NIM : 1209103010
NAMA : ENJEN ZAENAL MUTAQIN
MATA KULIAH : ILMU MANTIQ
JURUSAN : TAFSIR HADITS IV A
TANGGAL UJIAN : 13 Juni 2O11
Di sini insya Allah saya akan menganalisis pemikiran
Sayyid Qutb didalam karyanya yang paling militan, kitab Ma’maiml fi’t-Tariq. Ada yang mengatakan bahwa kitab ini
dipengaruhi oleh fundamentalis ekstrimis Mesir yang berupaya merebut kekuasaan,
membunuh sadat, dan secara konsisten menentang kesepakatan Camp David. Kendati
pribadi Sayyid Qutb secara umum bisa dianggap konsesnsus fundamentalis,
anggapan ini tidak mampu menjelaskan pengaruh yang membuatnya dituduh
menyebarluaskan pendapat ideologis kaum ekstrimis fundamentalis Mesir. Karena
itu tidaklah berlebihan jika kita mempertanyakan alasan ketertarikannya kepada
para anggota gerakan bawah tanah dan gerakan radikal yang berlawanan sifat
dengan gerakan Ikhwan al-Muslimin.
Argumen
Qutb dibuat dengan menarik logika premis pertamanya yang boleh dikata agak
primitif. Premis itu melibatkan prinsip hakimiyya,
atau kedaulatan, dalam bahasa hukum internasional modern dan teori politik
kekinian. Menurut gagasan itu, tuhan berdaulat penuh atas semua makhluk.
Kedaulatan ini ditafsirkan dalam pengertian kekuasaan yang menghendaki ketaatan
absolut tanpa boleh dibantah, serupa dengan seorang tuan yang menguasai
budaknya. Landasan dari kekuasaan ini adalah kedudukan Tuhan sebagai pencipta,
pemilik, dan penguasa segalasesuatu yang ada di muka bumi.pandangan ini
dinyatakan sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya:
Sesungguhnya, hanya
kepada Allahlah manusia menghambakan diri. Namun mereka tidak akan dapat
menghambakan diri hanya kepada Allah jika tidak diserukan kepada mereka bahwa
“tiada tuhan selain allah” –kalimat” tiada tuhan selain Allah”, sebagaimana
dipahami oleh setiap orang Arab yang paham akan tata-bahasa Arab, bermakna
“Tidak ada kedaulatan selain daripada Allah, dan tidak ada Syari’ah [hukum
agama] selain yang berasal dari Alla, dan tidak ada kekuasaan politik (sultan)
bagi siapa pun, karena kekuasaan politik adalah milik Allah semata.”[1]
Didalam
paraghraf di atas, Qutb ingin menekankan kemanunggalan dan kesatupaduan
makhluk. Kunci untuk mewujudkan kesatupaduan ini mesti ditemukan dengan cara
memahami kalam ilahi, dan ini tidak bertolakbelakang dengan temuan-temuan
ilmiah. Bagi Qutb, juga bagi mereka yang sepaham dengannya, keberadaan alam
yang dapt diserap secara indrawi merupakan bukti keberadaan sang Khalik dan
sang makhluk. Dengan demikian ideology Qutb didirikan di sepanjang garis
silogisme klasik. Dia mengawalinya dari premis tentang sang penggerak yang
tidak bergerak. Disisi lain, Qutb lebih menaruh perhatian terhadap konsekuensi
kedaulatan Tuhan bagi kebebasan manusia. Kekuasaan yng selain daripada Tuhan
dinamakan taghut, yakni tidak sah,
kafir, dan tiran. Tujuan Islam adalah menghilangkan taghut dan menggantinya
dengan kekuasaan Islamiah atau Ilahiah. Umat manusia sam sekali tidak memiliki
kebebasan dihadapan Allah dan oleh sebab itu, lantaran semuanya adalah hamba
Allah, tak satu pun dari mereka memiliki kekuasaan barang secuil pun atas nama
mereka.
Qutb
tidak memungkiri pentingnya pemerintahan dan hokum Islam, namun dia kurang
member tekanan pada pembentukan Negara Islam; yang dia tekankan adalah
perlawanan terhadap Negara yang tidak Islami. Baginya, transformasi spiritual
pada diri individu manusia adalah lebih utama dan lebih penting ketimbang
pembentukan sebuah Negara Islam. Ia kerap mengulang pernyataan bahwa yang
menjadi identitas politik (jinsiyya)
Islam adalah doktrinnya (aqidahnya),
bukan wilayah, negara, atau sukunya; dan
bahwa keyakinan adalah urusan individu. Akibatnya, muncullah unsur
individualism, yang manakala dikaitkan dengan teori Qutb tentang kebebesan
manusia yang berbasis pada kedaulatan Ilahi, cenderung mengarah kepada anarki
di antara para penganutnya. Dalam komunitas mukmin sejati tidak diperlukan
adanya hokum dan peraturan duniawi beserta perangkat untuk memberlakukannya.
Konsep terpenting yang dimiliki oleh sayid qutb
adalah jihad, yang tujuan utamanya adalah memerangi kejahiliyahan.
Permasalahannya adalah apakah jihad sifatnya defensive belaka. Permasalahan ini
bersumber dari polemic anti-Islam yang mengecap Islam sebagai agama brutal
lantaran ia menerapkan sanksi-sanksi yang tidak berbeda dengan kekerasan
militer; karena ia menyatakan bahwa perang bukan saja abash, namun juga suci;
dank arena ia mendorong di gunakannya kekerasan untuk mengislamkan non-Muslim. Golongan
pendukung modernis menampik penafsiran doktrin jihad semacam itu dan mereka
membangun teori lain yang meminimalkan bobot kemiliteran dalam makna jihad.
Bukan Cuma itu mereka berpendapat bahwa mana kala kaum Muslim tidak sedang siap
tempur untuk membela agama, mereka selalu dalam keadaan defensif.
Sayyid Qutb menolak penafsiran seperti itu, karena
menurutnya penafsiran yang demikian menunjukan tingkat kesadaran yang rendah.
Golongan pendukung Muslim moderenis terpedaya oleh gagasan yang tidak hanya
selaras dengan doktrin agama Kristen, namun juga merupakan gagasan yang sesuai
dengan aspirasi politik dari pra penguasa non-Muslim.
Sayid qutb berpendapat bahwa tidak ada pemerintahan
non-Muslim yang mengijinkan rakyatnya untuk secara bebas memeluk Islam. Jihad
adalah perjuangan melawan kejahiliyahan dank arena semua pemerintahan yang
non-Muslim adalah jahili, maka semua kekuasaan non-Islam mau tidak mau harus
ditaklukan. Dengan demikian, dominasi politik islamlah yang harus diperluas
melalui jihad, sedangkan mau-tidaknya orang memeluk Islam adalah persoalan
kesadaran masing-masing Individu.
Secara umum, keadaan Negara-negara Muslim tidak
memenuhi syarat untuk melakukan jihad dalam pengertian yang demikian. Jihad
dalam pengertian yang seperti itu secara teori nyaris tidak memungkinkan
terbentuknya sistem hubungn internasional yang damai antar negara-negara Muslim
dan non-Muslim, atau bahkan untuk terbinanya kesepakatan yang sederajat. Namun
dalam pengertian yang lebih praktis, definisi jihad yang tak kenal ampun ini
lebih banyak pengaruhnya terhadap pemerintahan Muslim. Yang menjadi sasaran
pertama adalah para penguasa muslim terdekat yang memerintah secara menyimpang
dari apa yang difirmankan oleh Allah.
Qutb mengecamkalangan yang percaya bahwa hokum
Syari’ah ditetapkan secara baku dan tidak boleh diubah, dan bahwa jihad
sifatnya bertahan. Kesalahan mereka berpangkal pada penafsiran tentang
kebijakan non-kekerasan Rasulullah semasa periode awal Islam, dan
ketidakmampuan memahami perkembangan berikutnya. Kegigihan Qutb pada
pendiriannya bahwa Islam berkarakter dinamis (haraki) mempertautkan penafsiran
syari’ah dengan kondisi sejarah, namun dia juga menggunakan ide haraki untuk
menjelaskan situasi sejarah dan kekuatan materi itu sendiri. Menurutnya, tujuan
Islam adalah tercapainya revolusi menyeluruh atas semua kekuasaan jahili. Karen
kejahiliyahan tidak sekedar menguasai teori atau doktrin, namun juga tatanan
ekonomi, sosial, dan budaya, maka dua aspek kejahiliyahan ini harus diperangi
dengan dua aspek Islam: bayan (penjelasan,
da’wah) dan haraka (pergerakan/
dinamika).
Sangat disayangkan bahwa Qutb selanjutnya kembali
kepada dualism sederhana materi dan ruh, namun ini dapat membantu kita meraba
pemahamannya bahwa haraka bersifat material, historical, dan actual. Dengan
demikian, manakala Qutb menjabakan Islam sebagai sebuah konsepsi (tasawwur), atau visi, atau ide yang
haraki, atau dinamis, atau adaftif, atau aktif, jelaslah bahwa dia berupaya
sebisa mungkin membuat formulasi monistik yang menyatukan teori dengan praktek,
atau Islam idiil dengan Islam riil. Pada tahap ini Qutb tidak kembali pada
dualism, dan ada beberapa alasan tersirat yang mendorongnya untuk kembali
kedalam dilemma antara jihad penegasan-diri dan prinsip Islam bahwa tidak ada
paksaan dalam perkara keyakinan agama (lakum
dinnukum wa liya din). Seperti yang sering terjadi, monism religious Qutb
sepertinya bukan sesuatu yang murni atau tulus, melainkan sebagai penolakan
atas dualism yang lebih dulu muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar