Jumat, 26 Oktober 2012

PENDEKATAN TAFSIR


PENDEKATAN TAFSIR

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah masdar al-awwal dari sumber utama ajaran Islam.Al-Qur’an berfungsi sebagai hudan li al-nasi. Sebagaimana Firman Allah.”Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”[1]. Pemahanan umat terhadap Al-Qur’an itulah yang bisa menjadi menjadi penerang bagi majunya umat. Pemahaman disini mencakup penafsiran terhadap Al-Qur’an. Penafsiran pada masa Rasul bersumber dari rasul sendiri melalui al wahyu al-ilahiyi atau melalui para sahabat yang berkompeten pada penafsiran (ijtihad al-sohabi). Para sahabat ini mempunyai keutaman-keutamaan dalam menjelaskan nash-nash.[2] Ilmu penafsiran terus berkembang sejalan waktu, dan muncul pula ilmu–ilmu lain tentang Al-Qur’an. Dalam hal ini kemudian para ulama mengkelompokkan sendiri ilmu tentang Al-Qur’an tersebut dalam wadah ulumul qur’an. As-Suyuti menuliskan ada 300 lebih ulumul qur’an, hingga akhirnya beliau memutuskan deadlock untuk membahas banyak ilmu tersebut.[3]
Sebagaimana di firmankan Allah bahwa alqur’an terdiri dari ayat-ayat yang muhkam dan mutasabih. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat di ketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukkan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[4]Dalam tafsir munir di jelaskan bahwa muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya dan tidak ada ikhtilaf dalam maknanya.Mutasyabih ayat yang tidak jelas maknanya dan ada ikhtilaf antara dhohir lafadl dengan makna yang di inginkankan dari lafald itu sendiri. Seperti pada awal-awal surat.[5]
Biarpun ayat tersebut adalah ayat yang muhkam, tapi bagaimanapun juga yang namanya tafsir sangat tergantung kepada kemampuan personal yang menjelaskannya. Kemampuan itu bertingkat-tingkat sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seseorang penafsir dari Al-Qur’an bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan –pesan Ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Selain itu juga keberadaan seseorang pada lingkungan budaya atau kondisi sosial, dan perkembangan ilmu, juga mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.[6] Selain itu pengaruh perbedaan penafsiran juga bisa disebabkan perbedaan dalam methode, dan pendekatan, juga tekhnik interpretasi yang mana hal itu bisa melahirkan produk yang berbeda dari pemikiran mufassirun.
Disini kami tidak membahas masalah interpretasi tafsir dan methode tafsir secara tafsil, di sini pressing kami adalah pada masalah pendekatan tafsir.

 B. Pengertian Tafsir
Secara singkat tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagaian dasar utama penetapan hukum.[7] Pada Al-Qur’an istilah tafsir di sebutkan dalam surat Al-Furqan :33,”tidakkah orang-rang kafir itu datang kepadamu (membawa) seuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya(penjelasannya)”.
Kata tafsir merupakan masdar dari kata fasara yang mempunyai arti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelas. Para ulama kebanyakan memberikan pengertian tentang tafsir pada intinya untuk menjelaskan hal-hal yang masih samar yang di kandung dalam Al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum.[8]Jalaluddin As-Suyuti mendefinisikan ilmu tafsir sebagai ilmu yang membahas ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, sastranya, lafadlnya, makna-makna yang berhubungan dengan lafadl-lafaldnya, makna-makna yang berhubungan dengan dengan hukum-hukum dan sebagainya.Dari zaman ulama mutaqoddimin ilmu tafsir baru di kodifikasikan oleh Jalal al-Din al-Bulqini dengan nama Mawaqi’ al-Ulum Min Mawaqi’ al- Nujum.[9] Al-Bulqini sendiri adalah guru dari As-Suyuti.
Banyak para ulama yang berselisih pendapat tentang pengertian tafsir dan ta’wil.Fungsi dari kedua-duanya adalah sama-sama menjelaskan makna sutu ayat yang samar, maka ada kalangan ulama yang menyamakan maksud tafsir dan ta’wil. Di samping itu, terdapat pula ulama yang membedakan, seperti al_Raghib al-Ashfahani, Ibnu Manshur al- Maturidi, dan Abu Thalib al-Taghlibi.mereka berpendapat bahwa tafsir lebih umum dibanding ta’wil, sebab tafsir umumnya berfungsi menerangkan maksud yang terkandung dalam susunan kalimat. Ta’wil di gunakan untuk menjelaskan pengertian kitab-kitab suci, sedangkan tafsir selain fungsi demikian juga berfungsi menerangkan hal-hal yang lainnya.[10]
Menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah mengetakan tafsir lebih dikenal sebagai cara mngurai bahsa, konteks, dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci.Dalam hal ini teks dijadikan sebagai subjek.Ta’wil adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepat disebut pemahaman, pemaknaan, dan interpretasi terhadap teks, sebagai objek kajian.[11]

C. Pendekatan Kajian Tafsir
Al-Qur’an sebagai the way of life tidaklah cukup di pahami hanya dengan penguasaan bahasa Arab dan mengetahui terjemahannya. Untuk memperoleh penafsiran yang tepat dan meraih ruh dari maksud Al-Qur’an memerlukan rambu-rambu dalam bingkai ilmu tafsir.
Dalam mengkaji Al-Qur’an juga dikenal beberapa macam metode tafsir seperti:
Metode Tafsir Tahlili
Para ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yaitu: tafsri bi-al ma’tsur, tafsri bi al-ra’yi, tafsri shufi,tafsir falasafi, tafsir fiqhi, tafsri ilmi dan tafsir adabi.[12]
Metode Tafsir Maudhu’i
Metode Tafsir Muqaran
Metode Tafsir Ijmali
Sedangkan yang di maksud metode pendekatan dalam kajian tafsir adalah pola pikir (al-ittijah al-fikr) yang di pergunakan untuk membahas suatu masalah.[13]Untuk pendekatan penafsiran Al-Qur’an terjadi perbedaan metode dalam perbedaan zaman. Pada zaman rasul yang menguasai tasyri’(konstruksi Syari’at) adalah Rasulullah sendiri.[14] Terhadap Al-Qur’an Rasulullah SAW merupakan orang pertama yang berhak untuk menafsirkan AL-Qur’an (mufassir awwal), karena pada masa Nabi segala persoalan yang berkaitan dengan persoalan umat bisa langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Pada masa sahabat menggunakan beberapa pendekatan yang antara lain sebagai berikut:
1. Dengan pendekatan Al-Qur’an itu sendiri
Bahwa dalam ayat yang masih bersifat global terdapat penjelasannya pada ayat lain. Begitu juga ayat-ayat yang bersifat mutlak atau masih umum, terdapat pada tempat lain ayat yang menjadi qayyid atau mengkhusukannya.
2. Penafsiran di kembalikan kepada Nabi
Hal ini dilakukan ketika terutama ketika para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat dari Al-qur’an.
3. Pemahaman dan Ijtihad Sahabat Nabi
Hal ini di perlukan jika mereka tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitabAllah dan juga tidak menemukannya dari penjelasan Nabi.[15]Diantara para sahabat Nabi yang mempunyai keistimewaan dalam menjelaskan nash adalah Khulafa’al-rosyidun, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, A’isyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Musa al- Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubadah bin Shomad dan Abdullah bin Amru bin Ash.[16]
Dalam pendekatan tafsir untuk kajian tafsir dapat di bedakan dari beberapa cabang. Hal ini Sebagaimana dikutip dari buku Metodologi Ilmu Tafsir oleh M. Alfatih Suryadilaga dkk. Pendekatan kajian tafsir itu adalah:

PENDEKATAN TAFSIR

oleh :imam adzro'ie abdillah
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah masdar al-awwal dari sumber utama ajaran Islam.Al-Qur’an berfungsi sebagai hudan li al-nasi. Sebagaimana Firman Allah.”Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”[1]. Pemahanan umat terhadap Al-Qur’an itulah yang bisa menjadi menjadi penerang bagi majunya umat. Pemahaman disini mencakup penafsiran terhadap Al-Qur’an. Penafsiran pada masa Rasul bersumber dari rasul sendiri melalui al wahyu al-ilahiyi atau melalui para sahabat yang berkompeten pada penafsiran (ijtihad al-sohabi). Para sahabat ini mempunyai keutaman-keutamaan dalam menjelaskan nash-nash.[2] Ilmu penafsiran terus berkembang sejalan waktu, dan muncul pula ilmu–ilmu lain tentang Al-Qur’an. Dalam hal ini kemudian para ulama mengkelompokkan sendiri ilmu tentang Al-Qur’an tersebut dalam wadah ulumul qur’an. As-Suyuti menuliskan ada 300 lebih ulumul qur’an, hingga akhirnya beliau memutuskan deadlock untuk membahas banyak ilmu tersebut.[3]
Sebagaimana di firmankan Allah bahwa alqur’an terdiri dari ayat-ayat yang muhkam dan mutasabih. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat di ketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukkan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[4]Dalam tafsir munir di jelaskan bahwa muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya dan tidak ada ikhtilaf dalam maknanya.Mutasyabih ayat yang tidak jelas maknanya dan ada ikhtilaf antara dhohir lafadl dengan makna yang di inginkankan dari lafald itu sendiri. Seperti pada awal-awal surat.[5]
Biarpun ayat tersebut adalah ayat yang muhkam, tapi bagaimanapun juga yang namanya tafsir sangat tergantung kepada kemampuan personal yang menjelaskannya. Kemampuan itu bertingkat-tingkat sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seseorang penafsir dari Al-Qur’an bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan –pesan Ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Selain itu juga keberadaan seseorang pada lingkungan budaya atau kondisi sosial, dan perkembangan ilmu, juga mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.[6] Selain itu pengaruh perbedaan penafsiran juga bisa disebabkan perbedaan dalam methode, dan pendekatan, juga tekhnik interpretasi yang mana hal itu bisa melahirkan produk yang berbeda dari pemikiran mufassirun.
Disini kami tidak membahas masalah interpretasi tafsir dan methode tafsir secara tafsil, di sini pressing kami adalah pada masalah pendekatan tafsir.

 B. Pengertian Tafsir
Secara singkat tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagaian dasar utama penetapan hukum.[7] Pada Al-Qur’an istilah tafsir di sebutkan dalam surat Al-Furqan :33,”tidakkah orang-rang kafir itu datang kepadamu (membawa) seuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penafsirannya(penjelasannya)”.
Kata tafsir merupakan masdar dari kata fasara yang mempunyai arti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelas. Para ulama kebanyakan memberikan pengertian tentang tafsir pada intinya untuk menjelaskan hal-hal yang masih samar yang di kandung dalam Al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum.[8]Jalaluddin As-Suyuti mendefinisikan ilmu tafsir sebagai ilmu yang membahas ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, sastranya, lafadlnya, makna-makna yang berhubungan dengan lafadl-lafaldnya, makna-makna yang berhubungan dengan dengan hukum-hukum dan sebagainya.Dari zaman ulama mutaqoddimin ilmu tafsir baru di kodifikasikan oleh Jalal al-Din al-Bulqini dengan nama Mawaqi’ al-Ulum Min Mawaqi’ al- Nujum.[9] Al-Bulqini sendiri adalah guru dari As-Suyuti.
Banyak para ulama yang berselisih pendapat tentang pengertian tafsir dan ta’wil.Fungsi dari kedua-duanya adalah sama-sama menjelaskan makna sutu ayat yang samar, maka ada kalangan ulama yang menyamakan maksud tafsir dan ta’wil. Di samping itu, terdapat pula ulama yang membedakan, seperti al_Raghib al-Ashfahani, Ibnu Manshur al- Maturidi, dan Abu Thalib al-Taghlibi.mereka berpendapat bahwa tafsir lebih umum dibanding ta’wil, sebab tafsir umumnya berfungsi menerangkan maksud yang terkandung dalam susunan kalimat. Ta’wil di gunakan untuk menjelaskan pengertian kitab-kitab suci, sedangkan tafsir selain fungsi demikian juga berfungsi menerangkan hal-hal yang lainnya.[10]
Menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah mengetakan tafsir lebih dikenal sebagai cara mngurai bahsa, konteks, dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci.Dalam hal ini teks dijadikan sebagai subjek.Ta’wil adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepat disebut pemahaman, pemaknaan, dan interpretasi terhadap teks, sebagai objek kajian.[11]

C. Pendekatan Kajian Tafsir
Al-Qur’an sebagai the way of life tidaklah cukup di pahami hanya dengan penguasaan bahasa Arab dan mengetahui terjemahannya. Untuk memperoleh penafsiran yang tepat dan meraih ruh dari maksud Al-Qur’an memerlukan rambu-rambu dalam bingkai ilmu tafsir.
Dalam mengkaji Al-Qur’an juga dikenal beberapa macam metode tafsir seperti:
Metode Tafsir Tahlili
Para ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yaitu: tafsri bi-al ma’tsur, tafsri bi al-ra’yi, tafsri shufi,tafsir falasafi, tafsir fiqhi, tafsri ilmi dan tafsir adabi.[12]
Metode Tafsir Maudhu’i
Metode Tafsir Muqaran
Metode Tafsir Ijmali
Sedangkan yang di maksud metode pendekatan dalam kajian tafsir adalah pola pikir (al-ittijah al-fikr) yang di pergunakan untuk membahas suatu masalah.[13]Untuk pendekatan penafsiran Al-Qur’an terjadi perbedaan metode dalam perbedaan zaman. Pada zaman rasul yang menguasai tasyri’(konstruksi Syari’at) adalah Rasulullah sendiri.[14] Terhadap Al-Qur’an Rasulullah SAW merupakan orang pertama yang berhak untuk menafsirkan AL-Qur’an (mufassir awwal), karena pada masa Nabi segala persoalan yang berkaitan dengan persoalan umat bisa langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Pada masa sahabat menggunakan beberapa pendekatan yang antara lain sebagai berikut:
1. Dengan pendekatan Al-Qur’an itu sendiri
Bahwa dalam ayat yang masih bersifat global terdapat penjelasannya pada ayat lain. Begitu juga ayat-ayat yang bersifat mutlak atau masih umum, terdapat pada tempat lain ayat yang menjadi qayyid atau mengkhusukannya.
2. Penafsiran di kembalikan kepada Nabi
Hal ini dilakukan ketika terutama ketika para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat dari Al-qur’an.
3. Pemahaman dan Ijtihad Sahabat Nabi
Hal ini di perlukan jika mereka tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitabAllah dan juga tidak menemukannya dari penjelasan Nabi.[15]Diantara para sahabat Nabi yang mempunyai keistimewaan dalam menjelaskan nash adalah Khulafa’al-rosyidun, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, A’isyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Musa al- Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubadah bin Shomad dan Abdullah bin Amru bin Ash.[16]
Dalam pendekatan tafsir untuk kajian tafsir dapat di bedakan dari beberapa cabang. Hal ini Sebagaimana dikutip dari buku Metodologi Ilmu Tafsir oleh M. Alfatih Suryadilaga dkk. Pendekatan kajian tafsir itu adalah:
1. Pendekatan Objektif dan Pendekatan Subjektif
a. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif adalah pendekatan empiris yang bertumpu pada kepentingan ilmiah semata. Dalam pendekatan ini dibicarakan kaitan antara ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan-pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Sejauh mana paradigma ilmiah dapat memberi dukungan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan penggalian jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan lewat masa turunnya Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat lebih dari delapan ratus ayat-ayat kauniyyah.
b. Pendekatan Subjektif
Pendekatan subjektif adalah pendekatan yang terkait dengan kepentingan pribadi atau kelompok.Pendekatan tersebut tergantung pada warna budaya dan aqidah ahli tafsirnya;apakah dia politikus ataukah praktisi sebuah madzhab yang banyak mempengaruhinya. Seperti pendekatan yang di lakukan oleh sufi di mana Al-Qur’an dikaji dengan sudut pandang yang sesuai dengan teori-teori tasawuf dan mengabaikan aspek-aspek lain.
2. Pendekatan Langsung dan Tidak Langsung
a. Pendekatan Langsung
Pendekatan langsung adalah pendekatan yang menggunakan data primer. Data primer dalam kajian tafsir adalah Al-Qur’an itu sendiri, hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, dan pendapat-pendapat sahabat serta pendapat tabi’in.Seperti ayat Al-Qur’an yang mutlaq di tafsirkan dengan ayat muqayyad dan ayat yang mujmal di tafsirkan oleh ayat lain yang mufassol.
b. Pendekatan Tidak Langsung
Pendekatan ini adalah menggunakan data skunder, yaitu upaya yang di tempuh setelah melalui pendekatan primer. Dengan kata lain ia merupakan pengembangan dari pendekatan pertama, seperti pendapat-pendapat ulama, riwayat kenyataan sejarah di masa turunnya Al-Qur’an, pengertian bahsa dan lafadl Al-Qur’an, kaedah lafadl bahsa, kaedah-kaedah intinabat serta teori-teori ilmu pngetahuan. Oleh karena data yang dikemukakan terdapat data historis seperti hadist, riwayat sahabat, serta kenyataan sejarah di masa turunnya Al-Qur’an, maka sebelum digunakan perlu proses pemeriksaan dengan kritik sejarah.
3. Pendekatan Komprehensif dan Pendekatan Sektoral
a. Pendekatan Komprehensif
Pendekatan komprehensif adalah penddekatan yang membahas objek penelitian tidak dari satu aspek tertentu saja, tetapi secara menyeluruh. Dalam hal ini, kandungan ayatAl-Qur’an berusaha dijelaskan dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat AL-Qur’an sebagai yang tercantum di dalam mushaf. Segala segi yang di anggap perlu di uraikan bermula dari arti kosakata, asbab an-nuzul, munasabah al-ayat, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
b. Pendekatan Sektoral
Pendekatan sektoral adalah pendekatan yang membahas objek dengan memandangnya terlepas dari objek lainnya. Pendekatan ini berusaha mengkaji Al-Qur’an secara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar. Arti dan maksud ayat dijelaskan dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan dalam mushaf setelah di kemukakan arti-arti itu dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang dapat dipahami oleh orang yang berilmu dan awam.
4. Pendekatan Disipliner, Pendekatan Multi disipliner, dan Pendekatan Interdisipliner
a. Pendekatan Disipliner
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang mengkaji objek dari sebuah disiplin ilmu.
Macam-macam pendekatan disipliner antara lain:
1. Pendekatan Syar’i
Pendekatan ini berusaha mengkaji Al-Qur’an dengan mengeluarkan hukum-hukum Islam produk istinbat yang diyakininya.Dalam dimensi sejarah, hukum-hukum tersebut secara bertahap digali, hingga sampailah era perhatian terhadap produk-produk istinbat . Dari sini timbullah mazhab yang satu sama lain saling berbeda. Katika madzhab-madzhab telah ada di kalangan umat Islam terjadi banyak kasus hukum . Pada akhirnya hal itu diselesaiakan berdasarkan AL-Qur’an, sunah, qiyas, istihsan, dan lain-lain, maka keluarlah hukum-hukum Islam produk istinbat yang diyakini benar. Hal yang demikian terlihat dalam corak penafsiran ayat-ayat yang berbeda-beda, kerna pendekatan kajian yang digunakan juga berbeda.
2. Pendekatan Sosio-Historis
Pendekatan ini menekankan pentignya memahami kondisi-kondisi aktual ketika Al-Qur’an diturunkan, dalam rangka menafsirkan pernyataan legal dan sosial ekonominya. Atau dengan kata lain, memahami Al-Qur’an dalam konteks kesejarahan dan harfiyah, lalu memproyeksikannya kepada situasi masa kini kemudian membawa fenomena-fenomena sosial ke dalam naungan-naungan tujuan Al-Qur’an.
Aplikasi pendekatan kesejarahan ini menekankan pentingya perbedaan antar tujuan atau”ideal moral” Al-Qur’an dengan ketentuan legal spesifiknya. Idela moral yang dituju Al-Qur’an lebih pantas diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Jadi dalam kasus seperti perbudakan yang di tuju Al-Qur’an adalah emansipasi budak. Sementara penerimaan Al-Qur’an terhadap pranata tersebut secara leagl, dikarenakan kemustahiilan untuk menghapuskan seketika.[17]
Metode ini dikenalkan oleh banyak sarjana muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Abid Al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Muhammad Arkoun. Dalam metode ini terjadi perdebantan tentang kaidah usul yang berbunyi wa al-asoh ana al-am a’la sababin khosin mu’tabarin umumihi[18] atau yang lebih di kenal dengan al-ibroh bi umum al-lafdli la bi khusus al-sabab. Karena ada yang mengatakan al-ibroh bi umum al-sabab la bi khusus al-lafdli.
3. Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis adalah upaya pemahaman Al-qur’an dengan cara menggabungkan antara filsafat dan agama atas dasar penakwilan teks –teks agama kepda makna-makna yang sesuai dengan filsafat. Dlam pendekatan ini ada semacam usaha-usaha untuk memaksakan pra-konsepsi ke dalam Al-Qur’an atau penyelarasan tradisi filsafat Yunani_Hellenis dengan AL-Qur’an.
4. Pendekatan Linguistik (riwayat dan Bahasa)
Pendekatan linguistik atau riwayat dan bahasa ini adalah suatu pendekatan yang cenderung mengandalkan periwayatan dan kebahasaan. Dalam pendekatan ini, ditekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an, memaparkan ketelitian redaksi ayat, ketika menyampaikan pesan-pesannya, mengikat penafsirannya dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus dalam subjektifitas berlebihan. Pendekatan ini berupaya menguraikan sebuah susunan kalimat dalam suatu ayat dengan menguraikan sebuah susunan kalimat dalam suatu ayat dengan memakai kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang ada didalam ayat tersebut tanpa memakai kalimat dan huruf lain.
b. Pendekatan Multi disipliner
Pendekatan ini berupaya membahas dan mengkaji objek dari beberapa disiplin ilmu, artinya ada upaya untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an atau suatu objek dengan mengkaitkan disiplin-disiplin ilmu yang berbeda.
c. Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner adalah sutu pendekatan yang membahas dan meneliti objek harus (tidak boleh tidak)menggunakan beberapa disiplin ilmu.[19]
5. Pendekatan Tekstual dan Pendekatan Konstektual
Pada dasarnya pendekatan tekstual dan kontekstual adalah sama dengan beberapa pendekatan di atas. Hanya saja istilah ini muncul dari sumber yang berbeda
a. Pendekatan Tekstual
Secara sederhana tekhnik ini dapat diasosiasikan dengan tafsir bi al-ma’tsur. Nash yang dihadapi ditafsirkan sendiri dengan nash baik AL-Qur’an ataupun hadist.[20]
b. Pendekatan Konstektual
Al-Qur’an adalah Kitab suci yang salih li kulli zaman wa makan. Selama empat belas abad Al-Qur’an tetap bertahan sebagai penerang dalam memecahkan berbagai masalah. Prof. Dr. Amin Abdullah memaparkan ada dua ranah keprihatinan umat islam dewasa ini dalam memahami Al-Qur’an.pertama , bagaimana dapat memahami ajaran Al-Qur’an yang bersifat universal(rahmatan li al-alamin) secara tepat, setelah terjadi proses modernisasi, globalisasi, dan informasi yang membawa perubahan sosial yang begitu cepat.kedua, bagaimana sebenarnya konsepsi dasar AL-Qur’an dalam menaggulangi ekses-ekses negatif dari deru roda perubahan sosial pada era modernitas seperti saat ini.[21]Untuk itulah Al-Qur’an berusaha di dialogkan dengan realita zaman sekarang, memalui studi kontekstualitas Al-Qur’an. Studi tentang kontekstual adalah studi tentang peradaban.Jadi pada dasarnya sama juga dengan Pendekatan Sosio-Historis. Pendekatan sejarah tersebut tidak bisa lepas dari asbab al-nuzul ayat Al-Qur’an yang biasanya-walau tidak seluruhnya- bersumber dari sunah, atsar ataupun dari tabi’in.Jadi, secara metodologis tekhnik ini termasuk kedalam metode tafsir bi al-ma’tsur.[22]
Hubungan teks dan konteks bersifat dialektis;teks menciptakan konteks, persis sebagaimana konteks menciptakan teks;sedangkan makna timbul dari keduanya.[23] Kesimpulan dari pendekatan tekstual dan pendekatan tekstual sebetulnya sangat sekali meletakkan sekat di antara keduanya.

D. Kesimpulan
Dalam rangka menafsirkan Al-Qur’an diperlukan beberapa metode dan pendekatan. Metode tafsir yang masyhur antara lain yaitu; metode tafsir tahlili (analistis), metode tafsir maudhu’i (tematik), metode tafsir muqaran (komparatif), dan metode tafsir ijmali (global).
Pendekatan tafsir kita mengenal ada metode Pendekatan Objektif dan Pendekatan Subjektif, Pendekatan Langsung dan Tidak Langsung, Pendekatan Komprehensif dan Pendekatan Sektoral, Pendekatan Disipliner, Pendekatan Multi disipliner, dan Pendekatan Interdisipliner serta Pendekatan Tekstual dan Pendekatan Konstektual. Mengenai yang terakhir merupakan masalah yang sedang aktual dalam ranah wacana kajian keislaman. Wacana ini ramai ketika muncul Nasr Hamid Abu Zaid dengan hermeneutikanya, Muhammad Syahrur dengan The Limits Theory (nadhoriah al-hudud), Muhammad Abed Al-Jabiri dengan Epistemologi akalnya dan lain-lain. Sedang wacana ini ramai di Indonesia melalui pemikiran para pemikir liberal.

E. Penutup
Pendekatan kajian tafsir dalam dataran sejarah ilmu tafsir bukan merupakan barang baru. Hal yang demikina dapat ditelusuri dalam khazanah intelektual yang diwariskan pada mufasir. Keberadaan pendekatan kajian tafsir sangat di perlukan guna memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang ajaran Islam, di samping sebagai upaya menuju kearah pengembangan dan pemecahan problematika tafsir AL-Qur’an dalam era golabalisasi yang penuh dengan tantangan.Wallahu a’lam bi al-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar