Jumat, 26 Oktober 2012

TAFSIR MAUDHU’I ( TEMATIK)


TAFSIR MAUDHU’I ( TEMATIK)
Oleh:  Enjen Zaenal Mutaqin dan Adi Nugraha

I.          Pengertian Tafsir Maudhu’i         
                       
        Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat. Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat.[1]

Adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik) menurut istilah para ulama ialah
“ Mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan.”[2]

Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman manusia dengan alqur’an.[3] Namun ini bukan berarti metode ini berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya di dalam konteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Islam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut sintesis, atas dasar ciri kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah pandangan yang tersusun.

Menurut al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif).[4] Dari beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu tema tertentu, dengan mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.

II.           Pengertian Metode Tafsir Maudhu’i

Metode tafsir maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Menurut  Al-farmawi metode  tafsir maudhu’i  ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional. Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas dotrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, dan sebagainya.
M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja.

Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.

III.    Pembagian Tafsir Maudhu’i

Dalam perkembangannya, metode maudhu’i memiliki dua bagian:

a.       Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi. Contoh:
ßôJptø:$# ¬! Ï%©!$# ¼çms9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# ã&s!ur ßôJptø:$# Îû ÍotÅzFy$# 4 uqèdur ÞOŠÅ3ptø:$# 玍Î7sƒø:$# ÇÊÈ   ãNn=÷ètƒ $tB ßkÎ=tƒ Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøƒs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\tƒ šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# $tBur ßlã÷ètƒ $pkŽÏù 4 uqèdur ÞOŠÏm§9$# âqàÿtóø9$# ÇËÈ  

Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.
(Q.S Saba [34] :1-2)

Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.

b.      Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.
Contohnya: Allah SWT, berfirman:
#¤)n=tGsù ãPyŠ#uä `ÏB ¾ÏmÎn/§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4 ¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§q­G9$# ãLìÏm§9$# ÇÌÐÈ  
 “ Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima tibatnya, sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.”
(Q.S Al-Baqarah [2] : 37)

Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman Allah Ta’ala di atas ,nabi mengemukakan ayat.
Ÿw$s% $uZ­/u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»yø9$# ÇËÌÈ  
 “ Keduanya berkata, : ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi.” (Q.S Al-A’raaf [7] : 23)
IV.         Sejarah Tafsir Maudhu’i

Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur.  Seperti yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal.[5] Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudhu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun seribu sembilan ratus enam puluhan. Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad,al-Insân fî al-Qur’ân,al-Mar’ah fî al-Qur’ân, dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân.Kemudian tafsir   model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof. Dr. Abdul Hay al-Farmawi,  pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah  Maudu‘iyah. Namun  jika, merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab, baik tematik berdasar surah maupun berdasarkan subjek.

Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surah al-Qur’an, Zarkashi (745-794/1344-1392), dengan karyanya al-  Burhân, misalnya adalah salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surah demi surah. Demikian juga Suyûtî (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqân. Sementara tematik berdasar subyek, diantaranya adalah  karya Ibn Qayyim al-Jauzîyah (1292-  1350H.), ulama besar dari mazhab Hanbalî, yang berjudul al-Bayân fî Aqsâm al-Qur`ân; Majâz al-  Qur`ân oleh Abû ‘Ubaid ; Mufradât al-Qur`ân oleh al-Râghib al-Isfahânî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abû  al-Hasan al-Wahîdî al-Naisâbûrî (w. 468/1076), dan sejumlah karya dalam yakni;

1)      Naskh al-Qur`ân oleh Abû Bakr Muhammad al-Zuhrî (w. 124/742),
2)      Kitâb al-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur`ân al-Karîm oleh al-Nahhâs (w. 338/949),
3)      al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Salamâ (w. 410/1020),
4)      al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn al-‘Atâ`iqi  (w.s. 790/1308),
5)      Kitâb al-Mujâz fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Khuzayma al-Fârisî. Sebagai tambahan, tafsir Ahkâm al-Qur`ân karya al-Jasâs (w. 370 H.), adalah contoh lain dari tafsir semi tematik yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an.

Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surah al-Qur’an maupun tematik berdasar subyek/topik.

V.            Kelebihan Tafsir Maudhu’i

Kelebihan metode tafsir maudhu’i antara lain:

a)      Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
b)      Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode  tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
c)      Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.
d)     Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas

VI.        Kekurangan Tafsir Maudhu’i  

Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain:

a)      Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
b)      Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.

VII.      Kedudukan Tafsir Maudhu’i

Ali Hasan al-Aridl, mengatakan bahwa urgensi metode maudhu’i dalam era sekarang ini yaitu: [1] Metode maudhu’i berarti menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang tersebar pada bagian surat dalam al-Qur’an yang berbicara tentang suatu tema. Tafsir dengan metode ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur dan metode ini lebih dapat menghindarkan mufassir dari kesalahan. [2] Dengan menghimpun ayat-ayat tersebut seorang pengkaji dapat menemukan segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat itu. [3] Dengan metode maudhu’i seorang pengkaji mampu memberikan suatu pemikiran dan jawaban yang utuh dan tuntas tentang suatu tema dengan cara mengetahui, menghubungkan dan menganalisis secara komprehensif terhadap semua ayat yang berbicara tentang tema tersebut. [4] Dengan metode ini seorang pengkaji mampu menolak dan menghindarkan diri dari kesamaran-kesamaran dan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam ayat. [5] Metode maudhu’i sesuai dengan perkembangan zaman modern dimana terjadi diferensiasi pada tiap-tiap persoalan dan masing-masing masalah tersebut perlu penyelesaian secara tuntas dan utuh seperti sebuah sistematika buku yang membahas suatu tema tertentu. [6] Dengan metode maudhu’i orang dapat mengetahui dengan sempurna muatan materi dan segala segi dari suatu tema. [7] Metode maudhu’i memungkinkan bagi seorang pengkaji untuk sampai pada sasaran dari suatu tema dengan cara yang mudah tanpa harus bersusah payah dan menemui kesulitan. [8] Metode maudhu’i mampu menghantarkan kepada suatu maksud dan hakikat suatu masalah dengan cara yang paling mudah, terlebih lagi pada saat ini telah banyak bertaburan ”kotoran” terhadap hakikat agama-agama sehingga tersebar doktrin-doktrin kemanusiaan dan isme-isme yang lain sehingga sulit untuk dibedakan.

Dari berbagai uraian tentang kelebihan dan kelemahan dari masing-masing metode yang dikemukakan, menurut Hujair A.H Sanaky kebutuhan ummat pada zaman modern, metode Maudhu’i mempunyai peran yang sangat besar dalam penyelesaian suatu tema dengan mendasarkan ayat-ayat al-Qur’an, walaupun setiap metode memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang tentu tergantung pada kepentingan dan kebutuhan mufassir serta situasi dan kondisi yang ada. Dengan demikian metode maudhu’i dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh ummat dewasa ini, karena metode maudhu’i mampu menghantarkan ummat [pembaca Tafsir] ke suatu maksud dan hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling mudah, sebab tanpa harus bersusah payah dan memenuhi kesulitan dalam memahami tafsir. Selain itu sisi lain yang dilihat adalah dengan metode maudhu’i, mufassir berusaha berdialog aktif dengan al-Qur’an untuk menjawab tema yang dikehendaki secara utuh, sementara kalau kita perhatikan penafsiran al-Qur’an dengan metode tahlili, mufassir justru bersikap pasif sebab hanya mengikuti urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an.

VIII.         Perbedaan metode maudhu’i (tematik) dengan metode tafsir lainnya

a.      Perbedaan metode maudhu’i (tematik) dengan metode tahlili
Metode Tahlili
Metode Maudhu’i (Tematik)
·         mufassir terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.
·         Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
·         Mufassir berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam satu ayat.
·         Sulit ditemukan tema-tema tertentu yang utuh
·         Sudah dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan dalam kitab-kitab tafsir yang ada.
·         Mufassir tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunya ayat, atau kronologi kejadian.
·         Mufassir tidak berbicara tema lain  selain tema ysng sedang dikaji. Oleh  karena itu, ia dapat mengangkat tema-tema Al-qur’an yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bercampur aduk dengan tema-tema lain.
·         Mufassir tidak membahas segala permasalahan yang dikandung oleh satu ayat. Tetapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
·         Mudah untuk menyusun tema-tema al-qur’an yang berdiri sendiri.
·         Walaupun benihnya ditemukan sejak dahulu, sebagai sebuah metode penafsiran yang jelas dan utuh baru dikenal belakangan saja.

b.      Perbedaan metode maudhu’i (tematik) dengan metode ijmali (global)
Metode Ijmali (Global)
Metode Maudhu’i (Tematik)
·         Mufassir terikat dengan susunan mushaf.
·         Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
·         Mufassir tidak terikat dengan susunan mushaf.
·         Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.


c.       Perbedaan metode maudhu’i dengan metode muqaran
Metode Muqaran
Metode Maudhu’i
·         Mufassir menjelaskan al-Qur’an dengan apa saja yang ditulis oleh para mufassir.
·         Mufassir terikat dengan uraian para mufassir.
·         Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
·         Mufassir tidak terikat dengan uraian para mufassir.


IX.              Operasionaliaasi kerja tafsir maudhu’i

Menurut al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah dalam sistimatika tafsir maudhu’i.[6] Kemudian tujuh langkah tersebut dikembangkan oleh M. Quraiah Shihab yaitu:
·         menetapkan masalah yang akan dibahas
·         menghimpun seluruh ayat-ayat At-qur’an yang berkaitan dengan masalah tersebut
·         menyusun urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah dan atau masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan Madaniy. Hal ini untuk memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Alquran
·         mempelajari/memahami korelasi (munasabaat) masing-masing ayat dengan surah-surah di mana ayat tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan dengan terma sentral pada suatu surah)
·         melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
·         menyusun outline pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan hasil studi masa lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pokok masalah
·         mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran
·         menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Alquran terhadap masalah yang dibahas.[7]















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990.
Abdullah, Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989.
Al-Suyûtî, Jalâl Al-Din,  Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qur`Ân , Kairo: Dâr Al-Turâth, 1405/1985.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar. 1988.
Bayumi, al, Mursi Ibrahim, Dirasat fi al-Tafsiir al-Maudhu’i , Dar al-Taudiwiyah fi al-Tabaah, Kairo, 1970.
Dzahabi, al, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassiruun, Jilid I, Dar al-Kutub al-Haditsah, tt.p. 1978.
Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Alquran, Rajawali, Jakarta, 1986.
Farmawi al, Abd al-Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah al­-Hadarah al-’Arabiyah, Kairo, 1977
___________, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, Terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Hassan, Fuad. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, Dalam Koentjaraningrat [Ed], Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1977.
Ibrahim, Muahammad lamail, Mu’jam alAlfaz wa al-A’lam Alquraniyah, Dar al-`Ulum, Kairo, 1968.
Musa, Muhammad, Qamus  Qur’ani, Khazanah Ibrahim, Iakandariyah, 1966.
Munawwir, Ahmad Warso. 1984. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan PP.”Al-Munawwir” Krapyak.
Sadr al, Muhammad Baqir, ” Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir Alquran “, dalam Ulumul Qur’an, Vol I, No. 4, 1990.
Sanaky, Hujair A.H., Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau Corak Mufassirin], Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008.



[1] Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlin’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990, hal. 83-84.
[2] Farmawi al, Abd al-Hayy, Mu jam al-Alfaz wa al-a’lam al-Our’aniyah, Dar al-`ulum, Kairo, 1968, hal. 52.
[3] Sadr al, Muhammad Baqir, “Pendekaian Temalik Terhadap Tafsir AI-Qur’an “, dalam Ulumul Quan, Vol I, No. 4, 1990, hal. 34.
[4] Farmawi al, Abd al-Hayy, AI-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah al­`Arabiyah, Kairo, 1977, hal. 62.
[5] Farmawi al, Abd al-Hayy, AI-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah al­`Arabiyah, Kairo, 1977, hal. 54
[6] Farmawi al, Abd al-Hayy, Al Bidayah fr al-Tafsir al Maudhu ‘i, Matba’ah al-Hadarah al­-Arabiyah, Kairo, 1977, hal.61-62
[7] Abdullah, Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989, hal. 141.

3 komentar: