmiah. Di dalam alQuran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia
melakukan nadzar (pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran
darri pertanda kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.
Karena itu lah Allah memberikan anugerah kepada manusia berupa dua macam
ayat-Nya, yaitu alQuran (wahyu) dan ayat kauniyyah (alam semesta).[8]
Keenam adalah, peranan akal (nalar) dalam pemahaman
alQuran. Salah satu corak aliran Islam ini adalah penggunaan interpretasi oleh
akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa alQutan sangat menghargai akal pikiran
dan memberikan kedudukan yang terhormat. Karena itu, dalam alQuran banyak ayat
yang menyuruh menggunakan akal pikiran seperti; afala ta’qilun, afala
tatafakkarun dan sebagainya.
Karena itu, wahyu dan akal
kedudukannya merupakan tanda kekuasaan Allah dalam wujud ini. Kedua tanda kekuasaan
itu tidak mungkin berlawanan, karena:
1. Keduanya
menjadi tanda zat yang mutlak sempurna. Akal manusia memustahilkan adanya
perlawanan antara tanda-tanda tersebut karena perlawanan itu berarti suatu
kelemaha.
2. Wahyu dan akal keduanya menjadi
sumber hidayah, keduanya menuntun pada jalan yang lurus untuk kehidupan manusia
dan menentukan tujuan akhir manusia dalam kehidupannya di atas dunia ini. Kedua hal yang demikian keadaannya tidak akan
berbeda di dalam garis besar dalam menentukan arah dan tujuan hidup manusia.
Muhammad Abduh meletakkan akal
dalam kedudukan yang tinggi dalam menafsirkan ayat. Sebagai contoh, menurut
beliau malaikat bukan merupakan satu “person” tetapi bersifat satu kekuatan
yang berfungsi mengateur mekanisme pertumbuhan dan perkembangan makhluk-makhluk
di alam semesta ini.
Ketujuh, tidakmenjelaskan masalah mubham yang terdapat
dalam alQuran. Aliran tafsir ini tidak menjelaskan yang mubha, yaitu persoalan
yang samara tau tidak di terangkan hakikatnya dalam alQuran. Sebagai
contoh al-Baqarah (sapi betina) dan al-qaryah yang masing-masing di sebut dalam
surat al-Baqarah ayat 67 dan ayat 58, juga wa faqihah, wa abba pada ayat 31
surat ’Abasa dan lain-lain.
Kedelapan, sangat hati-hati mengambil riwayat yang
bersumber dari sahabat dan tabi’in dan menolak Israiliat. Sekalipun
tafsir ini bercorak bi al-ma’tsur disampinng aqli, tetapi sangat
behati-hati menerima riwayat dari sahabat dan tabi’in. bahkan menggunakan
hadispun sangat selektif. Hal ini dilator belakangi oleh Muhammad Abduh yang
sangatrasional sehingga tidak terlalu percaya pada rangkayan sanat ataupun
hadits.
Kesembilan adalah, merelevensikan ayat-ayat alQuran dengan
kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan aliran tafsir ini yang berorientasi kepada
kemasyarakatan, maka salah satu corak penafsirannya adalah mengkaitkan antara
ayat alQuran dengan kebutuhan masyarakat. Pada masa Abduh, umat Isalam berada
dalam cengkraman kolonia barat. Maka ttefsir ini berusaha membangkitkan umat
dari tidurnya, bangkit melawan penjajah dan kembali mengkaji nilai-nnilai
alQuran sehingga dapat mendorong pada pembangunan dan kemakmuran rakyat.
Sepeninggal Muhammad Abduh,
karya tafsir ini dilanjutkan oleh Rashid Ridla. Dia berusaha mengkaji aya-ayat
alQuran dengan berbagai disiplin ilmu seperti: fikih, ushul fikih, pengetahuan
tentang rijal al-hadits (hukum-hukum) kemasyarakatan, pendapat-pendapat
para mufassir dan sertab ulum alQuran.
Jadi, corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima’ adalah
corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu
corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi
ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian
merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
3. Tokoh Tafsir adaby al-ijtima`
Tokoh utama aliran tafsir ini adalah Syaikh Muhammad
Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa
Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. ia berasal
dari keluarga yang tidak tergolong kaya, tidak pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka memberi pertolongan.[9] Muhammad Abduh
terkenal sebagai orang yang tajam pemikiranya. Dalam usia enam tahun telah
menghafal alQuran setelah itu ia di kirim ayahnya ke Tanta untuk belajar
ilmu-ilmu agama kemudian pergi ke Kairo dan tinggal di Mesjid al-Azhar sebagai
sufi, atas anjuran pamanya kemudian kehidupanya itu di tinnggal kannya
Mula-mula Muhammad Abduh
dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha untuk mempelajari tajwid
al-Qur’an. Ia belajar disan sampai dua tahun. Setelah itu, ia memutuskan untuk
kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum kerabatnya.
Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.Walaupun sudah kawin, ayahnya
memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk
tidak kembali. Maka ia lari ke desa Syibral Khit, di sana banyak paman dari
pihak ayahnya bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh
Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan tentang
al-Qur’an. Sang paman berhasil mengubah pandangan pemuda Muhammad Abduh dari
seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi seorang yang menggemarinya.
Dari sini Muhammad Abduh kembali ke Masjid al-Ahmadi
Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar telah jauh berbeda
disbanding pertama kali ia ke sana.Dari Thantha, Muhammad Abduh menuju ke Kairo
untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari, 1866. Namun system pengajaran ketika itu tidak
berkenan di hatinya, karena menurut Abduh:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.” Namun demikian, di perguruan tinggi ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.” Namun demikian, di perguruan tinggi ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
1. Syaikh Hasan
al-Thawil yang mengajarkan kitab filsafat, padahal kitab tersebut tidak diajarkan
pada waktu itu.
2. Muhammad al-Basyuni, seorang yang
banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melaluiajaran
tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.[10]
Pada tahun 1294 H ia telah
memperoleh ijazah sarjana dari al-Azhar. Kemudian, Jamaluddin al-Afghani ketika
itu dating ke Mesir. Muahmmad Abduh bertemu dengan dia dan mendengarkan
kuliah-kuliahnya, baik di rumahnya, di kafenya, ketika ia sedang berkunjung
atau dikunjungi. Kedua tokoh ini mersa ada kesamaan tujuan dan cocok, sehingga
mereka akhirnya saling membantu dan sama-sama menaruh rasa suka.[11] Setelah dua
tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah perubahan
yang sangat berarti pada keperibadian Abduh, dan mulailah ia menulis
kitab-kitab karangannya seperti Risalah al-‘Aridat (1873), disusul
kemudian dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal al-Dawwani Li al-Aqa’id
al-Adhudhiyah (1875). Dalam
karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis
dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan
tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.[12]
Pada tahun 1888 Muahammad Abduh kembali ke tanah
airnya yang sebelumnya ia berpindah-pidah tempat dengan berbagai alasan, dan
oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha.
Walaupun ketika itu Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun agaknya
pemerintah Mesir sengaja untuk merintangi, agar pemikiran-pemikirannya yang
mungkin bertentangan dengan kebijakan pemerintah pada saat itu tidak dapat
diteruskan pada putra-putri Mesir.Pada tahun 1905 Muhammad Abduh mencetuskan
ide pembentukan universitas Mesir. Ide ini
mendapat tanggapan antusias dari pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan
disediakannya sebidang tanah untuk maksud tersebut. Namun sayang, universitas
yang ia cita-citakan baru berdiri setelah ia berpulang ke Rahmatullah, dan
universitas inilah yang kemudian menjadi “Universitas Kairo.”
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
telah merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya.
Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis
Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini.
Benih-benih kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin
al-Afghani, yang kepadanya Abduh berguru. Abduh memebrikan mata kuliah tafsir
di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya.
Dan Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut,
paling semangat dan mencatatnya dengan teliti, yang akhirnya dengan gurunya
inilah ia buahkan kitab tafsir yang diberi nama al-Manar.[13] Pada 11 Juli 1905, Muhammad Abduh meninggal
dunia di Kairo, Mesir. Yang menangisi kepergiannya bukan hanya umat Islam,
tetapi ikut pula berduka sekian banyak tokoh non-Muslim.[14]
Disamping pengaruh pendidikan dan pengalaman yang
dilaluinya maka salah satu kekerasan yang sangat membangkitkan semangat dan
membuka cakrawala pandangan beliau adlah pertemuannnya dengan Sayyid Jamaluddin
al-Afghani pada 1872 M, untuk kemudian menjadi muridnya yang setia. Karena pengabdian gurunya itu, ia terjun
kelapangan persurat kabaran. Beliau pernah di tunjuk sebagai redaktur surat
kabar Al-Waqiyah al-Rasmiyyah. Kemudian setelah menyelesaikan
pelajarannya di Dar al-Ulumia diangkar. Ia diangkat diangkat sebagi guru di
perguruan tersebut.
Beliau bersama gurunya,
Jamaluddin al-Afghani, dikenal sebagai modernis Islam yang menyeruan kepada
umat Islam di dunia untuk bangkit dari tidurnya. Bangkit melawan kekuasaan
asing yang menjajah tanah airnya, serta membangkitkan umat Islam agar dapatd
tampil sejajar dengan bangsa lain.
Pemikiran-pemikiran beliau
dituangkan melalui cermah-ceramah, kuliah dan tulisan-tulisan, antara lain
melalui penafsiran Alquran yang kemudian melahirkan metode yang baru dari
metode sebelumnya. Karya tafsir beliau pada mulanya disajikan dalam bentuk
kuliah, ceramah dan dajam bentuk tulisan. Tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir
Juz’amma, diselesaikan pada tahun 1321 H di Maroko. Tafsir Surah Wa
al-‘Ashar adalah hasil kuliah yang disajikan kepada para ulama Aljazair,
sedangkan Tafsir al-Fatihah sampai ayat 129 surat al-Nisa’ di selesaikan di
Mesir sewaktu menjalani enam tahun sisa umurnya, juga ada beberapa tafsir
beliau secara persial pada sejumlah ayat.[15]
Karya tafsir itu kemudian
dikumpulkan oleh muritnya, Rasyid ridla melalui proses konsultasi. Setelah
Muhammad Abduh wafat (1905 M) penafsiaran itu dilanjutkan oleh Rashid Ridla
sam[pai juz ke dua belas dari Tafsir Alquran al-Hakim, yang kemudian dikenal
dengan Tafsir al-Manar.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun,
suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Juamadil ‘Ula 1282 H.
Dia adalah bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari
Sayyidina Husain, Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Putri Rasulullah
saw.Disamping orangtuanya sendiri, Rasyid Ridha belajar juga kepada sekian
banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya
yang ketika itu dinamai al-Kuttab, di sana diajarkan membaca al-Qur’an,
menulis, dan dasar-dasar berhitung.Setelah tamat Rasyid Ridha dikirim oleh
orangtuanya ke Tripoli, Lebanon untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang
mengajarkan Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, behitung, dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah
tersebut adalah bahasa Turki, mengingat Lebanon pada saat itu berada di bawah
kekuasaan Ustmaniyah. Mereka belajar di sana dipersiapkan untuk menjadi
pegawai-pegawai pemerintah.
Karena itu Rasyid Ridha tidak
tertarik untuk belajar di sana. Setahun kemudian, yatu pada tahun 1299 H/1822
M, ia pindah ke Sekolah Islam Negri, yang merupakan sekolah terbaik pada saat
itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula
bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan oleh ulama besar Syam ketika
itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil
sangat besar terhadap perkembangan pemikiran Rasyid Ridha, karena hubungan
antara keduanya tidak terhenti walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh
pemerintah Turki. Syaikh Husan al-Jisr juga yang memberi kesempatan kepada
Rasyid Ridha untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli, kesempatan itu
kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar[16]
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung
halamannya, baik melalui pengajian-pengajian untuk kaumpria dan wanita maupun
tulisan-tulisannya di media masa,Muhammad Abduh memimpin pula gerakan pembaruan
di Mesir.Majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin
al-Afghani dan Muahammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia Islam,
ikut dibaca pula oleh Rasyid Ridha dan member pengaruh sangat besar terhadap
jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi pemuda
yang penuh semangat.Kekagumannya kepada Muhammad Abduhbertambah mendalam sejak
Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya pada 1885 dan mengajar sambil
mengarang. Pertemuan antar keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh
berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah, yang
mengajar di sekolah al-Khanutiyah. Berkat
inilah mereka berdua bertemu untuk pertama kali.Pertemuan kedua terjadi pada
tahun 1312 H/1894 M, juga di Tripoli. Kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh
sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan bagi Rasyid Ridha untuk menanyakan
sesuatu yang masih kabur baginya.
Setelah lima tahun dari
pertemuan kedua, maka baru pada 23 Rajab 1315 H/18 Januari 1898 M terjadi pertemuan
ketiga di Kairo, Mesir. Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid Ridha
mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah
masalah-masalah social, budaya dan agama.Pada mulanya Abduh tidak menyetujui
gagasan ini, karena pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media massa,
apalagi persoalan yang akan diolah kurang menarik perhatian umum. Namun Rasyid
Ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian selama satu
sampai dua tahun setelah penerbitan itu. Akhirnya Abduh merestui dan memeilih
nama al-Manar dari sekian banyak nama yang diusulkan Rasyid
Ridha.Akhirnya al-Manar melangsungkan launching pertamanya pada 22
Syawwal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa Mingguan sebanyak delapan halaman dan
mendapat sambutan hangat, bahkan bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab
sekitarnya saja, tetapi sampai ke Eropa bahkan ke Indonesia.[17] Setelah
suksesnya penerbitan majalah al-Manar, kemudian Rasyid Ridha menghimpun
dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang juga diberi
nama al-Manar, kitab tafsir ini mengandung pembaruan dan sesuai denga
perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Qur’an dengan
kehidupan masyarakat, disamping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang
memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan
tempat.[18]
Dalam perjalanan pulang dari
kota suez di Mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud al-Faisal, mobil yang
dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak. Selama dalam
perjalanan, Rasyid Ridha hanya membaca al-Qur’an, walau ia telah sekian kali
muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang
menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah dan disertai
senyuman, pada 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M.[19]
Mufassir yang lain yang bercorak al-adabi wa
al-ijtima’iy adalah Ahmad Mustafa al-Maraqhi dengan tafsirnya Tafsir al-Maraghi
dan Abdul Halim Mahmud, dalam kitabnya Tafsir Alquran al-Karim.
3. Contoh Tafsir adaby alijtima`
Pemikiran Muhammad Abduh yang dimasukkan dalam
penafsiran atas al-Qur’an, yang dipublikasikan berdasarkan atas kitab yang
diturunkan (wahyukan).perbedaan dalam tujuan menafsirkan al-Qur’an itu tampak
ketika beliau menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan persepektif sosiologi,
yang dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Hakim itu merupakan sumber
kebahagiaan baik dalam konteks urusan agama dan urusan duniawi dalam setiap
masa. Ketika spirit inilah, Muhammad Abduh memiliki pandangan yang bertolak
belakang dengan para ahli tafsir klasik, bahwa nilai al-Qur’an it uterus
mengalami peningkatan disebabkan minimnya pengaruh konseptual dari aturan-atura
balaghah tentang sinonimitas kata dalam al-Qur’an. Hal itu sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:
“sesungguhnya
Allah adalah Dzat yang maha penyayang serta pengasih kepada semua manusia”. Maka yang harus digaris bawahi dari bentuk
penggunaan dua lafazh yang menunjukkan pada dua makna yang sangat berdekatan
ini adalah menggambarkan tartib (susunan) makna yang ditunjukkan kedua lafazh
tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang datang setelahnya itu memiliki makna
yang lebih tinggi daripada makna lafazh sebelumnya. Para ahli Balaghah kemudian
menyebut kaidah ini dengan pola peningkatan dari makna yang lebih rendah ke
makna yang lebih tinggi (al-taraqi min al-adna ila al-a’la). Serta
pertayaan yang terkait dengan keyakinan: Apakah para nabi itu lebih mulia
derajatnya daripada derajat para malaikat? Maka golongan Mu’tazilah dan
sebagian dari golongan Asy’ari-al-Baqilani dan al-Hilimi menyatakan bahwa para
malaikat itu lebih utama derajatnya, sedangkan mazhab Asy’ari pada umumnya
menyatakan bahwa para nabi itulah yang memiliki derajat yang lebih utama
daripada malaikat. Telah terjadi perdebatan sengit seputar manakah yang lebih
utama , ketika menafsirkan ayat 172 surat an-Nisa’ yang berbunyi:
“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba
bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat kepada
Allah, barang siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan diri,
nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.pada ayat tersebut
para malaikat disebut setela nabi Isa menurut tartib ayat.
Jelaslah, bahwa (al-Baqarah;
142) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf” (yang maha pengasih)
itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”, dan lafazh itu
memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh “rahim”
yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain terdapat
beberapa alasan (sebab) aat ini tidak mengikuti kaidah balaghah, karena lafazh
itu memiliki kandungan makna yag lebih karena adanya pemisah.[20]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ø Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I
adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan langsung dengan masyarakat dan berorientasi pada sastra budaya
kemasyarakatan.
Ø Tokoh dalam
corak penafsiran ini (al-Adaby al-Ijtima’i) adalah dan dilanjutkan oleh
ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa al-Maraghi. Abduh yang ketika itu
baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran
filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat
yang dianggapnya salah. Muhammad Abduh menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan
persepektif sosiologi, yang dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Hakim itu
merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks urusan agama dan urusan duniawi
dalam setiap masa. Syaikh Muhammad Rasyid Ridha telah merintis kebangkitan
ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat
pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan
agama terhadap problematika kehidupan masa kini.
Ø Sebagian
dari contoh penafsiran bercorak adabi al-ijtima’ adalah;
a. “sesungguhnya
Allah adalah Dzat yang maha penyayang serta pengasih kepada semua manusia”.
b. Maka yang harus digaris bawahi dari
bentuk penggunaan dua lafazh yang menunjukkan pada dua makna yang sangat
berdekatan ini adalah menggambarkan tartib (susunan) makna yang ditunjukkan
kedua lafazh tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang datang setelahnya itu
memiliki makna yang lebih tinggi daripada makna lafazh sebelumnya. Para ahli
Balaghah kemudian menyebut kaidah ini dengan pola peningkatan dari makna yang
lebih rendah ke makna yang lebih tinggi (al-taraqi min al-adna ila al-a’la).
Serta pertayaan yang terkait
dengan keyakinan: Apakah para nabi itu lebih mulia derajatnya daripada derajat
para malaikat? Maka golongan Mu’tazilah dan sebagian dari golongan
Asy’ari-al-Baqilani dan al-Hilimi menyatakan bahwa para malaikat itu lebih
utama derajatnya, sedangkan mazhab Asy’ari pada umumnya menyatakan bahwa para
nabi itulah yang memiliki derajat yang lebih utama daripada malaikat. Telah
terjadi perdebatan sengit seputar manakah yang lebih utama , ketika menafsirkan
ayat 172 surat an-Nisa’ yang berbunyi:
c. “Al-Masih sekali-kali tidak
enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang
terdekat kepada Allah, barang siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan
menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.pada
ayat tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa menurut tartib ayat.
d. Jelaslah,
bahwa (al-Baqarah; 142) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf”
(yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”,
dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh
“rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain
terdapat beberapa alasan (sebab) aat ini tidak mengikuti kaidah balaghah,
karena lafazh itu memiliki kandungan makna yag lebih karena adanya pemisah.
2. Saran
Akhirnya pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan,maka dari itu pemakalah memohon kritikan dan saran
pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh, Muhammad ,Tafsit Juz Amma, Kairo: Dar al-Hilal, 1986
Abduh, Muhammad, Risalah al-Tauhid, Kairo: Matba’ah al-Mannar, 1368
H
al-Qattan.Manna’ Khalil, Mabahits fi ‘Ulum
al-Qur’an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an.2007.Jakarta:
Litera Nusantara.,ctk. 10.
al-Syirbashi,.Ahmad.2001.Sejarah Tafsir
al-Qur’an.Jakarta: Firdaus.
al-‘Aridl,.Ali Hasan.1992. Sejarah dan
Metodologi Tafsir .Jakarta: CV. Rajawali Pers.
Al Muhatsib,Abdul Majid Abdus Salam.1997.Visi
dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer.Bangil: al-Izzah.
Karman,Supiana-M.2002. Ulumul Qur’an.Bandung:
pustaka islamika.
Syihab.Quraish.1994. Studi Kritis Tafsir
al-Manar .Bandung: pustaka hidayah.
Syihab.Quraish.2007. Membumikan al-Qur’an.Bandung:
PT. Mizan Pustaka.ctk. I.
[2] Ali Hasan al-“Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: CV. Rajawali
Pers, 1992), hlm. 69-70
[4] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz, III,
(Mesir: Dar alKitab al-Arabi, 1976), hlm. 215
[11] Abdul Majid Abdus Salam Al Muhatsib, Visi dan Paradigma Tafsir
al-Qur’an Kontemporer (Bangil: AL IZZAH, 1997), hlm.106
[13] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, terj.
Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Litera Nusantara,
2007),ctk. 10, hlm. 511-512
Tidak ada komentar:
Posting Komentar