Kritik Hadits Harald Motzki Atas
Mushannaf Abd. Razzaq
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pandangan minor atas studi kritis Islam termasuk studi
kritis terhadap hadits yang digelar Barat adalah bukan sekedar transfer
pengetahuan semata. Namun akibat yang akan ditimbulkan darinya haruslah menjadi
cacatan serius bagi kaum cendikiawan muslim, terlebih sikap mereka pasca telaah
kajian Barat terhadap perkara yang telah disepakati sebagai sesuatu yang telah
mapan (tsawabith) yang oleh Arkoun disebut sebagai “the unthinkable”, seperti
persoalan-persoalan akidah, otentisitas al-Qur’an, kehujjahan hadits Nabi
Muhammad SAW, dan sebagainya. Hadits sebagai salah satu landasan dasar Islam
adalah sasaran utama setelah al-Qur’an untuk dikritisi nilai validitasnya oleh
mereka yang “di luar pagar”. Namun di perjalanannya, malah berbagai temuan
ilmiah kadang mereka munculkan sebagai akibat dari desakan agar mereka (kaum
orientalis) bertindak objektif dalam mengkritisi apapun tentang dunia Islam.
Harald Motzki sebagai sosok orientalis muda memiliki tradisi unik dalam agak
“menyalahi” pakem kaum orientalis pada umumnya, ia bahkan berani mengoreksi
pendapat sesepuhnya sesame orientalis dalam menilai Islam. Mazhab skeptis
terwakili oleh Joseph Schacht (Austria) dan Ignaz Goldziher (Hongaria).
Meskipun demikian, pada dekade terahir mazhab skeptis yang telah mapan di Barat
tidak lagi menjadi satunya-satunya trend yang mendominasi diskursus studi Islam
di Barat. Kaum Orientalis non-skeptis bermunculan dan dikomandani oleh sejumlah
Orientalis sekaliber Harald Motzki, Fuec, serta Scheoler. Sanad, rawi, matan
dan berbagai hal yang berkenaan dengan hadits menjadi barang penting untuk
diteliti, kaum orientalis menyadari semua ini, maka Joseph Schacht menyatakan
bahwa sanad adalah hasil kreasi dari para ulama abad ke-2 H. Harald Motzki
berusaha mengcounter pandangan seniornya ini dengan penelitiannya terhadap
kitab al-Mushannaf karya Abdurrazzaaq as-Shan’aani. Tak aneh bila kemudian
teori uji hadits Harald Motzki menjadi trend baru bagi orientalis yang
menjadikan rijal hadits sebagai salah satu sandaran kekuatan penelitian. Hal ini
berdasar pehaman Harald Motzki sendiri terhadap pemaknaanhadits itu sendiri
sebagaimana ungkapannya: “Hadith is understood here in its broader meaning as
the bulk of the texts which contain information on the prophet Muhammad and his
Companions, having the form of transmissions from them. The reliability of this
material as a source for early Islam is still a highly debated issue. This
selection of articles presents the different points of view in this debate and
the varying methodological approaches with which scholars trained in modern
secular sciences have tried to find a solution to the problem.” (Hadis yang
dipahami di sini dalam arti lebih luas karena sebagian besar teks-teks yang
berisi informasi tentang Nabi Muhammad dan para sahabatnya, memiliki bentuk
transmisi dari mereka. Keandalan bahan ini sebagai sumber awal Islam masih
merupakan isu yang sangat diperdebatkan. Pemilihan artikel menyajikan sudut
pandang yang berbeda dalam perdebatan ini dan pendekatan metodologis yang
berbeda-beda dengan yang sarjana dilatih dalam ilmu sekuler modern telah
mencoba untuk menemukan solusi untuk masalah ini. Terjemah: penulis) Maka
penulis berusaha mengungkapkan pandangan Harald Motzki seputar otentifikasi
Hadits dan bentuk sanggahan Harald Motzki atas skeptisisme para orientalis
terhadap hadits dengan berbagai pendekatan yang relatif baru bagi kalangan
orientalis yang selama ini lebih memilih memakai metode “ala orientalis” dalam
menilai hadits.
BAB II
BIOGRAFI HARALD MOTZKI DAN KARYANYA DALAM KHASANAH
ISLAM
A. Biografi Harald Motzki
Berbagai upaya penulis tempuh untuk menggali lebih
dalam sosok Harald Motzki, mulai dari referensi literer yang berupa majalah,
buku bahkan dunia maya, namun tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Beberapa
sumber yang bisa dicapai penulis adalah sebagai berikut: Dia dikenal sebagai
sosok sarjana studi Islam yang concern terhadap materi hadist dan berbagai
keilmuan penyangganya, dan berupaya untuk mengkritisinya dengan objektif. Dan
ia adalah seorang orientalis yang menjadi Guru Besar sekaligus Profesor di
Institut Bahasa dan Budaya dari Timur Tengah, Universitas Nijmegen, Belanda.
Motzki adalah sosok yang dikenal para pemerhati orientalisme sebagai sosok yang
banyak mengkaji hadits sejarah yang berhubungan dengan sīrah, metode pencermatan
Motzki terhadap hadits lebih didominasi penelitiannya terhadap sisi sejarah
hadits itu sendiri. Di sisi lain, ia adalah salah satu orientalis yang tidak
sepakat dengan berbagai temuan Schacht yang berpendapat bahwa hadits-hadits
yang terdapat dalam al-Kutub as-Sittah tidak bisa dapat dijamin keasliannya:
“even the classical corpus contains a great many traditions which cannot
possibly be authentic.” (hadits-hadits di dalam al-kutub as-Sittah sangat
memungkinkan untuk tidak dijamin keasliannya) Masih menurut dia, sistem
periwayatan berantai alias isnād merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang
baru mulai dipraktekkan pada abad kedua Hijriah: “there is no reason to suppose
that the regular practice of using isnāds is older than the beginning of the second
century.” (tidak ada alasan untuk menganggap bahwa penggunaan isnad secara
teratur adalah lebih tua dari awal abad kedua). Namun patut cuga dicurigai,
bahwa ternyata obyektivitas Motzki perlu ditimbang kembali dengan ambiguitas
sikapnya terhadap keabsahan hadits, sebab ia juga berpendapat:”I call this an
authentic hadīth of the first/seventh century. That does not necessarily imply
that such a tradition can always be proved to go back to the Prophet or a
Companion.” (Saya menyebut ini sebuah hadits otentik dari abad pertama/ketujuh.
Itu tidak selalu berarti bahwa hadits semacam itu selalu dapat dibuktikan
kembali ke Nabi atau seorang sahabat).
B. Karya Harald Motzki dalam khasanah Islam
Beberapa karya Harald Motzki yang bisa penulis jumpai
adalah sebagai berikut: 1. Berupa penelitian De ontstaansgeschiedenis van de
islamitische jurisprudentie (sejarah yurisprudensi Islam). De methoden van
bronnenkritiek op het gebied van de overleveringen over de vroege Islam (Metode
kritik terhadap sumber dasar hadits). Het ontstaan van de geschreven tekst van
de Koran (Asal dari teks tertulis Qur’an). De reconstructie van het leven van
Muhammad (Rekonstruksi kehidupan Muhammad). Historisch-antropologische aspecten
van de islamitische beschaving (Historis-Antropologis Kebudayaan Islam).
2. Berupa Ceramah Ilmiah Inleiding Islam 1 & 2
(moslims en de moderne tijd) (Muslim dan Modernitas-Sebuah Pendahuluan
Pengenalan Islam), Lektuur Islamitische Teksten (Teks literatur Islam),
Werkgroep Jihad (Pemahaman Kelompok Jihad), Werkgroep de overlevering over de
vroege Islam (Kelompok Pergerakan pada tradisi Islam awal), Werkgroep het
islamitische Midden-Oosten in beweging (met dr. R. Meijer) (Gerakan Pembaharu
Islam di Timur Tengah (ditulis dengan R. Meyer)).
3. Berupa Jurnal Ilmiah dan Buku • Harald Motzki, Die
Anfange der islamischen Jurisprudenz. Ihre Entwicklung in Mekka bis zur Mitte
des 2./8. Jahrhunderts, Stuttgart 1991. Engl. Trans. The Origins of Islamic
Jurisprudence. Mekahn Fiqh before the Classical schools, trnasl. Marion H. Katz,
Leiden 2002. • Harald Motzki, “Der Fiqh des—zuhri: die Quellenproblematik,“ Der
Islam 68, 1991, 1-44. edisi Iggris, “The Jurisprudence of Ibn Sihab Al-Zuhri. A
Source-critical Study,“ dalam
http:/webdok.ubn.kun.nl/mono/m/motzki_h/juriofibs.pdf • Harald Motzki, “The
Musannaf of Abd. Al-Razzaq Al-San’ani as a Source of Authentic ahadith of the
First Century A.H.,” Journal of Near Eastern Studies 50, 1991, h. 1-21. •
Harald Motzki, “Quo vadis Hadit Forschung? Eine kritische Untersuchung von
G.H.A. Juynboll, Nafi’, the mawla of Ibn Umar, and his position in Muslim
Hadith Literature,“ Der Islam 73, 1996, h. 40-80, 193-229. • Harald Motzki,
“The Prophet and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal Traditions,“
Jurusalem Studies in Arabic and Islam, 21, 1998, h. 18-83. • Harald Motzki,
“The Role Of Non-Arab Converts in The Development of Early Islamic Law,” dalam
Islamic Law Society, Leiden, Vol. 6, No. 3, 1999. • Harald Motzki, “The Murder
of Ibn Abi l-Huqayq: on the Reliability of Some maghaji Reports,” dalam H.
Motzki, ed., The Biography of Muhammad: the Issue of the Sources, Leiden, 2000,
h. 170-239. • Harald Motzki, “Der Prophet und die Schuldner. Eine
hadit-Untersuchung auf dem Prufstand,“ Der Islam, 77, 2000, h. 1083. • Harald
Motzki, “The Collection of the Qur’an. A Reconsideration of Western Views in
Light of Recent Methodological Developments,” Der Islam 78, 2001, h. 1-34. •
Harald Motzki, “Ar-radd ‘ala r-radd – Zur Methodik der hadit-Analyse,“ Der
Islam 78, 2001, h. 147-163. • Harald Motzki, ed., Hadith. Origins and the
Developments, Aldershot: Ashgate/Variorum, 2004. • Harald Motzki, “Dating
Muslim Traditions . A Survey,” Arabica, 52, 2005. Hadith: Origins and
Developments (Hadits: Asal-usul dan Perkembangannya) ISBN 0860787044. The
Origins of Islamic Jurisprudence (Asal-Usul Sumber Hukum Islam), Scholar of
Renown: Abd Al-Razzaq Al-Sanaani (Mengenal sosok Sarjana Muslim: Abd Al-Razzaq
Al-Sanaani). Motzki, H.; “The Musannaf Of `Abd al-Razzaq Al-San`ani As A Source
of Authentic Ahadith of The First Century A.H.”, Journal Of Near Eastern
Studies (Para Musannaf Dari Abd al-Razzaq Al-San’ani Sebagai Sumber hadits
Otentik Abad Pertama Hijriyah), 1991, The Biography of Muhammad: the Issue of
the Sources (Biografi Muhammad: Sebagai pusat kajian dan sumber Islam), Leiden
2000, Meccan Fiqh before the Classical Schools (Fiqh model Mekkah sebelum Salaf
Shalih), Geschlechtsreife und Legitimation zur Zeugung im frühen Islam (Standar
kedewasaan dan legitimasi untuk menjadi mukallaf di awal Islam), Schamanismus als
Problem religionswissenschaftlicher Terminologie (Shamanisme sebagai masalah
dalam studi agama terminologi), Batı’da hadis çalışmalarının tarihî seyri
(Barat, sebuah kajian tentang sejarah studi Hadits). 4. Alamat yang bisa
dihubungi adalah: Telephone : +31 24 361 6048 Faximile : +31 24 361 2807 e_mail
: h.motzki@let.ru.nl Alamat Rumah : Postbus 9103, NL-6500 HD Nijmegen Alamat
Kantor : Erasmusplein 1, kamer 9.08, NL-6525 HT Nijmegen
BAB III HARALD MOSTZKI; OTENTISITAS DAN SANGGAHANNYA
ATAS SKEPTISISME PARA ORIENTALIS TERHADAP HADITS A.
Pandangan Harald Motzki seputar otentisitas Hadits
Langkah penting yang harus ditempuh dalam penilian atas pemikiran Motzki
mengenai rekonstruksinya terhadap otentitas hadits adalah mengenal berbagai
teori yang dikemukakannya dalam penelitian atas rekonstruksi hadits yang ia
tempuh. Dalam hal ini penulis menemukan bahwa Motzki menggunakan 3 metodologi
untuk meneliti keabsahan hadits yang ia teliti, yakni: dating, sampling dan
analizing. Harus penulis diakui bahwa apa yang ditempuh oleh Motzki dalam
mengkritisi hadits ini adalah penambahan khazanah baru dalam dunia penelitian
hadits. Hingga Motzki bisa ditempatkan pada jajaran orientalis yang secara
concern meneliti hadits secara mandiri dengan tidak “terlalu bergantung” pada teori
Projecting Back karya Joseph Schacht (Austria). Latar belakang penelitian
Schatt banyak didominasi kecurigaan subjektif pada sisi sejarah Islam
sebagaimana penulis nukil dari Muhammad Idris Kritik Atas Proyek Kritik Hadis
Joseph: “Sunnah dalam konteks Islam pada mulanya lebih memiliki sebuah konotasi
politik ketimbang konotasi hukum; menunjukkan kebijaksanaan dan administrasi
khalifah. Persoalan apakah tindakan administratif khalifah pertama, Abû Bakar
dan ‘Umar, harus dipandang sebagai preseden-preseden yang mengikat, barangkali
persoalan ini muncul pada saat penunjukkan ‘Umar dan ketidakpuasan dengan
kebijaksanaan khalifah ketiga, Utsmân, yang mengantarkan pada pembunuhannya
pada 35 H/655 M, karena dituduh telah menyimpang dari kebijaksanaan khalifah sebelumnya,
secara implisit menyimpang dari al-Qur’an. Dalam hubungan ini, muncullah konsep
sunnah Nabi, yang belum diidentifikasikan dengan sejumlah aturan-aturan
positif, akan tetapi memberikan serangkaian mata rantai doktrinal antara sunnah
Abû Bakar dan ‘Umar serta al-Qur’an. Bukti-bukti awal yang tentunya otentik
untuk penggunaan istilah sunnah Nabi adalah surat ‘Abdullah bin ‘Ibâd, pemimpin
Khawarij yang ditujukan kepada Khalifah Dinasti Umayyah, ‘Abd al-Mâlik, sekitar
76 H/695 M. Istilah yang sama dengan sebuah konotasi teologis, yang disertai
contoh teguran, terdapat dalam risalah yang sezaman dengan Hasan al-Bashrî yang
ditujukan kepada khalifah ‘Abd al-Mâlik. Pengertian sunnah seperti ini
diperkenalkan ke dalam teori hukum Islam yang diperkirakan berlangsung pada
akhir abad 1 Hijriah oleh ulama-ulama Irak.” Secara ringkas Schacht berpendapat
bahwa:
1. Konsep awal Sunnah adalah kebiasaan atau praktek
yang disepakati secara umum, yang disebutnya sebagai “tradisi yang hidup.”
2. Konsep sunnah nabi pada asal-usulnya relatif
terlambat, dibuat oleh orang-orang Irak pada sekitar abad kedua Hijriah.
3. Bahan penggunaan istilah “Sunnah Nabi” tidak
berarti sunnah yang sebenarnya berasal dari Nabi saw, ia hanya sekadar “tradisi
yang hidup” dari madzhab yang ada diproyeksikan ke belakang hingga ke lisan
Nabi saw.
Proses penanggalan isnad dalam studi hadits oleh
sebagian orientalis Barat seperti Josef Horovitz (Oriantalis Jerman berdarah
Yahudi) tidak lepas dari cara pandang mereka terhadap esensi isnad itu sendiri,
mereka menyebut: “Es liegt nahe, in diese Gleichstellung den Einfluss der
jüdischen Theorie zu vermuten, um so mehr als sich im Hadīt selbst
Reminiszenzen an die Stellung erhalten haben, welche das Judenthum der
mundlichen Lehre zuerkennt.” (Tampaknya masuk akal untuk menganggap asimilasi
teori Yahudi yang menjadi pengaruh yang menjadikan bertahan dalam –periwayatan-
hadits, hal ini mengingatkan sikap bahwa Yudaisme mengakui ajaran lisan,
terj.penulis).
Schacht bahkan menyatakan bahwa sistem isnad mungkin
valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama-ulama abad kedua Hijriah,
tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi SAW. dan
para sahabat adalah palsu. Argumen Schacht teringkas dalam lima poin:
1. Sistem sanad dimulai abad kedua, atau paling akhir
abad pertama Hijriah.
2. Isnâd-isnâd diletakkan secara sembarangan dan
sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang”
doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnâd-isnâd secara bertahap “meningkat” oleh
pemalsuan; Isnâd-isnâd yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan
dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syâfi’î
untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis yang dilacak
ke belakang sampai kepada satu sumber. Isnâd-isnâd keluarga adalah palsu,
demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnâd-isnâd itu.
5. Keberadaan common narrator dalam rantai periwayatan
itu merupakan indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa periwayat itu.
Teori Common Link-nya Juynboll juga menjadi sasaran
kekritisan Motzki, ia berpendapat dengan menulsi artikel berjudul, “Quo Vadis,
Hadit-Forschung? Eine Kritische Untersuchung von G.H.A Juynboll: “Nafi’ the
mawla of Ibn Umar and his position in Muslim Hadith Literature” (Penelitian
Hadits, analisasis kritis terhadap GHA Juynboll “Nafi ‘dari Ibnu Umar Mawla dan
posisinya dalam Sastra HR. Muslim). Menurutnya, temuan Juynboll – bahwa semua
hadis nabi dengan isnad Nafi’ –Ibnu ‘Umar tidak kembali kepada Malik tetapi
kepada Nafi’– tidak dapat dipertahankan. Dengan menggunakan contoh hadis
tentang zakat al-fithr, Motzki mampu menunjukkan bahwa hipotesis Juynboll
tersebut tidak benar. Ia menyatakan bahwa hadis tersebut kembali kepada Ibnu ‘Umar
dan tidak dipalsukan oleh Malik. Harald Motzki berupaya mandiri menancapkan
teorinya dalam penelitian atas Kitab al-Mushannaf Karya Abdurrazzaaq
as-Shan’aani. Metode-metode sistematis yang ditempuh Harald Motzki sebagai
berikut: 1. Dating Dating adalah sebuah toeri pengujian materi sejarah dengan
meneliti asal-muasal dan umur terhadap sumber sejarah atau dalam hal ini dating
(penanggalan) hadits digunakan untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana
melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang allegedly terjadi pada
masa awal Islam. Juga seperti diungkap Kamaruddin Amin: “dating tujuannya
adalah menaksir umur dan asal muasal sebuah sumber (dating documents).” Maka
tidak ayal bila di dalam dating seorang peneliti terhadap sebuah sumber sejarah
terbukti tidak valid dikemudian hari, maka seluruh premis teori dan kesimpulan
yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi collaps (roboh). Teori
inilah yang menjadi epistemologi Motzki dalam merekonstruksi sejarah awal Islam
dalam karyanya The Origins of Islamic Jurisprudence. Sebagai contoh penerapan
dating yang dilakuan Motzki adalah langkahnya dalam meneliti kitab Mushannaf
milik Abd Razaq, maka langkah dating ia tempuh dengan menelaah sumber rijal
hadits, dan ia menemukan beberapa sumber utama dalam penelitiannya menemukan
yang sering dirujuk oleh Abd ar-Razaq, yang memberikan kontribusi ribuan hadis,
Motzki menemukan komposisi periwayatan dalam kitab tersebut sebagai berikut:
Tabel 1.1. NO PERIWAYAT PROSENTASE PERIWAYATAN
1 Ma’mar 23 2 Ibnu Jurayj 29 3 As-Saury 22 4 Ibn
Uyainah 4 5 Selain tiga di atas 13 6 Abad ke-2 (Abu Hanifah, Malik, dll) 9
Jumlah prosentase periwayatan 100% Dengan teori datingnya terhadap sisi perawi
atas periwayatan hadits ini Motzki berpendapat setiap orang dengan koleksi hadits
yang diriwayatkan memiliki karakteristik berbeda satu dengan lainnya, maka
hampir mustahil seorang pemalsu dapat memberikan sumber yang begitu bervariasi,
apalagi jika penelitian ini difokuskan pada asal perawi dan karakter teks yang
diriwayatkan. Kekhasan masing-masing struktur mengindikasikan tidak mungkin
seseorang melakukan pemalsuan dalam menyusun materi, akan membuat teks dengan
perbedaan-perbedaan yang signifikan. Di samping itu, semakin detail dan
mendalam penelusuran terhadap teks-teks tersebut mengenai kekhasan teks dan
asal muasal sumber informasi, semakin signifkan perbedaan-perbedaan yang
dijumpai. Dalam hal ini Motzki menunjukkan secara simbolik dalam penelitiannya
terhadap Mushannaf karya Abd Razaq menggunakan rijal hadits sebagai instrument
penting dalam menentukan keabsahan Abd Razaq dalam pengumpulan hadits yang ia
lakukan. Motzki berkesimpulan tidak mungkin Abd Razak melakukan pemalsuan
dengan ragam perawi yang ada. Komarudin Amin menyatakan bahwa Motzki
mengklasifikasikan riwayat sebagai berikut: Tabel
1.2. NO PERAWI % JALUR PERIWAYATAN
Periwayat % 1 Ma’mar (w. 153 H) 32 Ibn Syihab az-Zuhri
28 Qatadah bin Diama 25 Ayyub bin Abi Tamima 11 Tanpa Nama 6 Ibn Tawus 5 Ma’mar
langsung 1 77 orang lainnya 24 Jumlah prosentase dari 23% 100 2 Ibn Jurayj (w.
150 H) 29 ‘Ata’ ibn Rabah 39 Tanpa nama 8 Amr bin Dinar 7 Ibn Syihab az-Zuhri 6
Ibn Tawus 5 Ibn Jurayj 1 103 orang lainnya 34 Jumlah prosentase dari 29% 100 3
Sufyan as-Sauri (w. 161 H) Catatan: dalam hal ini secara personal Sufyan
as-Sauri lebih mendominasi periwayatan 22 Sufyan as-Sauri 19 Mansur bin
al-Mu’tamir 7 Jabir bin Yazid 6 Tanpa nama 3 161 orang lainnya 65 Jumlah
prosentase dari 22% 100 4 Ibn ‘Uyayna 4 Amr bin Dinar 23 Ibn Abi Najih 9 Yahya
bin Said al-Anshari 8 Ismail bin Abi Khalid 6 Tanpa Nama 4 37 orang lainnya 50
Jumlah prosentase dari 29% 100 5 90 orang lainnya 13 Jumlah total periwayat
100% Berdasarkan data di atas Moztki menyatakan: “These profile show that each
source has a completeley individual face”. (Profil ini menunjukan bahwa keempat
koleksi teks tersebut memiliki karakteristik tersendiri. penulis). Bahkan lebih
jauh lagi Motzki berani menyimpulkan bahwa hadits yang digunakan Abd ar-Razzaq
dengan merujuk keempat informan utamanya adalah otentik. Hal ini penulis
pandang sebagai trobosan berani di kalangan orientalis Barat yang selama ini
dikenal tidak pernah menggunakan instrument rijal hadits dalam penelitian
mereka terhadap hadits. Yang di dalam dunia Islam sendiri peran seorang rawi
dipandang sangat menentukan kualitas hadits yang diriwayatkan. 2. Sampling
(mengambil sebagian data) Penelitian Motzki atas Mushannaf Abd Razaq tidak
mengambil keseluruhan hadits namun ia hanya mengambil sampel dari sumber primer
tersebut, yakni mengambil beberapa bagian yang diangap telah mewakili populasi
dari yang diteliti. Ia (Motzki) bertujuan menghindari kekeliruan generalisasi
dari sampel ke dalam keseluruhan populasi. Ia mengambil 3810 hadis dari
keseluruhan 21033 hadis. yang berarti total hadis ia teliti adalah sebanyak
18,11439167023249% hadis dari Mushannaf. Aplikasi metode sampling yang
digunakan Motzki ini ia terapkan guna menganalisa hubungan antara pengarang
Mushannaf (Abd ar-Razzaq) dengan perawi di atasnya semisal Ibn Jurayj. Motzki
menjelaskan bahwa magnitude (besarnya) distribusi transmisi Jurayj didapatkan
karena ia pernah tinggal di Makkah yang memungkinkan ia bertemu dengan sejumlah
sarjana, terutama ketika memasuki musim haji. Jumlah pendistribusian hadits
yang tidak seimbang ditambah tidak tampaknya dominasi Jurayj dalam penyampaian
pendapatnya sendiri merujuk otoritas yang lebih awal, hal ini menunjukkan bahwa
Abd Razaq bukan pemalsu. Data yang diuji yang bersumber dari Jurayj meliputi:
perbedaan isi (misal, pengunaan ra’yu didistribusikan secara tidak seimbang);
perbedaan pengunaan riwayat guru-murid, anak-bapak, maula-patron, perbedaan
proporsi hadis dari nabi, sahabat, dan tabi’in; perbedaan penggunaan isnad dan
perbedaan terminologi periwayatan (misal, penggunaan istilah ‘an atau sami’tu).
Menurut penulis, langkah Motzki dalam metode sampling ini bukanlah hal baru
dalam dunia jarh wa ta’dil dalam periwayatan di kalangan pemerhati hadits
muslim sebab pengujian hubungan timbal balik antara guru-murid sekaligus
takaran ‘adalah rawi telah ada di sana, hal menarik yang patut diapresiasi dari
langkah berani -kalau tidak boleh dikatakan gegabah, sebab periwayatan hadits
dengan metode sampling bisa menghasilkan kesimpulan minor atas keshahihan
sebuah kitab hadits bila ternyata rawi yang ‘terambil’ didominasi mereka yang
terkena jarh sebagai perawi yang dla’if, matruk, apalagi kadzdzab – Motzki ini
adalah trobosan baru yang patut dicermati untuk dikritisi validitas
penggunaannya, sebab metode ini bisa menimbulkan implikasi penilaian baik-buruk
yang “kurang terjamin validitasnya” atas kitab hadits yang diteliti hingga
penilaian atas kitab hadits yang ditelitipun mengalami distorsi penilaian yang
melemahkan kedudukannya. Lihat contoh berikut: • Dari Ibnu Juraij dari Atha’,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila naik ke atas mimbar maka
beliau menghadap kepada orang-orang lalu mengatakan, ‘Assalamu’alaikum’.” (HR.
Abdur Razzaq) dalam Mushannafnya, Penulis menilai hadits ini adalah mursal
karena Atha’ adalah tabi’in, dan hadits mursal termasuk hadits lemah). •
’Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanad mursal: عن معمر
والثوري عن أيوب عن عكرمة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عق عن حسن وحسين كبشين
Dari Ma’mar dan Ats-Tsaury, dari ’Ikrimah: ”Bahwasannya Rasulullah SAW
meng-’aqiqahi Hasan dan Husain dengan dua ekor kambing kibasy”. Muhammad bin
’Abdil-Qadir ’Atha’ – pentahqiq kitab As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqi – ketika
mengomentari hadits ’aqiqah Al-Hasan dan Al-Husain di atas menyebutkan
perkataan Abu Hatim bahwasannya riwayat dari ’Ikrimah dari Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam secara mursal itu lebih shahih. Perkataan Ibnu Abi Hatim
secara lengkap adalah sebagai berikut : وسألت أبي عن
حديث رواه عبد الوارث، عن أيوب، عن عكرمة، عن ابن عباس: أنَّ النَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم عَقَّ عَنِ الْحُسَين والْحَسَن كَبْشَتَين؟ قال أبي: هذا وهم؛ حدثنا
أبو معمر، عن عبد الوارث، هكذا. ورواه وُهَيب، وابن عُلَيَّة، عن عِكرمة، عن النبي
صلى الله عليه وسلم، مُرسَلٌ. قال أبي: وهذا مُرسَلاً، أَصَحُّ
”Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan ’Abdul-Waarits,
dari Ayyub, dari ’Ikrimah, dari Ibnu ’Abbas: ”Bahwasannya Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam meng-’aqiqahi Al-Husain dan Al-Hasan dengan dua ekor kambing?”.
Ayahku berkata: ”Ini keliru. Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, dari
’Abdul-Waarits dengan sanad ini. Dan diriwayatkan oleh Wuhaib dan Ibnu
’Ulayyah, dari ’Ikrimah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dengan sanad
mursal”. Ayahku berkata : ”Sanad mursal ini lebih shahih”. Diriwayatkan oleh
Al-Khaathib dalam At-Taarikh, dari jalur Hafsh bin Muhammad Al-Bashriy, dari
Ayyub, dari ’Ikrimah, dari Ibnu ’Abbas r.a. Nama Hafsah bin Muhammad Al-Bashriy
dalam rantai sanad ini adalah keliru. Yang benar adalah Hafsah bin ’Umar
Al-Bashriy. Adz-Dzahabi dalam berkata: حفص بن عُمر،
بصري. عن أيوب السختياني في العقيقة. قال الأزدي : منكر الحديث
”Hafsah bin ’Umar Al-Bashriy, dari Ayyub As-Sikhtiyaaniy dalam hadits ’aqiqah.
Berkata Al-Azdiy: Munkaarul-hadits”. Dikarenakan dua riwayat penguat
‘Abdul-Waarits itu tidak shahih, maka yang tersisa hanyalah jalur pertama saja,
yaitu ‘Abdul-Waarits bin Sa’id, dari Ayyub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas
secara marfu’. Inilah yang dapat dipegang. Patut dicatat bahwa jalur ini pun
tidak luput dari penyakit. ’Abdul-Warits menyelisihi banyak perawi – diantara
mereka ada yang lebih kuat daripadanya – dalam hal kebersambungan sanadnya.
Mengingat kekuatan seorang rawi dalam membawa hadits tidak bisa diabaikan
begitu saja, maka ia bisa menjadi penentu apakah hadits yang dibawanya diterima
kalangan ahli hadits atau tertolak. Sebagaimana Mahmud al-Qahtan berpendapat: كان الصحابة رضي الله عنهم يثبتون في نقل الأخبار و قبولها، لا
سيما إذا شكوا في صدق الناقل لها. فظهر بناء على هذا موضوع الاسناد و قيمته في
قبول الأخبار أوردها. فقد جاء في صحيح مسلم عن ابن سميرة: قال: لم يكونوا يسألون
عن الاسناد فلما وقعت الفتنة قالوا سموا لنا رجالكم! فينظر إلى أهل السنة فيأخذ
حديثهم و ينظر إلى أهل البدع فلا يأخذ حديذهم. “Para shahabat r.a.
telah memiliki patokan baku dalam periwayatan hadits dan proses penerimaannya,
hal ini sangat ketat dilakukan terlebih bila berhubungan dengan penilaian atas
kejujuran perawinya. Diterangkan dalam Shahih Muslim yang diriwayatkan oleh Ibn
Sumairah: “Para shahabat tidak banyak bertentangan dalam hal isnad, namun
ketika al-fitnah (perbedaan pendapat tentang sesuatu yang bersumber dari hadits
Nabi) terjadi, mereka (para shahabat) berseru: ‘sebutkan rijal hadits kalian!’
Maka kedua belah yang berselisih sepakat meneliti mana diantaranya yang
termasuk ahlu-s-sunnah (mereka yang terkenal di kalangan muslimin sebagai rijal
hadits yang tsiqqah) maka mereka mengambil haditsnya dan meninggalkan hadits
ahlu-l-bid’ah.” 3. Analyzing Proses selanjutnya adalah analisa sanad dan matan dengan
menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan traditional-historical
yakni sebuah metode yang cara kerjanya menark sumber-sumber awal dari kompilasi
yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan
diri pada materi-materi para perawi tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang
terkumpul pada topik tertentu. Jadi, traditional-historical dijadikan sebagai
alat untuk menganalisa dan menguji materi-materi dari perawi. Oleh karena itu,
penelitian struktur periwayatan yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa
materi-materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya
adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang direkayasa.
3.1. Penggunaan teori external criteria dan formal
criteria of authenticity sebagai alat analisa periwayatan. Motzki memfokuskan
dari sumber yang sering diikuti Jurayj, yakni ‘Ata’. Dalam hal ini ia
menggunakan teori External Criteria dan argument internal formal criteria of
Authenticity yang merupakan dua alat analisa yang dihasilkan ketika Motzki
meneliti penyandaran (transformasi ilmu) yang dilakukan Jurayj kepada ‘Ata’.
3.1.1. External Criteria (Isnad) Bila oriantelis Barat
semisal Schacht, Juynboll, Irene, Schnider, dan Herbert Berg cenderung untuk
mengesampingkan aspek rawi dan menganggap terlalu formalistik yang hanya
didasarkan pada kriteria eksternal (isnad), maka lain halnya dengan Motzki, ia
menyarankan untuk menggunakannya sebagai perangkat penting dalam penelitian
hadits, sebagaimana pernyataannya: “That it will not be prudent to wholly do
away with the chain of narrators as a careful study of these chains can tell us
a lot about the provenance of a hadith. Rather, the chain of narrators should
be studied in tandem with the text of a hadith, is called the isnad-cum-matn
approach.” (Bahwa tidak bijaksana untuk sepenuhnya menyingkirkan dengan rantai
perawi sebagai studi yang cermat, sebab perawi rantai ini dapat memberitahu
kita banyak tahu tentang asal-usul sebuah hadits. Sebaliknya, rantai periwayat
harus dipelajari bersama-sama dengan teks sebuah hadits, yang disebut sebagai
isnad-cum-matn. Terjm: penulis). Dalam hal ini Motzki pada titik kesimpulan,
bahwa; (Pertama), materi Ibn Jurayj dari ‘Ata’ dalam Musannaf Abd ar-Razzaq
adalah benar-benar sumber otentik. (Kedua), sumber tersebut dapat dikatakan
sebagai historically reliable source (sumber sejarah yang bisa diandalkan)
untuk fase perkembangan hukum di Makkah pada dekade pertama abad ke-2 H.
3.1.2. Magnitude (banyak sanad dan penyebarannya)
Kecurigaan yang mendasarkan bahwa Mushannaf adalah kitab hadits yang tidak
lebih dari karangan fuqaha’ terbantahkan, sebab Motzki menjelaskan bahwa
magnitude (besarnya) distribusi transmisi Jurayj didapatkan dalam periwayatan
untuk Mushannaf dikarenakan dua hal: (Pertama), ia pernah tinggal di Makkah
yang memungkinkan ia bertemu dengan sejumlah sarjana, terutama ketika memasuki
musim haji. (Kedua), adalah genres (gaya atau style penyampaian). Dalam hal ini
Jurayj menunjukkan bahwa materi ia sampaikan otentik. Rupanya Motzki tidak
setuju bila Jurayj sebagai sumber hadits Abd Razaq dinyatakan sebagai pemalsu.
Sebab Jurayj memilih cara yang sangat rumit ketika menyandarkan materi hukumnya
kepada sumber yang ia sebutkan secara tidak konstan dan tidak memilih satu atau
beberapa informan saja dari fuqaha’ atau perawi terkenal. Dengan metode ini
Motzki bisa meneliti apakah seorang Jurayj memiliki kecenderungan untuk
berkompromi dengan satu/beberapa sumber yang bisa diajak memalsu hadits,
jawabnnya tidak.
B. Sanggahan Harald Motzki atas skeptisisme para
orientalis terhadap hadits (Sebuah Pembanaran atas sebagian pendapatnya) Maka
Motzki sampai pada kesimpulannya: “While studying the Musannaf of `Abd
al-Razzaq, I came to the conclusion that the theory championed by Goldziher,
Schacht, and in their footsteps, many others – myself included – which in
general, reject hadith literature as a historically reliable sources for the
first century AH, deprives the historical study of early Islam of an important
and a useful type of source.” (Setelah mengkaji Musannaf Abdurrazzaq, aku
sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori yang dibangun oleh Goldziher, Schacht
dan para pengikutnya termasuk aku – yang mana secara umum menolak literatur
hadis sebagai sumber sejarah yang dapat dipercaya pada abad I H. – berarti
mencabut atau menghilangkan studi historis awal Islam dari sebuah sumber
penting dan berguna, terj. penulis) Baginya, penelitian serius dengan obyektif
terhadap berbagai sumber ajaran agama akan menghasilkan kesimpulan yang
obyektif pula sebagaimana ungkapannya di atas. Ini menunjukan bahwa Motzki
adalah bukanlah sosok orientalis kebanyakan yang mengalami Islamic phobia
sehingga karya-karyanya “cenderung” obyektif terhadap berbagai literature yang
ditelitinya, tidak terkecuali kecenderungannya untuk mendekati obyek penelitian
dengan kacamata yang diteliti. Penulis menganggap, Motzki adalah sosok
orientalis yang “mampu” beradaptasi dengan peradaban Islam dengan berbagai
literature ilmiah yang dimilikinya. Hingga ia berkenan untuk menjadikan konsep rawi,
isnad, dan sanad hadits seperti pemahaman kaum muslimin terhadapnya.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari langkah-langkah penelitian yang dilakukan
penulis, maka sampailah pada kesimpulan bahwa langkah Motzki dalam
merekonstruksi otentitas hadits ia menggunakan 3 metodologi untuk meneliti
keabsahan hadits yang ia teliti, yakni: dating, sampling dan analizing.
(Pertama) Dating, merupakan toeri pengujian materi sejarah dengan meneliti
asal-muasal dan umur terhadap sumber sejarah atau dalam hal ini dating (penanggalan)
hadits digunakan untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan
rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang allegedly terjadi pada masa awal
Islam. Motzki menggunakannya untuk meneliti rijal hadits kitab Mushannaf milik
Abd Razaq, ia berkesimpulan bahwa hadits yang digunakan Abd ar-Razzaq dengan
merujuk keempat informan utamanya adalah otentik. (Kedua) Sampling yang
digunakan Motzki ini ia terapkan guna menganalisa hubungan antara pengarang
Mushannaf (Abd ar-Razzaq) dengan perawi di atasnya semisal Ibn Jurayj. Langkah
Motzki ini bukanlah hal baru dalam dunia jarh wa ta’dil dalam periwayatan di
kalangan pemerhati hadits muslim sebab pengujian hubungan timbal balik antara
guru-murid sekaligus takaran ‘adalah rawi telah ada di sana, hal menarik yang
patut diapresiasi dari langkah berani -kalau tidak boleh dikatakan gegabah,
sebab periwayatan hadits dengan metode sampling bisa menghasilkan kesimpulan
minor atas keshahihan sebuah kitab hadits bila ternyata rawi yang ‘terambil’
didominasi mereka yang terkena jarh sebagai perawi yang dla’if, matruk, apalagi
kadzdzab. Penulis berkesimpulan bahwa metode ini tidak bisa digunakan untuk
menstandarisasi kualitas sebuah kitab hadits, sebab bisa menimbulkan implikasi
penilaian baik-buruk yang “kurang terjamin validitasnya” atas kitab hadits yang
diteliti hingga penilaian atas kitab hadits yang ditelitipun mengalami distorsi
penilaian yang melemahkan kedudukannya. Sebagaimana penelitian penulis atas
hadits Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf dari Atha’ yang menyatakan Nabi mengucap
salam ketika khutbah Jum’at yang dimursalkan oleh olama’ hadits. Atau Dari
Ma’mar dan Ats-Tsaury, dari ’Ikrimah yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW
meng-’aqiqahi Hasan dan Husain dengan dua ekor kambing kibasy, yang juga
dimursalkan oleh ulama’ hadits. Dikarenakan dua riwayat penguat ‘Abdul-Waarits
itu tidak shahih, maka yang tersisa hanyalah jalur pertama saja, yaitu
‘Abdul-Waarits bin Sa’id, dari Ayyub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas secara
marfu’. Inilah yang dapat dipegang. Patut dicatat bahwa jalur inipun tidak
luput dari illat. ’Abdul-Warits menyelisihi banyak perawi – diantara mereka ada
yang lebih kuat daripadanya – dalam hal kebersambungan sanadnya. Sebab kekuatan
seorang rawi dalam membawa hadits tidak bisa diabaikan begitu saja, maka ia
bisa menjadi penentu apakah hadits yang dibawanya diterima kalangan ahli hadits
atau tertolak, bila mayoritas sample adalah merekayang tertolak, maka kitab
hadits itupn tertolak validitasnya. (Ketiga) Analizing, yakni analisa sanad dan
matan dengan menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan
traditional-historical yakni sebuah metode yang cara kerjanya menark
sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai
karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi para perawi
tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu. Jadi,
traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan menguji
materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur periwayatan yang
dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-materi yang diletakkan atas
nama empat tokoh sebagai sumber utamanya adalah sumber yang otentik, bukan
penisbatan fiktif yang direkayasa. Motzki memfokuskan dari sumber yang sering
diikuti Jurayj, yakni ‘Ata’. Dalam hal ini ia menggunakan teori External
Criteria (isnad) dan argument internal formal criteria of Authenticity yang
merupakan dua alat analisa yang dihasilkan ketika Motzki meneliti penyandaran
(transformasi ilmu) yang dilakukan Jurayj kepada ‘Ata’. Dalam hal ini Motzki
pada titik kesimpulan, bahwa; Materi Ibn Jurayj dari ‘Ata’ dalam Musannaf Abd
ar-Razzaq adalah benar-benar sumber otentik. Kedua, sumber tersebut dapat
dikatakan sebagai historically reliable source (sumber sejarah yang bisa diandalkan)
untuk fase perkembangan hukum di Makkah pada dekade pertama abad ke-2 H.
Kecurigaan yang mendasarkan bahwa Mushannaf adalah kitab hadits yang tidak
lebih dari karangan fuqaha’ terbantahkan, sebab Motzki menjelaskan bahwa
magnitude (besarnya) distribusi transmisi Jurayj didapatkan dalam periwayatan
untuk Mushannaf dikarenakan dua hal: (Pertama), ia pernah tinggal di Makkah
yang memungkinkan ia bertemu dengan sejumlah sarjana, terutama ketika memasuki
musim haji. (Kedua), adalah genres (gaya atau style penyampaian). Dalam hal ini
Jurayj menunjukkan bahwa materi ia sampaikan otentik. Motzki berkesimpulan
“While studying the Musannaf of `Abd al-Razzaq, I came to the conclusion that
the theory championed by Goldziher, Schacht, and in their footsteps, many others
– myself included – which in general, reject hadith literature as a
historically reliable sources for the first century AH, deprives the historical
study of early Islam of an important and a useful type of source.” (Setelah
mengkaji Musannaf Abdurrazzaq, aku sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori
yang dibangun oleh Goldziher, Schacht dan para pengikutnya termasuk aku – yang
mana secara umum menolak literatur hadis sebagai sumber sejarah yang dapat
dipercaya pada abad I H. – berarti mencabut atau menghilangkan studi historis
awal Islam dari sebuah sumber penting dan berguna, terj. penulis). Baginya,
penelitian serius dengan obyektif terhadap berbagai sumber ajaran agama akan
menghasilkan kesimpulan yang obyektif pula sebagaimana ungkapannya di atas. Ini
menunjukan bahwa Motzki adalah bukanlah sosok orientalis kebanyakan yang
mengalami Islamic phobia sehingga karya-karyanya “cenderung” obyektif terhadap
berbagai literature yang ditelitinya, tidak terkecuali kecenderungannya untuk
mendekati obyek penelitian dengan kacamata yang diteliti. Penulis menganggap,
Motzki adalah sosok orientalis yang “mampu” beradaptasi dengan peradaban Islam
dengan berbagai literature ilmiah yang dimilikinya. Hingga ia berkenan untuk
menjadikan konsep rawi, isnad, dan sanad hadits.
B. Saran
Sangat dipahami, bahwa posisi orientalis selalu
berhadapan dengan perlawanan pemikir Islam, namun bila kemudian apa yang ia
capai adalah bentuk dukungan, pembenaran dan penguatan terhadap posisi berbagai
piranti analisis Islam maka tidak selayaknya ia dicampakkan begitu saja.
Terlebih apa yang dilakukannya berlandaskan pada metode objektif sehingga
diyakini “lumayan” terjauh dari bingkai sikap skeptic terhadap Islam. Penulis
menyadari, bahwa betapa para orientalis Barat berupaya sungguh-sungguh untuk
mencurahkan segala daya upaya untuk menelusuri sumber sejarah peradaban Islam,
terlepas dari subjektifitas mereka sebagai orang di luar pagar ketauhidan
Islam. Penulis benar-benar memberikan apresiasi yang tinggi bagi siapapun yang
telah melakukan berbagai riset ilmiah terlebih yang berkenaan dengan studi
kritik hadits, sebab dengan semua itu, hadits menjadi ornament agama Islam yang
benar-benar penting untuk dikaji ulang secara menarik, sebab apapun yang tidak
bersifat qath’i pastilah debatable. Yang bila dilakukan secara objektif akan
menunjukkan muara kebenaran atau bahkan kedustaan dari obyek penelitian.
Penulis berharap, apa yang disajikan ini bermanfaat bagi kelimuan Islam pada
umumnya dan kajian otentikasi Hadist pada khususnya. Kesalahan dan kekurangan
yang ada penulis harap ada kritikan yang membangun untuk perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Aljazeerah.info. Retrieved 2010-06-13. Terakhir
diakses 19 Januari 2011, pukul: 11.12 WIB. Amin Kamaruddin, “Book Review The
Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the Classical School”,
dalam Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2003. ______________, ”Problematika Ulumul Hadis Sebuah Upaya
Pencarian Metodologi Alternatif”, dalam.www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah
/Makalah%20Komaruddin.doc. Diakses pada 21 Juni 2011, pukul 11.03 WIB.
______________, The Reliability of Hadith Transmission, A Reexamination of
Hadith Critical Methods, Bonn 2005. ______________, Western Methods of Dating
vis-a-vis Ulumul Hadis (Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis
Islam dan Barat), disampaikan pada Pidato Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar,
Disampaikan pada acara Wisuda Sarjana dan Pengukuhan Guru Besar Periode
Desember 2010, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Arkaoun. M.,
Rethingking Islam, terj. Yudian W. Yasmin dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
http://www.sonpeygamber.info/hadis–siret–arastirmalari–odul–sahiplerinden
-fatma-kizil-sorularimizi-yanitladi, terakhir diakses pada 26 juni 2011 pukul
11.56 WIB. http : // ahlulhadis . wordpress . com / 2008 / 05 / 31 / gugatan –
terhadap – hadis/, terakhir diakses pada 26 Juni 2011, pukul 11.18 WIB.
http://en.wikipedia.org/wiki/The Free Encyclopedia/Harald Motzki, terakhir
diakses 29 maret 2011, pukul: 21.04 WIB.
http://idrismuhammad.blogspot.com/2011/04/ membedah – siraj – al – thalibin –
karya – syeikh. html, diakses terakhir tanggal 10 Juli 2011.
___________________________________ kritik–atas–proyek–kritik–hadis–joseph.html,
terakhir diakses pada 27 juni 2011 pada 11.00 WIB.
http://islamlib.com/id/artikel/diskursus-hadis-di-jerman/, diakses pada 27 Juni
2011, 10.31 WIB.
http://islamuna-adib.blogspot.com/2010/03/pemikiran-harald-motzki-tentang-hadis.
html didownload pada 27 June 2011 09.17 WIB.
http://www.ashgate.com/isbn/9780860787044, didownload pada 27 Juni 2011 pukul
10.54 WIB http://www.darulkautsar.net/print.php?page=2&articleid=822 pada
26 juni 2011/ pukul 11.22 WIB. http://www.google.com/search?tbo=p&tbm=bks&q=inauthor:%22Harald+Motzki%22&source=gbs_metadata_r&cad=10#q=inauthor:%22Harald+Motzki%22&hl=en&tbm=bks&ei=2y8dTtSyMsWzrAeksvWNDA&start=10&sa=N&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.&fp=ab5d2971f87bd149&biw=1024&bih=507,
terakhir diakses pada: 22 Juni 2011, pukul 12.50 WIB. http://www.ru.nl/arabisch/motzki/,
terakhir diakses 29 maret 2011, pukul: 09.12 WIB. M. Mansur Ali, Muslim World
Book Review (MWBR), Vol. 31, issue 3, Spring 2011. Mahmud at-Thahani, Taisiru
Musthalahi-l-Hadits, Gontor: Darusalam Press, 2000. Motzki Harald, “The
Musannaf Of `Abd al-Razzaq Al-San`ani As A Source of Authentic Ahadith of The
First Century A.H.”, Journal Of Near Eastern Studies, 1991, Volume 50.
___________, “The Musannaf of ar-Razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadith
of the First Century”, Journal of Near Easern Studies, Vol. 50. No. 1.
___________, “Whither Hadith-Studies? A Critical Examination of G.H.A.
Juynboll’s Nafi’ the mawla of Ibn ‘Umar and His Position in Muslim
Hadith-Literature”, rans. Fiona Ford and Frank Griffel. Radboud Universiteit
Nijmegen, Publicatielijst Harald Motzki, 2011. Umi Sumbulah, Kritik Hadis
(Pendekatan Historis-Metodologis), Malang: UIN Malang Press, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar