TAFSIR MAUDHU’I ( TEMATIK)
Oleh: Enjen Zaenal Mutaqin dan Adi Nugraha
I.
Pengertian Tafsir Maudhu’i
Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang
merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti
meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat.
Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul
atau topik atau sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan
ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu.
Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat,
seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang
didustakan/dipalsukan/dibuat-buat.[1]
Adapun
pengertian tafsir maudhu’i (tematik) menurut istilah para ulama ialah
“
Mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang
bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat
mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya,
kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan,
keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian
mengistimbatkan.”[2]
Menurut
al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk
tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan
eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut sintesis karena merupakan
upaya menyatukan pengalaman manusia dengan alqur’an.[3]
Namun ini bukan berarti metode ini berusaha untuk memaksakan pengalaman ini
kepada Alquran dan menundukkan Alquran kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya
di dalam konteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah
pandangan Islam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan
khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Bentuk
tafsir ini disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih
sekelompok ayat yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut
sintesis, atas dasar ciri kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap
ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah pandangan yang tersusun.
Menurut
al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan
seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit
dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili
(representatif).[4]
Dari beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i
ialah upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu tema tertentu, dengan
mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan
menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan
Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib
turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.
II.
Pengertian Metode Tafsir Maudhu’i
Metode
tafsir maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban
Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan
satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya
sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian
memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan,
keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian
mengambil hukum-hukum darinya.
Menurut
Al-farmawi metode tafsir maudhu’i ialah metode yang membahas
ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua
ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan
sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh
dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional. Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan
ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema
khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas
oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas dotrin Tauhid di dalam al-Qur’an,
konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, dan
sebagainya.
M.
Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua
pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam
surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut,
sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun
ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau
surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya,
kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk
al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhu’i
ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an
yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya
kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya
selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i
mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an
yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja.
Ciri
metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak
salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi,
mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau
berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema
yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai
aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat
yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat
dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu
dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku
secara umum di dalam ilmu tafsir.
III.
Pembagian Tafsir Maudhu’i
Dalam
perkembangannya, metode maudhu’i memiliki dua bagian:
a.
Mengkaji
sebuah surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya
dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian
surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang
sempurna dan saling melengkapi. Contoh:
ßôJptø:$# ¬! Ï%©!$# ¼çms9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# ã&s!ur ßôJptø:$# Îû ÍotÅzFy$# 4 uqèdur ÞOÅ3ptø:$# çÎ7sø:$# ÇÊÈ ãNn=÷èt $tB ßkÎ=t Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\t ÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# $tBur ßlã÷èt $pkÏù 4 uqèdur ÞOÏm§9$# âqàÿtóø9$# ÇËÈ
“ Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa
yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui Dia mengetahui apa
yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari
langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha
Pengampun.
(Q.S Saba [34] :1-2)
Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan
menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang
universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.
b.
Menghimpun
seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya
diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.
Contohnya: Allah SWT, berfirman:
#¤)n=tGsù ãPy#uä `ÏB ¾ÏmÎn/§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4 ¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§qG9$# ãLìÏm§9$# ÇÌÐÈ
“
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima
tibatnya, sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.”
(Q.S Al-Baqarah [2] : 37)
Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman Allah Ta’ala
di atas ,nabi mengemukakan ayat.
w$s% $uZ/u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ÎÅ£»yø9$# ÇËÌÈ
“ Keduanya
berkata, : ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
engkau tidak mengampuni rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang merugi.” (Q.S Al-A’raaf [7] : 23)
IV.
Sejarah Tafsir Maudhu’i
Dasar-dasar
tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan
ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur.
Seperti yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat
dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal.[5]
Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali
oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas
al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam
kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudhu‘i
berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy,
seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan
Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan
Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan
ratus enam puluhan. Buah dari tafsir model ini menurut
Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad,al-Insân
fî al-Qur’ân,al-Mar’ah fî al-Qur’ân, dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ
fî al-Qur’ân.Kemudian tafsir model ini
dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof. Dr. Abdul Hay
al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah Maudu‘iyah.
Namun jika, merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir tematik jauh
lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab, baik tematik berdasar surah
maupun berdasarkan subjek.
Kaitannya
dengan tafsir tematik berdasar surah al-Qur’an, Zarkashi (745-794/1344-1392),
dengan karyanya al- Burhân, misalnya
adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir
yang menekankan bahasan surah demi surah. Demikian juga Suyûtî (w. 911/1505)
dalam karyanya al-Itqân. Sementara tematik
berdasar subyek, diantaranya adalah karya Ibn Qayyim al-Jauzîyah
(1292- 1350H.), ulama besar dari mazhab Hanbalî, yang berjudul al-Bayân
fî Aqsâm al-Qur`ân; Majâz al- Qur`ân oleh Abû ‘Ubaid ; Mufradât
al-Qur`ân oleh al-Râghib al-Isfahânî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abû
al-Hasan al-Wahîdî al-Naisâbûrî (w. 468/1076), dan sejumlah karya dalam
yakni;
1)
Naskh
al-Qur`ân oleh Abû Bakr Muhammad al-Zuhrî (w.
124/742),
2)
Kitâb
al-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur`ân al-Karîm
oleh al-Nahhâs (w. 338/949),
3)
al-Nâsikh
wa al-Mansûkh oleh Ibn
Salamâ (w. 410/1020),
4)
al-Nâsikh
wa al-Mansûkh oleh Ibn
al-‘Atâ`iqi (w.s. 790/1308),
5)
Kitâb
al-Mujâz fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh
Ibn Khuzayma al-Fârisî. Sebagai tambahan, tafsir Ahkâm al-Qur`ân karya
al-Jasâs (w. 370 H.), adalah contoh lain dari tafsir semi tematik yang
diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an.
Karena
itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak
sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan
sistematis berkembang di masa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin
bertambah di awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surah al-Qur’an maupun
tematik berdasar subyek/topik.
V.
Kelebihan Tafsir Maudhu’i
Kelebihan
metode tafsir maudhu’i antara lain:
a)
Menjawab
tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang
sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai
upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik
ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
b)
Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan
permasalahan yang timbul.
c)
Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis
sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran
pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing
kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.
d)
Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul
yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara
utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang
dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan
suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas
VI.
Kekurangan Tafsir Maudhu’i
Kekurangan
metode tafsir maudhu’i antara lain:
a)
Memenggal
ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang
terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang
berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu
diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang
zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan
ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan
analisis.
b)
Membatasi
pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu
ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya
mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat
ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an
itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan
diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari
permata tersebut.
VII.
Kedudukan Tafsir Maudhu’i
Ali
Hasan al-Aridl, mengatakan bahwa urgensi metode maudhu’i dalam era
sekarang ini yaitu: [1] Metode maudhu’i berarti
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang tersebar pada bagian surat dalam al-Qur’an
yang berbicara tentang suatu tema. Tafsir dengan metode ini termasuk tafsir bi
al-ma’tsur dan metode ini lebih dapat menghindarkan mufassir dari kesalahan.
[2] Dengan menghimpun ayat-ayat tersebut seorang pengkaji dapat menemukan segi
relevansi dan hubungan antara ayat-ayat itu. [3] Dengan metode maudhu’i
seorang pengkaji mampu memberikan suatu pemikiran dan jawaban yang utuh dan
tuntas tentang suatu tema dengan cara mengetahui, menghubungkan dan
menganalisis secara komprehensif terhadap semua ayat yang berbicara tentang
tema tersebut. [4] Dengan metode ini seorang pengkaji mampu menolak dan menghindarkan
diri dari kesamaran-kesamaran dan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam
ayat. [5] Metode maudhu’i sesuai dengan perkembangan zaman modern dimana
terjadi diferensiasi pada tiap-tiap persoalan dan masing-masing masalah
tersebut perlu penyelesaian secara tuntas dan utuh seperti sebuah sistematika
buku yang membahas suatu tema tertentu. [6] Dengan metode maudhu’i orang
dapat mengetahui dengan sempurna muatan materi dan segala segi dari suatu tema.
[7] Metode maudhu’i memungkinkan bagi seorang pengkaji untuk sampai pada
sasaran dari suatu tema dengan cara yang mudah tanpa harus bersusah payah dan
menemui kesulitan. [8] Metode maudhu’i mampu menghantarkan kepada suatu
maksud dan hakikat suatu masalah dengan cara yang paling mudah, terlebih lagi
pada saat ini telah banyak bertaburan ”kotoran” terhadap hakikat agama-agama
sehingga tersebar doktrin-doktrin kemanusiaan dan isme-isme yang lain sehingga
sulit untuk dibedakan.
Dari
berbagai uraian tentang kelebihan dan kelemahan dari masing-masing metode yang
dikemukakan, menurut Hujair A.H Sanaky kebutuhan ummat pada zaman modern,
metode Maudhu’i mempunyai peran yang sangat besar dalam penyelesaian
suatu tema dengan mendasarkan ayat-ayat al-Qur’an, walaupun setiap metode memiliki
karakteristik sendiri-sendiri yang tentu tergantung pada kepentingan dan
kebutuhan mufassir serta situasi dan kondisi yang ada. Dengan demikian metode maudhu’i
dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh ummat
dewasa ini, karena metode maudhu’i mampu menghantarkan ummat [pembaca
Tafsir] ke suatu maksud dan hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling
mudah, sebab tanpa harus bersusah payah dan memenuhi kesulitan dalam memahami
tafsir. Selain itu sisi lain yang dilihat adalah dengan metode maudhu’i,
mufassir berusaha berdialog aktif dengan al-Qur’an untuk menjawab tema yang
dikehendaki secara utuh, sementara kalau kita perhatikan penafsiran al-Qur’an
dengan metode tahlili, mufassir justru bersikap pasif sebab hanya
mengikuti urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an.
VIII.
Perbedaan metode maudhu’i (tematik) dengan metode tafsir lainnya
a.
Perbedaan metode maudhu’i (tematik) dengan metode tahlili
Metode Tahlili
|
Metode Maudhu’i
(Tematik)
|
·
mufassir
terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.
·
Mufassir
berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
·
Mufassir
berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam satu ayat.
·
Sulit
ditemukan tema-tema tertentu yang utuh
·
Sudah
dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan dalam kitab-kitab tafsir yang ada.
|
·
Mufassir
tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih terikat dengan
urutan masa turunya ayat, atau kronologi kejadian.
·
Mufassir
tidak berbicara tema lain selain tema ysng sedang dikaji. Oleh
karena itu, ia dapat mengangkat tema-tema Al-qur’an yang masing-masing
berdiri sendiri dan tidak bercampur aduk dengan
tema-tema lain.
·
Mufassir
tidak membahas segala permasalahan yang dikandung oleh satu ayat. Tetapi
hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
·
Mudah
untuk menyusun tema-tema al-qur’an yang berdiri sendiri.
·
Walaupun
benihnya ditemukan sejak dahulu, sebagai sebuah metode penafsiran yang jelas
dan utuh baru dikenal belakangan saja.
|
b.
Perbedaan metode maudhu’i (tematik) dengan metode ijmali
(global)
Metode Ijmali
(Global)
|
Metode Maudhu’i
(Tematik)
|
·
Mufassir
terikat dengan susunan mushaf.
·
Mufassir
berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
|
·
Mufassir
tidak terikat dengan susunan mushaf.
·
Mufassir
tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
|
c.
Perbedaan metode maudhu’i dengan metode muqaran
Metode Muqaran
|
Metode Maudhu’i
|
·
Mufassir
menjelaskan al-Qur’an dengan apa saja yang ditulis oleh para mufassir.
·
Mufassir
terikat dengan uraian para mufassir.
|
·
Mufassir
tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
·
Mufassir
tidak terikat dengan uraian para mufassir.
|
IX.
Operasionaliaasi kerja
tafsir maudhu’i
Menurut
al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah dalam sistimatika tafsir maudhu’i.[6] Kemudian
tujuh langkah tersebut dikembangkan oleh M. Quraiah Shihab yaitu:
·
menetapkan
masalah yang akan dibahas
·
menghimpun
seluruh ayat-ayat At-qur’an yang berkaitan dengan masalah tersebut
·
menyusun
urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian
masalah dan atau masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan
Madaniy. Hal ini untuk memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan
petunjuk-petunjuk Alquran
·
mempelajari/memahami
korelasi (munasabaat) masing-masing ayat dengan surah-surah di mana ayat tersebut
tercantum (setiap ayat berkaitan dengan terma sentral pada suatu surah)
·
melengkapi
bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
·
menyusun outline
pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan hasil studi masa lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal yang
tidak berkaitan dengan pokok masalah
·
mempelajari
semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau mengkompromikan antara
yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan
atau pemaksaan dalam penafsiran
·
menyusun
kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Alquran terhadap masalah
yang dibahas.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal, Urgensi
Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990.
Abdullah, Taufiq dan
Karim, Rush (ed), Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1989.
Al-Suyûtî,
Jalâl Al-Din, Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qur`Ân , Kairo: Dâr Al-Turâth,
1405/1985.
Baidan,
Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar.
1988.
Bayumi, al, Mursi
Ibrahim, Dirasat fi al-Tafsiir al-Maudhu’i , Dar al-Taudiwiyah fi
al-Tabaah, Kairo, 1970.
Dzahabi, al, Muhammad
Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassiruun, Jilid I, Dar al-Kutub al-Haditsah,
tt.p. 1978.
Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan
dalam Penafsiran Alquran, Rajawali, Jakarta, 1986.
Farmawi al, Abd
al-Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah
al-’Arabiyah, Kairo, 1977
___________, Metode
Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, Terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta:
Rajawali Pers, 1996.
Hassan,
Fuad. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, Dalam Koentjaraningrat [Ed],
Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1977.
Ibrahim, Muahammad
lamail, Mu’jam alAlfaz wa al-A’lam Alquraniyah, Dar al-`Ulum, Kairo,
1968.
Musa, Muhammad, Qamus
Qur’ani, Khazanah Ibrahim, Iakandariyah, 1966.
Munawwir,
Ahmad Warso. 1984. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan PP.”Al-Munawwir” Krapyak.
Sadr al, Muhammad
Baqir, ” Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir Alquran “, dalam Ulumul Qur’an,
Vol I, No. 4, 1990.
Sanaky,
Hujair A.H., Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau
Corak Mufassirin], Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008.
[1] Abdul Djalal, Urgensi Tafsir
Maudlin’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990, hal. 83-84.
[2] Farmawi al, Abd al-Hayy, Mu jam al-Alfaz wa
al-a’lam al-Our’aniyah, Dar al-`ulum, Kairo, 1968, hal. 52.
[3] Sadr al, Muhammad Baqir, “Pendekaian Temalik Terhadap
Tafsir AI-Qur’an “, dalam Ulumul Quan, Vol I, No. 4, 1990, hal. 34.
[4] Farmawi al, Abd al-Hayy, AI-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, Kairo, 1977, hal.
62.
[5] Farmawi al, Abd al-Hayy, AI-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, Kairo, 1977, hal. 54
[6] Farmawi al, Abd al-Hayy, Al Bidayah
fr al-Tafsir al Maudhu ‘i, Matba’ah al-Hadarah al-Arabiyah, Kairo,
1977, hal.61-62
[7] Abdullah, Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi
Penelitian Agama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989, hal. 141.
Syukran, Jazaakumullah
BalasHapusgood
BalasHapusizin mengembangkannya, untuk lebih bermanfaat
BalasHapus