Peta Literatur
Tafsir Al-Qur’an (Tradisi Keilmuan Islam Klasik & Modern)
Mukaddimah
Judul tersebut
tentu menghendaki studi dengan pendekatan sejarah (Tarikh al-Tafsir).
Pendekatan sejarah (historical aproach) dibutuhkan untuk memungkinkan melakukan
pemetaan tafsir, khususnya di periode klasik dan periode modern. Tentu saja
tidak sedikit karya para pakar sejarah tafsir yang menyoroti studi ini dengan
seksama. Karya-karya yang dimaksud, antara lain, Qishshat al-Tafsir (sejarah
tafsir) buah tangan Ahmad as-Syurbashi;
Modern Muslim Koran Interpretation (penafsiran Al-Qura’an periode modern),
karya JMS Baljon, dan Tafsir Al-Qur’an al-Karim Bain al-Qudama wa al-Muhdatsin
(Tafsir Al-Qur’an: antara pendekatan klasik dan modern), karya Gamal al-Banna.
Karya yang
pertama, karya Ahmad as-Syurbashi, misalnya, berisi antara lain : tafsir
Rasulullah, tafsir para sahabat, tafsir ilmiah, tafsir shufi, tafsir politik
dan juga ada pembahasan gerakan pembaharuan di bidang tafsir. Sedangkan kitab
yang ketiga, karya Gamal al-Banna, antara lain berisi studi tentang penafsiran
Al-Qur’an oleh mufasir klasik yang oleh Gamal al-Banna, di satu sisi, dipandang
mengandung kekeliruan, yakni kekeliruan para ahli bahasa, kekeliruan kaum
sektarian dan juga memuat nilai tafsir-tafsir klasik.
Di bagian lain,
buku ini membahas penafsiran Al-Qur’an modern. Di situ muncul tafsir-tafsir,
antara lain: Tafsir Al-Manar, karya Syaikh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid
Rida, Tafsir al-Tahrin wa al-Tanwir, karya Syaikh at-Thahir Ibn Asyur, Tafsir
Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tafsir-tafsir janggal seperti karya Muhammad
Abu Zaid dan juga karya Mahmud Muhammad Thaha.
Sudah tentu
masih banyak karya tulis yang lain dari para sejarawan tafsir Al-Qur’an yang
telah memetakan tafsir Al-Qur’an, baik zaman klasik maupun zaman modern. Maka,
marilah dimulai saja melihat sejarah tafsir Al-Qur’an ini.
* Makalah disampaikan pada acara Training
of Trainee (TOT) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Al-Qur’an
(PSQ), diadakan di Samarinda, Kalimantan Timur, Tanggal 4-6 Maret 2008.
** Guru Besar Ilmu Tafsir, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sejarah Tafsir
Klasik
Kendati pada
mulanya berkembang secara lisan, tetapi kodifikasi ilmu tafsir telah dimulai
sejak dini. Dalam kitab Thabaqat Ibn Sa’d di sinyalir, sejarawan Musa bin Uqbah
dititipi oleh Kurayb bin Muslim (w 97 H), karangan gurunya, Ibnu Abbas (w. 68
H), Tarjuman al-Qur’an. Disebutkan bahwa Ali bin Abdullah bin Abbas (w 118 H)
berkali-kali berkirim surat kepada Musa bin ’Uqbah untuk mendapatkan kumpulan
karya ayahnya guna ditulis ulang. Fuad Sezgin, pakar bibliografi turats Islam,
mengomentari, ”tidak ada yang menghalangi untuk mengatakan Ibnu Abbas telah
menulis sendiri karya tafsirnya yang sekarang banyak berserakan dalam bentuk
kutipan di buku-buku tafsir”.
Buah pikiran
Ibnu Abbas dalam tafsir banyak yang sampai kepada kita melalui riwayat yang
shahih, terutama yang melalui jalur Ali bin Abi Thalhah. Dalam tafsir Thabary
terekam 1000 riwayat yang melalui jalur ini. Sebagian pakar menilai riwayat
tersebut mengandung kelemahan karena Ali bin Abi Thalhah tidak meriwayatkannya
langsung dari Ibnu Abbas. Tetapi dengan diketahui ’perantara’ antara Ali bin
Abi Thalhah dan Ibnu Abbas seorang yang tsiqah yaitu mujahid (w 104 H) dan
Ikrimah (w 105 H) maka tuduhan tersebut menjadi tidak relevan (Musykil
al-Atsar, Thahawi 3/186). Ahmad Ibn Hanbal sering memuji karya tersebut yang
pada masanya masih dapat dilihat dan tersimpan di Mesir (Tarikh Turats ’Arabiy,
Sezgin 1/180).
Tafsiran Ibnu
Abbas tidak selalu melalui periwayatan dari Rasulullah dan para sahabat (tafsir bil ma’tsur), tetapi
telah ada terobosan baru yaitu tafsir melalui pendekatan bahasa. Nafi’ Ibnu
al-Azraq (w 65 H), pemimpin Khawarij saat itu, pernah mengajukan 200 kata yang
maknanya tidak jelas dalam Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas. Dengan piawai Ibnu
Abbas menjelaskan maknnya satu per satu dengan disertai argumentasi pendukung
dari syair Arab jahily.
Tafsir dengan
pendekatan bahasa dan logika secara umum semakin berkembang di tangan para
murid Ibnu Abbas, seperti Said bin Jubair (w 95 H), Mujahid, Ikrimah,
Al-Dhahhak (w 105 H) dan atha’ bin Rabah (w 114 H).
Karya-karyaa
mereka, selain memuat hal-hal metafisik dan hikayat masa lalu, lebih terfokus
pada kajian kosa kata al-Qur’an. Upaya-upaya tersebut menjadi pijakan bagi
lahirnya banyak literatur tentang kosa kata Al-Qur’an (gharib al-Qur’an) pada
abad ke 2 hijriah seperti terlihat pada karya Abban bin Thighlib (w 141 H) dan
Zaid bin Ali. Upaya penafsiran secara sintaksis (pendekatan nahwu) juga telah
dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Du’aly (w 69 H), Nashr bin Ashim (w 89 H), Yahya
bin Ya’mar (w 129 H), Isa bin Umar al-Tsaqafiy (w 149 H) dan Abu Amr bin
al-’Ila (w 145 H). Sayangnya, seperti halnya kemunculan literatur Islam klasik
lainnya, banyak di antara karya tafsir yang muncul sejak masa awal sampai pada
paruh pertama abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita kecuali
dalam bentuk kutipan di buku-buku ulama yang muncul belakangan. Beberapa karya
penting masa awal yang sampai kepada kita Al-Asybah wa al-Nazha’ir fi Al-Qur’an
al-Karim karya Muqatil bin Sulaiman al-Balkhiy (w 150 H), Majaz al-Qur’an karya
Abu Ubaydah (w 210 H) dan Ma’any al-Qur’an karya al-Farra (w 207 H).
Upaya menghimpun
kembali karya-karya ulama masa lalu (abad ke 1 dan ke 2 H) telah dilakukan pada
paruh pertama abad ke 3 H. Imam Bukhari, penyusun kitab hadits shahih, dalam
karyanya banyak memuat penjelasan makna kosa kata Al-Qur’an yang kemudian
dikumpulkan dalam bentuk buku tersendiri oleh M. Fuad Abdul Baqy. Selain memuat
beberapa riwayat tafsir, meski terkadang tidak disertai sanad, karya Imam
Bukhari itu banyak memuat pandangan ulama bahasa sebelumnya terutama Abu
Ubaydah.
Usaha
pengumpulan ini mencapai puncaknya dalam karya Iman Thabary (w 310 H), Jami’
al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Selain memuat tafsir secara utuh karya tersebut
juga dilengkapi dengan sanad periwayatannya. Karena itu tidak berlebihan jika
dikatakan karya Thabari tersebut sebagai puncak karya tafsir bil ma’tsur
meskipun juga banyak memuat pandangan ahli bahasa.
Tafsir Thabari
dikatakan sebagai karya utuh tafsir karena pada umumnya karya yang muncul
sampai pada akhir abad ke 4 H lebih menekankan pada satu kajian tertentu
semisal Gharib al-Qur’an dan Musykil al-Qur’an kary Ibnu qutaybah (w 276 H),
Fadha’il al-Qur’an karya Abi Ubayd al-Qasim bin Salam (w 224 H), Ma ittafaqa
lafzhuhu wa ikhtalafa ma’nahu min al-Qur’an al-Majid karya al-Mubarrad (w 285
H) Al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abu Ja’far al-Nuhhas (w 338 H), dan juga tidak
menafsirkan seluruh ayat seperti terlihat pada karya al-Zajjaj (w 311 H),
Ma’ani al-Qur’an wa I’rabuhu dan Abu al-Laits al-Samarqandiy (w 373 H), Tafsir
al-Qur’an.
Tradisi
periwayatan dalam tafsir model Thabariy kemudian diikuti selanjutnya pada abad
ke 5 H oleh al-Tsa’labiy (w 427 H) dalam karyanya al-Kasyf wa al-Bayan dan
al-Wahidiy (w 468 H) yang memiliki tiga karya tafsir, al-Wajiz, al-Wasith dan
al-Basith.
Catatan negatif
yang sering diberikan kepada model tafsir periwayatan adalah bercampurnya
antara riwayat yang shahih dengan yang dha’if (lemah) bahkan mawdhu’ (palsu).
Tak ubahnya mereka seperti pencari kayu bakar di malam hari (hathib laylin)
yang tidak bisa membedakan antara ular dan batang kayu bakar. Karena itu pada
awal abad ke 6 H, seorang pakar hadits, al-Baghawiy (w 510 H) mencoba
membersihkan karya al-Tsa’labiy yang dinilainya cukup banyak memuat informasi
tafsir masa lalu dari dalam karyanya Ma’alim al-tanzil. Selain memuat pikiran
tafsirnya, al-Baghawiy mendasari banyak tafsirannya dari karya Tsa’labiy,
al-Kasyf wa al-Bayan. Karya Al-Baghawiy tersebut kemudian diringkas pada awal
abad ke 8 H oleh Imam al-Khazin (w 725 H) dalam karyanya Lubab alTa’wil.
Kepribadian al-Khazin sbagai seorang sufi yang menyenangi kisah-kisah aneh
dalam nasihat-nasihatnya membuat tertarik untuk menukil kembali kisah-kisah
yang ditulis Tsa’labiy dan telah dibuang oleh al-Baghawiy dari karyanya.
Di sisi lain
penafsiran dengan pendekatan bahasa yang lebih rasional berkembang di kalangan
mu’tazilah melalui tokoh-tokohnya seperti Abu Ishaq al-Nazhzham (w 231 H),
al-Jahizh (w 255 H), dan mencapai puncaknya dalam karya Zamakhsyari (w 538 H),
Al-Kasysyaf.
Jika tafsir
Zamakhsyari muncul dari belahan timur dunia Islam saat itu, di belahan barat,
tepatnya Andalusia, muncul karya tafsir yang tidak kalah kuatnya yaitu
Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibnu Athiyyah (w 546 H). Selain menghimpun banyak
riwayat tafsir dan mengkritisinya, karya Ibnu Athiyyah pun cukup kuat dalam
pendekatan bahasa dan logika.
Pada abad ke 6 H
karya Zamakhsyari mendapat tempat terhormat di kalangan umat Islam. Pesona
keindahan balaghah Al-Qur’an yang mewarnai tafsir Zamakhsyari membuat banyak
orang terkesima dan tertarik untuk mengkajinya sehingga lahir beberapa karya yang
berkhidmat kepadanya. Bentuk kajian tersebut antara lain membersihkan pengaruh
aliran mu’tazilah yang ada di dalamnya seperti dilakukan oleh Ibnu al-Munayyir
(w 683 H) dalam ’al-Intishaf fi ma tadhamanahu al-Kasysyaf min al-I’tizal, atau
menjelaskan kata atau ungkapan sulit yang ada di dalamnya seperti terlihat
dalam karya Quthbuddin al-Tahtaniy (w 766 H) dan al-Thibiy (w 786 H), Futuh
al-Ghayb fi al-Kasyf al-Qina al-Rayb yang kemudian diringkas lagi oleh
At-Taftazani (w 792 H) dalam hasyiyah-nya.
Sementara pakar
menduga, kelahiran karya al-Raziy (w 604 H), Mafatih al-Ghayb atau al-Tafsir
al-Kabir, yang mewakili ulama ahlussunnah, juga dilatarbelakangi oleh pesona
al-Kasysyaf. Khawatir umat terpengaruh oleh muatan i’tizal di balik pesona
keindahan balaghah, al-Razi menyusun karyanya tersebut dengan mengembangkan
uraian balaghah Zamakhsyari dan memberi warna sunniy dalam beberapa masalah
yang menyangkut akidah dan ilmu kalam
Tak ayal kedua
karya tersebut kemudian menjadi karya yang sangat kuat sehingga mendasari
banyak karya setelahnya. Sebut saja misalnya Anwar al-Tanzil karya al-Baydhawiy
(w 685 H). Seperti kebanyakan karya yang muncul sejak awal abad ke 7 H
Baydhawiy menulis karyanya secara ringkas, tetapi memuat keindahan pesona
balaghah Al-Qur’an seperti dalam al-Kasysyaf dan mewakili aliran sunniy asy’ari
yang mencapai puncak kematangannya saat itu di tangan al-Ghazali, Imam
al-Haramain, dan al-Raziy. Penjelasan makna kata, kalimat dan ungkapan
Al-Qur’an didapatinya dari al-Kasysyaf, sementara uraian hikmah Al-Qur’an,
filsafat, pokok-pokok akidah dan syariah dirangkum dari Mafatih al-Ghayb.
Al-Baydhawiy berhasil melakukan itu dengan sangat memuaskan.
Dominasi sunni
di dunia Islam itu membuat karya al-Baydhawiy menjadi sangat populer. Boleh
dikata, karya al-Baydhawiy lah yang membuat karya Zamakhsyari terus mendapat
tempat di hati muslim sunni. Sebagai karya yang cukup kuat, Anwar al-tanzil
melahirkan banyak karya dalam bentuk syarh dan hasyiyah. Sampai pada masa Mulla
Katib al-Jalabiy (terkenal dengan sebutan Haji Khalifah/ w 1017 H), penyusun
bibliografi literatur Islam (Kasyf al-Zhunun) tercatat 50 karya hasyiyat atas
karya al-Baydhawiy tersebut. Sebut saja misalnya Hasyiyat Syeikh Zadah (w 951
H), Hasyiyat Ibnu Tamjid (w 880 H), Nawahid al-Akbar karya al-Suyuthi dan
lainnya. Jika ditambah dengan karya hasyiyah yang muncul setelah Kasyf
al-Zhunun, seperti Hasyiyat Al-Siyalakuti (w 1067 H), Hasyiyat al-Syihab (w
1069 H) yang berjudul ’Inayat al-Qadhi wa Kifayat al-Radhi dan Hasyiyat
al-Qunawiy (w 1169 H) maka paling tidak terdapat 53 hasyiyah yang ditulis untuk
menjelaskan karya al-Baydhawiy tersebut.
Kemiripan antara
karya Zamakhsyari dan Baydhawiy dapat dilihat dengan membandingkan hasyiyat
keduanya. Imam Suyuthi yang menulis hasyiyat atas karya al-Baydhawiy dalam
karyanya banyak menukil penjelasan Al-Thibiy dan Al-Taftazaniy yang menulis
hasyiyat atas karya Zamakhsyari.
Tradisi
meringkas dan mensyarah karya-karya terdahulu masih terus berlanjut di belahan
timur dunia Islam sampai akhir abad ke 9 H dan seterusnya. Dengan dominasi
Dinasti Ottoman tradisi tersebut melebar sampai ke Persia dan Turki. Seorang
ulama saat itu yang menguasai tiga bahasa; Arab, Persi dan Turki, Abu Al-Su’ud
(w 982 H) melanjutkan tradisi tersebut dengan menulis Irsyad al-’Aql al-Salim
ila’ Mazaya al-Kitab al-’Azhim. Karya tafsir tersebut mengikuti metode yang
dikembangkan dalam karya Zamakhsyari dan Baydhawiy.
Tradisi keilmuan
yang berbeda berkembang di belahan barat dunia Islam seperti Andalusia,
Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di timur yang berkembang adalah syarah
dan komentar (ta’liq/hasyiyat) maka di barat tradisi analitik tanpa melupakan
uraian kata dan ungkapan berkembang dengan baik. Di antara karya tafsir yang
muncul di sana adalah karya Ibnu Arfah (w 803 H) dan al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an karya al-Qurthubiy (w 671 H).
Pada masa
Ottoman, sampai awal abad ke 13 H literatur tafsir yang mendominasi dunia Islam
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian; pertama: tafsir ilmiah sunni yang
diwakili oleh tafsir al-Baydhawiy dan Abu Su’ud; kedua: tafsir ilmiah syiah
seperti karya Al-Thusi, al-Qummiy dan al-Thabarsiy (Majma’ al-Bayan), ketiga:
tafsir sufi yang tidak terikat dengan istilah teknis ilmiah dan bahasa yang
diwakili oleh ruh al-Bayan karya Ismail Haqqi al-Barsawiy. Ketiga tradisi
keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut mempengaruhi kehidupan Al-Alusiy (w
1270 H) yang melahirkan karya Ruh al-Ma’aniy. Suatu karya yang cukup kuat
dengan menghimpun ketiga tradisi keilmuan yang berkembang pada masa Ottoman. Al-Alusiy
berhasil menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam menggali pesan-pesan
Al-Qur’an dengan perangkat keilmuan yang memadai, selain juga menampilkan
kepribadian sufi dalam dirinya dalam bentuk capaian makna-makna isyarat di
balik lafal-lafal Al-Qur’an.
Sampai pada
al-Alusiy penafsiran Al-Qur’an lebih merupakan suatu masalah akademis. Memahami
sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detail terhadap kata-kata teknis dan
istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta
bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Al-Qur’an merupakan ensiklopei-ensiklopedi dari
ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan kutipan dari ensiklopedi tersebut.
Tafsir di Era
Modern
Abad ke 14 H
merupakan titik awal dalam sejarah kebangkitan umat Islam secara umum. Bentuk
penafsiran yang terkesan akademis dianggap tidak lagi mampu menjawab tantangan
umat saat itu. Adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang pertama
kali menyerukan perlunya pemahaman baru dalam kehidupan beragama. Abduh
umpamanya mengkritik karya-karya tafsir terdahulu dengan mengatakan, ”Hadza la
yanbaghi an yusamma tafsiran, wainnama dharbun minattamrin fil funun kannahwi
wal ma’ani waghayrihim (Tafsir al-Manar, 1/24). Menurut Abduh, ”Pada hari akhir
nanti Allah tidak menanyakan kita mengenai pendapat-pendapat para mufasir dan
tentang bagaimana mereka memahami Al-Qur’an. Tetapi Ia akan menanyakan kepada
kita kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita”. Abduh
berpendapat, yang dibutuhkan oleh umat adalah pemahaman kitab suci sebagai
sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat (Tafsir al-Manar,
1/24). Dengan begitu, sudah pasti Al-Qur’an harus dapat memberikan solusi bagi
permasalahan-permasalahan umat.
Terobosan Abduh
dalam tafsir Al-Qur’an seperti tercermin dalam karya yang dikumpulkan dan
dilengkapi oleh muridnya Rasyid Ridha boleh dibilang sebagai sesuatu yang baru
dan orisinil. Kebaruannya dapat dilihat pada penekanannya yang baru dalam
melihat Al-Qur’an, yakni sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan
spritual. Hemat penulis, pandangan Abduh yang menekankan perlunya rekonstruksi
pemahaman Al-Qur’an, sedikit banyaknya, dipengaruhi oleh keberhasilan gerakan
renaissance yang menitikberatkan pada pemahaman ulang terhadap kitab suci. Di
sinilah terdapat titik temu gerakan pembaruan di Barat dan Timur.
Seruan Abduh
tersebut mendapat sambutan hangat dari para reformis Islam. Secara umum
terdapat beberapa kecendrungan (trend) dan metodologi dalam tafsir modern.
Kecendrungan dimaksud, yang dalam bahasa arab disebut ittijah, adalah kumpulan
pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus
mencerminkan latar belakang intelektual penafsirnya. Tafsir Thabari sering
diklasifikasikan dalam kategori bi-l-Ma’tsur, padahal tidak sedikit kita temukan
penggunaan nalar dalam karya tersebut. Al-Kasysyaf, karya Zamakhsyari, sering
disebut bercorak tafsir aliran atau dogmatis seperti kata I. Goldziher. Padahal
Zamakhsyari, seperti dikatakan Jansen, dengan karyanya itu dapat disebut
sebagai tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap Al-Qur’an setelah
Abu Ubaydah, peletak dasar tafsir filologi modern. Ini menjelaskan bahwa
klasifikasi yang sering didengar itu hanya sekedar kesan umum yang ditangkap
dari kecendrungan penulisnya. Sedangkan metodologi yang dimaksud di atas adalah
cara yang digunakan kecendrungan pemikiran mufasir. Dua istilah ini sering
dipahami rancu dalam beberapa kajian tafsir.
A. Beberapa Tren
Penafsiran Modern
I. Goldziher
dalam karyanya Richtungen der Islamischen Koranauslegung, mengasumsikan ada
lima kecendrungan dalam penafsiran Al-Qur’an:
Penafsiran
dengan bantuan hadits Nabi dan para Sahabatnya
Penafsiran
dogmatis
Penafsiran
mistik
Penafsiran
sektarian
Penafsiran
modernis
Goldziher dalam
karyanya itu belum sempat membahas tren yang berkembang pasca Abduh. J. Jomier
dalam beberapa karyanya juga belum dapat membuat potret utuh tentang penafsiran
modern. Demikian pula J.M.S. Baljon dalam karyanya, Modern Muslim Koran
Interpretation. Sebuah studi yang paling sukses dalam mengungkap kecendrungan
tafsir modern dapat dilihat pada karya Iffat. M. Syarkawi, Ittijahat al-Tafsir
fil ’Ashril Hadits. Menurutnya tafsir modern yang disebutnya sebagai tafsir
praktis, memiliki tiga kecendrungan utama;
Sosial
kemasyarakatan (ittijah ijtima’iy)
Tafsir saintifik
(ittijah ’ilmi)
Interpretasi
filologik dan sastra (ittijah adabiy)
Kategorisasi
yang sama juga dilakukan oleh J.J.G. Jansen dalam karyanya, The Interpretation
of The Koran in Modern Egypt, dan DR. M. Ibrahim Syarif dalam karyanya, Ittijahat
al-Tajdid fi tafsir al-Qur’an al-Karim fi Mishr.
A.1. Tren Sosial
Kemasyarakatan
Problem utama
yang dihadapi umat Islam di awal abad ini, setelah mengalami kemunduran dan
terpecah belah, adalah mengatur siasat untuk melawan dominasi Barat dalam
berbagai sektor kehidupan; militer, ekonomi dan budaya. Sudah barang tentu
diperlukan cara pandang baru dalam melihat kehidupan. Diharapkan umat Islam
dapat memilih dan memilah produk nilai dan norma kehidupan modern. Kritik
intrinsik (naqd dzatiy) ini mengharuskan para reformis Islam untuk mengkaji
ulang Al-Qur’an dan Sunnah. Hal yang sama juga dilakukan para reformis Islam
dalam sepanjang sejarah setiap kali umat menghadapi tantangan, baik dari dalam
maupun luar.
Apa yang
dilakukan mufasir modern sebenarnya hanyalah kepanjangan dari karya-karya
mufasir klasik. Bedanya, mufasir klasik, seperti dikatakan Iffat, dalam banyak
hal sering menggunakan pendekatan filosofis dalam menghadapi tantangan
zamannya. Sementara mufasir modern lebih menekankan pada gagasan-gagasan
praktis yang langsung menyentuh persoalan umat. Yang patut dikagumi, para
mufasir modern berhasil mengkompromikan temuan-temuan mufasir klasik dan
mengemasnya dengan baik sehingga tepat dan jitu dalam menyelesaikan masalah.
Tema-tema politik, persatuan, ekonomi, dan masalah-masalah sosial lainnya kerap
kali ditemukan dalam karya-karya seperti Abduh, Rasyid Ridha, al-Maraghy,
Syaltout dan lainnya.
Upaya tersebut
paling tidak telah mampu menyaring dan mengerem laju peradaban Barat. Bila
tidak, dapat dibayangkan peradaban Islam akan kehilangan identitasnya. Di sisi
lain, usaha tersebut berhasil mengobati kebimbangan umat dalam dua hal; produk
baru peradaban Barat yang sangat asing bagi umat, dan keinginan hati untuk
mengembalikan kejayaan turats peradaban Islam. Satu hal yang patut disayangkan,
penganut aliran ini sering kali terkesan reaksioner dan lamban dalam
mengantisipasi persoalan. Sehingga yang terkesan, hanya mengekor dan sekedar
menjustifikasi gelombang pembaruan yang tengah terjadi.
A.2. Penafsiran
Saintifik (ittijah ’ilmy)
Kecendrungan
menafsirkan Al-Qur’an dengan teori-teori ilmu pengetahuan sebenarnya telah lama
dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa
pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (w 853 H) akibat penerjemahan kitab-kitab
ilmiah. Kecendrungan ini muncul sebagai upaya kompromi dalam polemik hubungan
antara Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Karya al-Ghazali, jawahir al-Qur’an,
seringkali dikutip dalam membela keabsahan tafsir ilmiah. Dalam buku kecilnya itu,
al-Ghazali mengajarkan bahwa Al-Qur’an hanya akan menjadi jelas bagi mereka
yang mempelajari ilmu pengetahuan yang digali darinya. Seseorang tidak bisa
memahami Al-Qur’an tanpa pengetahuan tata bahasa Arab dan orang tidak bisa
memahami apa yang dimaksud oleh ayat seperti ”dan apabila aku sakit, Dialah
yang menyembuhkan aku”, jika ia tidak mengerti kedokteran.
Pro-kontra
tentang tafsir ilmiah selalu terjadi dikalangan tokoh-tokoh klasik dan modern.
Selain al-Ghazali, al-Razi, al-Mursi dan Al-Suyuthi juga dikelompokkan sebagai
pendukung tafsir ini. Berseberangan dengan mereka, al-Syathibi menentang keras
penafsiran model seperti ini. Dalam barisan tokoh-tokoh modern, para pendukung
tafsir ini seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhuri, Hanafi Ahmad berseberangan
dengan tokoh-tokoh seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas Aqqad.
Polemik-polemik
tersebut menghasilkan formula kompromistik yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan. Namun demikian Al-Qur’an tidak bisa
diperlakukan sebagai sebuah buku teks ilmu pengetahuan. Al-qur’an lebih
merupakan buku petunjuk (hidayah) daripada teori-teori ilmu. ”Memahami
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik,
selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur’aniyah dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan bahasa”, demikian Quraish
mencoba menengahi.
Munculnya tafsir
ilmiah modern, menurut Jansen, berhubungan dengan awal pengaruh Barat terhadap
dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh kedua abad ke 19
dunia Islam berada di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan
Arab dan Muslim ini hanya dimungkinkan oleh superioritas teknologi Eropa. Bagi
seorang muslim, membaca tafsir Al-Qur’an bahwa persenjataan dan teknik-teknik
asing yang memungkinkan orang-orang Eropa mengusai umat Islam sebenarnya telah
disebut dan diramalkan di dalam Al-Qur’an, bisa menjadi pelipur lara. Inilah
yang diungkapkan M. Quraish Shihab sebagai kompensasi perasaan Inferiority
Complex (perasaan rendah hati). Lebih lanjut Quraish menulis, ”Tidak dapat
diingkari bahwa mengingat kejayaan lama merupakan obat bius yang dapat
meredakan sakit, meredakan untuk sementara, tetapi bukan menyembuhkannya.”
Pandangan
optismik terhadap tren ini dilontarkan oleh Iffat. Menurutnya, tren ini
berusaha membangun rumah baru bagi peradaban Islam setelah umat Islam mengalami
dualisme budaya yang tercermin pada sikap dan pemikiran. Dualisme ini
melahirkan sikap kontradiktif antara mengenang kejayaan masa lalu dan keinginan
memperbaiki diri, dengan kekaguman terhadap peradaban Barat yang hanya dapat
diambil sisi materinya saja. Sehingga yang terjadi, budaya di kawasan Muslim
’berhati Islam, tetapi berbaju Barat’. Upaya mufasir ilmiah pada hakekatnya
ingin membangun kesatuan budaya melalui pola hubungan harmonis antara Al-Qur’an
dan ilmu pengetahuan modern yang menjadi simbol peradaban Barat.
A.3.
Interpretasi Filologik dan Sastra (Ittijah adabiy)
Di awal abad
modern, kecendrungan ini sebenarnya telah dimulai oleh penganut tren sosial
kemasyarakatan seperti, M. Abduh, Rasyid Ridha dan al-Maraghy. Tetapi usaha
mereka baru sebatas mengungkap sekilas retorika Al-Qur’an, belum dalam bentuk
sebuah metode ilmiah. Sebab menurut mereka tujuan tafsir adalah mewujudkan hidayah
Al-Qur’an.
Tren ini
mencapai puncak kematangannya di tangan Amin al-Khuli. Menurutnya, Al-Qur’an
harus diperlakukan sebagai kita berbahasa Arab yang terbesar (Kitab
al-Arabiyyah al-Akbar). Maka hak-hak kebahasaannya harus dipenuhi terlebih
dahulu sebelum maksud-maksud lain. Amin mengatakan bahwa secara ideal studi
tafsir harus dibagi dalam dua bagian:
Kajian sekitar
Al-Qur’an, dirasah hawl al-Nash
Kajian terhadap
Al-Qur’an itu sendiri, dirasah fi al-Qur’an nafsihi
Kajian sekitar
Al-Qur’an diarahkan pada aspek sosio histori, geografi, kultural dan
antropologis wahyu. Studi terhadap latarbelakang ini tidak jauh berbeda dengan
yang diperkenalkan oleh Noldeke dalam karyanya, Geschichte des Qoran, sebagai
”pendekatan historis tradisional”. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pada
pelacakan kata-kata semenjak pertama diturunkan, pemakaiannya dalam Al-Qur’an
serta sirkulasinya dalam bahasa Arab. Dia memberi alasan bahwa Al-Qur’an datang
dengan sebuah pakaian Arab (fi tsaubihi al-arabiy) dan karena itulah untuk
memahami Al-Qur’an sesempurna mungkin kita harus mengetahui sejauh mungkin
keadaan bangsa Arab ketika Al-Qur’an diturunkan.
Sayyid A. Khalil
menilai, sebenarnya gagasan yang disampaikan al-Khuli tidak lain adalah gagasan
yang telah diperkenalkan oleh Schleirmacher yang dikenal sebagai pendekatan
hermeneutik. Khalil tidak berlebihan, sebab al-Khuli adalah sosok yang banyak
berinteraksi dengan kajian-kajian Barat, khususnya di bidang sastra. Ini tidak
berarti pendekatan tafsir seperti ini berasal dari Barat. Sebab jika ditelesuri
pendekatan hermeneutik dalam mengkaji teks telah berkembang lama sejak awal
masa Islam. Ibnu Abbas, Abu Ubaydah, al-Zamakhsyari dan al-Jurjani tidak dapat
diragukan lagi kedudukannya sebagai peletak dasar-dasar filologi dan sintaksis
Al-Qur’an. Ini membuktikan adanya ta’tsir dan ta’atstsur positif antara Barat
dan Islam sejak dulu.
Sampai akhir
hayatnya, al-Khuli tidak meninggalkan karya utuh sebagai penjabaran atas
metodenya, kecuali beberapa buku kecil hasil ceramahnya di radio yang diberi
judul Min Hadyil Qur’an. Tetapi murid-muridnya seperti Bintu Syathi dan M.A.
Khalfallah berhasil mempraktekkannya dengan apik dalam beberapa karya yang
memberikan kontribusi besar dalam kajian Al-Qur’an modern.
B. Metodologi
Penafsiran Modern
Metode yang
selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi tafsir, yang oleh
sementara pakar diduga dimulai oleh al-Farra (w 207 H), adalah menafsirkan
Al-Qur’an ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Segala segi
yang ’dianggap perlu’ oleh sang mufasir diuraikan, bermula dari arti kosa kata,
asbab al-Nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan
kandungan ayat. Metode ini dikenal dengan metode tahlily atau tajzi’iy dalam
istilah Baqir Shadr. Para mufasir klasik umumnya menggunakan metode ini. Kritik
yang sering ditujukan pada metode ini adalah karena dianggap menghasilkan
pandangan-pandangan parsial. Bahkan tidak jarang ayat-ayat Al-Qur’an digunakan
sebagai dalih pembenaran pendapat mufasir. Selain itu terasa sekali bahwa
metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan umat
karena terlampau teoritis.
Sampai pada awal
abad modern, penafsiran dengan berdasarkan urutan mushaf masih dapat ditemukan.
Tafsir al-Manar, yang dikatakan Ibnu Asyur (JR) sebagai karya trio reformis
dunia Islam; Afghani, Abduh dan Ridha, disusun dengan metode tersebut. demikian
pula karya-karya reformis lainnya seperti al-Qasimi, al-Maraghy, Izzat Darwaza
dan Ibnu Asyur. Yang membedakan karya-karya modern dengan klasik, para mufasir
modern tidak lagi terjebak pada penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih
bersifat praktis. Jarang sekali ditemukan dalam karya mereka pembahasan
gramatikal yang bertele-tele. Seolah-olah mereka ingin cepat sampai ke fokus
permasalahan yaitu menuntaskan persoalan umat, agar umat betul-betul memperoleh
petunjuk Al-Qur’an.
Sampai di sini,
penulis merasa lebih sreg menyebut metode ini dengan metode Mawdhi’iy (sesuai
tempat atau posisi ayat yang berurutan). Menyebutnya dengan tahlily, dengan pengertian
analisis, terasa tumpang tindih dengan yang dikenal sebagai metode mawdhu’iy
(tematis atau topikal). Sebab karya-karya modern, meski banyak yang disusun
sesuai dengan urutan mushaf tidak lagi mengurai penjelasan secara rinci. Bahkan
tema-tema persoalan umat banyak ditemukan tuntas dalam karya seperti al-Manar.
Demikian pula, metode mawdhu’i yang berkembang saat ini meski jarang
menggunakan analisis gramatikal dan lainnya, juga masih memerlukan analisis
dengan teori-teori ilmu sosial modern misalnya.
Metode kedua
yang dikembangkan mufasir modern, seperti telah disinggung, adalah metode
mawdhu’i yang membahas tema-tema pokok dalam suatu surat atau ayat-ayat
tertentu. Embrionya sudah lama muncul sejak diperkenalkan oleh al-Razy,
al-Syathiby, Abu Hayyan dan al-Biqa’iy. Kesemuanya berpendapat perlunya
pemahaman ayat secara utuh. Di samping akan memunculkan sisi kemukjizatan
Al-Qur’an, metode ini diharapkan mampu menuntaskan persoalan umat.
M. Abduh dalam
beberapa karyanya telah menekankan kesatuan tema-tema Al-Qur’an. Namun
gagasannya tersebut baru diwujudkan oleh murid-muridnya seperi M. Abdullah
diraz (bukan Darraz) dan Mahmud Syaltout. Pendekatan hermeneutik Barat yang
diadopsi al-Khuli dalam ittijah adaby nya sebenarnya juga menitik beratkan
pemahaman kesatuan teks-teks kitab suci. Al-Khuli misalnya menyatakan, ”Yang
ideal adalah menafsirkan Al-Qur’an secar tematis, tidak menurut urutan mushaf.”
Sejauh ini,
penulis masih belum melihat pagar-pagar metodologis yang kuat dalam
pengembangan metode ini, khususnya yang dikembangkan Quraish Shihab di IAIN.
Sehingga kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti,
’tingginya subyektifitas penafsir’, ’penafsiran yang ”mengikat” generasi
berikut’, ’sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan dialaminya.
Quraish
memberikan ilustrasi metode mawdhi’i (tahlily) sebagai penyajian makanan dalam
bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode mawdhu’i (tematis)
diilustrasikannya seperti menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan.
Yang ingin cepat tentu akan memilih kotak ketimbang harus memilih makanan di
meja prasmanan. Banyak persoalan umat sekarang menuntut penyelesaian cepat.
Maka mawdhu’i tentu lebih tepat. Tetapi yang perlu diingat, kotak-kotak makanan
itu tentunya dibuat sesuai dengan dana yang tersedia dan kemampuan kateringnya.
Yang membaca karya-karya tematis Quraish dan Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia
Al-Qur’an nya akan dapat merasakan kualitas ’katering’ masing-masing.
Bentuk lain dari
metode penyajian tafsir modern adalah artikel-artikel tafsir yang sering
ditemukan dalam kolom-kolom harian. Di tahun 1959, Abdurrahman al-Banna,
saudara kandung Hasan al-Banna, misalnya, banyak menulis dalam harian umum
Kairo, al-Jumhuriyya. Dalam artikel ringkas ini ia menawarkan suatu penafsiran
terhadap surah al-Hujurat, di mana Al-Qur’an berbicara tentang perselisihan
dalam masyarakat muslim. Masing-masing ayat dalam surah ini dibahas olehnya
dalam lebih satu artikel. Hal serupa juga sering dijumpai dalam jurnal al-Manar
pimpinan Rasyid Ridha dan Risalat al-Islam pimpinan Syaltout yang mencurahkan
pada persatuan umat Islam (Al-Taqrib Bayn al-Madzahib).
Metode ini oleh
Sayyed Mursy, salah seorang dosen di Al-Azhar, disebut dengan mawdhu’i mutlak
(tidak terikat), sedangkan yang terdahulu disebut mawdhu’i muqayyad (terikat).
Agaknya ketiga metode inilah yang banyak digunakan dalam menyajikan pesan-pesan
Al-Qur’an oleh para mufasir modern. Wallahua’lam.
Samarinda, 6
Maret 2008
DAFTAR BACAAN
Rif’at Syauqi
Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, Cetakan II, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
Gamal al-Banna,
Tafsir al-Qur’an al-Karim Bain al-Qudama wa al-Muhdatsin, Dar al-Fikr
al-Islami, Mesir, 2003
Baljon, JMS,
Modern Muslim Interpretation (1880 – 1968), E. J-Brill, ,1968.
Ahmad
As-Syurbashi, Qishshat al-Tafsir, Mesir, t. th.
Afzal al-Rahman,
Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, Terjemahan M. Arifin, Bina Aksara, Jakarta,
1989.
Dan lain-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar