TEORI COMMON LINK G.H.A.JUYNBOLL
A. Biografi G.H.A
Juyboll
Gautier H. A
Juynboll yang lahir
di Leiden, Belanda, pada tahun 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan
awal hadits. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius, mencurahkan
perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga
kontemporer. Kepakaran murid J. Brugmen ini dalam kajian sejarah awal hadits,
menurut P.S van Koningsveld, telah memperoleh pengakuan internasional. Oleh
karena itu, tidak berlebihan jika ketokohannya di bidang itu dapat disejajarkan dengan
nama-nama seperti James Robson, Fazlur Rahman, M.M Azami, dan Michael Cook.
Dalam pendahuluannya bukunya yang berjudul Studies on Origins and Uses of
Islamic Hadith, Juynboll mengklaim telah menjelaskan perkembangan
penelitiannya atas literatur hadits secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an
hingga 1996.
Semasa menjadi mahasiswa S1, Juynboll bergabung bersama sekelompok kecil orang
untuk mengedit satu karya yang kemudian menghasilkann separo akhir dari kamus
hadits, Concordance et indices de la tradition musulmane, tepatnya dari
pertengahan huruf ghayn hingga akhir karya tersebut. Pada
tahun 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherlands
Organization for the Advancement of Pure Research (ZWO), setelah
disertasi tersebut diterbitkan oleh penerbit E.J. Brill, Leiden pada 1969,
Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai beberapa persoalan, baik yang
klasik maupun yang kontemporer. Pada 1974 ia menunlis makalah bertitel: “On
The Origins of Arabic Prose” dan dimuat dalam buku Studies on the Firts
Century of Islamic Society. Sejak saat itu, ia memusatkan perhatiannya pada
studi hadits dan tidak pernah meningglkannya lagi.
Sebagai seorang ilmuwan dan peneliti dalam bidang studi hadits, Juynboll telah
menghasilkan sejumlah karya, baik dalam bentuk buku maupun artikel. Sebagian
besar pemikirannya, terutama yang terkait dengan studi hadits dan teori comman
link, dielaborasi dalam tiga bukunya: The Authenticity of the Tradition
Literature: Discussion in modern Egypt, Muslim Tradition: Studies in
Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, dan Studies
on the Origins and Uses of Islamic Hadith. Juynboll juga mengupas
pendapat Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht dan pendapat para pemikir hadits
modern seperti Fuat Sezgin dan Fazlur Rahman tentang kedudukan hadits dalam Islam.
Menurut
Juynboll, Goldziher telah berkesimpulan bahwa jarang sekali sebuah hadits
dapat dibuktikan sebagai perkataan Nabi atau deskripsi mengenai prilaku Nabi
asli dan dapat dipercaya. Literatur hadits, kata Goldziher merupakan akibat
dari perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad
pertama.
Sedangkan
Joseph Schacht mengatakan bahwa isnad sebenarnya memiliki kecenderungan
berkembang ke belakang. Pada awalnya, hadits tidak pernah kembali kepada Nabi
atau sahabat sekalipun, tetapi disebarkan berdasarkan otiritas para tabi’in. Di
kemudian, hadits sering kali dikembalikan kepada seorang sahabat dan akhirnya
kepada nabi sendiri.
Berbeda dengan Goldziher dan Schacht, Fazlur Rahman yang
diharapkan dapat menyembatani jurang antara kesarjanaan Barat dan nilai-nilai
Islam ortodoks, memperkenalkan konsep kesinambungan sunnah Nabi dalam praktik
kegamaan umat Islam. Menurutnya konsep sunnah Nabi sudah dipakai pada masa Nabi
sendiri. Dengan berbagai argumen, ia menegaskan bahwa sunnah sebagaimana
dihimpun dalam koleksi hadits, mencakup prilaku Nabi. Dengan kata lain, ia
menghembuskan semangat Nabi. Oleh karena itu literatur hadits seharusnya tidak
dianggap sebagai data sejarah yang tidak dapat dipercaya sama sekali dan
dibuang secara keseluruhan.
Sementara itu,
Fuat Sezgn lebih mengarahkan perhatiannya pada problem penulisan hadits yang
berujung pada bukti mengenai kesejarahan Isnad hadits. Ia merevisi
kesimpulan Goldziher tentang kronoligi penulisan hadits. Baginya, aktivitas
penulisan hadits telah diperaktikkan pada masa yang lebih awal daripada yang
dipahami oleh Goldziher.
B.
Teori Common Link G.H.A.Juynboll
1.
Pengertian Common Link
Common link adalah orang yang pertama menyebarkan hadits dengan
kata-katanya sendiri secara publik, namun maknanya tetap memiliki kesinambungan
dengan masa yang lebih tua daripada dirinya sendiri.
Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadits yang
mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seseorang yang berwenang dan
lalu ia menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan
dari mereka menyiarkan lagi kepada dua atau lebih muridnya. Dengan kata lain,
common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang
meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas
isnad hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah
ditemukan common link-nya.
2.
Asumsi Dasar
Dalam beberapa tulisannya, Juynboll
sering kali mengemukakan asumsi dasar yang menjadi pijakannya dalam meneliti
hadits serta memperkenalkan beberapa istilah teknis yang relatif baru, yang
berhubungan erat dengan teori common link. Juynboll mengatakan bahwa semakin
banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang
meninggalkannya, maka semakin besar pula seorang periwayat dan periwayatannya
memiliki klaim kesejarahan.
3. Istilah-istilah
Tekhnis dalam Common Link
Adapun istilah-istilah tekhnis dalam common link adalah
sebagai berikut:
a. Cl
atau common link adalah periwayat pertama atau tertua yang berbeda
dengan para pendahulunya dalam budel isnad, meriwayatkan hadits tidak
hanya kepada seorang, tetapi kepada beberapa orang yang dianggap sebagai
muridnya. Dan para murid ini pada gilirannya juga mempunyai lebih dari seorang
murid.
b. PCL
atau Partial common link (sebagian periwayat bersama) adalah periwayat
yang menerima hadits dari seorang (atau lebih) guru, yang berstatus sebagai CL
atau yang lain, dan kemudian menyampaikannya kepada dua orang murid atau lebih.
Semakin banyak pcl memiliki murid yang menerima hadits darinya maka semakin
kuat pula hubungan guru dan murid dapat dipertahankan sebagai hubungan yang
historis. Dalam hal ini, pcl bertangungjawab atas perubahan yang terjadi pada
teks asli.
c. IPC
atau inverted partial common link (periwayat bersama sebagian terbalik).
Yakni periwayat yang menerima laporan lebih dari seorang guru dan kemudian
menyampaikannya kepada (jarang lebih dari) seorang murid. Sebagian besar ipcl
muncul pada level yang belakangan dalam bundel isnad tertentu dan dalam bundel
isnad yang lain terkadang mereka berganti peran sebagai pcl.
d. Fulan adalah para periwayat hadits yang
menerima riwayat dari seorang guru dan kemudian menyampaikannya hanya kepada
seorang murid. Para periwayat yang termasuk Fulan dalam satu bundle isnad
tertentu, namun kemudian muncul sebagai pcl dalam bundle isnad lainnya dalam
memiliki klaim kesejarahan. Akan tetapi, tandas Juynboll, tentu saja sangat
beresiko bila menyamakan fulan dengan tokoh-tokoh historis atau menyamakan
periwayat mereka dari seorang guru kepada seorang murid dengan hubungan guru/murid/murid yang otentik.
4. Cara
Kerja Teori Common Link
Dari berbagai tulisan Juynboll
khususnya yang menggunakan teori common link dan metode analisis isnad,
maka dapat disimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan
metode tersebut secara rinci. Langkah-langkah itu adalah:
a. Menentukan
hadits yang akan diteliti.
b. Menelusuri
hadits dalam berbagai koleksi hadits.
c. Menghimpun
seluruh isnad hadits.
d. Menyusun
dan merekontruksi seluruh jalur iisnad dalam satu bundel isnad.
e. Mendeteksi
common link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadits
5. Teori-teori
terkait
Selain
teeori common link, masih ada dua teori lain yang memiliki kaaitan erat
dengan teori common link dan bahkan tidak bisa dipisahkan darinya, yaitu
teori backward-projection dan teori argument e silent.
a. Backward-projection
Backward-projection adalah upaya, baik dari aliran
fiqih klasik maupun dari para ahli hadits untuk mengaitkan berbagai doktrin
mereka kepada otoritas yang lebih tinggi di masa lampau, seperti tabi’in,
sahabat, dan akhirnya Nabi sendiri. Upaya ini perlu dilakukan agar
doktrin-doktrin mereka dipercaya oleh generasi berikutnya karena dianggap
sebagai berasal dari tokoh-tokoh yang dipercaya.
b. argument
e silentio
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa “cara terbaik untuk
membuktikan bahwa sebuah hadits tidak ada pada masa tertentu adalah dengan cara
menunjukkan bahwa hadits itu tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam
diskusi yang mengharuskan untuk merujuk kepadanya, jika memang hadits itu ada.
Artinya sebuah hadits dinyatakan tidak ada pada saat tertentu jika ia tidak
dipakai sebagai argumen hukum, dalam kitab-kitab fiqih awal yang ditulis oleh
Imam malik, asy-Syafi’i, dan Abu Yusuf, yang mengharuskan merujuk kepadanya.
C. Implikasi
Teori Common Link terhadapa Asal-Usul dan Perkembangan Hadits
1. Sumber
dan Asal-Usul Hadits
Implikasi yang pertama dari teori common
link adalah menyangkut sumber hadits. Siapa yang menjadi sumber hadits yang
terhimpun dalam berbagai koleksi hadits, khususnya dalam koleksi hadits kanonik
(al-Kutub As-Sittah); apakah Nabi, sahabat, tabi’in, atau tabi’in
tabi’in. mayoritas ahli hadits di kalangan Islam berpendapat bahwa sebagian
besar materi hadits, setidak-tidaknya yang terdapat dalam koleksi hadits kaonik
adalah otentik, dan dengan demikian bersumber dari Nabi Saw.
Berbeda dengan pendapat para ahli
hadits, Juynboll dengan tegas mengugkapkan hasil temuannya bahwa setiap hadits
yang terdapat dalam koleksi hadits, yang kanonik sekalipun, tidak bersumber
dari sahabat dan tidak pula dari Nabi Saw. Nabi dan para sahabatnya tidak
bertanggung jawab atas dimasukkannya nama-nama mereka ke dalam isnad hadits.Adapun
yang bertanggung jawab atas matan hadits dan juga jalur isnad adalah
seorang periwayat yang berperan sebagai common link dalam sebuah bundel isnad.
Akan tetapi sayangnya, kata Juynboll, yang menjadi common link dari
setiap bundel isnad setiap hadits hampir tidak pernah seorang sahabat,
dan sangat jarang seorang tabi’in besar, tetapi hampir selalu seseorang dari
generasi tabi’in kecil atau generasi setelah itu, yaitu generasi tabi’in
tabi’in.
Ide Juynboll mengenai sumber hadits,
seperti di atas tampaknya berbeda dengan pendapat umum dikalangan ahli hadits
muslim dan juga dengan pendapat dari aliran tradisional yang diwakili oleh
Sezgin, Abbott, dan Azami. Secara umum mereka berpendapat bahwa praktik periwayatan
hadits secara tertulis telah dimulai pada masa Nabi secara berkesinambungan
hingga munculnya berbagai koleksi hadits kanonik dan hal itulah yang menjamin
bahwa hadits memang bersumber dari Nabi.
2. Metode
Kritik Hadits Konvensional
Dalam rangka menghadapi gerakan
pemalsuan hadits, para ahli hadits telah mengembangkan sebuah metode kritik
untuk membedakan antara hadits otentik dengan hadits yang lemah dan palsu.
Metode tersebut berpijak pada lima kriteria: 1. Persambungan isnad (ittishal
as-sanad), 2. Keadilan periwayat (adalah arruwat), 3. Ke-dhabitan
periwayat (dhabit ar-ruwat), 4. keterhindaran dari syudzudz, dan
5. Keterihindaran illat. Belakangan ini syuhudi ismail mencoba
menyistematisasi kriteria itu dengan membaginya menjadi dua kategori: 1.
Unsur-unsur kaidah mayor dan 2. Unsur-unsur kaidah minor. Selain itu, dia juga
meringkas lima kriteria keshahihan hadits menjadi tiga unsur mayor, yakni 1.
Persambungan sanad, 2. Keadilan periwayat, dan 3. Ke-dhabitan-nya.
Sementara kriteria keshahihan matan dia meringkas menjadi dua unsur
mayor, yakni 1. Terhindar dari syudzudz dan 2. Terhindar dari illat.
Dari
berbagai metode tersebut menurut Juynboll terdapat kelemahan dalam metode
kritik hadits konvensional. Metode itu menurutnya masih menimbulkan kontroversi
jika digunakan untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi.
Juynboll mengatakan bahwa, metode kritik hadits konvensional ternyata memiliki
beberapa kelemahan: 1. Kemunculannya dirasa sangat terlambat jika dipakai untuk
menyisihkan materi hadits yang otentik dan tidak, 2. Isnad dapat
dipalsukan secara keseluruhan, dan 3. Tidak diterapkannya kritik matan
yang tepat.
Berangkat dari kenyataan itulah
Juynboll kemudian menawarkan metode common link sebagai ganti dari
metode kritik hadits konvensional. Metode common link ternyata tidak
hanya berimplikasi pada upaya merevisi metode kritik hadits konvensional,
tetapi ia juga menolak seluruh asumsi dasar yanng menjadi pijakan bagi metode
itu. Jika metode kritik hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat
maka metode common link tidak hanya menekankan kualitas sang periwayat,
tetapi juga kuantitasnya.
Penolakan Juynboll atas metode
kritik hadits konvensional ini tampaknya sejalan dengan Goldziher dan
Schacht. Goldziher menyatakan bahwa kritik hadits, selain hanya menekankan pada
periwayat hadits dan kurang memperhatikan matan hadits, ia juga baru
lahir sekitar tahun 150 H. Metode ini menurut Goldziher hanya mampu
mengeluarkan hadits palsu saja. Sementara schacht menyatakan bahwa kritik
hadits, yang berdasar kepada kritik isnad, tidak relevan dengan tujuan
analisis sejarah.
3. Teori
Mutawatir dalam hadits
Hadits jika dilihat dari sudut
kualitas periwayatnya, terbagi atas tiga bagian, yakni shahih, hasan, dan
dha’if. Akan tetapi jika dilihat dari segi kuantitas periwayatnya, ia
terbagi menjadi dua bagian, yakni mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir
adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat (dan mereka juga
memperolehnya) dari seorang periwayat dari awal hingga akhir sanad yang
menurut nalar dan kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta.
Sebagian besar ahli hadits beranggapan
bahwa ke-mutawatiran sebuah hadits dapat dijadikan jaminan bahwa hadits
tersebut berasal dan bersumber dari Nabi. Oleh karena itu periwayat hadits mutawatir
tidak perlu diteliti. Bahkan mengamalkan hadits yang mutawatir
adalah wajib dengan tanpa harus menelitinya terlebih dahulu.
Berbeda dengan sebagian besar ahli
hadits, Juynboll dalam kajiannya lebih menekankan pada keraguannya akan
otentisitas hadits mutawatir sebagai benar-benar berasal dari Nabi.
Dalam hal ini ia mengatakan: ke-mutawatiran sebuah hadits bukanlah
jaminan bagi kesejarahan penisbatannya kepada Nabi Saw. Sebagi bukti, ia
meneliti dua hadits yang dogolongkan oleh ahli hadits sebagai hadits mutawatir,
yaitu hadits man kadzaba (larangan berbohong atas nama Nabi) dan
hadits yang berisi larangan niyahah (meratapi kematian anggota
keluarga). Setelah menyelidiki berbagai sumber mengenai matan dan isnad
dua hadits tersebut, Juynboll menyimpulkan bahwa kedua hadits tersebut
disebarkan oleh generasi belakangan dan benar-benar tidak berasal dari periode
kehidupan Nabi.
Lebih lanjut dari itu, JuynBoll juga
mempersoalkan definisi hadits mutawatir. Menurutnya, definisi hadits mutawatir
dihasilkan dengan penuh persoalan. Perumusannya bahkan mengelami berbagai
perubahan yang tidak sederhana. Terkaang ia dapat diterapkan untuk hadits
tertentu dan dalam konteks tertentu, namun tidak dapat diterapkan sama sekali
untuk hadits-hadits yang lain. Konsep itu dikembangkan secara semberono dan
definisinya juga tidak pernah bebas dari kekaburan (ambiguity). Istilah mutawatir
juga sering digunakan secara longgar atau bahkan malah secara salah.
Demikianlah, dengan menggunakan
metode common link dan juga teori lain yang terkait, seperti backward
projection dan argumen-tum e silentio, Juynboll menemukan banyak
anomali dalam teori tawatur, baik yang terkait dengan pendefinisiannya maupun
penerapan kriterianya dalam hadits. Meski demikian, hasil temuan Juynboll tidak
jauh berbeda dengan teori pertama yang diwakili oleh Ibn ash-Shalah, al-Hazimi,
asy-Syathibi, dan Ibn Hibban al-Busti yang merasa kesulitan menemukan hadits mutawatir.
Hanya saja, karena para ahli hadits berangkat dari definisi yang berbeda
mengenai teori tawatur maka tidak mengherankan jika muncul beberapa pendapat lain
di kalangan mereka
mengenai teori tawatur ini.
4.
Posisi Syu'bah bin Hajjaj dalam
Perkembangan Hadits
Dalam buku-buku biografi periwayat
hadits, seperti al Jarh wa at-Tadil karya Abu Hatim ar-Raiff (w. 327 H.), dan Tahdzib
at-Tahdzib karya Ibn Hajar al-`Asgalani (w. 582 H.), Syu'bah bin
al-Hajjaj menduduki posisi yang sangat terhormat di antara para ahli hadits
lainnya, khususnya di Basrah. Dalam beberapa hal, ia ditempatkan lebih tinggi daripada
al-A'masy dan Sufyan ats-Tsauri. Pada puncak-nya, Sufyan ats-Tsauri menyebutnya
sebagai amir al-mu'minin fi al hadits (pemimpin orang-orang beriman di bidang
hadits). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikutip beberapa komentar Para
kritikus hadits mengenai posisi Syu'bah dalam periwayatan hadits.
Pada awalnya,
Syu'bah bin Hajjaj, seorang mawla dari Wasith yang kemudian tinggal di Basrah,
sebenarnya lebih tertarik dengan syair. Ketika ia mendengar seorang ahli fiqh
(fagih) dan kolektor hadits terkenal, al-Hakam bin Utaibah meriwayatkan hadits dari
guru-gurunya, ia kagum dan mulai mengumpulkan hadits. Syu'bah kemudian mendapat
kualifikasi shalih di antara kawan sebayanya karena keterlibatannya dalam
perkembangan dan perbaikan matan hadits demi kemajuan Islam. Akan tetapi, karena mampu mensistematisasi
berbagai penilaian atas para periwayat hadits, is menjadi ahli di bidang kritik
hadits. Sejak saat itu, ia diakui oleh semua orang dan diberi gelar yang paling
terhormat di antara para ahli hadits pada saat itu, yakni amir al-mu'minin
fi al-hadits (pemimpin orang-orang beriman di bidang hadits).
5.
Isnad Keluarga: Historisitas Isnad
Malik - Nafi' – Ibn Umar
Sejak awal sejarah periwayatan
hadits, tidak sedikit hadits yang diriwayatkan melalui isnad-isnad
keluarga (family isnads). Kata keluarga di sini mencakup tidak hanya
hubungan darah, yakni hubungan anak dengan orang tuanya, tetapi juga hubungan
mawali, hubungan budak dengan tuannya.
Beberapa contoh isnad semacam itu adalah:
Ma'mar bin Muhammad dari ayahnya,
Isa bin Abdullah dari ayahnya,
Katsir bin Abdullah dari ayahnya,
Musa bin Mathir dari ayahnya,
Yahya bin Abdullah dari ayahnya,
Nafi' dari tuannya, Ibn Umar, dan
Muhammad bin Sirin dari tuannya, Anas bin Malik
Analisis atas isnad-isnad
di atas, kata Schacht, membuktikan bahwa isnad keluarga adalah palsu dan
dengan demikian ia bukan merupakan indikasi bagi otentisitas hadits, melainkan
lebih sebagai alat untuk menjamin kemunculannya. Berbeda dengan Schacht, Abbott
berpendapat bahwa isnad keluarga memiliki hubungan langsung, dan sejak awal, dengan
periwayatan hadits secara tertulis selama beberapa generasi. Fenomena isnad
keluarga, menurutnya, semakin memperkuat teorinya yang menyatakan bahwa
terdapat kesinambungan dalam periwatan hadits secara tertulis dari masa nabi
hingga munculnya berbagai koleksi hadits kanonik.
Juynboll dalam hal ini setidaknya
didukung oleh penyelidikannya terhadap salah satu isnad keluarga yang
dimiliki Malik bin Anas dalam al-Muwaththa; yang diklaim oleh Para ahli hadits,
seperti al-Bukhari, sebagai isnad paling sahih. Jalur isnad itu terdiri dari:
Malik - Nafi' mawla Ibn Umar - Abdullah bin Umar - Nabi. Para ahli hadits
menyebut isnad ini dengan silsilah adz-dzahab (isnad emas).
Keraguan Juynboll atas isnad
emas ini didasarkan atas dua hal, yakni kesejarahan tokoh Nafi' dan hubungan
guru-murid antara Malik dan Nafi'. Untuk masalah pertama (kesejarahan tokoh
Nafi'), Juynboll paling tidak mengungkapkan tiga argumen yang memperkuat bahwa
tokoh Nafi' adalah fiktif, bukan historis. Argumen tersebut: pertama,
sangat sedikit sejarah hidup Nafi' yang dapat di-ketahui dari berbagai sumber
biografis, bahkan lebih sedikit daripada para periwayat penting yang lain. kedua,
terdapat kontradiksi dalam berbagai laporan tentang biografi Nafi' yang sangat
sedikit itu, khususnya tentang asal-usul dan tahun kematiannya. Argumen ketiga
adalah bahwa dalam dua buku utama yang merekam para tabiin Madinah, Thabagat
al-Kabir karya Ibn Sad dan Shifatash-Shafwah karya Ibn al-Jawzi,
biografi Nafi' tidak dijumpai, padahal nama-nama para tabiin yang semasa
dengannya disebutkan di sana.
Berdasarkan kronologi semacam itu, Juynboll menyimpulkan bahwa
hadits-hadits dengan isnad Nafi' tidak mungkin sampai ke-pada Malik,
kecuali melalui bahan tertulis (written material) yang didapatkan Malik
beberapa tahun setelah meninggalnya Nafi'. Jadi, Malik sebenarnya meriwayatkan
hadits-hadits Nafi' tersebut ber-dasarkan shahifah dan meriwayatkannya dengan
cara 'ardh atau mu’dradhah, sebuah praktik periwayatan hadits
yang telah ada pada 110 H.
Berbagai temuan Juynboll mengenai isnad
Malik - Nafi' - Ibn Umar ini dikritik oleh Motzki dalam sebuah artikel yang
diterbitkan dalam Der Islam. Dalam tulisan tersebut, berbagai temuan Juynboll
tentang isnad Malik - Nafi' - Ibn Umar dipertanyakan secara serius. Pertama,
terkait dengan kesejarahan tokoh Nafi', misalnya, Motzki mengakui bahwa
terdapat beberapa periwayat penting yang tidak banyak diketahui riwayat
hidupnya, sementara biografi para periwayat yang kurang penting justru direkam
lebih luas dalam berbagai buku biografi periwayat. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa biografi para periwayat Arab lebih banyak diketahui daripada biografi
mawali.
Kedua, berbagai laporan tentang biografi
Nafi' yang oleh Juynboll dianggap kontradiktif satu sama lain sebenarnya
tidaklah demikian. Walaupun terdapat dua versi mengenai asal-usul Nafi’
dalam sumber-sumber biografi tertua, Juynboll tampaknya tidak sadar bahwa
Abrasyahr (daerah di sekitar Naysabur) telah disebutkan dalam Thabagat Ibn Sa'd
sebagai tempat kelahiran Nafi' dan bahwa Umar mendapatkannya sebagai mawla
dalam operasi militernya.
Ketiga, Motzki mempersoalkan sikap
Juynboll yang kelihatan terkejut ketika membaca informasi tentang Nafi' yang
hampir semuanya bersumber
dari Malik sendiri. Menurut Motzki, berbagai tulisan biografis mengenai Malik tentu saja
menitik beratkan pada hubungannya dengan Nafi' dan bukan hubungan Nafi' dengan
murid-muridnya yang lain. Dan, sangat logis jika Malik sendiri yang sering dikutip
tentang berbagai persoalan yang menyangkut guru-gurunya, termasuk Nafi'.
Terlebih lagi jika seseorang membaca tulisan biografis mengenai Nafi',
seseorang akan menemukan bahwa Malik bukanlah sumber yang dominan.
Terlepas dari berbagai kritik Motzki
tersebut, pandangan negatif Juynboll atas isnad keluarga, khususnya isnad
emas: Malik - Nafi'- Ibn Umar, merupakan bukti yang tidak dapat dibantah bahwa
ia adalah pengikut Schacht (Schachtian) yang setia. Dalam banyak hal,
baik teori maupun hasil temuan Juynboll tidak lebih daripada sekadar syarh
dan perluasan atas ide-ide Schacht dan juga Goldziher.
D. Kesimpulan
Comman
link adalah
istilah untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits (jarang
lebih dari) seorang yang berwenang dan lalu ia menyiarkannya kepada
sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan lagi
kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka menyiarkan
lagi kepada dua atau muridnya. Dengan kata lain, Comman Link adalah
periwayat tertua yang disebut dalam berkas Isnad yang meneruskan
hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas Isnad
hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka disanalah detemukan Comman
Link-nya.
G.H.A.
Juynboll telah menggunakan teori common link untuk menyelidiki asal-usul
dan sejarah awal periwayatan hadits selama dua puluh tahun terakhir ini. Teori
ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang
bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, semakin besar
seorang periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan. Dengan
kata lain, jalur periwayatan yang dapat dipercaya sebagai jalur historis adalah
jalur yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara jalur yang berkembang
ke satu jalur saja, yakni single strand, tidak dapat dipercaya
kesejarahannya. Akan tetapi, hasil riset ini menunjukkan bahwa asumsi ini
tampaknya kurang meyakinkan.
Secara
praktis, asumsi tersebut diterapkan oleh Juynboll melalui metode analisis isnad
yang terdiri atas beberapa langkah berikut ini: (1) menentukan hadits yang
diteliti; (2) menelusuri hadits di berbagai sumber aslinya; (3) menghimpun seluruh
isnad hadits; (4) merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam sebuah
bundel isnad, dan (5) mendeteksi seorang periwayat yang menduduki posisi
common link. Juynboll mengembangkan teori common link setelah mengetahui
bahwa metode kritik hadits yang ditawarkan oleh para ahli hadits (muhadditsun)
masih kontroversial karena memiliki beberapa ke-lemahan yang cukup mendasar dan
tidak mampu memberikan kepastian mengenai sejarah periwayatan hadits.
Berbagai implikasi yang ditimbulkan
oleh teori common link Juynboll memberikan indikasi yang sangat kuat
bahwa ide-idenya tentang sejarah awal periwayatan hadits lebih dekat dan lebih
sejalan dengan Goldziher dan Schacht, dua orang pendahulunya yang merupakan
wakil utama dari kelompok revisionis. Dalam banyak hal, baik teori maupun hasil
temuannya tidak lebih dari sekedar syarh dan perluasan atas ide-ide Goldziher dan Schacht.
Sebaliknya,pendapat Juynboll tentang hal tersebut berbeda dengan pendapat
Abbott, Sezgin, dan Azami dari aliran tradisional. Meskipun demikian, kita
tidak dapat mengingkari bahwa dalam beberapa hal, temuan Juynboll tentang asal-usul hadits tampaknya
berada diposisi tengah antara kelompok tradisionalis dan revisionis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar