Muwatha’ Imam Malik Studi analisis
kitab al-Muwatha’
Oleh:
Enjen Zaenal Mutaqin
Mempelajari
pemikiran orang lain merupaka suatu hal yanga sangat membantu bagi pengembangan
dinamika khazanah intlektual pemikiran, karena olah pikir kita tidak dapat
berangkat dari kekosongan, melainkan harus melihat dan menelaah
pemikiran-pemikiran yang dihasilkan orang lain dengan harapan dapat memperoleh
keluasan dalam wawasan ilmu, baik dari sudut materi maupun metodologi khususnya
dalam bidang syariah dan ilmu-ilmu hadits.
Hadits atau sunah yang secara struktur maupun fungsional disepakati oleh
mayoritas kaum muslim dari berbagai madzhab, sebagai sumber ajaran Islam,
karena dengan adanya hadits itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci, dan
spesifik. Sepanjang sejarahnya, hadits-hadits yang tercantum dalam berbagai
kitab telah melalui proses penelitian. Oleh karenanya, kemudian banyak Ulama’
yang menyusun kitab-kitab hadits, baik kalangan Ulama’ terdahulu maupun Ulama’
sekarang. Salah satu buah hasil karya Ulama’ terdahulu yang sampai saat ini
sangat terkenal dikalangan umat Islam adalah al-Muwatha’ yang dikarang oleh
Imam Malik dan merupakan kitab tertua di bidang hadits.
Namun kemudian apakah kitab al-Muwatha’ merupakan kitab hadits atau kitab
Fiqih? Dan mungkin juga kita akan bertanya-tanya tentang bagaimana sistematika
penulisan al-Muwatha’ itu sendiri dan bagaimana Imam Malik menyaring
hadits-hadits yang sampai kepadanya, atau bagaimana kualitas hadits yang
terdapat dalam al-Muwatha’? sehingga muncul berbagai macam pendapat tentang
bagaimana keoutentikan hadits yang terdapat di dalamnya. Oleh karenanya, perlu
kiranya kami bahas dalam makalah yang sangat sederhana ini bagaimana
sesungguhnya Imam Malik menyusun kitab al-Muwatha’ ini.
B. Sekilas Riwayat Hidup Imam Malik.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu
‘Amir bin ‘Amr bin al-Harits bin Gaiman bin Husail bin Amr bin al-Harits
al-Ashbahi al-Madani. Di Madinah Ia dikenal sebagai seorang faqih dan Imam
madzhab Maliki. Sehingga Ia mempunyai beberapa nama laqab, yang di antaranya
adalah al-Ashbahi, al-Madani, al-Faqih, al-Imam, Dar al-Hijrah dan al-Humairi.
Kunyah-nya adalah Abu Abdullah, Ia juga memilki silsilah yang samapi pada salah
seorang sahabat, Abu Amir, yang mengikuti seluruh peperangan yang terjadi pada
zaman Nabi kecuali perang Badar. Sedang kakeknya, Malik, adalah seorang tabi’in
yang dikenal sebagai salah satu kibaru al-tabi’in dan fuqoha kenamaan dan salah
satu dari 4 tabi’in yang jenazahnya diusung sendiri oleh khalifah Usman.
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah al-Munawwarah, dari sepasang
suami-istri, Anas bin Malik dan Aliyah binti Syarik bin Abdurrahman, sumber
lain lain menyebutkan Suraik. Ayah Imam Malik bukan Anas bin Malik sahabat
Nabi, tetapi Ia adalah seorang tabi’in yang informasinya dalam buku-buku
sejarah sangat minim, hanya saja tercatat bahwa, ayah Imam Malik tinggal di
Zulmarwah, suatu tempat yang terletak di padang pasir sebelah utara Madinah dan
bekerja sebagai pembuat panah.
Mengenai kelahiran Imam Malik, menurut Nurun Najwah dalam karyamya yang
terdapat dalam buku studi kitab hadits, terdapat beberapa pendapat di alangan
para sejarawan. Ada yang mengatakan 90 H, 93 H, 94 H dan ada juga yang
menyatakan 97 H. tetapi mayoritas mereka lebih cenderung pada 93 H, yaitu bertepatan pada masa Khalifah Sulaiman
bin Abdul Malik bin Marwan. Imam Malik menikah dengan seorang hamba (nama istri
Imam Malik tidak disebutkan dalam buku sejarah) yang kemudian di karuniai 4
keturunan, Mohammad, Hammad, Yahya, dan Fatimah.
Imam Malik berguru pada 900 orang, 300 di antaranya adalah dari tabi’in,
600 dari kalangan tabi’it tabi’in. beliau masuk dalam kategori tani’it
tabi’in. Tentang kewafatan Imam Malik,
juga terdapat beberapa pendapat. Ada yang berpendapat tanggal 11, 12, 13, 14
bulan Rajab 179 H dan ada yang berpendapat tanggal 12 Rabiul Awal 179 H. tetapi
pendapat yang banyak di ikuti oleh para sejarawan adalah pendapat yang di
kemukakan oleh Qadi Abu Fadl Iyad yang menyatakan bahwa Imam Malik meninggal
pada hari ahad tanggal 12 Rabiul Awal 179 Hdalam usia 87 tahun, setelah satu
bulan menderita sakit dan dikebumikan di kuburan Baqi’. Sebelum Ia meninggal,
Ia sempat berwasiat untuk di kafani dengan kain kafan berwarna putih dan di
shalatkan di tempat dimana Ia meninggal.
C. Latar Belakang Penyusunan dan Penamaan Kitab
al-Muwatha’.
Ada beberapa factor yang melatarbelakangi penyusunan kitab al-Muwatha’
yang kemudian oleh Ulama’ di kemukakan dalam beberapa versi. Seperti yang
terdapat dalam muqaddimah al-Muwatha’, disebutkan bahwa ketika Imam Malik
melihat buah hasil karya Abdul Aziz bin al-Majisyun yang tidak menyebutkan
hadits Nabi saw. maka muncullah keinginan untuk mengarang subuah kitab.
Menurut Noel J. Coulson[3], latar belakang penyusunan al-Muwatha’ adalah
adanya problem politik dan keagamaan. Kondisi politik yang penuh konflik pada
masa pemerintahan Daulah Umayyah dan Abbasiyah yang melahirkan tiga kelompok
besar (Khawarij. Syi’ah dan keluarga istana) yang mengancam integritas kaum
muslim dan berkembangnya nuansa perbedaan kondisi social keagamaan—khususnya di
bidang hukum-- yang berangkat dari perbedaan metode nash di satu sisi dan rasio
di sisi yang lain, telah melahirkan pluralitas yang penuh konflik.
Selain pernyataan yang di kemukakan oleh Noel J.. Coulson di atas, ada
versi lain yang mengatakan bahwa latar belakang penyusunan al- Muwatha’ adalah
adanya usulan Muhammad bin Muqaffa’ kepada Khalifah Ja’far al-Mansur untuk
membuat semacam peraturan atau undang-undang yang menjadi penengah dan dapat di
terima oleh semua kalangan karena Muhammad bin Muqaffa’ sangat prihatiur
terhadap adanya perbedaan fatwa dan pertentangan yang berkembang pada saat itu.
Khalifah Ja’far al-Mansur kemudian meminta Imam Malik untuk menyusun Kitab
hukum sebagai Kitab standar bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik menerima
permintaan tersebut, namun ia keberatan menjadikan kitabnya sebagai kitab
standar atau kitab resmi Negara.
Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa, di samping terinisiatif oleh
usulan Khalifah Ja’jafar al-Mansur, sebenarnya Imam Malik mempunyai keinginan
kuat untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam dalam memahami agama.
Mengenai penamaan kitab al-Muwatha’ adalah berasal dari Imam Malik
sendiri, hanya saja ulama’ berbeda pendapat tentang mengapa kitab tersebut
dinamakan al-Muwatha’. Kemudian munculah beberapa pendapat yang di antaranya
adalah; pertama, sebelum kitab tersebut di sebarluaskan, Imam Malik telah
melakukan sosialisasi dengan menyodorkan karyanya tersebut di hadapan 70 ulama’
Fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya. Hal ini seperti yang terdapat dalam
sebuah riwayat al-Suyuti bahwa, Imam Malik berkata “Aku mengajukan kitabku ini
kepada 70 ahli Fiqh Madinah, mereka semua setuju dengan kitabku tersebut, maka
Aku namai dengan al-Muwatha’.
Kedua, penamaan kitab al-Muwatha’ tersebut adalah karena kitab tersebut
memudahkan khalayak umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup dalam
beraktivitas dan beragama. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa penamaan
al-Muwatha’, karena kitab al-Muwatha’ merupakan perbaikan terhadap kitab-kitab
Fiqh sebelumnya.
D. Isi Kitab
al-Muwatha’
Kitab al-Muwatha’ menghimpun hadits-hadts Nabi, baik yang bersambung
sanadnya maupun yang tidak bersambuang sanadnya, Qaul sahabat, qaul tabi’in,
ijma’ ahlul-Madinah dan pendapat Imam Malik sendiri. Salah satu contoh hadits
yang tidak bersambung sanadnya adalah hadits yang berbunyi;
عن
عطاء بن يسار أنه قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فسأله عن وقت صلاة
الصبح. قال : فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى إذا كان من الغد صلى الصبح
حين طلع الفجر ثم صلى الصبح من الغد حين أسفر ثم قال "أين السائل عن وقت
الصلاة؟" ها أناذا يارسول الله, فقال "ما بين هذين وقت]
Sedangkan contoh hadits yang termasuk Qaul sahabat adalah;
و
حدثني عن مالك عن زيد بن اسلم أن عمر بن الخطاب قال : إذا نام أحدكم مضطجعا
فليتوضأ.]
Sementara contoh hadits yang termasuk Qaul tabi’in adalah;
وحدثني
عن مالك أنه بلغه أن عاملا لعمر بن عبد العزيز كتب إليه يذكر أن رجلا منع زكاة
ماله, فكتب إليه أن دعه ولا تأخذ منه زكاة مع المسلمين, قال فبلغ ذلك الرجل فاشتد
عليه وأدى بعد ذالك زكاة ماله, فكتب عامل عمر إليه يذكر له ذلك فكتب إليه عمر أن
خذها منه.]
Para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah hadits yang terdapat dalam
Al-Muwattha’:
a)
Ibnu Habbab yang dikutip
Abu bakar Al-A’rabi dalam syarah Al-Tirmidzi menyatakan ada 500 hadits yang
disaring dari 100.000 hadits.
b)
Abu Bakar Al-Abhari
berpendapat ada 1726 hadits dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf
dan 285 qaul tabi’in.
c)
Al-Harasi dalam “ Ta’liqah
fi Al-Ushul” mengatakan kitab Malik memuat 700 hadits dari 9000 hadits yang
telah disaring.
d)
Abu Al-Hasan Bin Fahr dalam
“fada’il” mengatakan ada 10.000 hadits dalam kitab Al-Muwatta’
e)
Arnold John Wensinck
menyatakan dalam Al-Muwatta’ ada 1612 hadits.
f)
Muhammad Fuad Abdul Al-baqi
mengatakan Al-Muwatta’ berisi 1824 hadits.
g)
Ibnu Hazm berpendapat
dengan tanpa menyebutkan jumlah persisnya. 500 lebih hadits musnad, 300 lebih
hadits mursal,70 hadits lebih yang tidak diamalkan Imam Malik dan beberapa
hadits dhaif.
h)
Muhmmad Syuhudi Ismail
menyatakan kitab Al-Muwatta’ 1804 hadits[9].
Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan sumber periwayatan di
satu sisi dan perbedaan cara penghitungan.Ada Ulama’ hadits yang menghitung
hadits hanya berdasar jumlah hadits yang disandarkan kepada nabi saja, namun
ada pula yang menghitung dengan mengabungkan fatwa sahabat, fatwa tabi’in yang
termaktub dalam Al-muwatta’.
Ada perbedaan pendapat yang berkembang ketika dihadapkan pada pertanyaan,
apakah kitab Al-muwatta’ adalah Kitab fiqih, Kitab hadits atau kitab fiqih
sekaligus hadits?. Menurut Abu Zahra, Al-Muwatta’ adalah kitab fiqih, alasannya
adalah bahwa, tujuan Imam Malik mengumpulkan hadits adalah untuk melihat fiqih
dan undang-undangnya bukan keshahihannya dan Imam Malik menyusun kitabnya dalam
bab bersistematika fiqih.
Seperti halnya Abu Zahra, Ali Hasan Abdul Qadir juga melihat Al-Muwatta’ sebagai kitab fiqih
dengan dalil hadits. Tradisi yang dipakai
adalah tradisi kitab fiqih yang sering kali hanya menyebut sebagian
sanad atau bahkan tidak menyebut sanadnya sama sekali karena untuk memudahkan
dan demi kepraktisannya[10]. Sedangkan menurut Abu Zahwu kitab ini bukan
semata-mata kitab fiqih, tetapi hadits, karena sistematika fiqih juga dipakai
dalam kitab-kitab hadits yang lain.
E. Metode
Penyusunan dan Klasifikasi Kitab Al-Muwatha’
Secara khusus, tidak ada pernyataan yang tegas tentang metode yang di
pakai Imam Malik dalam menghimpun kitab al-Muwatha’. Namun sacara umum dengan
melihat penjelasan dan cara pembukuan yang di lakukan oleh Imam Malik dalam
kitabnya, metode yang di pakai adalah metode pembukuan hadits berdasarkan
klasifikasi hukum Islam (fiqih) dengan mencantumkan hadis-hads yang bersumber
langsung dari Nabi saw, yang disebut dengan Marfu’ dan yang besumber dari
sahabat Nabi saw, yang di sebut dengan Mauquf ataupun yang berasal dari
tabi’in, yang disebut Maqthu’. Imam Malik juga menggunakan tahapan-tahapan,
yang berupa; a) penyeleksian terhadap hadis-hadis yang di sandarkan kepada
Nabi.saw. b) atsar atau fatwa sahabat. c) fatwa tabi’in. d) ijma’ ahli Madinah
dan e) pendapat Imam Malik sendiri.
Meskipun sebenarnya kelima tahapan tersebut tidak selalu muncul besamaan
dan digunakan dalam setiap pembahasan dan urutan pembahasannya, Ia mendahulukan penulusuran dari hadits Nabi
saw. yang telah diseleksi sebagai acuan pertama yang dipakai Imam Malik,
sedangkan tahapan kedua dan seterusnya dijelaskan Imam Malik tatkala Ia merasa
perlu untuk dijelaskan.
Dalam penyeleksian suatu hadis, ada empat kriteria yang dikemukakan Imam
Malik dalam mengkritisi periwayatan hadits, keempat kriteria tersebut adalah;
a) periwayat bukan orang yang berperilaku jelek. b) periwayat bukan ahli bid’ah
c) periwayat bukan orang yang suka berdusta dalam hadits d) periwayat bukan
orang yang tahu ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.
Imam Malik dalam mengklasifiksi hadist-hadits yang terdapat dalam
al-Muwatha’ berdasarkan pada sistematika yang dipakai dalam kitab Fiqih, yaitu
dengan klasifikasi hadits sesuai dengan hukum Fiqih. Menurut Fuad al-Baqi,
kitab ini, terdiri dari dua juz, 61 bab, dan 1824 hadits. Kitab al-Muwatha’,
mayoritas berisi tentang fiqih, ada pula tentang tauhid, akhlaq, dan al-Quran
dengan perincian sebagai berikut;
1.
Fiqih, di bagi lagi kedalam
beberapa bagian; yaitu fiqih iabadah, muamalah, munakahat, mawarits dan fiqih
perbudakan
a.
Fiqih ibadah, yang termasuk
fiqih ibadah adalah sebagai berikut:
1)
Kitabu Auqati al-shalah; 80 bab, 30 hadits
2)
Kitabu al-Thaharah; 32 bab, 115 hadits
3)
Kitabu al-Shalat; 8
bab, 70 hadits
4)
Kitabu al-Sahw fi al-Shalah; 1 bab, 3 hadits
5)
Kitabu Shalat al-Jum’at; 9 bab, 21 hadits
6)
Kitabu al-Shalati fi
Ramadlan; 2 bab,
7 hadits
7)
Kitabu Shalat al-Lail; 5 bab, 33 hadits
8)
Kitabu Shalat al-Jama’ah; 10 bab, 38 hadits
9)
Kitabu Qashri al-Shalati fi
al-safar; 25 bab, 95 hadits
10) Kitabu Shalat al-‘idain; 7 bab, 13 hadits
11) Kitabu Shalati al-khauf; 1 bab, 4
hadits
12) Kitabu shalati khusufi al-syamsi wa kusufi al-qamar; 2 bab, 4 hadits
13) Kitabu Shalat al-istisqa’; 3 bab, 6 hadits
14) Kitabu istibali al-qiblah; 6 bab, 15 hadits
15) Kitabu Shalat al-Jana’iz; 16 bab, 59
hadits
16) Kitabu al-Zakat; 30 bab, 55 hadits
17) Kitabu al-shiam; 22 bab, 60 hadits
18) Kitabu al-I’tikaf; 8 bab, 16 hadits
19) Kitabu al-Haj;
83 bab, 255 hadits
20) Kitabu al-Sadaqah; 3 bab, 15
hadits
21) Kitabu al-Jihad;
21 bab, 50
hadits
22) Kitabu al-Dlahaya;
6 bab, 13 hadits
23) Kitabu al-Zaba’ih;
4 bab, 19 hadits
24) Kitabu al-Shaid;
7 bab, 19 hadits
25) Kitabu al-Aqiqah;
2 bab, 7 hadits
26) Kitabu
Al-Jami’; 7 bab, 26 hadits
27) Kitabu al-Ilmu; 1 bab, 1 hadits
28) Kitabu al-Aqdliah;
41 bab, 54
hadits
29) Kitabu al-Hudud; 11 bab, 35
hadits
30) Kitabu al-Bai’ah;
1 bab, 3 hadits
b.
Fiqih muamalah, yang
termasuk fiqih muamalah adalah sebagai berikut;
1)
Kitabu al-Buyu’; 49 bab, 101 hadits
2)
Kitabu al-Qiradh; 15 bab, 16 hadits
3)
Kitabu al-Musaqat; 2 bab, 3 hadits
4)
Kitabu kira’I al-ardl; 1 bab, 5 hadits
5)
Kitabu al-Syuf’ah; 2
bab, 4 hadits
c.
Fiqih munakahat, yang
termasuk bagian ini adalah sebagai berikut;
1)
Kitabu al-Nikah; 22 bab, 58 hadits
2)
Kitabu al-Thalaq; 35
bab, 109 hadits
3)
Kitabu al-Radha’; 3 bab, 17 hadits
d.
Fiqih mawarits, yang
termasuk dalan bagian ini adalah;
1)
Kitabu al-Wasiat; 10 bab, 9 hadits
2)
Kitabu al-Faraid; 15 bab, 16 hadits
3)
Kitabu al-Qasamah; 5 bab, 2 hadits
e.
Fiqih perbudakan, yang
termasuk bagian ini adalah;
1)
Kitabu al-Itqi wa al-Wala’; 13 bab, 25 hadits
2)
Kitabu al-Mukatab; 13 bab, 15 hadits
3)
Kitabu al-Mudabbar; 7 bab, 8 hadits
2.
Tauhid, yang termauk kedalam
bagian tauhid adalah;
1)
Kitabu al-Qadar; 2
bab, 10 hadits
2)
Kitabu Jahannam; 1 bab, 2 hadits
3)
Kitabu da’wati al-madhlum; 1 bab, 1 hadits
4)
Kitabu al-Nuzur wa al-Aiman ;
9 bab, 17 hadits
3.
Akhlaq, yang termasuk
bagian akhlaq adalah;
1)
Kitabu husnu al-khuluq; 4 bab, 18 hadits
2)
Kitabu al-Libas; 8 bab, 19 hadits
3)
Kitabu al-Ain; 7 bab, 18
hadits
4)
Kitabu al-sya’ri; 5 bab, 17 hadits
5)
Kitabu al-Ru’ya; 2 bab, 7 hadits
6)
Kitabu al-salam; 3 bab, 8 hadits
7)
Kitabu al-Isti’zan; 17
bab, 44 hadits
8)
Kitabu al-Kalam; 12
bab, 27 hadits
4.
Al-Qur’an, yang termasuk
dalam bagian ini adalah;
1)
Kitabu Al-Qur’an; 10 bab, 49 hadits
5.
Sirah dan sifat-sifat Nabi
saw. yang termasuk bagian ini adalah;
1)
Kitabu Sifat al-Nabi saw; 13 bab, 39 hadits
2)
Kitabu asma’i al-Nabi saw.; 1 bab, 1 hadits
F. Komentar Ulama’ dan kritik terhadap kitab al-Muwatha’ dan
kualitas haditsnya.
Meskipun Imam Malik telah berupaya seselektif mungkin dalam menyaring
hadits-hadits yang diterima untuk dihimpun, tetapi para Muhadditsin (Ulama’
hadits) berbeda pendapat dalam memberikan komentar dan penilaian terhadap
al-Muwatha’ dan kualiatas hadits-haditsnya:
a)
Sufyan bin Uyainah dan
Al-Suyuti menyatakan, seluruh hadits yang diriwayatkan Imam Malik adalah
shahih, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya.
b)
Abu Bakar al-Abhari
berpendapat, bahwa tidak semua hadits dalam al-Muwatta’ shahih, terdapat 222
hadits Mursal, 623 hadits Mauquf dan 285 hadits Maqtu’.
c)
Ibnu Hajar al-Asqalani
menyatakan bahwa hadits-hadits yang termuat dalam Al-Muwatta’ adalah shahih
menurur Imam Malik dan pengikutnya.
d)
Ibnu Hazm dalam
penilaiannya yang termaktub dalam maratib al-diniyah, ada 500 hadits Musnad,
300 hadits Mursal dan 70 hadits dhaif yang ditinggalkan Imam Malik. Sedangkan
menurut Ibnu Hajar didalamnya ada hadits yang Mursal dan Munqati’.
e)
Al-Ghafiqi berpendapat
dalam Al-Muwatta’ ada 27 hadits Mursal dan 15 hadits Mauquf.
f)
Hasbi As-shiddiqi
menyatakan dalam Al- Muwatta’ ada hadits yang shahih, hasan dan dhaif.
Selain penilaian Ulama’ tentang kualitas hadits al-Muwatha’, ada pula
ulama’ yang memberikan komentar terhadap kitab al-Muwatha’, yang di antaranya
adalah; a) Al-Syafi’i berkata bahwa di
dunia ini tidak ada kitab setelah al-Quran yang lebih shahih dari pada kitab
al-Muwatha’ Imam Malik. Sedangkan orang-orang Hijaz membernya gelar “ Sayyidi
Fuqahal Hijz”. b) Al-Hafidz al-Muglatayi
al-Hanafi berkata, buah karya Imam Malik adalah kitab shahih yang pertama kali.
c) Waliyullah al-Dahlawi berkata al-Muwatha’ aladah kitab yang paling shahih,
masyhur dan paling terdahulu pengumpulannya. d) Abdurrahman bin Waqid berkata,
tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang seperti Imam Malik. e) Imam Yahya
bin Sa’id al Qahthan dan Yahya bin Ma’in memberi beliau gelar “Amirul Mu’minin
Fil Hadits.” Sementara Ibnu Wahb berkata, Kalau bukan karena (perantara) Imam
Malik dan al-Laih niscaya kita akan sesat. Sehingga kitab ini tetap di jadikan
sebagai pegangan umat Islam dalam menjadikannya sebagai rujukan suatu
permaslahan.
Namun kendati demikian, hadits-hadits yang terdapat di dalamnya banyak
yang tidak bersambung sanadnya bahkan ada yang terputus, sehingga hal ini
menimbulkan kritikan dan keraguan dalam kepastian suatu hukum, dan di ragukan
ke shahihannya, sebab untuk mencapai tingkatan hadits shahih di butuhkan
kejelasan dalam periwayatan hadits dan kebersambungan sanadnya.
Dan juga tidak kalah pentingnya dalam al-Muwatha’ ini untuk di perhatikan
adalah Matan hadits, sebab ada kalanya Matan hadits di tambah dan di kurangi,
jika suatu hadits di tambah atau di kurangi, maka akan mengurangi terhadap
keoutentikan haditsnya bahkan oleh sebagian Ulama’ di anggap hadits dlaif, yang
kedudukannya sangat lemah dalam kehujjahan hukum. Sanad dan matan merupakan hal
utama yang harus di perhatikan dalam penelitian suatu hadits dan dalam
menjadikannya sebagai smbuer hukum.
Posisi kitab al-Muwatha’ dalam sumber-sumber ilmu hadits juga terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ahli hadits, ada yang mengatakan bahwa,
al-Muwatha’ merupakan salah satu kutubu al-tis’ah (kitan yang sembilan), ada
pula yang mengatakan bahwa, al-Muwatha’, bukanlah semata-mata kitab hadits,
tetapi merupakan kumpulan kitab hadits yang pengumpulannya berdasarkan hukum
Fiqih. dan sebagai pengganti adalah Sunan al-Darimi.
G.
Syarah Kitab
al-Muwatha’.
Kitab al-Muwatha’ di ysarahi oleh beberapa ulama’ yang di antaranya
adalah;
1)
al-Tamhid lima fi
al-muwatha’ min al-Ma’ani wa al-Asanid
yang di karang oleh Abu Umar bin Abdil Bar al-Namri al-Qurthubi (w. 463
H.).
2)
al-Istizkar fi Syarh
Mazahib Ulama’ al-Amsar karya Ibn Abdil Bar (w. 463 H).
3)
Kasyf al-Mugti fi Syarh
al-Muwatha’ karya Jalaluddin al-Suyuti (w.911 H)
4)
Tanwirul Hawalik, karya
Jalaluddin al-Suyuti (w.911 H)
5)
Syarh al-Ta’liq al-Mumajjad
ala Muwatha’ Imam Muhamad yang disusun oleh al-Haki Ibn Muhamad al-Laknawi
al-Hindi.
6)
al-Muntaqa, karya Abu Walid
al-Bajdi (w. 474 H)
7)
al-Maswa, karya al-Dahlawi
al-Hanafi (w. 1176 H)
8)
Syarh al-Zarqani, karya
al-Zarqani al-Misri al-Maliki (w. 1014 H)
KESIMPULAN
Dari pejelasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa;
Kitab al-Muwatha’ disusun atas
usulan Khalifah Ja’far al-Mansur dan keinginan kuat dari dirinya yang berniat
untuk menyusun sebuah kitab yang dapat memudahkan umat Isalm dalam memahami
agamanya.
Kitab al-Muwatha’ tidak hanya terdiri dari hadits Nabi saw. tetapi juga
terdiri dari pendapat sahabat, Qaul tabi’in, Ijma’ Ahlul Madainah dan pendapat
Imam Malik sendiri deangan metode penyusunan hadist berdasarkan klasifikasi hukum
Fiqih.
Dalam penyeleksian hadits, Imam Malik selalu memperhatikan empat
kriteria, yaitu, a) periwayat bukan orang yang berperilaku jelek. b) periwayat
bukan ahli bid’ah c) periwayat bukan orang yang suka berdusta dalam hadits d)
periwayat bukan orang yang tahu ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.
Dan kitab ini, merupakan kitab tertua di bidang hadits yang disusun
berdasakan klasifikasi hukum Fiqih, dan Ulama’ berbeda pendapat mengenai jumlah
hadits yang terdapat di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar