A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah
masdar al-awwal dari sumber utama ajaran Islam.Al-Qur’an berfungsi sebagai
hudan li al-nasi. Sebagaimana Firman Allah.”Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab
yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita
kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan
Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”[1]. Pemahanan umat terhadap
Al-Qur’an itulah yang bisa menjadi menjadi penerang bagi majunya umat.
Pemahaman disini mencakup penafsiran terhadap Al-Qur’an. Penafsiran pada masa
Rasul bersumber dari rasul sendiri melalui al wahyu al-ilahiyi atau melalui
para sahabat yang berkompeten pada penafsiran (ijtihad al-sohabi). Para sahabat
ini mempunyai keutaman-keutamaan dalam menjelaskan nash-nash.[2] Ilmu
penafsiran terus berkembang sejalan waktu, dan muncul pula ilmu–ilmu lain
tentang Al-Qur’an. Dalam hal ini kemudian para ulama mengkelompokkan sendiri
ilmu tentang Al-Qur’an tersebut dalam wadah ulumul qur’an. As-Suyuti menuliskan
ada 300 lebih ulumul qur’an, hingga akhirnya beliau memutuskan deadlock untuk
membahas banyak ilmu tersebut.[3]
Sebagaimana di
firmankan Allah bahwa alqur’an terdiri dari ayat-ayat yang muhkam dan
mutasabih. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat di ketahui secara langsung
tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukkan penjelasan
dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.[4]Dalam tafsir munir di jelaskan bahwa
muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya dan tidak ada ikhtilaf dalam
maknanya.Mutasyabih ayat yang tidak jelas maknanya dan ada ikhtilaf antara
dhohir lafadl dengan makna yang di inginkankan dari lafald itu sendiri. Seperti
pada awal-awal surat.[5]
Biarpun ayat
tersebut adalah ayat yang muhkam, tapi bagaimanapun juga yang namanya tafsir
sangat tergantung kepada kemampuan personal yang menjelaskannya. Kemampuan itu
bertingkat-tingkat sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seseorang
penafsir dari Al-Qur’an bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga
berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan –pesan Ilahi dapat
berbeda antara yang satu dengan yang lain. Selain itu juga keberadaan seseorang
pada lingkungan budaya atau kondisi sosial, dan perkembangan ilmu, juga mempunyai
pengaruh yang tidak kecil dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.[6] Selain itu
pengaruh perbedaan penafsiran juga bisa disebabkan perbedaan dalam methode, dan
pendekatan, juga tekhnik interpretasi yang mana hal itu bisa melahirkan produk
yang berbeda dari pemikiran mufassirun.
Disini kami
tidak membahas masalah interpretasi tafsir dan methode tafsir secara tafsil, di
sini pressing kami adalah pada masalah pendekatan tafsir.
B. Pengertian Tafsir
Secara singkat
tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan
mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat diaplikasikan
sebagaian dasar utama penetapan hukum.[7] Pada Al-Qur’an istilah tafsir di
sebutkan dalam surat Al-Furqan :33,”tidakkah orang-rang kafir itu datang
kepadamu (membawa) seuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu
yang benar dan yang paling baik penafsirannya(penjelasannya)”.
Kata tafsir
merupakan masdar dari kata fasara yang mempunyai arti keadaan jelas (nyata dan
terang) dan memberikan penjelas. Para ulama kebanyakan memberikan pengertian
tentang tafsir pada intinya untuk menjelaskan hal-hal yang masih samar yang di
kandung dalam Al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan
hukum yang terkandung didalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu
ketentuan hukum.[8]Jalaluddin As-Suyuti mendefinisikan ilmu tafsir sebagai ilmu
yang membahas ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya,
sastranya, lafadlnya, makna-makna yang berhubungan dengan lafadl-lafaldnya,
makna-makna yang berhubungan dengan dengan hukum-hukum dan sebagainya.Dari
zaman ulama mutaqoddimin ilmu tafsir baru di kodifikasikan oleh Jalal al-Din
al-Bulqini dengan nama Mawaqi’ al-Ulum Min Mawaqi’ al- Nujum.[9] Al-Bulqini
sendiri adalah guru dari As-Suyuti.
Banyak para
ulama yang berselisih pendapat tentang pengertian tafsir dan ta’wil.Fungsi dari
kedua-duanya adalah sama-sama menjelaskan makna sutu ayat yang samar, maka ada
kalangan ulama yang menyamakan maksud tafsir dan ta’wil. Di samping itu,
terdapat pula ulama yang membedakan, seperti al_Raghib al-Ashfahani, Ibnu
Manshur al- Maturidi, dan Abu Thalib al-Taghlibi.mereka berpendapat bahwa
tafsir lebih umum dibanding ta’wil, sebab tafsir umumnya berfungsi menerangkan
maksud yang terkandung dalam susunan kalimat. Ta’wil di gunakan untuk
menjelaskan pengertian kitab-kitab suci, sedangkan tafsir selain fungsi
demikian juga berfungsi menerangkan hal-hal yang lainnya.[10]
Menurut Prof.
Dr. M. Amin Abdullah mengetakan tafsir lebih dikenal sebagai cara mngurai
bahsa, konteks, dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash
kitab suci.Dalam hal ini teks dijadikan sebagai subjek.Ta’wil adalah cara untuk
memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepat disebut pemahaman, pemaknaan,
dan interpretasi terhadap teks, sebagai objek kajian.[11]
C. Pendekatan
Kajian Tafsir
Al-Qur’an
sebagai the way of life tidaklah cukup di pahami hanya dengan penguasaan bahasa
Arab dan mengetahui terjemahannya. Untuk memperoleh penafsiran yang tepat dan
meraih ruh dari maksud Al-Qur’an memerlukan rambu-rambu dalam bingkai ilmu
tafsir.
Dalam mengkaji
Al-Qur’an juga dikenal beberapa macam metode tafsir seperti:
Metode Tafsir
Tahlili
Para ulama
membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yaitu:
tafsri bi-al ma’tsur, tafsri bi al-ra’yi, tafsri shufi,tafsir falasafi, tafsir
fiqhi, tafsri ilmi dan tafsir adabi.[12]
Metode Tafsir
Maudhu’i
Metode Tafsir
Muqaran
Metode Tafsir
Ijmali
Sedangkan yang
di maksud metode pendekatan dalam kajian tafsir adalah pola pikir (al-ittijah
al-fikr) yang di pergunakan untuk membahas suatu masalah.[13]Untuk pendekatan
penafsiran Al-Qur’an terjadi perbedaan metode dalam perbedaan zaman. Pada zaman
rasul yang menguasai tasyri’(konstruksi Syari’at) adalah Rasulullah
sendiri.[14] Terhadap Al-Qur’an Rasulullah SAW merupakan orang pertama yang
berhak untuk menafsirkan AL-Qur’an (mufassir awwal), karena pada masa Nabi
segala persoalan yang berkaitan dengan persoalan umat bisa langsung ditanyakan
kepada Nabi SAW. Pada masa sahabat menggunakan beberapa pendekatan yang antara
lain sebagai berikut:
1. Dengan
pendekatan Al-Qur’an itu sendiri
Bahwa dalam ayat
yang masih bersifat global terdapat penjelasannya pada ayat lain. Begitu juga
ayat-ayat yang bersifat mutlak atau masih umum, terdapat pada tempat lain ayat
yang menjadi qayyid atau mengkhusukannya.
2. Penafsiran di
kembalikan kepada Nabi
Hal ini
dilakukan ketika terutama ketika para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan dalam
memahami suatu ayat dari Al-qur’an.
3. Pemahaman dan
Ijtihad Sahabat Nabi
Hal ini di
perlukan jika mereka tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitabAllah dan
juga tidak menemukannya dari penjelasan Nabi.[15]Diantara para sahabat Nabi
yang mempunyai keistimewaan dalam menjelaskan nash adalah Khulafa’al-rosyidun,
Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, A’isyah, Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Musa al- Asy’ari, Mu’az bin
Jabal, Ubadah bin Shomad dan Abdullah bin Amru bin Ash.[16]
Dalam pendekatan
tafsir untuk kajian tafsir dapat di bedakan dari beberapa cabang. Hal ini
Sebagaimana dikutip dari buku Metodologi Ilmu Tafsir oleh M. Alfatih
Suryadilaga dkk. Pendekatan kajian tafsir itu adalah:
PENDEKATAN TAFSIR
oleh :imam adzro'ie abdillah
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah masdar al-awwal
dari sumber utama ajaran Islam.Al-Qur’an berfungsi sebagai hudan li al-nasi.
Sebagaimana Firman Allah.”Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan
kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya
terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha
Perkasa lagi Maha Terpuji”[1]. Pemahanan umat terhadap Al-Qur’an itulah yang
bisa menjadi menjadi penerang bagi majunya umat. Pemahaman disini mencakup
penafsiran terhadap Al-Qur’an. Penafsiran pada masa Rasul bersumber dari rasul
sendiri melalui al wahyu al-ilahiyi atau melalui para sahabat yang berkompeten
pada penafsiran (ijtihad al-sohabi). Para sahabat ini mempunyai
keutaman-keutamaan dalam menjelaskan nash-nash.[2] Ilmu penafsiran terus
berkembang sejalan waktu, dan muncul pula ilmu–ilmu lain tentang Al-Qur’an.
Dalam hal ini kemudian para ulama mengkelompokkan sendiri ilmu tentang
Al-Qur’an tersebut dalam wadah ulumul qur’an. As-Suyuti menuliskan ada 300
lebih ulumul qur’an, hingga akhirnya beliau memutuskan deadlock untuk membahas
banyak ilmu tersebut.[3]
Sebagaimana di firmankan Allah bahwa
alqur’an terdiri dari ayat-ayat yang muhkam dan mutasabih. Muhkam adalah ayat
yang maksudnya dapat di ketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan
lain, sedangkan mutasyabih memerlukkan penjelasan dengan merujuk kepada
ayat-ayat lain.[4]Dalam tafsir munir di jelaskan bahwa muhkam adalah ayat yang
jelas maksudnya dan tidak ada ikhtilaf dalam maknanya.Mutasyabih ayat yang tidak
jelas maknanya dan ada ikhtilaf antara dhohir lafadl dengan makna yang di
inginkankan dari lafald itu sendiri. Seperti pada awal-awal surat.[5]
Biarpun ayat tersebut adalah ayat
yang muhkam, tapi bagaimanapun juga yang namanya tafsir sangat tergantung kepada
kemampuan personal yang menjelaskannya. Kemampuan itu bertingkat-tingkat
sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seseorang penafsir dari Al-Qur’an
bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda, sehingga apa
yang dihidangkan dari pesan –pesan Ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan
yang lain. Selain itu juga keberadaan seseorang pada lingkungan budaya atau
kondisi sosial, dan perkembangan ilmu, juga mempunyai pengaruh yang tidak kecil
dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.[6] Selain itu pengaruh perbedaan
penafsiran juga bisa disebabkan perbedaan dalam methode, dan pendekatan, juga
tekhnik interpretasi yang mana hal itu bisa melahirkan produk yang berbeda dari
pemikiran mufassirun.
Disini kami tidak membahas masalah
interpretasi tafsir dan methode tafsir secara tafsil, di sini pressing kami
adalah pada masalah pendekatan tafsir.
B. Pengertian Tafsir
Secara singkat tafsir adalah suatu
upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami, memikirkan dan mengeluarkan hukum
yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat diaplikasikan sebagaian dasar utama
penetapan hukum.[7] Pada Al-Qur’an istilah tafsir di sebutkan dalam surat
Al-Furqan :33,”tidakkah orang-rang kafir itu datang kepadamu (membawa) seuatu
yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang
paling baik penafsirannya(penjelasannya)”.
Kata tafsir merupakan masdar dari
kata fasara yang mempunyai arti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan
penjelas. Para ulama kebanyakan memberikan pengertian tentang tafsir pada
intinya untuk menjelaskan hal-hal yang masih samar yang di kandung dalam
Al-Qur’an sehingga dengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan hukum yang
terkandung didalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan
hukum.[8]Jalaluddin As-Suyuti mendefinisikan ilmu tafsir sebagai ilmu yang
membahas ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya,
sastranya, lafadlnya, makna-makna yang berhubungan dengan lafadl-lafaldnya,
makna-makna yang berhubungan dengan dengan hukum-hukum dan sebagainya.Dari
zaman ulama mutaqoddimin ilmu tafsir baru di kodifikasikan oleh Jalal al-Din
al-Bulqini dengan nama Mawaqi’ al-Ulum Min Mawaqi’ al- Nujum.[9] Al-Bulqini
sendiri adalah guru dari As-Suyuti.
Banyak para ulama yang berselisih
pendapat tentang pengertian tafsir dan ta’wil.Fungsi dari kedua-duanya adalah
sama-sama menjelaskan makna sutu ayat yang samar, maka ada kalangan ulama yang
menyamakan maksud tafsir dan ta’wil. Di samping itu, terdapat pula ulama yang
membedakan, seperti al_Raghib al-Ashfahani, Ibnu Manshur al- Maturidi, dan Abu
Thalib al-Taghlibi.mereka berpendapat bahwa tafsir lebih umum dibanding ta’wil,
sebab tafsir umumnya berfungsi menerangkan maksud yang terkandung dalam susunan
kalimat. Ta’wil di gunakan untuk menjelaskan pengertian kitab-kitab suci,
sedangkan tafsir selain fungsi demikian juga berfungsi menerangkan hal-hal yang
lainnya.[10]
Menurut Prof. Dr. M. Amin Abdullah
mengetakan tafsir lebih dikenal sebagai cara mngurai bahsa, konteks, dan
pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci.Dalam hal ini
teks dijadikan sebagai subjek.Ta’wil adalah cara untuk memahami teks dengan
menjadikan teks, atau lebih tepat disebut pemahaman, pemaknaan, dan
interpretasi terhadap teks, sebagai objek kajian.[11]
C. Pendekatan Kajian Tafsir
Al-Qur’an sebagai the way of life
tidaklah cukup di pahami hanya dengan penguasaan bahasa Arab dan mengetahui
terjemahannya. Untuk memperoleh penafsiran yang tepat dan meraih ruh dari
maksud Al-Qur’an memerlukan rambu-rambu dalam bingkai ilmu tafsir.
Dalam mengkaji Al-Qur’an juga
dikenal beberapa macam metode tafsir seperti:
Metode Tafsir Tahlili
Para ulama membagi wujud tafsir
Al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yaitu: tafsri bi-al
ma’tsur, tafsri bi al-ra’yi, tafsri shufi,tafsir falasafi, tafsir fiqhi, tafsri
ilmi dan tafsir adabi.[12]
Metode Tafsir Maudhu’i
Metode Tafsir Muqaran
Metode Tafsir Ijmali
Sedangkan yang di maksud metode
pendekatan dalam kajian tafsir adalah pola pikir (al-ittijah al-fikr) yang di
pergunakan untuk membahas suatu masalah.[13]Untuk pendekatan penafsiran
Al-Qur’an terjadi perbedaan metode dalam perbedaan zaman. Pada zaman rasul yang
menguasai tasyri’(konstruksi Syari’at) adalah Rasulullah sendiri.[14] Terhadap
Al-Qur’an Rasulullah SAW merupakan orang pertama yang berhak untuk menafsirkan
AL-Qur’an (mufassir awwal), karena pada masa Nabi segala persoalan yang
berkaitan dengan persoalan umat bisa langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Pada
masa sahabat menggunakan beberapa pendekatan yang antara lain sebagai berikut:
1. Dengan pendekatan Al-Qur’an itu
sendiri
Bahwa dalam ayat yang masih bersifat
global terdapat penjelasannya pada ayat lain. Begitu juga ayat-ayat yang
bersifat mutlak atau masih umum, terdapat pada tempat lain ayat yang menjadi qayyid
atau mengkhusukannya.
2. Penafsiran di kembalikan kepada
Nabi
Hal ini dilakukan ketika terutama
ketika para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat dari
Al-qur’an.
3. Pemahaman dan Ijtihad Sahabat
Nabi
Hal ini di perlukan jika mereka
tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitabAllah dan juga tidak
menemukannya dari penjelasan Nabi.[15]Diantara para sahabat Nabi yang mempunyai
keistimewaan dalam menjelaskan nash adalah Khulafa’al-rosyidun, Zaid bin
Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, A’isyah, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Musa al- Asy’ari, Mu’az bin Jabal,
Ubadah bin Shomad dan Abdullah bin Amru bin Ash.[16]
Dalam pendekatan tafsir untuk kajian
tafsir dapat di bedakan dari beberapa cabang. Hal ini Sebagaimana dikutip dari
buku Metodologi Ilmu Tafsir oleh M. Alfatih Suryadilaga dkk. Pendekatan kajian
tafsir itu adalah:
1. Pendekatan Objektif dan
Pendekatan Subjektif
a. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif adalah
pendekatan empiris yang bertumpu pada kepentingan ilmiah semata. Dalam
pendekatan ini dibicarakan kaitan antara ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam
Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan-pengetahuan modern yang timbul pada masa
sekarang. Sejauh mana paradigma ilmiah dapat memberi dukungan dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an dan penggalian jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan
hal-hal yang ditemukan lewat masa turunnya Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an sendiri
terdapat lebih dari delapan ratus ayat-ayat kauniyyah.
b. Pendekatan Subjektif
Pendekatan subjektif adalah
pendekatan yang terkait dengan kepentingan pribadi atau kelompok.Pendekatan
tersebut tergantung pada warna budaya dan aqidah ahli tafsirnya;apakah dia
politikus ataukah praktisi sebuah madzhab yang banyak mempengaruhinya. Seperti
pendekatan yang di lakukan oleh sufi di mana Al-Qur’an dikaji dengan sudut
pandang yang sesuai dengan teori-teori tasawuf dan mengabaikan aspek-aspek
lain.
2. Pendekatan Langsung dan Tidak
Langsung
a. Pendekatan Langsung
Pendekatan langsung adalah pendekatan
yang menggunakan data primer. Data primer dalam kajian tafsir adalah Al-Qur’an
itu sendiri, hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, dan
pendapat-pendapat sahabat serta pendapat tabi’in.Seperti ayat Al-Qur’an yang
mutlaq di tafsirkan dengan ayat muqayyad dan ayat yang mujmal di tafsirkan oleh
ayat lain yang mufassol.
b. Pendekatan Tidak Langsung
Pendekatan ini adalah menggunakan
data skunder, yaitu upaya yang di tempuh setelah melalui pendekatan primer.
Dengan kata lain ia merupakan pengembangan dari pendekatan pertama, seperti
pendapat-pendapat ulama, riwayat kenyataan sejarah di masa turunnya Al-Qur’an,
pengertian bahsa dan lafadl Al-Qur’an, kaedah lafadl bahsa, kaedah-kaedah
intinabat serta teori-teori ilmu pngetahuan. Oleh karena data yang dikemukakan
terdapat data historis seperti hadist, riwayat sahabat, serta kenyataan sejarah
di masa turunnya Al-Qur’an, maka sebelum digunakan perlu proses pemeriksaan
dengan kritik sejarah.
3. Pendekatan Komprehensif dan
Pendekatan Sektoral
a. Pendekatan Komprehensif
Pendekatan komprehensif adalah
penddekatan yang membahas objek penelitian tidak dari satu aspek tertentu saja,
tetapi secara menyeluruh. Dalam hal ini, kandungan ayatAl-Qur’an berusaha
dijelaskan dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat
AL-Qur’an sebagai yang tercantum di dalam mushaf. Segala segi yang di anggap
perlu di uraikan bermula dari arti kosakata, asbab an-nuzul, munasabah al-ayat,
dan lain sebagainya yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
b. Pendekatan Sektoral
Pendekatan sektoral adalah
pendekatan yang membahas objek dengan memandangnya terlepas dari objek lainnya.
Pendekatan ini berusaha mengkaji Al-Qur’an secara singkat dan global tanpa
uraian panjang lebar. Arti dan maksud ayat dijelaskan dengan uraian singkat
yang dapat menjelaskan artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang
dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, ayat demi ayat dan
surat demi surat sesuai dengan urutan dalam mushaf setelah di kemukakan
arti-arti itu dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang
dapat dipahami oleh orang yang berilmu dan awam.
4. Pendekatan Disipliner, Pendekatan
Multi disipliner, dan Pendekatan Interdisipliner
a. Pendekatan Disipliner
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang
mengkaji objek dari sebuah disiplin ilmu.
Macam-macam pendekatan disipliner
antara lain:
1. Pendekatan Syar’i
Pendekatan ini berusaha mengkaji
Al-Qur’an dengan mengeluarkan hukum-hukum Islam produk istinbat yang
diyakininya.Dalam dimensi sejarah, hukum-hukum tersebut secara bertahap digali,
hingga sampailah era perhatian terhadap produk-produk istinbat . Dari sini
timbullah mazhab yang satu sama lain saling berbeda. Katika madzhab-madzhab
telah ada di kalangan umat Islam terjadi banyak kasus hukum . Pada akhirnya hal
itu diselesaiakan berdasarkan AL-Qur’an, sunah, qiyas, istihsan, dan lain-lain,
maka keluarlah hukum-hukum Islam produk istinbat yang diyakini benar. Hal yang
demikian terlihat dalam corak penafsiran ayat-ayat yang berbeda-beda, kerna pendekatan
kajian yang digunakan juga berbeda.
2. Pendekatan Sosio-Historis
Pendekatan ini menekankan pentignya
memahami kondisi-kondisi aktual ketika Al-Qur’an diturunkan, dalam rangka
menafsirkan pernyataan legal dan sosial ekonominya. Atau dengan kata lain, memahami
Al-Qur’an dalam konteks kesejarahan dan harfiyah, lalu memproyeksikannya kepada
situasi masa kini kemudian membawa fenomena-fenomena sosial ke dalam
naungan-naungan tujuan Al-Qur’an.
Aplikasi pendekatan kesejarahan ini
menekankan pentingya perbedaan antar tujuan atau”ideal moral” Al-Qur’an dengan
ketentuan legal spesifiknya. Idela moral yang dituju Al-Qur’an lebih pantas
diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Jadi dalam kasus seperti
perbudakan yang di tuju Al-Qur’an adalah emansipasi budak. Sementara penerimaan
Al-Qur’an terhadap pranata tersebut secara leagl, dikarenakan kemustahiilan
untuk menghapuskan seketika.[17]
Metode ini dikenalkan oleh banyak
sarjana muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Abid Al-Jabiri, Nasr Hamid
Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Muhammad Arkoun. Dalam metode ini terjadi
perdebantan tentang kaidah usul yang berbunyi wa al-asoh ana al-am a’la sababin
khosin mu’tabarin umumihi[18] atau yang lebih di kenal dengan al-ibroh bi umum
al-lafdli la bi khusus al-sabab. Karena ada yang mengatakan al-ibroh bi umum
al-sabab la bi khusus al-lafdli.
3. Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis adalah upaya
pemahaman Al-qur’an dengan cara menggabungkan antara filsafat dan agama atas
dasar penakwilan teks –teks agama kepda makna-makna yang sesuai dengan
filsafat. Dlam pendekatan ini ada semacam usaha-usaha untuk memaksakan
pra-konsepsi ke dalam Al-Qur’an atau penyelarasan tradisi filsafat
Yunani_Hellenis dengan AL-Qur’an.
4. Pendekatan Linguistik (riwayat
dan Bahasa)
Pendekatan linguistik atau riwayat
dan bahasa ini adalah suatu pendekatan yang cenderung mengandalkan periwayatan
dan kebahasaan. Dalam pendekatan ini, ditekankan pentingnya bahasa dalam
memahami Al-Qur’an, memaparkan ketelitian redaksi ayat, ketika menyampaikan pesan-pesannya,
mengikat penafsirannya dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasi
terjerumus dalam subjektifitas berlebihan. Pendekatan ini berupaya menguraikan
sebuah susunan kalimat dalam suatu ayat dengan menguraikan sebuah susunan
kalimat dalam suatu ayat dengan memakai kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang
ada didalam ayat tersebut tanpa memakai kalimat dan huruf lain.
b. Pendekatan Multi disipliner
Pendekatan ini berupaya membahas dan
mengkaji objek dari beberapa disiplin ilmu, artinya ada upaya untuk menafsirkan
ayat Al-Qur’an atau suatu objek dengan mengkaitkan disiplin-disiplin ilmu yang
berbeda.
c. Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner adalah
sutu pendekatan yang membahas dan meneliti objek harus (tidak boleh
tidak)menggunakan beberapa disiplin ilmu.[19]
5. Pendekatan Tekstual dan
Pendekatan Konstektual
Pada dasarnya pendekatan tekstual
dan kontekstual adalah sama dengan beberapa pendekatan di atas. Hanya saja
istilah ini muncul dari sumber yang berbeda
a. Pendekatan Tekstual
Secara sederhana tekhnik ini dapat
diasosiasikan dengan tafsir bi al-ma’tsur. Nash yang dihadapi ditafsirkan
sendiri dengan nash baik AL-Qur’an ataupun hadist.[20]
b. Pendekatan Konstektual
Al-Qur’an adalah Kitab suci yang
salih li kulli zaman wa makan. Selama empat belas abad Al-Qur’an tetap bertahan
sebagai penerang dalam memecahkan berbagai masalah. Prof. Dr. Amin Abdullah
memaparkan ada dua ranah keprihatinan umat islam dewasa ini dalam memahami
Al-Qur’an.pertama , bagaimana dapat memahami ajaran Al-Qur’an yang bersifat
universal(rahmatan li al-alamin) secara tepat, setelah terjadi proses
modernisasi, globalisasi, dan informasi yang membawa perubahan sosial yang
begitu cepat.kedua, bagaimana sebenarnya konsepsi dasar AL-Qur’an dalam
menaggulangi ekses-ekses negatif dari deru roda perubahan sosial pada era
modernitas seperti saat ini.[21]Untuk itulah Al-Qur’an berusaha di dialogkan
dengan realita zaman sekarang, memalui studi kontekstualitas Al-Qur’an. Studi
tentang kontekstual adalah studi tentang peradaban.Jadi pada dasarnya sama juga
dengan Pendekatan Sosio-Historis. Pendekatan sejarah tersebut tidak bisa lepas
dari asbab al-nuzul ayat Al-Qur’an yang biasanya-walau tidak seluruhnya-
bersumber dari sunah, atsar ataupun dari tabi’in.Jadi, secara metodologis tekhnik
ini termasuk kedalam metode tafsir bi al-ma’tsur.[22]
Hubungan teks dan konteks bersifat
dialektis;teks menciptakan konteks, persis sebagaimana konteks menciptakan
teks;sedangkan makna timbul dari keduanya.[23] Kesimpulan dari pendekatan
tekstual dan pendekatan tekstual sebetulnya sangat sekali meletakkan sekat di
antara keduanya.
D. Kesimpulan
Dalam rangka menafsirkan Al-Qur’an
diperlukan beberapa metode dan pendekatan. Metode tafsir yang masyhur antara
lain yaitu; metode tafsir tahlili (analistis), metode tafsir maudhu’i
(tematik), metode tafsir muqaran (komparatif), dan metode tafsir ijmali
(global).
Pendekatan tafsir kita mengenal ada
metode Pendekatan Objektif dan Pendekatan Subjektif, Pendekatan Langsung dan
Tidak Langsung, Pendekatan Komprehensif dan Pendekatan Sektoral, Pendekatan
Disipliner, Pendekatan Multi disipliner, dan Pendekatan Interdisipliner serta
Pendekatan Tekstual dan Pendekatan Konstektual. Mengenai yang terakhir
merupakan masalah yang sedang aktual dalam ranah wacana kajian keislaman.
Wacana ini ramai ketika muncul Nasr Hamid Abu Zaid dengan hermeneutikanya,
Muhammad Syahrur dengan The Limits Theory (nadhoriah al-hudud), Muhammad Abed
Al-Jabiri dengan Epistemologi akalnya dan lain-lain. Sedang wacana ini ramai di
Indonesia melalui pemikiran para pemikir liberal.
E. Penutup
Pendekatan kajian tafsir dalam
dataran sejarah ilmu tafsir bukan merupakan barang baru. Hal yang demikina
dapat ditelusuri dalam khazanah intelektual yang diwariskan pada mufasir.
Keberadaan pendekatan kajian tafsir sangat di perlukan guna memperoleh
pemahaman yang komprehensif tentang ajaran Islam, di samping sebagai upaya
menuju kearah pengembangan dan pemecahan problematika tafsir AL-Qur’an dalam
era golabalisasi yang penuh dengan tantangan.Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar