Al-Qur'an
diturunkan dalam tempo, menurut satu riwayat, 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu
mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah
Haji Wada` tahun tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.
Proses turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw melalui tiga tahapan, yaitu:
Pertama, al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh , yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Q.S. al-Buruj (85) ayat 21–22, “Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam lauh al-mahfuzh”.
Diisyaratkan pula oleh firman Allah surat al-Waqi`ah (56) ayat 77—80, “Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam.”
Tahap kedua, al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan Allah dalam surat al-Qadar [97] ayat 1, “sungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malan kemuliaan.”
Juga diisyaratkan dalam Q.S. Surat ad-Dukhan [44] ayat 3, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.”
Tahap ketiga, al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Q.S. asy-Syu`ara’ [26] ayat 193–195, “……Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-`amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, tidak secara sekaligus melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan sering wahyu turun karena untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi saw. Di samping itu banyak pula ayat atau surat yang diturunkan tanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu.
Dalam kenyataan tersebut terkandung hikamah dan faidah yang besar, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran itu sendiri dalam Surat al-Furqan [25] ayat 32, “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).
Di samping hikmah yang telah diisyaratkan ayat di atas, masih banyak hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain adalah:
1. Memantapkan hati Nabi
Ketika menyampaikan dakwah, Nabi kerapkali berhadapan dengan para penentang. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan doroaikan dakwah. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah, Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). (QS. al-Furqan [25]:32).
2. Menentang dan melemahkan para penentang al-Qur'an
Nabi kerapkali berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur'an. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu mu`jizat al-Qur'an.
3. Memudahkan untuk dihapal dan difahami
Nabi Muhammad sangat merindukan turunnya wahyu. Saking rindunya, suatu ketika mengikuti bacaan wahyu yang disampaikan Jibril sebelum wahyu itu selesai dibacakannya. Karena itu, Allah berfirman, “Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha [20]:114) Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. al-Qiyamah [75]:6—9).
Di lain pihak, al-Qur'an pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat Arab yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Maka, turunnya wahyu secara berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalkannya.
4. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat al-Qur'an turun) dan melakukan pentahapan dalam penetapan aqidah yang benar, hukum-hukum syari`at, dan akhlak mulia. Hikmah ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. al-Isra’ [17]:106).
5. Membuktikan dengan pasti bahwa al-Qur'an turun dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Walaupun al-Qur'an turun secara berangsur-angsur dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, tetapi secara keseluruhan, terdapat keserasian di antara satu bagian dengan bagian al-Qur'an lainnya. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan Allah yang Maha Bijaksana.
Proses turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw melalui tiga tahapan, yaitu:
Pertama, al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh , yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Q.S. al-Buruj (85) ayat 21–22, “Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam lauh al-mahfuzh”.
Diisyaratkan pula oleh firman Allah surat al-Waqi`ah (56) ayat 77—80, “Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam.”
Tahap kedua, al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan Allah dalam surat al-Qadar [97] ayat 1, “sungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malan kemuliaan.”
Juga diisyaratkan dalam Q.S. Surat ad-Dukhan [44] ayat 3, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.”
Tahap ketiga, al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Q.S. asy-Syu`ara’ [26] ayat 193–195, “……Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-`amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, tidak secara sekaligus melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan sering wahyu turun karena untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi saw. Di samping itu banyak pula ayat atau surat yang diturunkan tanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu.
Dalam kenyataan tersebut terkandung hikamah dan faidah yang besar, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran itu sendiri dalam Surat al-Furqan [25] ayat 32, “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).
Di samping hikmah yang telah diisyaratkan ayat di atas, masih banyak hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain adalah:
1. Memantapkan hati Nabi
Ketika menyampaikan dakwah, Nabi kerapkali berhadapan dengan para penentang. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan doroaikan dakwah. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah, Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). (QS. al-Furqan [25]:32).
2. Menentang dan melemahkan para penentang al-Qur'an
Nabi kerapkali berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur'an. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu mu`jizat al-Qur'an.
3. Memudahkan untuk dihapal dan difahami
Nabi Muhammad sangat merindukan turunnya wahyu. Saking rindunya, suatu ketika mengikuti bacaan wahyu yang disampaikan Jibril sebelum wahyu itu selesai dibacakannya. Karena itu, Allah berfirman, “Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha [20]:114) Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. al-Qiyamah [75]:6—9).
Di lain pihak, al-Qur'an pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat Arab yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Maka, turunnya wahyu secara berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalkannya.
4. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat al-Qur'an turun) dan melakukan pentahapan dalam penetapan aqidah yang benar, hukum-hukum syari`at, dan akhlak mulia. Hikmah ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. al-Isra’ [17]:106).
5. Membuktikan dengan pasti bahwa al-Qur'an turun dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Walaupun al-Qur'an turun secara berangsur-angsur dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, tetapi secara keseluruhan, terdapat keserasian di antara satu bagian dengan bagian al-Qur'an lainnya. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan Allah yang Maha Bijaksana.
TAFSIR BI
AL-MA’TSUR & TAFSIR BI AL-RA’YI
PEMBAGIAN TAFSIR
Berdasarkan sumber:
l Tafsir bi al-Ma’tsur.
l Tafsir bi al-ra’yi.
Berdasarkan Metode:
l Tahlili (berdasar urutan mushaf)
l Muqaran (perbandingan)
l Ijmali (global)
l Maudhu’I (tematik)
Berdasarkan Corak:
8 Fiqih 8Tasawuf
8 Sejarah 8 Bahasa
8 Tasawuf
8 Ilmu Pengetahuan
Definisi Tafsir bi al-Ma’tsur
Penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan kepada penjelasan al-Qur’an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.
Otoritas Tafsir bi al-Ma’tsur
l Al-Qur’an. Contoh:
Penafsiran kata muttaqin pada surat 3: 133 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya.
l Hadits Nabi. Contoh:
Penafsiran Nabi terhadap kata ‘al-zulm’ pada surat surat 6:82 dengan pengertian syirik; Dan pengertian ungkapan ‘al-quwwah dengan al-ramy (panah) pada Q.S. 8:60.
l Penjelasan sahabat. Contoh:
Penafsiran Ibnu Abbas (w. 68/687) terhadap kandungan surat al-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi
l Penjelasan Tabi`in. Contoh:
Penafsiran tabi’in terhadap surat Surat ash-Shaffat [37]: 65 dengan sya’ir ‘Imr al-Qays
Contoh Kitab Tafsir bi al-Ma’tsur
l Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (w. 310/923),
l Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi (w. 685/1286),
l Al-Durr al Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911/1505),
l Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi (w. 817/1414), dan
l Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir (w. 774/1373)
Kelebihan Tafsir bi al-Ma’tsur
l Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
l Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
l Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subyektivitas yang berlebihan.
Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur
l Terjadi pemalsuan (wadh’) dalam tafsir.
l Masuknya unsur Israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nasrani yang masuk ke dalam penafsiran al-Qur’an.
l Penghilangan sanad
l Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur.
Definisi Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi (disebut juga tafsir bi al-dirayah)—sebagaimana didefinisikan Husen al-Dzahabi—adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya
Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
l Yang dapat Diterima (Mahmudah/Maqbulah)
l Yang tidak dapat diterima (Madzmumah/Mardudah)
Tafsir bi al-Ra’yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah)
Apabila menghindari hal-hal berikut:
l Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
l Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata).
l Menafsirkan al-Qur'an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
l Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
l Menafsirkan al-Qur'an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian… tanpa didukung dalil.
Contoh Kitab Tafsir bi al-Ra’yi
l Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H.)
l Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya al-Baidhawi (w. 691 H.)
l Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Takwil, karya an-Nasafi (w. 701 H.)
SELESAI
TERIMA KASIH
PEMBAGIAN TAFSIR
Berdasarkan sumber:
l Tafsir bi al-Ma’tsur.
l Tafsir bi al-ra’yi.
Berdasarkan Metode:
l Tahlili (berdasar urutan mushaf)
l Muqaran (perbandingan)
l Ijmali (global)
l Maudhu’I (tematik)
Berdasarkan Corak:
8 Fiqih 8Tasawuf
8 Sejarah 8 Bahasa
8 Tasawuf
8 Ilmu Pengetahuan
Definisi Tafsir bi al-Ma’tsur
Penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan kepada penjelasan al-Qur’an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.
Otoritas Tafsir bi al-Ma’tsur
l Al-Qur’an. Contoh:
Penafsiran kata muttaqin pada surat 3: 133 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya.
l Hadits Nabi. Contoh:
Penafsiran Nabi terhadap kata ‘al-zulm’ pada surat surat 6:82 dengan pengertian syirik; Dan pengertian ungkapan ‘al-quwwah dengan al-ramy (panah) pada Q.S. 8:60.
l Penjelasan sahabat. Contoh:
Penafsiran Ibnu Abbas (w. 68/687) terhadap kandungan surat al-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi
l Penjelasan Tabi`in. Contoh:
Penafsiran tabi’in terhadap surat Surat ash-Shaffat [37]: 65 dengan sya’ir ‘Imr al-Qays
Contoh Kitab Tafsir bi al-Ma’tsur
l Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (w. 310/923),
l Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi (w. 685/1286),
l Al-Durr al Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911/1505),
l Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi (w. 817/1414), dan
l Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir (w. 774/1373)
Kelebihan Tafsir bi al-Ma’tsur
l Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
l Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
l Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subyektivitas yang berlebihan.
Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur
l Terjadi pemalsuan (wadh’) dalam tafsir.
l Masuknya unsur Israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nasrani yang masuk ke dalam penafsiran al-Qur’an.
l Penghilangan sanad
l Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur.
Definisi Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi (disebut juga tafsir bi al-dirayah)—sebagaimana didefinisikan Husen al-Dzahabi—adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya
Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
l Yang dapat Diterima (Mahmudah/Maqbulah)
l Yang tidak dapat diterima (Madzmumah/Mardudah)
Tafsir bi al-Ra’yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah)
Apabila menghindari hal-hal berikut:
l Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
l Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata).
l Menafsirkan al-Qur'an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
l Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
l Menafsirkan al-Qur'an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian… tanpa didukung dalil.
Contoh Kitab Tafsir bi al-Ra’yi
l Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H.)
l Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya al-Baidhawi (w. 691 H.)
l Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Takwil, karya an-Nasafi (w. 701 H.)
SELESAI
TERIMA KASIH
22 Maret 2009
AL-QURAN:
PUSARAN KHAZANAH KEILMUAN
l Al-Qur’an adalah sekumpulan teks yang dijadikan sebagai sentral sejarah dan peradaban Islam, dan sekaligus sebagai dasar ilmu pengetahuan.
l Peradaban Islam pada dasarnya adalah kegiatan manusiawi yang banyak didialogkan dengan realitas, dan dari segi lain, peradaban itu didialogkan dengan teks (al-Qur’an).
l Karena itu, teks al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sentral peradaban, sentral ilmu dan pegangan keagamaan.
l interpretasi (tafsir) adalah salah satu mekanisme kebudayaan yang penting dalam memproduksi ilmu pengetahuan.
Perintah Merenungkan al-Qur’an
l Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman
kepadanya. (QS.al-Baqarah:121)
l Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad:24)
l Nabi bersabda, “Al-Qur’an adalah hidangan Allah di bumi-Nya, maka nikmatilah hidangan itu semampunya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Definisi Ilmu Tafsir
l هو علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل علي نبيه محمد (ص) وبيان معانيه وإستخراج أحكامه و حكمه .
Ilmu yang dengannya diketahui:
l maksud kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.
l Makna-makna al-Qur’an dapat dijelaskan
l Hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya dapat diketahui
Tujuan/Manfaat Ilmu Tafsir
l Mengetahui makna kata-kata dalam al-Qur’an
l Menjelaskan maksud setiap ayat
l Menyingkap hukum dan hikmah yang dikandung al-Qur’an
l Menyampaikan pembaca kepada maksud yang diinginkan oleh Syari` (pembuat syari`at), yaitu Allah SWT, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat
Ilmu-Ilmu yang Dibutuhkan dalam Penafsiran al-Qur’an (Ulum al-Qur’an)
l Ilmu Mawathin al-nuzul
l Ilmu Tawarikh
l Ilmu Asbab al-nuzul
l Ilmu Qira’at
l Ilmu tajwid
l Ilmu Gharib al-qur’an
l Ilmu I’rabil qur’an
l Ilmu Wujuh wa al-nazhair
l Ilmu Ma’rifat al-muhkam wa al-mutasyabih
l Ilmu Al-Nasikh wa al-Mansukh
l Ilmu Bada’I al-qur’an
l Ilmu I’jaz al-qur’an.
l Ilmu Tanasub ayat al-qur’an.
l Ilmu Aqsam al-qur’an.
l Ilmu Amtsal al-qur’an.
l Ilmu Jidal al-qur’an.
l Ilmu Adab al-tilawah al-qur’an
Sejarah Ilmu Tafsir
l Zaman Nabi
l Zaman Sahabat
l Zaman Tabi`in
l Zaman Keemasan Islam
l Zaman Kemunduran Islam
l Zaman Kemajuan Islam
l Zaman Modern
SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
l Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
l Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
l Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
l Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
l memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
l Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adab Seorang Mufassir:
l Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata.
l Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
l Mengamalkan ilmunya.
l Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
l Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
l Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu.
SELESAI
TERIMA KASIH
l Al-Qur’an adalah sekumpulan teks yang dijadikan sebagai sentral sejarah dan peradaban Islam, dan sekaligus sebagai dasar ilmu pengetahuan.
l Peradaban Islam pada dasarnya adalah kegiatan manusiawi yang banyak didialogkan dengan realitas, dan dari segi lain, peradaban itu didialogkan dengan teks (al-Qur’an).
l Karena itu, teks al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sentral peradaban, sentral ilmu dan pegangan keagamaan.
l interpretasi (tafsir) adalah salah satu mekanisme kebudayaan yang penting dalam memproduksi ilmu pengetahuan.
Perintah Merenungkan al-Qur’an
l Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman
kepadanya. (QS.al-Baqarah:121)
l Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad:24)
l Nabi bersabda, “Al-Qur’an adalah hidangan Allah di bumi-Nya, maka nikmatilah hidangan itu semampunya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Definisi Ilmu Tafsir
l هو علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل علي نبيه محمد (ص) وبيان معانيه وإستخراج أحكامه و حكمه .
Ilmu yang dengannya diketahui:
l maksud kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.
l Makna-makna al-Qur’an dapat dijelaskan
l Hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya dapat diketahui
Tujuan/Manfaat Ilmu Tafsir
l Mengetahui makna kata-kata dalam al-Qur’an
l Menjelaskan maksud setiap ayat
l Menyingkap hukum dan hikmah yang dikandung al-Qur’an
l Menyampaikan pembaca kepada maksud yang diinginkan oleh Syari` (pembuat syari`at), yaitu Allah SWT, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat
Ilmu-Ilmu yang Dibutuhkan dalam Penafsiran al-Qur’an (Ulum al-Qur’an)
l Ilmu Mawathin al-nuzul
l Ilmu Tawarikh
l Ilmu Asbab al-nuzul
l Ilmu Qira’at
l Ilmu tajwid
l Ilmu Gharib al-qur’an
l Ilmu I’rabil qur’an
l Ilmu Wujuh wa al-nazhair
l Ilmu Ma’rifat al-muhkam wa al-mutasyabih
l Ilmu Al-Nasikh wa al-Mansukh
l Ilmu Bada’I al-qur’an
l Ilmu I’jaz al-qur’an.
l Ilmu Tanasub ayat al-qur’an.
l Ilmu Aqsam al-qur’an.
l Ilmu Amtsal al-qur’an.
l Ilmu Jidal al-qur’an.
l Ilmu Adab al-tilawah al-qur’an
Sejarah Ilmu Tafsir
l Zaman Nabi
l Zaman Sahabat
l Zaman Tabi`in
l Zaman Keemasan Islam
l Zaman Kemunduran Islam
l Zaman Kemajuan Islam
l Zaman Modern
SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
l Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
l Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
l Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
l Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
l memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
l Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adab Seorang Mufassir:
l Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata.
l Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
l Mengamalkan ilmunya.
l Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
l Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
l Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu.
SELESAI
TERIMA KASIH
04 Februari 2009
Beberapa hari
ke belakang, media massa di Indonesia melaporkan tentang aksi protes para
pemuka muslim di dunia, khususnya di Indonesia atas pernyataan Paus Benediktus
XVI bahwa Nabi Muhammad saw. menyebarkan Islam dengan kekerasan. Ini merupakan
gambaran stigmatik sebagaian tokoh Barat tentang Islam. Dan ini terus berulang.
Bahkan, gambaran stigmatik serupa pernah menyeruak ke permukaan dalam kasus
poster Nabi Muhammad. Tentu saja harus ada upaya pelurusan terhadap
kekeliruan-keleliruan ini. Benarkah Islam disebarkan dengan pedang?
Islam sesungguhnya disebarkan dengan dakwah, bukan dengan pedang. Perhatikan argumentasi historis berikut:
Pertama, ketika berada di Mekkah untuk memulai dakwahnya, Nabi tidak disertai dengan senjata dan harta. Kendatipun demikian, banyak pemuka Mekkah seperti Abu Bakar, Utsman, Sa’ad ibn Waqqas, Zubair, Talhah, Umar bin al-Khattab, dan Hamzah yang masuk Islam. Mungkinkah untuk dikatakan bahwa mereka masuk ke dalam Islam dengan kekuatan?
Berkaitan dengan ini, Ustadz al-Aqqad, dalam buku ‘Abqariyyah Muhammad, mengatakan bahwa banyak orang Mekkah masuk Islam bukan karena tunduk kepada senjata, melainkan karena motivasi untuk mengorbankan jiwa raganya dalam mengangkat senjata demi jalan Allah.
Kedua, ketika Nabi dan para pengikutnya mendapat tekanan yang sangat berat dari kafir Quraisy, penduduk Madinah banyak yang masuk Islam dan mengundang Nabi serta pengikutnya hijrah ke Madinah. Mungkinkah Islam tersebar di Madinah dengan senjata?
Ketiga, pasukan Salib datang ke Timur ketika khalifah Bani `Abbas berada dalam masa kemunduran. Tak diduga, banyak anggota pasukan Salib tertarik kepada Islam dan kemudian menggabungkan diri dengan pasukan Salib lainnya. Thomas Arnold, dalam Al-Da’wah ila al-Islam, menyebutkan bahwa mereka masuk Islam setelah melihat kepahlawanan Salahuddin sebagai cerminan ajaran Islam. Mungkinkah Islam tersebar di kalangan pasukan Salib dengan senjata?
Keempat, pada abad VII H (XIII M) pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu memporak-porandakan Bagdad, ibu kota khilafah `Abbasiah, beserta peradaban yang dimiliki Islam. Mereka menghancurkan masjid-masjid, membakar kitab-kitab, membunuh para ulama, dan serentetan perbuatan sadis lainnya. Tahun 1258 merupakan lonceng kematian bagi khilafah `Abbasiah. Akan tetapi, sungguh mencengangkan bahwa di antara orang-orang Mongol sendiri yang menghancurkan pemerintahan Islam ternyata banyak yang memeluk Islam. Mungkinkah Islam tersebar di tengah-tengah orang Mongol dengan senjata?
Kelima, sejarah menjelaskan bahwa masa terpenting Islam adalah masa damai ketika diadakan perjanjian Hudaibiyah antara orang-orang Quraisy dan muslimin yang berlangsung selama dua tahun. Para sejarawan pun mengatakan bahwa orang yang masuk Islam pada masa itu lebih banyak daripada masa sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam banyak terjadi pada masa damai bukan masa peperangan.
Keenam, tidak ada kaitan antara penyebaran Islam dengan peperangan yang terjadi antara muslimin dengan Persia dan Romawi. Ketika peperangan antara mereka berkecamuk dan orang-orang Islam memperoleh kemenangan kemudian peperangan berhenti, pada saat itu para da’i menjelaskan bangunan, dasar, dan filsafah Islam. Dakwah Islam itu yang kemudian menyebabkan orang-orang non-Islam terutama mereka yang tertindas oleh penguasa mereka – masuk Islam.
Fage Roland Oliver, dalam bukunya A Short History of Africa, menjelaskan bahwa Islam tersebar di Afrika justru ketika daulah-daulah Islam di sana telah runtuh. Islam tersebar di sana melalui peradaban, pemikiran, dan dakwah Islamiyah. Karenanya, masuklah orang-orang Barbar ke dalam Islam yang kemudian nanti memainkan peranan penting dalam sejarah Islam.
Ketujuh, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia, dan Afrika. Kekuatan apa yang dibawa oleh para penyebar Islam di sana. Islam diajarkan oleh orang-orang dari Hadramaut yang mempunyai peradaban terbatas, tidak didukung oleh harta dan penguasa, dan atau Islam diajarkan oleh orang-orang Indonesia yang berwatakan Islam dalam kefakiran.
Kedelapan, peneliti keislaman Jerman Ilse Lictenstadter, dalam Islam and the Modern Age, mengatakan bahwa pilihan yang diberikan kepada Persia dan Romawi bukanlah antara Islam dan pedang, tetapi antara Islam dan jizyah.
Motivasi Peperangan Dalam Islam
Kenyataan bahwa sejarah Islam diwarnai dengan peperangan merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Bila Islam disebarkan dengan dakwah, lalu kenapa terjadi peperangan. Di antara motivasi peperangan dalam sejarah Islam adalah:
Pertama, mempertahankan jiwa raga. Seperti disebutkan dalam sejarah, sebelum hijrah orang-orang Islam belum diijinkan untuk berperang. Padahal umat Islam memperoleh berbagai siksaan dan tekanan dari kafir Quraisy. `Ammar, Bilal, Yasir, dan Abu Bakar adalah di antara mereka yang mendapat perlakuan keras itu.
Ketika perlakuan kafir Quraisy semakin keras dan Umat Islam meminta ijin kepada Nabi untuk berperang, Nabi belum juga mengijinkan karena belum ada suruhan dari Allah. Namun, ketika Nabi beserta pengikutnya hijrah ke Madinah dan kafir Quraisy bertekad untuk membebaskan kota itu dari Islam, maka Allah akhirnya–-karena demi membela diri orang-orang Islam sendiri– mengijinkan mereka berperang (QS. al-Hajj [22]:37). Kendatipun dengan beberapa persyaratan seperti demi jalan Allah, bukan demi harta atau prestise, mempertahankan diri, dan tidak berlebihan (QS. Al-Baqarah [2]:190). Semuanya itu menunjukkan bahwa pada dasarnya Islam tidak senang berperang.
Data historis yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hal di atas adalah penyebaran Islam ke Habsyi, sebuah kota yang tidak begitu jauh dari jazirah Arab dan kota yang pernah menjadi tujuan hijrah Nabi. Orang-orang Islam tidak pernah memerangi kota itu karena tidak mengancam keselamatan mereka. Bila penyebaran Islam dengan kekuatan, tentunya orang-orang Islam sudah menghancurkan kota itu. Seperti diketahui, umat Islam saat itu sudah memiliki angkatan laut yang cukup kuat. Namun, penyerangan itu pun tidak dilakukan. Ini juga membuktikan bahwa peperangan yang terjadi di kalangan orang-orang Islam hanyalah untuk mempertahankan diri dan tidak berlebih-lebihan.
Kedua, melindungi dakwah dan orang-orang lemah yang hendak memeluk Islam. Seperti diketahui bahwa dakwah yang dibawa Nabi memperoleh tantangan keras dari kafir Quraisy Mekkah. Mereka menempuh jalan apa saja untuk menghalanginya (QS. al-Fath [48]:25). Banyak kalangan penduduk Mekkah dan Arab lainnya bermaksud memeluk Islam, tetapi mereka takut terhadap ancaman itu. Allah lalu mengijinkan Rasul-Nya beserta pengikutnya untuk melindungi dakwah dengan cara berperang.
Ketiga, mempertahankan umat Islam dari serangan pasukan Persia dan Romawi. Keberhasilan dakwah Nabi dalam menyatukan kabilah-kabilah Arab di bawah bendera Islam ternyata dianggap ancaman oleh penguasa Persia dan Romawi–dua adikuasa saat itu. Itu sebabnya, mereka mengumumkan perang dengan umat Islam.
Tahun 629 M. Nabi mengutus satu kelompok berjumlah 15 orang ke perbatasan Timur Ardan untuk berdakwah, tetapi semuanya dibunuh atas perintah penguasa Romawi. Pada tahun 627 M. Farwah bin Umar al-Judzami, gubernur Romawi di Amman, memeluk Islam. Untuk itu, ia mengutus Mas’ud bin Sa’ad al-Judzami menghadap Nabi untuk menyampaikan hadiah. Ketika berita keislaman sampai ke telinga 49 orang-orang Romawi, mereka memaksa Farwah untuk keluar dari Islam, tetapi paksaan itu ditolaknya. Akibatnya, ia dipenjara dan akhirnya disalib.
Atas peristiwa-peristiwa itu dalam sejarah kemudian dikenal dengan kasus Beli dan demi melindungi umat Islam dari serangan-serangan Romawi dan Persia berikutnya. Nabi kemudian mengumumkan perang pula dengan mereka.
Berdasarkan uraian di atas, tidak ada satu ayat pun atau satu kejadian pun dalam sejarah permulaan Islam yang mengisyaratkan bahwa Islam disebarkan dengan peperangan (senjata). Peperangan yang terjadi hanyalah karena terpaksa untuk membela diri, melindungi dakwah dan kebebasan beragama, serta melindungi umat Islam dari serangan Romawi dan Persia. (Dimuat di Harian Umum Republika, 29 September 2006)
Islam sesungguhnya disebarkan dengan dakwah, bukan dengan pedang. Perhatikan argumentasi historis berikut:
Pertama, ketika berada di Mekkah untuk memulai dakwahnya, Nabi tidak disertai dengan senjata dan harta. Kendatipun demikian, banyak pemuka Mekkah seperti Abu Bakar, Utsman, Sa’ad ibn Waqqas, Zubair, Talhah, Umar bin al-Khattab, dan Hamzah yang masuk Islam. Mungkinkah untuk dikatakan bahwa mereka masuk ke dalam Islam dengan kekuatan?
Berkaitan dengan ini, Ustadz al-Aqqad, dalam buku ‘Abqariyyah Muhammad, mengatakan bahwa banyak orang Mekkah masuk Islam bukan karena tunduk kepada senjata, melainkan karena motivasi untuk mengorbankan jiwa raganya dalam mengangkat senjata demi jalan Allah.
Kedua, ketika Nabi dan para pengikutnya mendapat tekanan yang sangat berat dari kafir Quraisy, penduduk Madinah banyak yang masuk Islam dan mengundang Nabi serta pengikutnya hijrah ke Madinah. Mungkinkah Islam tersebar di Madinah dengan senjata?
Ketiga, pasukan Salib datang ke Timur ketika khalifah Bani `Abbas berada dalam masa kemunduran. Tak diduga, banyak anggota pasukan Salib tertarik kepada Islam dan kemudian menggabungkan diri dengan pasukan Salib lainnya. Thomas Arnold, dalam Al-Da’wah ila al-Islam, menyebutkan bahwa mereka masuk Islam setelah melihat kepahlawanan Salahuddin sebagai cerminan ajaran Islam. Mungkinkah Islam tersebar di kalangan pasukan Salib dengan senjata?
Keempat, pada abad VII H (XIII M) pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu memporak-porandakan Bagdad, ibu kota khilafah `Abbasiah, beserta peradaban yang dimiliki Islam. Mereka menghancurkan masjid-masjid, membakar kitab-kitab, membunuh para ulama, dan serentetan perbuatan sadis lainnya. Tahun 1258 merupakan lonceng kematian bagi khilafah `Abbasiah. Akan tetapi, sungguh mencengangkan bahwa di antara orang-orang Mongol sendiri yang menghancurkan pemerintahan Islam ternyata banyak yang memeluk Islam. Mungkinkah Islam tersebar di tengah-tengah orang Mongol dengan senjata?
Kelima, sejarah menjelaskan bahwa masa terpenting Islam adalah masa damai ketika diadakan perjanjian Hudaibiyah antara orang-orang Quraisy dan muslimin yang berlangsung selama dua tahun. Para sejarawan pun mengatakan bahwa orang yang masuk Islam pada masa itu lebih banyak daripada masa sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam banyak terjadi pada masa damai bukan masa peperangan.
Keenam, tidak ada kaitan antara penyebaran Islam dengan peperangan yang terjadi antara muslimin dengan Persia dan Romawi. Ketika peperangan antara mereka berkecamuk dan orang-orang Islam memperoleh kemenangan kemudian peperangan berhenti, pada saat itu para da’i menjelaskan bangunan, dasar, dan filsafah Islam. Dakwah Islam itu yang kemudian menyebabkan orang-orang non-Islam terutama mereka yang tertindas oleh penguasa mereka – masuk Islam.
Fage Roland Oliver, dalam bukunya A Short History of Africa, menjelaskan bahwa Islam tersebar di Afrika justru ketika daulah-daulah Islam di sana telah runtuh. Islam tersebar di sana melalui peradaban, pemikiran, dan dakwah Islamiyah. Karenanya, masuklah orang-orang Barbar ke dalam Islam yang kemudian nanti memainkan peranan penting dalam sejarah Islam.
Ketujuh, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia, dan Afrika. Kekuatan apa yang dibawa oleh para penyebar Islam di sana. Islam diajarkan oleh orang-orang dari Hadramaut yang mempunyai peradaban terbatas, tidak didukung oleh harta dan penguasa, dan atau Islam diajarkan oleh orang-orang Indonesia yang berwatakan Islam dalam kefakiran.
Kedelapan, peneliti keislaman Jerman Ilse Lictenstadter, dalam Islam and the Modern Age, mengatakan bahwa pilihan yang diberikan kepada Persia dan Romawi bukanlah antara Islam dan pedang, tetapi antara Islam dan jizyah.
Motivasi Peperangan Dalam Islam
Kenyataan bahwa sejarah Islam diwarnai dengan peperangan merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Bila Islam disebarkan dengan dakwah, lalu kenapa terjadi peperangan. Di antara motivasi peperangan dalam sejarah Islam adalah:
Pertama, mempertahankan jiwa raga. Seperti disebutkan dalam sejarah, sebelum hijrah orang-orang Islam belum diijinkan untuk berperang. Padahal umat Islam memperoleh berbagai siksaan dan tekanan dari kafir Quraisy. `Ammar, Bilal, Yasir, dan Abu Bakar adalah di antara mereka yang mendapat perlakuan keras itu.
Ketika perlakuan kafir Quraisy semakin keras dan Umat Islam meminta ijin kepada Nabi untuk berperang, Nabi belum juga mengijinkan karena belum ada suruhan dari Allah. Namun, ketika Nabi beserta pengikutnya hijrah ke Madinah dan kafir Quraisy bertekad untuk membebaskan kota itu dari Islam, maka Allah akhirnya–-karena demi membela diri orang-orang Islam sendiri– mengijinkan mereka berperang (QS. al-Hajj [22]:37). Kendatipun dengan beberapa persyaratan seperti demi jalan Allah, bukan demi harta atau prestise, mempertahankan diri, dan tidak berlebihan (QS. Al-Baqarah [2]:190). Semuanya itu menunjukkan bahwa pada dasarnya Islam tidak senang berperang.
Data historis yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hal di atas adalah penyebaran Islam ke Habsyi, sebuah kota yang tidak begitu jauh dari jazirah Arab dan kota yang pernah menjadi tujuan hijrah Nabi. Orang-orang Islam tidak pernah memerangi kota itu karena tidak mengancam keselamatan mereka. Bila penyebaran Islam dengan kekuatan, tentunya orang-orang Islam sudah menghancurkan kota itu. Seperti diketahui, umat Islam saat itu sudah memiliki angkatan laut yang cukup kuat. Namun, penyerangan itu pun tidak dilakukan. Ini juga membuktikan bahwa peperangan yang terjadi di kalangan orang-orang Islam hanyalah untuk mempertahankan diri dan tidak berlebih-lebihan.
Kedua, melindungi dakwah dan orang-orang lemah yang hendak memeluk Islam. Seperti diketahui bahwa dakwah yang dibawa Nabi memperoleh tantangan keras dari kafir Quraisy Mekkah. Mereka menempuh jalan apa saja untuk menghalanginya (QS. al-Fath [48]:25). Banyak kalangan penduduk Mekkah dan Arab lainnya bermaksud memeluk Islam, tetapi mereka takut terhadap ancaman itu. Allah lalu mengijinkan Rasul-Nya beserta pengikutnya untuk melindungi dakwah dengan cara berperang.
Ketiga, mempertahankan umat Islam dari serangan pasukan Persia dan Romawi. Keberhasilan dakwah Nabi dalam menyatukan kabilah-kabilah Arab di bawah bendera Islam ternyata dianggap ancaman oleh penguasa Persia dan Romawi–dua adikuasa saat itu. Itu sebabnya, mereka mengumumkan perang dengan umat Islam.
Tahun 629 M. Nabi mengutus satu kelompok berjumlah 15 orang ke perbatasan Timur Ardan untuk berdakwah, tetapi semuanya dibunuh atas perintah penguasa Romawi. Pada tahun 627 M. Farwah bin Umar al-Judzami, gubernur Romawi di Amman, memeluk Islam. Untuk itu, ia mengutus Mas’ud bin Sa’ad al-Judzami menghadap Nabi untuk menyampaikan hadiah. Ketika berita keislaman sampai ke telinga 49 orang-orang Romawi, mereka memaksa Farwah untuk keluar dari Islam, tetapi paksaan itu ditolaknya. Akibatnya, ia dipenjara dan akhirnya disalib.
Atas peristiwa-peristiwa itu dalam sejarah kemudian dikenal dengan kasus Beli dan demi melindungi umat Islam dari serangan-serangan Romawi dan Persia berikutnya. Nabi kemudian mengumumkan perang pula dengan mereka.
Berdasarkan uraian di atas, tidak ada satu ayat pun atau satu kejadian pun dalam sejarah permulaan Islam yang mengisyaratkan bahwa Islam disebarkan dengan peperangan (senjata). Peperangan yang terjadi hanyalah karena terpaksa untuk membela diri, melindungi dakwah dan kebebasan beragama, serta melindungi umat Islam dari serangan Romawi dan Persia. (Dimuat di Harian Umum Republika, 29 September 2006)
03 Februari 2009
Beberapa hari
yang lalu (Senin, 6 Maret 2006) di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Bandung diselenggarakan bedah buku yang berjudul Pribumisasi Islam: Ikhtiar
untuk Menggagas Fiqih Kontekstual yang ditulis oleh Dr. Asep Saeful Muhtadi,
M.A., terbitan Pustaka Setia Bandung. Ada banyak gagasan peting yang lahir dari
bedah buku itu. Terlebih pembandingnya adalah tokoh yang memiliki background
keilmuan yang berbeda-beda, yakni Prof. Dr. Dadang Kahmad, M.Si, pakar
sosiologi agama dan Dr. Afif Muhammad, M.A., pakar teologi dan filsafat Islam.
Di antara gagasan penting yang lahir adalah perlunya merumuskan ontologis dan kerangka
operasional-epistimologis bagaimana pribumisasasi itu dilaksanakan.
Agar gagasan pribumisasi Islam ini tidak dipahami keliru, nampaknya perlu diberi catatan-catatan khusus. Dan tulisan ini akan mencoba melakukannya.
Gagasan Pribumisasi Islam pertama kali dimunculkan oleh Gus Dur pada tahun 90-an. Mainstream pemikiran Gus Dur tentang gagasan itu adalah bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing. Kata Gus Dur, "Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan..." (dalam Islam Pribumi, 2003). Merujuk kepada pemikiran antropolog Islam Akbar S. Ahmed, Islam yang bertemu dengan unsur lokal itu menyebabkan ekspresinya beragam. Islam menjadi akomodatif tanpa meremehkan kebudayaan lokal. Terlihat bahwa Gus Dur ingin mencoba melepaskan paket ajaran Islam yang sampai ke Indonesia dari unsur lokal Arab, untuk kemudian diganti dengan unsur lokal Indonesia. Produknya, ajaran "Assalamu `alaikum" diganti dengan ungkapan "Selamat Pagi" dan lain sebagainya.
Dalam ranah tafsir, ungkapan yang mirip pernah diperkenalkan oleh Quraish Shihab. Ungkapan yang dimaksud adalah "Membumikan Al-Qur'an". Dengan gagasan itu, Shihab ingin mencoba menarik penafsiran Al-Qur'an pada persoalan yang sedang dihadapi umat (on ground), bukan pada persoalan-persoalan yang mengawang-awang (out of ground). Orientasi penafsiran untuk masalah-masalah kemanusiaan seperti kemiskinan, penyakit masyarakat, bencana alam, misalnya, lebih membumi daripada orientasi penafsiran tentang bahasa Al-Qur'an, kisah dalam Al-Qur'an, perdebatan teologis, dan lain sebagainya. Orientasi yang terakhir memang mewarnai secara dominan produk-produk tafsir klasik. Proyek pembumian Al-Qur'an seperti ini sesungguhnya sudah digagas pertama kali oleh tokoh pembaharu dari Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905 M.), dengan memperkenalkan corak tafsir adabi-ijtima`i (sastra-budaya).
Dengan demikian, ada dua model pribumisasi Islam dalam tataran ontologis jika melihat gagasan kedua orang di atas. Jika Quraish Shihab menekankan tataran orientasi atau penekanan penafsiran Al-Qur'an/Islam, sedangkan Gus Dur lebih menelisik pada tataran kontruks ajaran Islam itu sendiri. Pribumisasi Islam model pertama nampaknya tidak mendapat kendala otokritik dari kalangan umat Islam. Kita memang sepakat bahwa tidak semua gagasan penafsiran terhadap Islam yang diproduksi oleh ulama-ulama klasik relevan dengan konteks Indonesia kekininian. Oleh karena itu, karus ada ikhtiar untuk menggagas produk-produk pemahaman baru terhadap Al-Qur'an/Islam dalam konteks solusi terhadap problem-problem kemanusiaan, sehingga Islam terasa membumi.
Menyangkut gagasan pribumisasi Islam model kedua, perlu diberi penegasan koridor yang jelas mana konstruks ajaran Islam yang harus dipisahkan dari unsur lokal Arab dan mana yang tidak. Di sini memang akan muncul banyak perdebatan tentang koridor yang dimaksud. Saya kasih contoh: Larangan makan dan minum sambil berdiri, mengucapkan "assalamu`alaikum", memakai sorban, makan dengan tiga jari, larangan melukis yang bernyawa, dan lain sebagainya merupakan ajaran Islam yang bercampur unsur lokal yang karenanya harus dipisahkan, atau merupakan built in ajaran Islam yang selayaknya diimplementasikan dalam konteks apa pun. Ada yang memahami bahwa ajaran-ajaran itu harus diterima tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lokal Arab. Selagi itu semua dilakukan atau diperintahkan oleh Rasul, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. Jadi, di sana tidak ada pribumisasi model Gus Dur. Ada pula yang memahami bahwa ajaran-ajaran itu harus dipahami dalam konteks budaya lokal Arab yang karenanya harus ada upaya pribumisasi. Nabi melarang makan sambil berdiri karena kebiasaan orang Arab makan secara bersamaan dalam satu wadah sehingga menyulitkan makan sambil berdiri. Nabi memakai gamis dan sorban karena pada musim-musim tertentu cuaca Arab sangat dingin. Nabi melarang melukis yang bernyawa karena dekatnya umat Islam saat itu dengan zaman berhala; dan seterusnya.
Perdebatan di atas nampaknya bermuara pada upaya pemilahan yang jelas mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat instrumen dan teknis. Yang pertama harus diterima sebagai sesuatu yang taken for granted, sedangkan yang kedua harus berubah sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam pembayaran zakat, yang substansinya adalah mengeluarkan harta sesuai dengan nishabnya, sedangkan teknisnya adalah transaksi secara berhadapan dengan `amilin. Dengan demikian, membayar zakat melalui ATM atau kasir di bank bukan merupakan sesuatu yang dilarang.
Namun, sekali lagi harus ada upaya yang lebih operasional dari para penggagas pribumisasi Islam untuk memberikan koridor mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat teknis-instrumen. Meskipun di sana pasti ada perdebatan, tetapi setidaknya ada upaya ijtihadi yang serius dan bertanggung jawab secara akademik. Jangan sampai gagasan pribumisasi Islam hanya sampai dalam tataran wacana dan tidak sampai pada tataran operasional. Dampaknya, di samping akan membingungkan umat, tetapi juga dikhawatirkan akan ada penolakan terhadap ajaran-ajaran Islam yang bersifat substantif. Kita tunggu tindak lanjut "proyek" pribumisasi Islam dari para penggagasnya.
Sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak-lanjuti, Indonesia dalam konteks kekinian sedang menghadapi problem kemanusiaan yang sangat akut. Islam/Al-Qur'an yang semenjak dini memperkenalkan dirinya sebagai petunjuk (guidance/hudan) semestinya memberi petunjuk bagaimana memecahkannya. Jadi, ada tugas besar yang harus dilakukan oleh para pemikir Islam daripada sekedar memperdebatkan isu "Bolehkah makan dan minum sambil berdir?" dan yang sejenis. Tugas yang dimaksud adalah bagaimana Al-Qur'an dan Hadits yang banyak memuat grand theories (teori-teori besar) diterjemahkan ke dalam konteks lokal Indonesia dengan memikirkan middle theory-nya, teori yang menjembatani antara Al-Qur'an dengan problem kemanusiaan. Dalam Al-Qur'an memang, misalnya, disinggung aspek pemerataan ekonomi rakyat tentang zakat. Zakat dapat menuntaskan problem ekonomi umat merupakan grand theory Al-Qur'an, tetapi bagaimana operasionalnya sampai kepada persoalan teknis membutuhkan pemikiran-pemikiran yang sangat serius, dibutuhkan perumusan middle theory-nya. Shalat dapat menangkis kerusakan moral (tanha ani-l fahsyai wa-l munkar) merupakan grand theory, tetapi bagaimana teknisnya memerlukan pemikiran-pemikiran tidak saja berdimensi fiqih, tetapi juga berdimensi sosiologi, antropologi, dan ekonomi. Memikirkan hal-hal yang terakhir lebih penting dan urgen untuk mensukseskan "Proyek" Pribumisasi Islam dalam kontek Indonesia mempersoalkan apakah memelihara janggut merupakan sunnah Nabi atau hanya tradisi masyarakat Arab. Berpikir bagaimana Islam memberi solusi bagi problem-problem bangsa seperti pengangguran, degradasi moralitas, penyakit masayarakat, dan lainnya lebih bernilai daripada berdebat tentang bolehkah ucapan salam diganti dengan selamat pagi. Pribumisasi Islam berarti menjadikan Islam sebagai solusi. Inilah makna penting ayat wa ma arsalnaka illa rahmatan lil `alamin.*** (Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 3-4-2006)
Agar gagasan pribumisasi Islam ini tidak dipahami keliru, nampaknya perlu diberi catatan-catatan khusus. Dan tulisan ini akan mencoba melakukannya.
Gagasan Pribumisasi Islam pertama kali dimunculkan oleh Gus Dur pada tahun 90-an. Mainstream pemikiran Gus Dur tentang gagasan itu adalah bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing. Kata Gus Dur, "Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan..." (dalam Islam Pribumi, 2003). Merujuk kepada pemikiran antropolog Islam Akbar S. Ahmed, Islam yang bertemu dengan unsur lokal itu menyebabkan ekspresinya beragam. Islam menjadi akomodatif tanpa meremehkan kebudayaan lokal. Terlihat bahwa Gus Dur ingin mencoba melepaskan paket ajaran Islam yang sampai ke Indonesia dari unsur lokal Arab, untuk kemudian diganti dengan unsur lokal Indonesia. Produknya, ajaran "Assalamu `alaikum" diganti dengan ungkapan "Selamat Pagi" dan lain sebagainya.
Dalam ranah tafsir, ungkapan yang mirip pernah diperkenalkan oleh Quraish Shihab. Ungkapan yang dimaksud adalah "Membumikan Al-Qur'an". Dengan gagasan itu, Shihab ingin mencoba menarik penafsiran Al-Qur'an pada persoalan yang sedang dihadapi umat (on ground), bukan pada persoalan-persoalan yang mengawang-awang (out of ground). Orientasi penafsiran untuk masalah-masalah kemanusiaan seperti kemiskinan, penyakit masyarakat, bencana alam, misalnya, lebih membumi daripada orientasi penafsiran tentang bahasa Al-Qur'an, kisah dalam Al-Qur'an, perdebatan teologis, dan lain sebagainya. Orientasi yang terakhir memang mewarnai secara dominan produk-produk tafsir klasik. Proyek pembumian Al-Qur'an seperti ini sesungguhnya sudah digagas pertama kali oleh tokoh pembaharu dari Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905 M.), dengan memperkenalkan corak tafsir adabi-ijtima`i (sastra-budaya).
Dengan demikian, ada dua model pribumisasi Islam dalam tataran ontologis jika melihat gagasan kedua orang di atas. Jika Quraish Shihab menekankan tataran orientasi atau penekanan penafsiran Al-Qur'an/Islam, sedangkan Gus Dur lebih menelisik pada tataran kontruks ajaran Islam itu sendiri. Pribumisasi Islam model pertama nampaknya tidak mendapat kendala otokritik dari kalangan umat Islam. Kita memang sepakat bahwa tidak semua gagasan penafsiran terhadap Islam yang diproduksi oleh ulama-ulama klasik relevan dengan konteks Indonesia kekininian. Oleh karena itu, karus ada ikhtiar untuk menggagas produk-produk pemahaman baru terhadap Al-Qur'an/Islam dalam konteks solusi terhadap problem-problem kemanusiaan, sehingga Islam terasa membumi.
Menyangkut gagasan pribumisasi Islam model kedua, perlu diberi penegasan koridor yang jelas mana konstruks ajaran Islam yang harus dipisahkan dari unsur lokal Arab dan mana yang tidak. Di sini memang akan muncul banyak perdebatan tentang koridor yang dimaksud. Saya kasih contoh: Larangan makan dan minum sambil berdiri, mengucapkan "assalamu`alaikum", memakai sorban, makan dengan tiga jari, larangan melukis yang bernyawa, dan lain sebagainya merupakan ajaran Islam yang bercampur unsur lokal yang karenanya harus dipisahkan, atau merupakan built in ajaran Islam yang selayaknya diimplementasikan dalam konteks apa pun. Ada yang memahami bahwa ajaran-ajaran itu harus diterima tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lokal Arab. Selagi itu semua dilakukan atau diperintahkan oleh Rasul, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. Jadi, di sana tidak ada pribumisasi model Gus Dur. Ada pula yang memahami bahwa ajaran-ajaran itu harus dipahami dalam konteks budaya lokal Arab yang karenanya harus ada upaya pribumisasi. Nabi melarang makan sambil berdiri karena kebiasaan orang Arab makan secara bersamaan dalam satu wadah sehingga menyulitkan makan sambil berdiri. Nabi memakai gamis dan sorban karena pada musim-musim tertentu cuaca Arab sangat dingin. Nabi melarang melukis yang bernyawa karena dekatnya umat Islam saat itu dengan zaman berhala; dan seterusnya.
Perdebatan di atas nampaknya bermuara pada upaya pemilahan yang jelas mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat instrumen dan teknis. Yang pertama harus diterima sebagai sesuatu yang taken for granted, sedangkan yang kedua harus berubah sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam pembayaran zakat, yang substansinya adalah mengeluarkan harta sesuai dengan nishabnya, sedangkan teknisnya adalah transaksi secara berhadapan dengan `amilin. Dengan demikian, membayar zakat melalui ATM atau kasir di bank bukan merupakan sesuatu yang dilarang.
Namun, sekali lagi harus ada upaya yang lebih operasional dari para penggagas pribumisasi Islam untuk memberikan koridor mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat teknis-instrumen. Meskipun di sana pasti ada perdebatan, tetapi setidaknya ada upaya ijtihadi yang serius dan bertanggung jawab secara akademik. Jangan sampai gagasan pribumisasi Islam hanya sampai dalam tataran wacana dan tidak sampai pada tataran operasional. Dampaknya, di samping akan membingungkan umat, tetapi juga dikhawatirkan akan ada penolakan terhadap ajaran-ajaran Islam yang bersifat substantif. Kita tunggu tindak lanjut "proyek" pribumisasi Islam dari para penggagasnya.
Sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak-lanjuti, Indonesia dalam konteks kekinian sedang menghadapi problem kemanusiaan yang sangat akut. Islam/Al-Qur'an yang semenjak dini memperkenalkan dirinya sebagai petunjuk (guidance/hudan) semestinya memberi petunjuk bagaimana memecahkannya. Jadi, ada tugas besar yang harus dilakukan oleh para pemikir Islam daripada sekedar memperdebatkan isu "Bolehkah makan dan minum sambil berdir?" dan yang sejenis. Tugas yang dimaksud adalah bagaimana Al-Qur'an dan Hadits yang banyak memuat grand theories (teori-teori besar) diterjemahkan ke dalam konteks lokal Indonesia dengan memikirkan middle theory-nya, teori yang menjembatani antara Al-Qur'an dengan problem kemanusiaan. Dalam Al-Qur'an memang, misalnya, disinggung aspek pemerataan ekonomi rakyat tentang zakat. Zakat dapat menuntaskan problem ekonomi umat merupakan grand theory Al-Qur'an, tetapi bagaimana operasionalnya sampai kepada persoalan teknis membutuhkan pemikiran-pemikiran yang sangat serius, dibutuhkan perumusan middle theory-nya. Shalat dapat menangkis kerusakan moral (tanha ani-l fahsyai wa-l munkar) merupakan grand theory, tetapi bagaimana teknisnya memerlukan pemikiran-pemikiran tidak saja berdimensi fiqih, tetapi juga berdimensi sosiologi, antropologi, dan ekonomi. Memikirkan hal-hal yang terakhir lebih penting dan urgen untuk mensukseskan "Proyek" Pribumisasi Islam dalam kontek Indonesia mempersoalkan apakah memelihara janggut merupakan sunnah Nabi atau hanya tradisi masyarakat Arab. Berpikir bagaimana Islam memberi solusi bagi problem-problem bangsa seperti pengangguran, degradasi moralitas, penyakit masayarakat, dan lainnya lebih bernilai daripada berdebat tentang bolehkah ucapan salam diganti dengan selamat pagi. Pribumisasi Islam berarti menjadikan Islam sebagai solusi. Inilah makna penting ayat wa ma arsalnaka illa rahmatan lil `alamin.*** (Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 3-4-2006)
Mencuatnya isu
akan terbitnya majalah Playboy--yang dikelola kerajaan bisnis Hugh Heffner dari
Amerika Serikat (AS)—versi bahasa Indonesia semakin meramaikan kontroversi
pornografi. Dua kubu yang berseberangan pun tetap menggunakan kacamatanya
masing-masing. Kubu yang tidak setuju dengan terbitnya majalah ini menggunakan
kacama norma, terutama norma agama. Dengan kacamata inilah ORMAS-ORMAS Islam
mengobarkan "perang" terhadap rencana itu. Menghadapi isu ini,
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), misalnya, akan melansir gerakan
antipornografi bersamaan dengan kongres Muslimat Nahdlatul Ulama di Batam Maret
mendatang. "PBNU sudah minta kepada Pengurus Pusat Muslimat NU supaya di
dalam kongresnya pada Maret di Batam melansir gerakan antipornografi, sehingga
penerbitan (majalah) ini akan menjadi titik tolak gerakan moral," demikian
kata Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi mengatakan hal itu di Jakarta, beberapa hari
yang lalu.
Pimpinan Muhammadiyah mengimbau penerbit Playboy edisi bahasa Indonesia menghentikan rencananya untuk mencegah timbulnya reaksi keras dari masyarakat, khususnya umat Islam, karena penerbitan majalah itu akan menjadi pemicu bagi ketidaksabaran umat atas pornografi dan pornoaksi yang kini semakin merebak. Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahkan meminta kepada Menkominfo, polisi, KPI dan DPR agar mengambil langkah-langkah penertiban supaya tidak muncul konflik yang tidak diinginkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, prihatin terhadap bakal diterbitkannya majalah Playboy edisi Indonesia, dan meminta pemerintah melarang terbitan bernuansa pornografi semacam itu. "Pemerintah seharusnya bertindak, melarang terbitan-terbitan semacam itu, karena jika tidak hanya akan menimbulkan gejolak di masyarakat dan bisa memancing ke arah anarkis dari umat yang menolak," kata Ketua MUI, KH Ma`ruf Amin, di Jakarta, beberapa hari yang lalu. (ANTARA News).
Sementara kubu yang setuju dengan rencana itu menggunakan kacamata seni. Dengan kacamata ini, kubu yang setuju atau tidak menentang, memasukkan pornografi dalam wilayah hak individu untuk mengeskpresikan rasa seninya. Jadi, tak ada salahnya seseorang mengekspresikan aksi pornografi dalam berbagai media, termasuk media majalah Playboy. Kebebasan berekspresi itu adalah hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin undang-undang.
"Perseteruan" antara dua kubu terus berlangsung dalam relung-relung sejarah dengan instrumen berupa kasus-kasus yang berbeda. Tengoklah "perseteruan" antara Raja Dangdut H. Rhoma Irama—mewakili kubu pertama—dengan si Ratu Ngebor Inul Daratista—mewakili kubu kedua. Tengok pula "perseteruan" antara MUI dengan insan perfilm-an dalam kasus film komedi remaja Buruan Cium Gue! beberapa tahun yang lalu.
Mencari Norma Universal
Pertanyaan yang paling mendasar adalah "mungkinkah mencari titik temu antara kedua kubu yang saling berseberangan itu?" Atau, "Bisakah norma agama dan seni bertemu dalam kasus pornografi?" Menjawab pertanyaan ini berarti mencari relasi antara norma dan kebebasan berekspresi. Mana yang harus dikedepankan? Bisakah kebebasan berkespresi dilepaskan dari norma?
Dalam konteks Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya beragama, nampaknya sulit memisahkan norma dengan aktivitas kehidupan, terutama yang menyentuh ranah ruang publik, ruang di mana segala ekspresi dapat diakses oleh orang banyak, bukan ruang frivasi. Indonesia bukan negara sekuler di mana setiap rakyatnya bebas mengespresikan segala sesuatu sebebas-bebasnya. Ada kode etik yang harus dilaksanakan bersama yang dinamakan norma. Dengan kata lain, kebebasan berekspresi tidak dapat dilepaskan dari norma.
Namun persoalannya adalah norma mana yang harus dianut? Indonesia adalah negara multiagama yang berarti ada banyak norma yang berlaku di Indonesia. Belum lagi jika kita melihat norma-norma lokal dan adat setempat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap norma memiliki ruangnya masing-masing. Di sana ada relativitas. Jadi, meskipun norma diusung bersama, tetapi di sana ada ruang relativitas: Norma agama mana? Norma adat yang mana? Bijakkah memaksakan suatu norma agama tertentu kepada pemeluk agama lain? Apakah suatu komunitas dikatakan melanggar jika menerapkan norma yang dianutnya, yang notabene bertolak belakang dengan norma yang dianut oleh komunitas di luarnya?
Atas dasar itu, kita perlu mencari norma universal, norma lintas agama dan adat, norma yang dianut bersama. Bagaimanakah caranya? Pertama, para tokoh agama dan adat berkumpul bersama merumuskan norma-norma universal tentang apa saja, bukan hanya tentang pornografi dan pornoaksi. Setiap agama pasti membawa pesan-pesan moral universal. Norma universal inillah yang kemudian disepakati kalau perlu dikodifikasikan dan dikompilasikan untuk kemudian menjadi aturan yang mengikat semua warga negara Indonesia. Ada sangsi-sangsi tertentu bagi setiap yang melanggarnya. Kedua, DPR—sebagai wakil rakyat—segera menyusun Undang-Undang tentang pornografi. Di sinilah relevansi RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Dalam norma universal itu diharapkan kita menemukan jawaban: Bagaimana norma mengatur kebebasan berekspresi? Adakah pornografi yang sesuai dengan norma universal?
Norma yang Tidak Pandang Bulu
Mengatasnamakan norma universal untuk menentang pornografi dan terbitnya majalah Playboy tidak akan bermakna kalau norma itu berlaku pandang bulu. Artinya, seharusnya norma yang sama secara adil diterapkan kepada berbagai media yang sepadan atau lebih parah dari—umpamanya—media majalah Playboy. Tidak ada parsialitas di sana. Tidak bijak kita "menyerang" dengan keras isu pornografi tertentu, sementara isu pornografi yang lain dibiarkan, sehingga terkesan pandang bulu.
Bahkan, dengan atas norma universal, ada titik bidik lain yang harus kita incar yang lebih keras dari pornografi, misalnya pelanggaran terhadap perampasan hak orang lain, merusak lingkungan, mencuri uang negara, melacurkan agama, dan lain sebagainya. Mana yang paling banyak mendatangkan madarat bagi orang banyak? Kepada yang paling banyak membawakan dampak negatif, kita harus melancarkan "perang" lebih sengit.
Norma tidak pandang bulu berarti pula introspeksi diri. Bayangkan, seandainya ada seseorang yang menyerang habis-habisan pornografi, sementara ia sendiri pada saat yang bersama melanggar norma yang lebih besar dari pornografi. Betapa hipokritnya orang itu. Jangan sampai terjadi CD-CD porno yang dijajakan oleh para pedagang kaki lima, yang mengandalkan mata pencahariannya dari sana, dirampas dan dibakar, sementara CD yang sama atau lebih "panas" diputar dengan bebasnya di kamar-kamar kita. See what's wrong in ourself, not in others!
Pamungkas, mencuatnya isu pornografi dan pornoaksi semoga mengingatkan banyak pihak tentang pentingnya melihat sebuah persoalan dari banyak perspektif, tidak hanya dari satu perspektif. Sekali satu norma sudah disepakati, maka hal itu harus dianut dan dilaksanakan secara konsekuen dan tidak pandang bulu. Mari kita berbuat atas nama kebenaran, bukan atas nama kepentingan. Do with truth, not with vested interest!*** (Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 20 Maret 2006)
Pimpinan Muhammadiyah mengimbau penerbit Playboy edisi bahasa Indonesia menghentikan rencananya untuk mencegah timbulnya reaksi keras dari masyarakat, khususnya umat Islam, karena penerbitan majalah itu akan menjadi pemicu bagi ketidaksabaran umat atas pornografi dan pornoaksi yang kini semakin merebak. Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahkan meminta kepada Menkominfo, polisi, KPI dan DPR agar mengambil langkah-langkah penertiban supaya tidak muncul konflik yang tidak diinginkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, prihatin terhadap bakal diterbitkannya majalah Playboy edisi Indonesia, dan meminta pemerintah melarang terbitan bernuansa pornografi semacam itu. "Pemerintah seharusnya bertindak, melarang terbitan-terbitan semacam itu, karena jika tidak hanya akan menimbulkan gejolak di masyarakat dan bisa memancing ke arah anarkis dari umat yang menolak," kata Ketua MUI, KH Ma`ruf Amin, di Jakarta, beberapa hari yang lalu. (ANTARA News).
Sementara kubu yang setuju dengan rencana itu menggunakan kacamata seni. Dengan kacamata ini, kubu yang setuju atau tidak menentang, memasukkan pornografi dalam wilayah hak individu untuk mengeskpresikan rasa seninya. Jadi, tak ada salahnya seseorang mengekspresikan aksi pornografi dalam berbagai media, termasuk media majalah Playboy. Kebebasan berekspresi itu adalah hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin undang-undang.
"Perseteruan" antara dua kubu terus berlangsung dalam relung-relung sejarah dengan instrumen berupa kasus-kasus yang berbeda. Tengoklah "perseteruan" antara Raja Dangdut H. Rhoma Irama—mewakili kubu pertama—dengan si Ratu Ngebor Inul Daratista—mewakili kubu kedua. Tengok pula "perseteruan" antara MUI dengan insan perfilm-an dalam kasus film komedi remaja Buruan Cium Gue! beberapa tahun yang lalu.
Mencari Norma Universal
Pertanyaan yang paling mendasar adalah "mungkinkah mencari titik temu antara kedua kubu yang saling berseberangan itu?" Atau, "Bisakah norma agama dan seni bertemu dalam kasus pornografi?" Menjawab pertanyaan ini berarti mencari relasi antara norma dan kebebasan berekspresi. Mana yang harus dikedepankan? Bisakah kebebasan berkespresi dilepaskan dari norma?
Dalam konteks Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya beragama, nampaknya sulit memisahkan norma dengan aktivitas kehidupan, terutama yang menyentuh ranah ruang publik, ruang di mana segala ekspresi dapat diakses oleh orang banyak, bukan ruang frivasi. Indonesia bukan negara sekuler di mana setiap rakyatnya bebas mengespresikan segala sesuatu sebebas-bebasnya. Ada kode etik yang harus dilaksanakan bersama yang dinamakan norma. Dengan kata lain, kebebasan berekspresi tidak dapat dilepaskan dari norma.
Namun persoalannya adalah norma mana yang harus dianut? Indonesia adalah negara multiagama yang berarti ada banyak norma yang berlaku di Indonesia. Belum lagi jika kita melihat norma-norma lokal dan adat setempat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap norma memiliki ruangnya masing-masing. Di sana ada relativitas. Jadi, meskipun norma diusung bersama, tetapi di sana ada ruang relativitas: Norma agama mana? Norma adat yang mana? Bijakkah memaksakan suatu norma agama tertentu kepada pemeluk agama lain? Apakah suatu komunitas dikatakan melanggar jika menerapkan norma yang dianutnya, yang notabene bertolak belakang dengan norma yang dianut oleh komunitas di luarnya?
Atas dasar itu, kita perlu mencari norma universal, norma lintas agama dan adat, norma yang dianut bersama. Bagaimanakah caranya? Pertama, para tokoh agama dan adat berkumpul bersama merumuskan norma-norma universal tentang apa saja, bukan hanya tentang pornografi dan pornoaksi. Setiap agama pasti membawa pesan-pesan moral universal. Norma universal inillah yang kemudian disepakati kalau perlu dikodifikasikan dan dikompilasikan untuk kemudian menjadi aturan yang mengikat semua warga negara Indonesia. Ada sangsi-sangsi tertentu bagi setiap yang melanggarnya. Kedua, DPR—sebagai wakil rakyat—segera menyusun Undang-Undang tentang pornografi. Di sinilah relevansi RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Dalam norma universal itu diharapkan kita menemukan jawaban: Bagaimana norma mengatur kebebasan berekspresi? Adakah pornografi yang sesuai dengan norma universal?
Norma yang Tidak Pandang Bulu
Mengatasnamakan norma universal untuk menentang pornografi dan terbitnya majalah Playboy tidak akan bermakna kalau norma itu berlaku pandang bulu. Artinya, seharusnya norma yang sama secara adil diterapkan kepada berbagai media yang sepadan atau lebih parah dari—umpamanya—media majalah Playboy. Tidak ada parsialitas di sana. Tidak bijak kita "menyerang" dengan keras isu pornografi tertentu, sementara isu pornografi yang lain dibiarkan, sehingga terkesan pandang bulu.
Bahkan, dengan atas norma universal, ada titik bidik lain yang harus kita incar yang lebih keras dari pornografi, misalnya pelanggaran terhadap perampasan hak orang lain, merusak lingkungan, mencuri uang negara, melacurkan agama, dan lain sebagainya. Mana yang paling banyak mendatangkan madarat bagi orang banyak? Kepada yang paling banyak membawakan dampak negatif, kita harus melancarkan "perang" lebih sengit.
Norma tidak pandang bulu berarti pula introspeksi diri. Bayangkan, seandainya ada seseorang yang menyerang habis-habisan pornografi, sementara ia sendiri pada saat yang bersama melanggar norma yang lebih besar dari pornografi. Betapa hipokritnya orang itu. Jangan sampai terjadi CD-CD porno yang dijajakan oleh para pedagang kaki lima, yang mengandalkan mata pencahariannya dari sana, dirampas dan dibakar, sementara CD yang sama atau lebih "panas" diputar dengan bebasnya di kamar-kamar kita. See what's wrong in ourself, not in others!
Pamungkas, mencuatnya isu pornografi dan pornoaksi semoga mengingatkan banyak pihak tentang pentingnya melihat sebuah persoalan dari banyak perspektif, tidak hanya dari satu perspektif. Sekali satu norma sudah disepakati, maka hal itu harus dianut dan dilaksanakan secara konsekuen dan tidak pandang bulu. Mari kita berbuat atas nama kebenaran, bukan atas nama kepentingan. Do with truth, not with vested interest!*** (Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 20 Maret 2006)
02 Februari 2009
Baru-baru ini
Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat telah meluncurkan terjemahan al-Qur'an
dalam bahasa Sunda, Al-Qur'an Miwah Tarjamahna Dina Basa Sunda (QMTDBS).
Terjemahan ini sebenarnya merupakan revisi terhadap terjemahan sebelumnya.
Dalam pelaksanaannya, terjemahan ini digarap oleh Lembaga Pengembangan
Tilawatil Qur'an (LPTQ) Propinsi Jawa Barat yang merekrut beberapa pakar dalam
bidang tafsir al-Qur'an dan bahasa Sunda.
Sebagai masyarakat Sunda pada khususnya, kita perlu memberikan apresiasi mendalam atas terbitnya "Tarjamah al-Qur'an Basa Sunda" ini, terlebih di dalamnya terdapat berbagai ornamen motif kaligrafi yang ada di Jawa Barat. Apalagi tujuan penerbitannya, sebagaimana ditulis pada sambutan Gubernur Propinsi Jawa Barat, adalah untuk meningkatkan interaksi orang Sunda dengan al-Qur'an, tidak hanya mengagumi tulisan dan bacaannya, tetapi juga pada upaya memahami dan mengamalkannya.
Memahami al-Qur'an dengan Bahasa Sunda
Menerjemahkan al-Qur'an yang berbahasa Arab ke dalam bahasa lokal (baca: non-Arab/Ajam) dalam sejarahnya tidak semulus seperti perkembangan sekarang. Pernah ada perdebatan tentang boleh atau tidak menerjemahkan al-Qur'an. Beberapa ulama kenamaan seperti Imam Ahmad r.a. pernah mengharamkan pengalihbahasaan al-Qur'an ke dalam bahasa lokal. Alasannya, kekayaan makna yang terkandung dalam kosa kata Arab dalam al-Qur'an tidak dapat direpresentasikan dalam bahasa non-Arab.
Namun, alasan ini nampaknya tidak lebih kuat daripada perintah al-Qur'an sendiri agar al-Qur'an dipahami maknanya, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal merupakan bagian di dalamnya. Dengan demikian, menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa lokal sesungguhnya merupakan bagian implementasi perintah untuk memahami al-Qur'an. Ini tentu saja dengan sebuah catatan bahwa terjemahan tidak akan pernah dapat merepresentasikan secara penuh makna bahasa yang diterjemahkan. Ini berarti pula terjemahan al-Qur'an tidak sama dengan al-Qur'an sendiri.
Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia kita menemukan perjuangan yang tulus dari para ulama untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam Bahasa Sunda, sebut saja di antaranya Tafsir Hirbana, oleh Iskandar Indris (1932); Al-Qur’an Sundawiyah, penerbitan percetakan “Ab. Sitti Syamsiyah”, Solo; Tafsir Lenyepaneun, oleh Moh. E. Hasim (1989); dan Al-Qur'an Miwah Tarjamahna Dina Basa Sunda ini (2006), tentu saja termasuk di dalamnya terjemahan dalam bentuk catatan-catatan tangan yang tidak dicetak atau dipublikasikan. Di samping itu, upaya memahami al-Qur'an dengan bahasa Sunda dapat kita temukan dalam tradisi ngalugot (memberi makna) di pesantren-pesantren salaf di wilayah Jawa Barat.
Menakar Kekayaan Kosa Kata Bahasa Sunda
Salah satu alasan kenapa al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab adalah karena bahasa ini memiliki kekayaan kosa kata yang banyak, sehingga diharapkan dapat merepresentasikan lebih banyak kalam Allah yang tak terbatas. De' Hammer, contohnya, telah melakukan penelitian bahwa kata yang menunjukkan kepada unta dan keadaannya ditemukan sebanyak 5.644 kata. Ada sementara pakar berpendapat bahwa terdapat 25 juta kosa kata bahasa Arab (Quraish Shihab, 1997).
Tatkala al-Qur'an diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda, maka ini artinya kita menerjemahkan kekayaan kosa kata bahasa Arab dengan kekayaan kosa kata yang dimiliki bahasa Sunda. Semakin kecil disparitas perbandingan kosa kata antara kedua bahasa tersebut, maka kita semakin dapat meminimalisir pendangkalan terhadap makna yang dikandung bahasa asli (bahasa Arab), berarti diharapkan dapat merepresentasikan lebih banyak pesan suci al-Qur'an.
Dan kita sebagai masyarakat Sunda bersyukur memiliki kosa kata yang banyak, sehingga dapat menerjemahkan lebih banyak kekayaan kosa kata bahasa Arab. Sebagai contoh penerjemahan terhadap kata khalaqa dan ja`ala dalam al-Qur'an. Dalam bahasa Arab kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Bila yang pertama menjadikan sesuatu dari tiada, maka yang kedua menjadikan sesuatu dari bahan yang sudah ada. Dalam QMTDBS, kita dapatkan kata yang pertama diterjemahkan dengan ngayugakeun, sedangkan kata yang kedua dengan ngajadikeun. Contoh lain, QMTDBS dapat menerjemahkan banyak kata kerja dengan tingkatan pemakaian bahasa yang dikenal dalam bahasa Sunda. Contoh, QMTDBS menerjemahkan kata qala dengan ngadawuh jika subyeknya adalah Allah, para nabi, atau orang-orang saleh, dan dengan ngomong jika subyeknya orang kafir atau sejenisnya.
Namun, tidak jarang pula ditemukan di mana ada kosa kata dalam al-Qur'an yang tidak diperoleh padanannya dalam bahasa Sunda, sehingga diperlukan catatan-catatan untuk menjelaskannya. Sebagai contoh, dalam Q.S. al-Nahl [16], ayat 90 terdapat tiga kosa kata yang berkonotasi negatif, tetapi mengandung muatan makna berlainan, yaitu kata al-fahsya', al-munkar, dan al-bagy. Dalam QMTDBS, kata-kata itu diterjemahkan dengan dosa, kamungkaran, dan jail kaniaya, karena memang kata-kata itulah yang paling cocok untuk digunakan, tetapi tidak dapat menangkap seluruh muatan makna yang dikandung oleh bahasa aslinya. Dalam Dalam konteks seperti ini, maka penulisan tafsir al-Qur'an dalam Bahasa Sunda sangat urgen untuk dilakukan. Sebab, salah satu fungsi tafsir adalah menjelaskan kata dalam al-Qur'an yang tidak dapat dijelaskan oleh terjemah.
Ornamen dan Filosofi Budaya Jawa Barat
Ditinjau dari segi sosio-kultural, QMTDBS merupakan perpaduan antara teks Wahyu (Al-Qur'an) dan budaya Jawa Barat, sebagai perpaduan yang serasi dan seimbang dalam segi perwajahannya. Budaya Jawa Barat yang dimaksud direpresentasikan dalam bentuk ornamen yang menghiasi lembaran-lembarannya. Di dalamnya kita menemukan motif-motif ornamen yang mencirikan budaya di wilayah Jawa Barat, misalnya motif teh, motif Banten, motif Bogor, motif Sukabumi, motif Cianjur, motif Tanggerang, motif Betawi, motif Indramayu, motif Cirebon, motif Bandung (Patrakomala), dan lainnya.
Ornamen yang terdapat dalam QMTDBS memiliki keterkaitan dengan setiap cabang seni Islam. Ornamentasi mempunyai makna dan dapat dilihat sebagai salah satu unsur penting, jika bukan satu-satunya unsur terpenting, dalam tradisi estetis masyarakat Muslim. Ornamentasi bukan tambahan berlebihan pada obyek seni yang dapat dibuat atau dikurangi tanpa konsekuensi estetis. Justru, ornamentasi adalah esensi seni Islam itu sendiri—suatu esensi yang menentukan pemakaian material, yang memola persepsi bentuk-bentuk, dan melahirkan serangkaian struktur yang dapat dilihat dalam setiap cabang produksi artistik (Shadily, 1983).
Oleh karena itu, unsur ornamen dalam QMTDBS seharusnya bukan semata-mata hasil dari faktor dan pengaruh sosiologis, ekonomi, atau geografis (budaya) Jawa Barat. Ia bukan semata-mata komponen dari produk seni "untuk tujuan menghias". Ornamentasi harusnya merupakan hasil dari motivasi yang mendasarinya, alasan dari seluruh budaya dan peradaban masyarakat Jawa Barat. Ornamentasi diharuskan dan ditentukan oleh pesan tauhid.
Ada banyak nilai yang terdapat dalam ornamen QMTDBS, sebuah nilai perpaduan antara kekaguman terhadap seni Islam dengan filosofi budaya Jawa Barat. Selamat atas terbit dan peluncuran QMTDBS, semoga semakin mendekatkan orang Sunda dengan al-Qur'an. (Ditulis oleh Dr. Rosihon Anwar)***
Sebagai masyarakat Sunda pada khususnya, kita perlu memberikan apresiasi mendalam atas terbitnya "Tarjamah al-Qur'an Basa Sunda" ini, terlebih di dalamnya terdapat berbagai ornamen motif kaligrafi yang ada di Jawa Barat. Apalagi tujuan penerbitannya, sebagaimana ditulis pada sambutan Gubernur Propinsi Jawa Barat, adalah untuk meningkatkan interaksi orang Sunda dengan al-Qur'an, tidak hanya mengagumi tulisan dan bacaannya, tetapi juga pada upaya memahami dan mengamalkannya.
Memahami al-Qur'an dengan Bahasa Sunda
Menerjemahkan al-Qur'an yang berbahasa Arab ke dalam bahasa lokal (baca: non-Arab/Ajam) dalam sejarahnya tidak semulus seperti perkembangan sekarang. Pernah ada perdebatan tentang boleh atau tidak menerjemahkan al-Qur'an. Beberapa ulama kenamaan seperti Imam Ahmad r.a. pernah mengharamkan pengalihbahasaan al-Qur'an ke dalam bahasa lokal. Alasannya, kekayaan makna yang terkandung dalam kosa kata Arab dalam al-Qur'an tidak dapat direpresentasikan dalam bahasa non-Arab.
Namun, alasan ini nampaknya tidak lebih kuat daripada perintah al-Qur'an sendiri agar al-Qur'an dipahami maknanya, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal merupakan bagian di dalamnya. Dengan demikian, menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa lokal sesungguhnya merupakan bagian implementasi perintah untuk memahami al-Qur'an. Ini tentu saja dengan sebuah catatan bahwa terjemahan tidak akan pernah dapat merepresentasikan secara penuh makna bahasa yang diterjemahkan. Ini berarti pula terjemahan al-Qur'an tidak sama dengan al-Qur'an sendiri.
Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia kita menemukan perjuangan yang tulus dari para ulama untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam Bahasa Sunda, sebut saja di antaranya Tafsir Hirbana, oleh Iskandar Indris (1932); Al-Qur’an Sundawiyah, penerbitan percetakan “Ab. Sitti Syamsiyah”, Solo; Tafsir Lenyepaneun, oleh Moh. E. Hasim (1989); dan Al-Qur'an Miwah Tarjamahna Dina Basa Sunda ini (2006), tentu saja termasuk di dalamnya terjemahan dalam bentuk catatan-catatan tangan yang tidak dicetak atau dipublikasikan. Di samping itu, upaya memahami al-Qur'an dengan bahasa Sunda dapat kita temukan dalam tradisi ngalugot (memberi makna) di pesantren-pesantren salaf di wilayah Jawa Barat.
Menakar Kekayaan Kosa Kata Bahasa Sunda
Salah satu alasan kenapa al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab adalah karena bahasa ini memiliki kekayaan kosa kata yang banyak, sehingga diharapkan dapat merepresentasikan lebih banyak kalam Allah yang tak terbatas. De' Hammer, contohnya, telah melakukan penelitian bahwa kata yang menunjukkan kepada unta dan keadaannya ditemukan sebanyak 5.644 kata. Ada sementara pakar berpendapat bahwa terdapat 25 juta kosa kata bahasa Arab (Quraish Shihab, 1997).
Tatkala al-Qur'an diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda, maka ini artinya kita menerjemahkan kekayaan kosa kata bahasa Arab dengan kekayaan kosa kata yang dimiliki bahasa Sunda. Semakin kecil disparitas perbandingan kosa kata antara kedua bahasa tersebut, maka kita semakin dapat meminimalisir pendangkalan terhadap makna yang dikandung bahasa asli (bahasa Arab), berarti diharapkan dapat merepresentasikan lebih banyak pesan suci al-Qur'an.
Dan kita sebagai masyarakat Sunda bersyukur memiliki kosa kata yang banyak, sehingga dapat menerjemahkan lebih banyak kekayaan kosa kata bahasa Arab. Sebagai contoh penerjemahan terhadap kata khalaqa dan ja`ala dalam al-Qur'an. Dalam bahasa Arab kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Bila yang pertama menjadikan sesuatu dari tiada, maka yang kedua menjadikan sesuatu dari bahan yang sudah ada. Dalam QMTDBS, kita dapatkan kata yang pertama diterjemahkan dengan ngayugakeun, sedangkan kata yang kedua dengan ngajadikeun. Contoh lain, QMTDBS dapat menerjemahkan banyak kata kerja dengan tingkatan pemakaian bahasa yang dikenal dalam bahasa Sunda. Contoh, QMTDBS menerjemahkan kata qala dengan ngadawuh jika subyeknya adalah Allah, para nabi, atau orang-orang saleh, dan dengan ngomong jika subyeknya orang kafir atau sejenisnya.
Namun, tidak jarang pula ditemukan di mana ada kosa kata dalam al-Qur'an yang tidak diperoleh padanannya dalam bahasa Sunda, sehingga diperlukan catatan-catatan untuk menjelaskannya. Sebagai contoh, dalam Q.S. al-Nahl [16], ayat 90 terdapat tiga kosa kata yang berkonotasi negatif, tetapi mengandung muatan makna berlainan, yaitu kata al-fahsya', al-munkar, dan al-bagy. Dalam QMTDBS, kata-kata itu diterjemahkan dengan dosa, kamungkaran, dan jail kaniaya, karena memang kata-kata itulah yang paling cocok untuk digunakan, tetapi tidak dapat menangkap seluruh muatan makna yang dikandung oleh bahasa aslinya. Dalam Dalam konteks seperti ini, maka penulisan tafsir al-Qur'an dalam Bahasa Sunda sangat urgen untuk dilakukan. Sebab, salah satu fungsi tafsir adalah menjelaskan kata dalam al-Qur'an yang tidak dapat dijelaskan oleh terjemah.
Ornamen dan Filosofi Budaya Jawa Barat
Ditinjau dari segi sosio-kultural, QMTDBS merupakan perpaduan antara teks Wahyu (Al-Qur'an) dan budaya Jawa Barat, sebagai perpaduan yang serasi dan seimbang dalam segi perwajahannya. Budaya Jawa Barat yang dimaksud direpresentasikan dalam bentuk ornamen yang menghiasi lembaran-lembarannya. Di dalamnya kita menemukan motif-motif ornamen yang mencirikan budaya di wilayah Jawa Barat, misalnya motif teh, motif Banten, motif Bogor, motif Sukabumi, motif Cianjur, motif Tanggerang, motif Betawi, motif Indramayu, motif Cirebon, motif Bandung (Patrakomala), dan lainnya.
Ornamen yang terdapat dalam QMTDBS memiliki keterkaitan dengan setiap cabang seni Islam. Ornamentasi mempunyai makna dan dapat dilihat sebagai salah satu unsur penting, jika bukan satu-satunya unsur terpenting, dalam tradisi estetis masyarakat Muslim. Ornamentasi bukan tambahan berlebihan pada obyek seni yang dapat dibuat atau dikurangi tanpa konsekuensi estetis. Justru, ornamentasi adalah esensi seni Islam itu sendiri—suatu esensi yang menentukan pemakaian material, yang memola persepsi bentuk-bentuk, dan melahirkan serangkaian struktur yang dapat dilihat dalam setiap cabang produksi artistik (Shadily, 1983).
Oleh karena itu, unsur ornamen dalam QMTDBS seharusnya bukan semata-mata hasil dari faktor dan pengaruh sosiologis, ekonomi, atau geografis (budaya) Jawa Barat. Ia bukan semata-mata komponen dari produk seni "untuk tujuan menghias". Ornamentasi harusnya merupakan hasil dari motivasi yang mendasarinya, alasan dari seluruh budaya dan peradaban masyarakat Jawa Barat. Ornamentasi diharuskan dan ditentukan oleh pesan tauhid.
Ada banyak nilai yang terdapat dalam ornamen QMTDBS, sebuah nilai perpaduan antara kekaguman terhadap seni Islam dengan filosofi budaya Jawa Barat. Selamat atas terbit dan peluncuran QMTDBS, semoga semakin mendekatkan orang Sunda dengan al-Qur'an. (Ditulis oleh Dr. Rosihon Anwar)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar