BAB
I
KONSEP
KE-TUHANAN DALAM ISLAM
1. Filsafat ke-Tuhanan dalam Islam
Ciri-ciri pemikiran kefilsafatan
adalah : Konsepsional, Saling berhubungan antar jawaban-jawaban kefilsafatan,
Koheren (sistematis), Rasional, Komprehensip, Universal dan Mendasar (Radikal).
Filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth), sedangkan
tujuan agama juga menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Seperti pendapatt
al-Kindi bahwa yang benar pertama (alhaqqul-awwal = the First Truth) adalah
Tuhan. Untuk itu dikatakan bahwa filsafat yang termulia dan tertinggi
derajatnya adalah filsafat utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang
menjadi sebab bagi segala yang benar.
Sesuai dengan faham yang ada dalam
Islam, Tuhan menurut al-Kindi adalah Pencipta. Alam bagi al-Kindi bukan kekal
di zaman lampau (qadim), tetapi mempunyai permulaan. Oleh karena itu al-Kindi
dalam hal ini lebih dekat dengan filsafat Plotinus, yang mengatakan bahwa Yang
Maha Satu adalah sumber dari alam dan sumber dari segala yang ada. Alam adalah
emanasi dari Yang Maha Satu (Harun Nasution, 1978).
Dalam semua kitab suci, adanya Tuhan
dianggap secara terang-terangan sebagai kebenaran axioma. Akan tetapi dalam
Al-Qur'an dijumpai banyak bukti untuk membuktikan adanya Dzat Yang Maha Luhur,
Pencipta dan Pengatur semesta alam, yaitu Allah swt. Setidaknya ada tiga bukti
dalam Al-Qur'an, yaitu : 1. Bukti yang diambil dari kejadian alam atau disebut
dengan pengalaman jasmani manusia (96:1, 87:1 – 3, 51:47 – 49, 36:36, 43:12;
67:3 -4, 55:5 – 6, 36:38 – 40, 41:11, 45:12 – 13, 7:54), 2. bukti tentang
kodrat manusia atau pengalaman ruhani manusi (52:35 – 36, 43:9, 7:172, 30:30,
50:16, 56:85; 41:51, 30:32, 16:53) dan 3. Bukti yang didasarkan atas Wahyu
Tuhan kepada manusia (68:2 – 3, 108:1, 94:5, 93:4 – 5, 81:19 – 20, 17:79, 20:1
– 2, 30:4 – 5, 40:51, 25:10, 24:55, 48:28, 72:24, 54:44 – 45, 3:11).
Selanjutnya, konsep ke-Tuhanan dalam
Islam sepenuhnya membahas tentang ke-Esaan Allah sebagai inti dari ajaran
keimanan yang lazim disebut dengan istilah Tauhid.
Kalimat Tauhid yang terkenal adalah "laa
ilaaha illallaah" artinya tidak ada Tuhan selain Allah, mengandung
maksud bahwa tidak ada Tuhan yang pantas disembah selain Allah. Menurut
Al-Qur'an mengandung arti bahwa Allah itu Esa Dzat-Nya, Sifat-Nya dan Af'al-Nya
(Perbuatan-Nya). Esa Dzat-Nya maksudnya adalah bahwa bahwa tidak ada Tuhan
lebih dari satu dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Esa Sifat-Nya maksudnya adalah
tidak ada dzat lain yang memiliki satu atau lebih sifat-sifat ke-Tuhanan yang
sempurna, sedangkan Esa Af'al-Nya adalah bahwa tidak ada satu kekuatanpun yang
bisa melakukan pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Allah. Ajaran Tauhid
digambarka secara simple dan indah oleh Al-Qur'an surat Al-Ihlash (112:1 – 4).
Lawan Ke-Esaan
atau Tauhid adalah Syirik, artinya persekutuan yang jika diambil jamaknya
kalimat tersebut menjadi Syurakaa', artinya sekutu. Dalam Al-Qur'an kalimat
syirk digunakan dalam arti mempersekutukan Tuhan lain dengan Allah, baik
persekutuan itu mengenai Dzat-Nya, Sifat-Nya atau Af'al-Nya, maupun mengenai
ketaatan lain yang seharusnya ditujukan kepada Allah semata. Dalam Al-Qur'an
diterangkan bahwa syirk adalah perbuatan dosa paling berat yang perlu dijauhi
dan diwaspadai (31:13, 4:48, 2:30, 45:12 – 13, 2:34, 6:165, 7:140; 3:63, 9:31,
25:43, dsb).
Berbagai macam syirik yang diuraikan
dalam Al-Qur'an menunjukkan, bahwa ajaran Tauhid menganugerahkan kepada dunia
sebuah amanat tentang peningkatan kemajuan dalam segala bidang, baik jasmani,
akhlak maupun rohani. Manusia bukan saja dibebaskan dari perbudakan oleh barang
yang hidup atau mati, melainkan pula dibebaskan dari penyembahan kepada
kekuatan alam yang besar dan mengagumkan. Justru manusia harus
menakklukkan itu semua guna kepentingan manusia itu sendiri. Nabi Muhammad saw
sebagai seorang hamba pilihan Allah diperintahkan supaya mengatakan : "Aku
hanya manusia biasa seperti kamu; hanya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu
adalah Tuhan Yang Maha Esa" (18:110). Dengan demikian, segala belenggu
yang mengikat jiwa manusia harus dipatahkan; dan manusia berjalan diatas jalan
yang menuju kearah kemajuan. Jiwa budak tidak akan mungkin berbuat sesuatu yang
baik dan besar; oleh sebab itu syarat pertama untuk mencapai kemajuan ialah,
membebaskan jiwa dari segala macam perbudakan yang membelenggu; ini hanya bisa
dicapai dengan Tauhid.
2. Keimanan dan
Ketaqwaan
Dalam
Al-Qur'an terdapat sejumlah ayat yang redaksionalnya terdapat kata iman,
seperti dalam 2:165. Tergambar dalam ayat tersebut bahwa orang-orang yang
beriman (kepada Allah) adalah orang yang "Asyaddu Hubban Lillaah" artinya cinta yang mendalam kepada Allah.
Sikap yang menunjukkan kecintaan atau kerinduan yang luar biasa terhadap Allah.
Disitu mencerminkan bahwa iman adalah sikap atau attitude, yaitu kondisi mental
yang menunjukkan kecenderungan atau keinginan luar biasa terhadap Allah. Orang
yang beriman kepada Allah adalah orang yang rela mengorbankan jiwa, raga dan
hartanya untuk mewujudkan harapan atau kemauan yang dituntut Allah kepadanya.
Sedangkan
kata Taqwa berasal dari kata Waqa, Yaqi, Wiqayah, artinya takut, menjaga,
memelihara dan melindungi. Sesuai dengan makna etimologi tersebut, makna Taqwa
adalah sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama
Islam secara utuh dan konsisten (istiqamah). Diantara makna Taqwa yang
diterangkan dalam Al-Qur'an terdapat dalam 2:177. Disana akan dijumpai
setidaknya ada 5 indikator orang yang bertaqwa, yaitu :
- Iman kepada Allah, para Malaikat, Kitab-kitab (suci), dan para Nabi.
Indikator pertama
adalah memelihara fitrah iman.
- Mengeluarkan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan, peminta-minta, dan untuk misi kemanusiaan (riqaab).
Indikator kedua
adalah kesanggupan mengorbankan harta demi kecintaannya kepada sesame manusia
.
- Mendirikan Shalat dan menunaikan Zakat
Indikator ketiga
adalah memelihara ibadah formal.
- Menepati janji
Indikator keempat adalah memelihara
kehormatan diri (komitmen).
- Sabar di saat kepayahan, kesusahan dan diwaktu perang
Indikator kelima
adalah memiliki semangat perjuangan.
Secara garis besar, agama Islam dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu, bagian teori atau yang lazim disebut dengan rukun iman dan bagian
kedua adalah bagian praktek, yang mencakup segala apa yang harus dikerjakan
oleh orang Islam. Bagian pertama bisa disebut Ushul (pokok) sedangkan bagian
kedua disebut Furu' (cabang). Keimanan seseorang adalah sebagai landasan
bersikap, berfikir dan perbuatan yang dilakukan dalam hidupnya. Sejauh dia
berusaha menjaga dan mengembangkan kualitas imannya, maka sejauh itu pula dia
akan mencapai derajat ketaqwaannya dihadapan Allah swt.
Dalam Hadits acap kali kata iman itu digunakan dalam
pengertian yang lebih luas, atau kadang untuk menggambarkan perbuatan baik yang
sederhana. Nabi saw pernah bersabda : "Iman mempunyai cabang enam puluh
lebih , dan rendah hati (Hayyaa') adalah salah satu cabang dari Iman"
(Bu.2:3). Dalam Hadits lain disabdakan : "Iman mempunyai cabang
tujuh puluh lebih, yang paling tinggi ialah kalimat Laa ilaaha illlallah,
sedang yang yang paling rendah ialah menyingkirkan apasaja yang bisa
mendatangkan bencana dari jalan" (M. 1:12). Rasulullah pernah bersabda
: 'Bahwa mencintai Shahabat Anshar adalah salah satu pertanda iman"
(Bu. 2:10). Sabda Beliau yang lain : "Salah seorang diantara kamu
tidak beriman, kecuali dia mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri
sendiri (Bu. 2:7). Masih banyak lagi Hadits-Hadits yang senada seperti itu.
Singkat kata bahwa ketaqwaan itu adalah suatu implementasi dari keimanan
seseorang dalam hidupnya, yang sudah barang tentu juga dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi tertentu sebagai lingkunagannya.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa semua rukun iman itu
sebenarnya landasan bagi perbuatan. Allah adalah Dzat yang mempunyai segala
sifat kesempurnaan. Jika orang diharuskan beriman kepada Allah, itu sebenarnya
ia harus berusaha memiliki sifat-sifat akhlak yang tinggi dengan tujuan
mencapai Sifat Ilahi. Dia harus menempatkan cita-cita yang amat luhur dan amat
suci sebagai idamannya, yang selalu terlintas dalam benaknya, serta dia harus
berusaha menyesuaikan tingkah lakunya dengan cita-cita itu. Adapun beriman
kepada Malaikat ialah agar dia menuruti bisikan yang baik, sehingga membentuk
karakter seperti Malikat, yaitu selalu taat kepada Allah dan sekali-kali tidak
mendurhaka kepada-Nya.
Beriman kepada
Kitab Suci ialah agar manusia mengikuti petunjuk yang termuat didalamnya guna
mengembangkan daya batin dalam dirinya. Sedangkan beriman kepada para Utusan ialah
agar manusia mencontoh suri-tauladan yang diberikan oleh mereka
dan rela mengorbankan hidup untuk
kepentingan sesama manusia.Beriman kepada hari Akhir mengajarkan kepada
manusia, bahwa kemajuan material, fisik atau jasmani bukanlan tujuan hidup,
akan tetapi tujuan hidup yang sebenarnya ialah hidup abadi yang amat luhur,
dimulai dari Hari Kebangkitan (qiyamat). Akhirnya, Iman kepada Qadla' dan qodar
memberi kesadaran kepada manusia tentang Maha luasnya ketentuan-ketentuan Allah
yang harus difahami, baikk yang tersirat dalam setiap gajala di alam semesta,
maupun yang tersurat pada Kitab-kitab Suci yang telah diturunkan kepada para
Utusan-Nya.
Disamping itu
memberikan dorongan kepada manusia agar mencapai kemajuan dalam hidupnya,
menyadarkan akan keterbatasan dirinya dan menyadarkan bahwa keputusan Allah
(Qadla') adalah suatu hak prerogratif yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
3. Implementasi
Iman dan Taqwa dalam Kehidupan Modern.
Seperti yang telah
dijelaskan, bahwa manusia harus melepaskan belenggu-belenggu dalam hidupnya
guna mengadakan perubahan-perubahan positif mencapai kemajuan, yang itu bisa
dicapai hanyalah dengan Tauhid (meng-Esaka Allah swt). Dalam Islam tidak ada
satupun ajaran dogmatis, yaitu ajaran yang dianggap dapat menyelamatkan manusia
hanya dengan percaya saja. Menurut ajaran Islam, Iman bukanlah semata-mata
suatu keyakinan akan benarnya ajaran yang diberikan, melainkan Iman itu
sebenarnya menerima suatu ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan. Hanya
dengan Iman yang benar manusia mencapai kemajuan yang sebenarnya dalam
kehidupan modern. Disamping itu manusia dalam setiap perbuatannya selalu
berpegangan dengan satu kekuatan yang luar biasa untuk menyelamatkan kehidupan.
Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Allah : "Maka barang siapa mengafiri
Thoghut (syetan) dan beriman kepada Allah, ia sungguh-sungguh berpegang teguh
pada pegangan yang tidak putus-putusnya atau kuat (2:256).
Iman kepada Allah
dan Malaikat akan mendorong manusia kearah perbuatan baik, sedangkan setan
adalah makhluk yang mendorong manusia kearah perbuatan jahat. Oleh sebab itu
yang dimaksud mengimplementasikan iman adalah, menerima suatu prinsip sebagai
lendasan bagi perbuatan baik, yang seluruh ajaran Islam cocok dengan kemajuan
fitrah manusia. Dalam Islam tidak
ada dogma, tidak ada
rahasia dan tidak ada kepercayaan yang tidak memerlukan perbuatan. Tiap-tiap
rukun iman adalah ajaran yang harus diwujudkan dalam perbuatan, guna mencapai
puncak perkembangan manusia.
Dalam menegakkan Tauhid, manusia harus menyatukan iman
dan amal, konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan
konteks. Dengan demikian bertauhid adalah yakin dan percaya kepada Allah semata
melalui fikiran dan membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan
mengamalkan dengan perbuatan. Disamping itu manusia juga dianugerahi akal
pikiran dalam melakukan perbuatannya. Menggunanakan akal atau pertimbangan
dalam masalah agama dan undang-undang, juga memegang peranan penting dalam
agama Islam, oleh karena itu Al-Qur'an sangat menghargai akal fikiran. Berulang-ulang
Al-Qur'an berseru untuk menggunakan akal dan pertimbangan. Al-Qur'an banyak
pernyataan seperti :
"Apakah kamu tidak
merenungkan ?", "Apakah kamu tidak mengerti?" , "Apakah
kamu tidak mempunyai akal?", "Ini adalah pertanda bagi orang yang
mempunyai akal", "Dalam hal ini adalah pertanda bagi orang yang
mempunyai akal"
dan sebagainya.
Orang yang tidak menggunakan akalnya disamakan dengan binatang, bahkan
dikatakan pula dalam Al-Qur'an, sebagai orang yang tuli, bisu dan buta (2:171,
7:179, 8:22, 25:44, 3:189, 190).
Islam
yang telah dipisahkan dengan ilmu pengetahuan, sebagai akibat lanjut dari
pemisahan agama dengan masalah-masalah dunia oleh kekuatan-kekuatan jahat.
Dalam perkembangannya umat Islam seolah-olah kehilangan kemampuan menghadapi
cepatnya perubahan sosial dan teknologi dizaman modern ini. Berbagai cabang
ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Teknologi dengan temuan-temuannya
dalam waktu yang relative singkat semakin canggih, makin mengagumkan dan
memukau.
Seharusnya
dengan hasil tersebut dapat membuat makin sempurnalah kebahagiaan hidup
manusia. Akan tetapi kenyataannya bukan mengangkat harkat manusia, kemajuan
tersebut bahkan membuat kesengsaraan sebagian besar umat manusia. Penjajajahan,
penindasan bentuk baru, tindak kesewenangan hingga kepeperangan dalam berbagai
bentuk menghantui kehidupan ini.
Dengan
pemahaman yang benar tentang implementasi iman dan taqwa dalam kehidupan modern,
diharapkan mencapai kesadaran yang benar tentang tidak terpisahnya hubungan Islam
dan Ilmu Pengetahuan, tidak terpisahnya kehidupan jasmani dan ruhani serta
kehidupan dunia dan akhirat, sehingga sumbangan kemajuan ilmu pengetahuan akan
mendatangkan kebahagiaan hidup pribadi, bangsa bahkan dunia hingga akhirat
melaui Islam.
Dalam
Al-Qur'an sarat akan keterangan mengenai indikator orang-orang yang Taqwa,
antara lain dalam 3:133 - 136 setidaknya ada 6 indikator :
- Gemar berinfaq dalam berbagai situasi dan kondisi
- Mampu menahan amarah
- Pemaaf kepada segenap manusia
- Gemar berbuat baik dengan siapapun
- Segera insyaf dan bertaubat atas kesalahan yang pernah diperbuat
- Tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama.
Juga dalam 3:190 – 195
disebutkan beberapa indicator orang-orang yang berakal sehat, antara lain :
1. Selalu
mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi
2. Selalu berfikir
(mempelari) gejala-gejala alam (ilmu pengetahuan)
3. Kesadaran
menghindarkan kesengsaraan dalam hidup
4. Kesadaran
menumbuhkan keimanan
5. Mewaspadai
terjadinya kesalahan yang mungkin diperbuat
6.
meyakini kebenaran janji-janji
Allah lewat Utusan-Nya.
Ada kalimat yang
perlu direnungkan dalam hal ini, dari Dr. Albert Instein yang mengandung saran
untuk berusaha kearah penyatuan agama dan ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
"Emosi yang paling
indah dan paling mendalam yang dapat kita alami adalah kesadaran akan perkara
yang sifatnya spiritual (mistis). Kesadaran itu merupakan kekuatan segala ilmu
pengetahuan sejati. Orang yang tidak mengenal emosi itu, yang tidak dapat lagi
merasa kagum dan terpesona karena rasa hormat yang mendalam, boleh dikatakan
mati. Mengetahui sesuatu yang tidak dapat kita fahami itu sungguh ada dan
menyatakan diri sebagai kebijaksanaan yang setinggi-tingginya dan keindahan
yang seindah-indahnya, dimana kesanggupan kita yang tumpul itu hanya dapat
memahaminya dalam bentuknya yang paling sederhana, pengetahuan dan perasaan itu
ialah pusat keagamaan yang sejati".
BAB
II
SUMBER
POKOK AJARAN ISLAM
2.1. Al-Qur'an
Sumber
asli dari semua ajaran dan syari"at Islam ialah Kitab suci yang lazim disebut
Al-Qur'an. Kata Qur'an berulang-ulang disebutkan dalam Kitab itu sendiri,
diantaranya : 2:185; 10:37, 61; 17:106 dan sebagainya. Kata Qur'an adalah isim
masdar (bentuk infinitive) dari akar kata qoro'a yang arti aslinya adalah
mangumpulkan barang-barang menjadi satu (LL). Qur'an berarti pula
membaca, karena dalam membaca, huruf dan kata-kata dihubungkan satu sama lain
menjadi susunan kalimat (R). Jadi dengan demikian, secara harfiah kata Al-Qur'an lazimnya
diartikan dengan bacaan, karena pada kenyataannya Kitab itu yang paling luas
dibaca di seluruh dunia. Sedangkan menurut istilah Al-Qur'an adalah kumpulan
Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Melalui malaikat
(Jibrlil) sebagai podoman hidup manusia sepanjang jaman. Oleh karena itu seluruh
ayat-ayat yang terdapat didalamnya adalah berbentuk Wahyu Matluww, artinya
Wahyu yang dibacakan oleh Malaikat.
Al-Qur'an pertama kali diturunkan oleh Allah swt. Pada
suatu malam nan Agung (97:1), yang diberkahi (44:3) dengan menggunakan bahasa
Arab (44:58; 43:3). Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur, dan setelah
penggalan-penggalan itu diturunkan segera ditulis dan dihafalkan. Adapun
lamanya Al-Qur'an diturunkan selama kenabian Muhammad saw. adalah duapuluhtiga
tahun, yang selama itu beliau sibuk memperbaiki dunia yang dilanda kegelapan
(17:106). Al-Qur'an adalah Firman Allah yang dibawa oleh Ruh suci atau malaikat
Jibril dan disampaikan dalam bentuk kata-kata yang diucapkan (Matluww), Kepada
Nabi Muhammad saw, untuk disampaikan kepada umat manusia (26:192 – 195; 2:97;
16:102).
Walaupun
Al-Qur'an itu diturunkan secara berangsur-angsur, akan tetapi seluruh wahyu
Al-Qur'an adalah satu kesatuan yang bulat, disampaikan oleh Allah dengan cara
yang sama, yaitu diturunkan melalui Ruh Suci atau Malaikat Jibril. Seluruh
kandungan Al-Qur'an adalah merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak bisa
dipisah-pisahkan satu dengan yang lain, sebagai bentuk wahyu Allah swt yang
paling tinggi derajatnya dibandingkan bentuk-bentuk Wahyu Allah yang lain untuk
sekalian umat manusia (42:51).
2.2. Al-Hadits
Al-Hadits
atau As-Sunnah adalah sumber pokok syari'at Islam yang kedua sesudah Al-Qur'an.
Kata Hadits artinya adalah ucapan yang disampaikan kepada manusia, sedangkan
kata Sunnah artinya adalah laku, aturan, cara bertindak atau tingkah laku. Dalam
ajaran Islam dua istilah itu dimaksudkan semua ucapan atau sabda, perbuatan dan
ketetapan Nabi Muhammad saw semasa kenabiannya. Sehingga kita mengenal adanya
Hadits atau Sunnah qauli, fi'li dan taqriri. Dari istilah Hadits dan Sunnah
tersebut dalam perkembangannya yang sangat popular adalah kata Hadits atau
Al-Hadits (kata ma'rifat).
Setiap
orang yang mempelajari Al-Qur'an pasti tahu bahwa pada umumnya ayat-ayatnya
membehas asas-asasnya atau aturan-aturan secara garis besar dan jarang dibahas
sampai pada yang sekecil-kecilnya. Pada umumnya penjelasan yang
sekecil-kecilnya tentang pembahasan yang terdapat dalam Al-Qur'a itu didapatkan
dalam Al-Hadits, baik berupa contoh tentang bagaimana melaksanakan suatu
perintah, maupun penjelasan secara lisan atau kata-kata. Maka disinilah arti
pertingnya Al-Hadits sebagai dasar pokok ajaran Islam setelah Al-Qur'an.
Al-Hadits
bukan saja sangat dibutuhkan setelah Nabi Muhammad saw wafat, akan tetapi
dibutuhkan pula ketika beliau masih hidup. Misalnya perintah shalat dan zakat
adalah dua perintah yang sering diulang dalam Al-Qur'an, berarti perintah yang
sangat penting dan tidak ada keterangan yang detail menjelaskan tentang
perintah itu. Perintah itu hanya disampaikan dalam Al-Qur'an dengan kalimat "Aqiimus-Shalaata
wa-atuz-Zakaata" artinya : Tegakkanlah oleh kalian semua, Shalat dan
tunaikanlah Zakat, disampaikan berkali-kali akan tetapi tidak ada penjelasan
rinci dalam ayat-ayat yang lain dan akan didapatkan penjelasan dan contoh-contohnya
hanyalah dalam Al-Hadits, baik dalam tata-cara menegakkan Shalat maupun
tata-cara menunaikan Zakat. Ini adalah sekedar contoh, tetapi karena ajaran
Al-Qur'an adalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, maka beratus atau
beribu persoalan yang harus dijelaskan dan diberikancontoh oleh Nabi Muhammad
saw. Untuk itu dalam segala hal beliau dijadikan oleh Allah swt sebagai suri
tauladan bagi umat Islam (33:12).
Karena
begitu pentingnya Al-Hadits sebagai juru penjelas dari setiap ajaran Al-Qur'an,
maka Al-Hadits harus dibersihkan dari campur tangan Tarikh Nabi, Israiliyat, Nashraniyat dan dari Juru
Cerita yang mencoba menyisipkan itu kedalamnya. Jika Al-Hadits tercemari oleh
itu semua, digunakan untuk menjelaskan Al-Qur'an maka akan terjadi kesalahan
yang fatal. Oleh sebab itu Syah Abdul Aziz telah menyimpulkan aturan penilaian
Hadits dalam kitabnya yang berjudul "Ujalah Nafi'ah", menyebutkan
bahwa Hadits tidak boleh diterima jika keadaannya sebagai berikut :
- Bertentangan dengan fakta sejarah
- Diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dikuatkan oleh kesaksian orang yang tidak memihak.
- Mewajibkan kepada semua orang untuk mengetahuinya dan mengamalkannya, dan hanya diriwayatkan oleh satu orang.
- Saat dan kejadian diriwayatkannya Hadits itu membuktikan bahwa Hadits itu dibikin-bikin.
- Bertentangan dengan akal, atau bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang terang.
- Menjelaskan peristiwa yang secara wajar seharusnya diriwayatkan oleh banyak orang, akan tetapi ternyata hanya oleh seorang saja.
- Kalimatnya menjelaskan hal-hal yang tidak idium dengan bahasa Arab, atau tidak pantas dilakukukan oleh Nabi Muhammad saw.
- Berisi ancaman dan hukuman yang berat untuk perbuatan dosa kecil, dan menjanjikan pahala besar bagi amal yang tak seberapa.
- Menjanjikan pemberian pahala oleh Nabi atau Rasulullah kepada orang yang berbuat baik.
- Ada pengakuan langsung dari perowi bahwa dia yang membuat-buat Hadits itu.
Aturan penilaian Hadits yang sama
juga disampaikan oleh Mullah Ali Qari dalam kitabnya yang berjudul Maudlu'at,
oleh Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya Fathul Mughits, dan oleh Ibnu Hajar dalam
kitabnya Nuzatun-Nazar.
Selain aturan-aturan tersebut,
sebenarnya ada batu uji yang ampuh untuk menetapkan keshahihan Al-Hadits,
bahkan batu uji itu pemakaiannya diperintahkan oleh Nabi saw. sendiri.
Diriwayatkan bahwa beliau bersabda sebagai berikut :
"Banyak orang yang meriwayatkan Hadits
dari saya; maka ujilah itu dengan Al-Qur'an; jika suatu Hadits cocok dengan
Al-Qur'an, maka terimalah itu; tetapi jika tidak cocok, maka tolaklah
itu". Ada lagi
pengakuan dari Beliau : "Aku hanyalah manusia biasa, jika aku
memerintahkan sesuatu kepada kamu tentang agama, terimalah itu; dan jika aku
memerintahkan tentang perkara dunia, aku hanyalah manusia biasa" (MM. 1:6
– i).
2.3. Ijtihad
Ijtihad adalah sumber syariat islam
yang nomor tiga.kata ijtihad berasal dari kata jahd yang artinya berusaha keras
atau berusaha sekuat tenaga; kata ijtihad yang secara harfiah mengandung arti
yang sama, ini secara teknis diterapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan
kemampuan akalnya berusaha keras untuk menentukan pendapat dilapangan hukum
mengenai hal yang pelik dan meragukan.
Ada
beberapa metode dalam berijtihad, yaitu:
1. Qias
Qias makna aslinya, mengukur atau
membandingkan atau menimbang dengan membandingkan sesuatu. Para fukaha menerapkan
Qias itu pada proses deduksi, yang dengan ini teks undang-undang itu diterapkan
pada suatu perkara, yang walaupun tak dijelaskan oleh bahasa undang-undang itu,
tetapi dipengaruhi oleh kesimpulan teks itu. Singkatnya, Qias itu dapat
dirumuskan, menarik kesimpulan dengan analogi.
2. Istihsan
Istihsan yang makna aslinya menganggap baik
suatu barang atau menyukai barang itu, itu menurut terminologi pada ahli hukum,
berarti menjalankan keputusan pribadi, yang tak didasarkan atas Qias, melainkan
didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan.
3. Istidlal
Istidlal
makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Dua sumber
utama yang diakui untuk ditarik kesimpulannya ialah adat dan kebiasaan;
demikian pula undang-undang agama yang diwahyukan sebelum islam. Diakui bahwa
adat dan kebiasaan yang lazim di tanah arab pada waktu datangnya islam yang tak
dihapus oleh islam, ini mempunyai kekuasaan hukum. Demikian pula, adat dan kebiasaan
yang lazim dimana-mana, jika ini tidak bertentangan dengan jiwa ajaran Qur’an,
atau tak terang-terangan dilarang oleh Qur’an, ini juga diperbalehkan; karena,
menurut peribahasa para ahli hukum yang sudah terkenal, diizinkannya sesuatu
adalah prinsip asli , oleh karena adat itu diakui oleh sebagian besar rakyat,
maka adat ini mempunyai kekuatan ijmak dengan demikian, adat mempunyai
prioritas di atas tertib hukum yang diambil dari analogi.
4.
Ijmak
Kata
Ijmaa’ (di-Indonesiakan menjadi ijmak) berasal dari kata Jam”, artinya
menghimpun atau mengumpulkan, Ijmak mempunyai dua makna, yaitu, menyusun dan
mengatur suatu hal yang tak teratur, oleh sebab itu berarti menetapkan dan
memutuskan suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat.
Menurut istilah ulama fikih, Ijmak berarti kesepakatan pendapat diantara
mujtahid, atau persetujuan pendapat diantara ulama fikih dari abad tertentu
mengenai masalah hukum. Persetujuan pendapat ini disimpulkan dengan tiga cara,
pertama, dengan qoul (ucapan), yaitu pendapat tentang suatu masalah yang
dikeluarkan oleh para mujtahid yang diakui sah. Kedua, dengan fi’il
(perbuatan), yaitu apabila ada kesepakatan dalam praktek. Ketiga, dengan sukuut
(diam), yaitu apabila para mujtahid tak membantah suatu pendapat yang
dikeluarkan oleh salah satu atau beberapa mujtahid. Pada umumnya ulama
berpendapat, bahwa Ijmak berarti kesepakatan pendapat diantaranya para mujtahid
saja; jadi orang yang tak alim dalam hukum, tak boleh mengambil bagian dalam
Ijmak, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa Ijmak berarti persetujuan
pendapat diantara kaum muslimin; hanya anak kecil dan orang gila sajalah yang
tak diikutsertakan dalam Ijmak. Ada berbagai
pendapat tentang apakah ijmak itu hanya terbatas pada suatu tempat, atau
terbatas pada satu atau beberapa generasi. Imam Malik mendasarkan Ijtihad
beliau atas kesepakatan pendapat orang-orang madinah. Secara teori, pembatasan
semacam itu tak dapat dibenarkan. Jika diingat bahwa orang terpelajar itu tak
hanya terbatas di Madinah saja, bahkan di zaman Nabi Muhammad saw, mereka
dikirim ke tempat-tempat yang jauh di luar jazirah. Pendapat yang paling dapat
diterima ialah bahwa Ijmak Ahlus Sunnah wal Jamaah tak mengikutsertakan kaum
Syiah dalam rencana Ijmak bagitu pula sebaliknya. Kaum Syiah berpendapat bahwa
hanya keturunan Sayyidina Ali dan Siti Fatimah sajalah yang pantas melakukan
ijtihad. Diantara golongan Ahlus Sunnah wal jamaah, ada sebagian yang
berpendapat bahwa ijmak itu hanya terbatas bagi para Sahabat nabi, sedang sebagian
yang lain berpendapat bahwa ijmak itu meliputi generasi berikutnya, yaitu
generasi Tabiin, tetapi pendapat yang paling umum adalah bahwa ijmak itut tidak
terbatas pada suatu generasi, atau pada suatu Negara; oleh sebab itu, ijmak
yang sebenarnya ialah kesepakatan pendapat diantara sekalian mujtahid dari
semua Negara dalam abad apa saja, tetapi ini adalah sesuatu yang hampir-hampir
tak mungkin.
Ada perbedaan pendapat yang cukup besar tentang
apakah hukum ijmak itu dibentuk dengan suara terbanyak diantara para mujtahid,
ataukan dengan kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid itu.
BAB III
HAKEKAT MANUSIA
MENURUT ISLAM
3.1. Konsep Manusia dalam Berbagai
Perspektif
Manusia adalah ciptaaan
Allah sebagai makhluk yang sempurna QS. Ath-Thin 95 : 4 dibandingkan dengan
makhluk lainnya. Dengan demikian Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk
biologis, psikologis dan sosial. Manusia sebagai al-basyar tunduk kepada taqdir Allah, sama dengan makhluk yang lain.
Manusia sebagai al-insan dan An-Nas bertalian dengan hembusan Ilahi
atau Roh Allah yang memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau
menentang Taqdir Allah.
Menurut pandangan
Murtadlo Mutahhari manusia adalah makhluk serba dimensi. Dimensi pertama, secara
fisik manusia hampir sama dengan hewan, membutuhkan makan, minum, istirahat dan
kawin, supaya dia bisa hidup, tumbuh dan berkembang. Dimensi kedua, manusia
memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan
dan menghindari kerugian. Dimensi ketiga, manusia mempunyai perhatian terhadap
keindahan. Dimensi keempat, manusia manusia memiliki kemampuan untuk menyembah
Tuhan. Dimensi kelima, manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat
ganda, karena dia dikaruniai akal, fikiran dan kehendak bebas, sehingga dia
mampu menahan hawa nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam hidupnya.
Dimensi keenam, manusia mampu mengenal dirinya sendiri. Jika dia sudah mengenal
dirinya, maka dia akan mencari dan ingin mengetahui siapa penciptanya, mengapa
dia diciptakan, dari apa dia diciptakan, bagaimana proses penciptaannya, dan
untuk apa dia diciptakan.
3.2. Eksistensi dan Martabat Manusia
Al-Qur’an menggambarkan
manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai Khalifah-Nya di muka bumi, serta
sebagai makhluk yang semi-samawi, yang dalm dirinya ditanamkan sifat mengakui
Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam
semesta; serta dikaruniai keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi.
Manusia dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan.
Kemaujudan manusia dimulai dari kelemahan dan ketidak mampuan, yang kemudian
bergerak kearah kekuatan, tetapi hal itu tidak menghapuskan kegelisahan,
kecuali manusia dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas manusia tidak
terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu.
Manusia mempunyai
keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong manusia, dalam banyak hal
tidak bersifat kebendaan. Manusia dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan
karunia yang dilimpahkan kepada dirinya, namun pada saat yang sama, manusia
harus menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
3.3. Tanggung Jawab
Manusia sebagai Hamba dan Khalifah Allah
Sebagai makhluk Allah, manusia
mendapat amanat yang harus dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya. Tugas hidup
yang dipikul manusia dimuka bumi adalah tugas kekhalifahan, yaitu tugas
kepemimpinan; wakil Allah di muka bumi untuk mengelola dan memelihara alam.
Khalifah berarti wakil
atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah, berarti
manusia memperoleh mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi.
Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan
dirinya mengolah dan mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan
hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah.
Agar manusia bias
menjalankan kekhalifahannya dengan baik, Allah telah mengajarkan kepadanya
kebenaran dalam segala ciptaan-Nya dan melalui pemahaman serta panguasaan
terhadap hokum-hukum yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia bias menyusun
konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam
kebudayaan.
Disamping peran manusia
sebagai khalifah Allah di muka bumi yang memiliki kebebasan, dia juga sebagai
hamba Allah (‘abdullah). Seorang
hamba harus taat dan patuh kepada perintah Allah.
Kekuasaan manusia
sebagai khalifah Allah dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang telah digariskan
oleh yang diwakilinya, yaitu hokum-hukum Tuhan baik yang tertulis dalam kitab
suci (al-qaul), maupun yang tersirat dalam kandungan pada setiap gejala alam
semesta (al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili
adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya serta mengkhianati
kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu dia diminta pertanggungjawaban
terhadap penggunaan kewenangannya dihadapan yang diwakilinya, sebagaimana
firman Allah dalam surat fathir : 39.
Makna yang esensial
dari kata ‘abdun (hamba) adalah
ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan dan kepatuhan mnusia
hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan,
dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan.
Dua peran yang dipegang
manusia dimuka bumi, sebagai khalifah dan ‘abdun merupakan keterpaduan tugas dan
tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup yang sarat dengan kreatifitas dan
amaliyah yang selalu berpihak pada nilai-nilau kebenaran.
Berdasarkan pemahaman
ayat tersebut dapat dipahami, bahwa kwalitas kemanusia sangat tergantung pada
kwalitas komunikasinya dengan Allah melalui ibadah dan kwalitas interaksi
sasialnya dengan sesame manusia melalui muamalah.
Berbicara tentang
ibadah dalam Islam kita mengenal istilah ibadah mahdlah, yaitu setiap bentuk
ibadah yang sudahditentukan baik syarat maupun rukun dalam menunaikannya, dan
ibadah ghairu mahdlah, yaitu setiap perbuatan baik manusia yang senantiasa
memperhatikan nilai-nilai kebenaran baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
BAB IV
ETIKA, MORAL, DAN
AKHLAK
4.1. Pengertian Etika, Moral, dan
Akhlak
Etika adalah sebuah
tatanan perilaku berdasarkan suatu sestem tata nilai suatu masyarakat tertentu.
Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi
standar baik dan buruk adalah akal manusia.
Moral secara
lughawi berasal bahasa latin “mores”
kata jamak dari kata “mos” yang
berarti adat kebiasaan, susila. Yang dimaksud adat kebiasaan dalam hal ini
adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima oleh
masyarakat, mana yang baik, dan wajar. Jadi bisa juga dikatakan moral adalah
prilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima
meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Sementara kata “akhlak” merupakan bentuk jamak dari kata khuluq secara etimologis artinya adalah budi pekerti, perangai,
tingkah laku atau tabi’at. Sedangkan secara terminologis akhlak adalah ilmu
yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terbaik dan tercela,
tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
Dalam definisi yang
agak panjang Ahmad Amin menjelaskan bahwa akhlak adalah ilmu yang menjelaskan
baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia
kepada yang lainnya. Menyatakan tujuan yang harus dituju manusia dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat.
4.2. Karakteristik Etika Islam
(Akhlak)
Jika dicermati etika
Islam itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Mengajarkan dan
menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah
laku yang buruk.
b. Menetapkan
bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan
kepada ajaran Allah swt.
c. Bersifat
universal dan komprehensip, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh
umat manusia di segala waktu dan tempat.
d. Mengatur dan
mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan
perbuatan manusia.
4.3. Tingkatan-Tingkatan Akhlak
Dalam ajaran Islam tentang tingkatan
akhlak dalam kehidupan manusia itu ada tiga macam :
- Akhlak Radzilah
- Akhlak Fadlilah
- Akhlak Karimah
4.4. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak
Tasawuf dalah tingkat
pendekatan diri manusia kepada Tuhan dengan cara mensucikan hati
sesuci-sucinya. Tuhan yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh orang
suci hatinya. Adapun cara bagaimana mensucikan hati dijelaskan dalam ilmu
tasawuf. Dalam pengamalannya tasawuf tidak biasa terlepas dari fiqih atau
syariat, sebab fiqih merupakan aspek dhahir ajaran Islam sementara tasawuf
merupakan aspek bathinnya. Islam yang sebenarnya adalah paduan aspek dhahir dan
bathin secara seimbang.
Orang yang suci hatinya
akan tercermin dari air muka dan perilakunya yang baik (akhlak karimah). Akhlak
yang baik sebenarnya merupakan gambaran dari hati yang suci, sebaliknya
perilaku yang buruk adalah merupakan gambaran hati yang kotor dan busuk. Dengan
demikian, agar seorang mukmin akhlak yang baik adalah dengan melaksanakan
tasawuf secara sistematis. Yaitu melaksanakan semua kewajiban (al-wajibaat), melaksanakan yang
sunnah-sunnah (an-nafilah) dan
melaksanakan latihan spiritual (al-riyadlah).
Inti al-riyadlah dalam Islam adalah ingat akan kebesaran Allah (dzikir).
4.5.1. Aktualisasi Akhlak dalam
Kehidupan Masyarakat
Kata Islam berarti damai,
selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat, dan patuh. Pengertian tersebut
menunjukkan bahwa agama Islam adalah ajaran yang mengandung nilai-nilai untuk
menciptakan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan kehidupan manusia pada
khususnya dan semua makhluk Allah pada umumnya, serta penyerahan diri,
mentaati, dan mematuhi ketentuan-ketentuan Allah. Menurut ajaran, Mnusia yang
diberikan amanat oleh Allah untuk menjadi khalifah-Nya di bumi, harus dpat
menciptakan kemaslahatan bagi sekalian makhluk Allah. Artinya bahwa setiap
perbuatan yang dilakukan manusia harus membarikan kebaikan dan tidak boleh
merugikan atau menyakiti pihak lain dengan cara menegakkan aturan-aturan Allah.
Itulah wujud rahmat dari agama Islam sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam
QS. Al-Anbiya’ 21 : 107
Adapun diantara implementasi dari ajaran tersebut bias
di aktualisasikan dalam bentuk-bentuk kerukunan hidup bermasyarakar berbangsa
dan bernegara, yang secara garis besar ada dua bentuk penjelasan dalam hal itu,
yaitu :
1.
Ukhwah Islamiyah dan ukhwah Insaniyah.
Kata Ukhwah berarti
persaudaraan, maksudnya perasaan simpati dan empati antar dua orang atau lebih.
Masing-masing pihak memiliki satu
kondisi yang sama, baik suka maupun duka, baik senang maupun sedih.
Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbale balik untuk saling membantu jika
pihak lain mengalami kesulitan, dan sikap untuk berbagi kesenangan kapada pihak
lain jika salah satu pihak menemukan kesenangan. Ukhwah ini jika berlaku oleh
sesama ummat Islam maka disebut Ukhwah Islamiyah, dan berlaku untuk sekalian
umat manusia yang tidak membedakan agama, suku, dan aspek-aspek kekhususan
lainnya, yang disebut ukhwah insaniyah.
Konsep ukhwah insaniyah
dilandasi oleh ajaran bahwa manusia adalah makhluk Allah. Meskipun Allah telah
memberikan petunjuk kebanaran melalui ajaran Islam, tetapi Allah juga
memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalan hidup
berdasarkan pertimbangan rasionya.
2. Kebersamaan Umat beragama dalam Kehidupan Sosial
Umat manusia mempunyao tanggangjawab
barsama untuk menciptakan harmoni kehidupan sosial. Masing-masing elemen
masyarakat berkewajiban melaksanakan peran sosial sesuai dengan bidang tugas dan
kemampuannya. Kontribusi sosial yang ditekankan oleh Islam adalah kebaikan dan
tidak berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash : 77)
Prinsip tolong menolong
sesame manusia memberi makna universalisme nilai-nilai kebaikan yang diinginkan
oleh setiap manusia. Nilai-nilai itu dalam Al-Qur’an diformulasikan dengan amar ma’ruf nahi munkar.
4.5.2. Etika /Kewajiban terhadap
Diri Sendiri
Menurut abu Bakar
Al-Jaziri, bahwa etika terhadap diri sendiri meliputi :
- Al-Taubah, yaitu melaksanakan upaya insaf terhadap setiap kesalahan dan berusaha mencapai pengampunan
- Al-Muraqabah, yaitu berusaha mendekatkan diri kepada sang Khaliq dengan mentaati perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
- Al-Muhasabah, yaitu berusaha intruspeksi dan evaluasi terhadap amaliyah yang sudah dilakukannya.
- Al-Mujahada, yaitu berusaha dengan sungguh melakukan upaya mensucikan ruhani atau jiwa dengan peningkatan intensitas ibadah-ibadah nafilah disamping ibadah-ibadah maktubah.
BAB V
HUKUM, HAK ASASI MANUSIA
(HAM),
DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM
5.1. Konsep Hukum, HAM dan Demokrasi
5.1.1. Hukum Islam: Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuannya
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh
Allah melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh
Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya melalui sunnah beliau yang kini terhimpun
dengan baik dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai
macam istilah, di mana istilah satu dengan lainnya mempunyai persamaan dan
sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah dimaksud adalah syari’at Islam,
fikih Islam dan hukum Islam.
Di dalam keputusan hukum Islam berbahasa inggeris, syari’at Islam
diyerjemahkan dangan Islamic Law,
sedang fikih islam diterjemahkan dengan Islamic
Jurisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at islam sering
dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fikih Islam
dipergunakan hukum fikih atau kadang-kadang hukum Islam. Dalam praktek
seringkali, ke dua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa
menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami karena keduanya sangat
erat hubungannya, dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan. Kedua syari’at
merupakan landasan fikih, dan fikih merupak pemahaman orang yang memenuhi
syarat tentang syari’at. Oleh karena itu seseorang yang akan memahami hukum Islam
dengan baik dan benar harus dapat membedakan antara syari’at Islam dengan fikih
Islam.
Hukum islam baik dalam pengertian syari’at maupun fikih
dibagikan ke dalam dua bagian besar, yakni bidang ibadah dan bidang mu’alamah.
(Mohammad Daud Ali, 1999: 49). Hukum Islam itu sangat luas, bahkan luasnya
hukum Islam tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek
yang berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh para fukaha (para
yuris Islam) di masa lampau seperti hukum bedah mayat, hukum bayi tabung,
keluarga berencana, hukum bunga bank, eutanasia dan lain sebagainya.
Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk
mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka;
mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagian hidup manusia di
dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala manfaat dan
mencegah dan menolak yang madlarat Abu Ishaq al-Shatibi yakni yang tidak
berguna bagi hidup dan kehidupan manusia, merumuskan lima tujuan hukum Islam,
yakni memelihara (1) Agama, (2) Jiwa, (3) Akal, (4) keturunan, dan (5) harta
yang disebut “maqashid al-khamsah”. Kelima tujuan ini
kemudian disepakati oleh ahli para ahli hukum Islam.
Jika diperhatikan dengan
sungguh-sungguh hukum Islam ditetapkan oleh Allah adalah untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan hidup yang bersifat primer,
sekunder maupun tertier. Oleh karena itu apabila seorang muslim mengikuti
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah, maka ia akan selamat baik dalam
hidupnya di dunia maupun diakhirat kelak.
5.1.2. Hak Asasi Manusia menurut Islam
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara
kodrati dianugrahi hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara
satu dengan lainnya. Dengan hak asasi tersebut manusia dapat mengembangkan diri
pribadi, peranan dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi
Manusia (HAM) sebagai suatu hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia.
Ada perbedaan prinsip antara HAM dilihat dari sudut
pandangan Barat dan Islam. HAM menurut pandangan barat semata-mata bersifat
antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada manusia. Dengan demikian
manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya HAM ditilik dari sudut pandangan Islam
bersifat teosentris, artinya segala sesuatu berpusat pada Tuhan. Dengan
demikian Tuhan sangat dipentingkan. Dalam hal ini A.K. Brohi menyatakan :
“Berbeda dengan hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah
aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati, pikiran,
dan jiwa penganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat
teosentris”.
Pemikiran Barat menempatkan manusia
pada posisi bahwa manusialah yang menjadi tolok ukur segala sesuatu, maka
didalam Islam melalui Firman-Nya Allahlah yang menjadi tolok ukur segala
sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
Disini letak perbedaan yang fundamental antara HAM menurut pola pemikiran Barat
dengan HAM menurut pola ajaran Islam. Makna teosentris menurut umat Islam
adalah manusia pertama-tama harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan dalam
dua kalimat syahadat yakni pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Utusan-Nya. Barulah setelah itu umat Islam melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik, menurut isi keyakinannya itu.
Dari uraian tersebut, sepintas lalu
nampak bahwa seakan-akan dalam Islam manusia tidak mempunyai hak asasi. Dalam
konsep Islam seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas
kepada Allah karena ia harus mematuhi hukum-hukum-Nya. Namun secara paradoks,
didalam tugas-tugas inilah terletak semua hak dan kemerdekaannya. Menurut
ajaran Islam, manusia mengakui hak-hak dari manusia yang lain, karena hal ini
merupakan sebuah kewajiban yang ditentukan oleh hukum agama untuk mematuhi
Allah. Oleh karena itu, HAM dalam Islam tidak semata-mata menekankan kepada hak
asasi manusia saja, akan tetapi hak-hak itu dilandasi kewajiban asasi manusia
untuk mengabdi kepada Allah sebagai penciptanya.
Kewajiban yang diperintahkan kepada
ummat manusia dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu haqqullah dan haqqul
‘ibad. Haqqullah (hak Allah) adalah keawajiban-kewajiban manusia terhadap Allah
swt yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, sedangkan haqqul ‘ibad
(hak-hak manusia) merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan
terhadap makhluk-makhluk Allah lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa
hak-hak yang diminta oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, akan tetapi
hak-hak Allah itu bersesuaian dengan hak-hak makhluk-Nya.
5.1.3. Demokrasi dalam Islam
Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan
yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam
konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para cendikiawan belakangan
ini mengembangkan teori politik yang dianggap demokratis. Di dalamnya tercakup definisi khusus
dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat
manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintah. Penjelasan mengenai
demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, banyak memberikan perhatian pada
beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi Islam dianggapsebagai system yang mengukuhkan
konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura).,
persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad).
Seperti banyak konsep dalam tradisi politik Barat, istilah-istilah ini tidak
selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai
banyak konteks dalam
wacana muslim dewasa ini.
Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya,
istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi di
kalangan masyarakat muslim. Perlunya musyawarah merupakan konsekwensi politik
kekhalifahan manusia. Masalah musyawarah ini dengan jelas juga disebutkan dalam
QS. 42 : 28, yang isinya berupa perintah kepada para pemimpin dalan kedudukan
apapun untuk menyelesaikan urusan mereka yang dipimpinnya dengan cara
musyawarah.
Dengan demikian, tidak akan terjadi
kewenangan-kewenangan dari seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya
jika tidak didasari atas konsep-konsep tersebut. Oleh karena itu “Perwakilan
Rakyat” dalam sebuah Negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah
(syura). Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka
kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah
Negara.
Di samping musyawarah ada hal lain
yang sangat penting dalam maslah demokrasi, yakni konsensus atau ijma’.
Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalah perkembangan hukum Islam dan
memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Namun
hamper sepanjang sejarah Islam, konsensus sebagai salah satu sumber hukum Islam
cenderung dibatasi pada consensus para cendikiawan, sedangkan konsensus rakyat
kebanyakan mempunyai makna yang kurang begitu penting dalam kehidupan umat
Islam. Namun dalam pemikiran muslim modern, potensi flesibilitas yang
terkandung dalam konsep konsensus akhirnya mendapat saluran yang lebih besar
untuk mengembangkan hukum Islam untuk mengembangkan hukum Islam dan
menyesuaikannya dengan kondisi yang terus berubah.
Dalam pengertian yang lebih luas,
consensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi
demokrasi Islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan system
yang mengakui suara mayoritas.
Disamping konsep syura dan ijma’ ada satu konsep lagi
yang tidak kalah pentingnya, yaitu Ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini
merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat dan
waktu. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat
penting bagi artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan
kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya. Meskipun istilah-istilah ini
banyak diperdebatkan maknanya, namun lepas dari ramainya perdebatan maknanya di
dunia Islam, istilah-istilah ini memberikan landasan yang efektif untuk
memahami antara Islam dan demokrasi di dunia kontemporer.
5.2. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan
Penegakan
Hukum
Kontribusi umat Islam khususnya di Indonesia
dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas
dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan hukum Islam, seperti misalnya UURI. No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan; PP. No. 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan tanah milik; UURI. No. 7 tahun1989 tentang Peradilan Agama;
INPRES. No. 1 tahun 1991 tetang Kompilasi Hukum Islam; UURI. No. 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat; UURI. No. 17 tahun 1999 tantang penyelenggaraan
Ibadah Hajji; dan masih banyak lagi yang lainnya.
Adapun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum
Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara memang harus melalui proses,
yakni proses cultural dan dakwah. Apabila Islam sudah memasyarakat, maka
sebagai konsekwensinya hukum harus ditegakkan. Di dalam Negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan
berfikir harus di kembangkan. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari
segi pemahaman maupun dalam segi pengembangnnya. Dalam ajara Islam ditetapkan
bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan
Allah. Masalahnya kemudian. Bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam
menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses,
perjuangan, dan waktu untuk merealisasikannya.
BAB VI
MASYARAKAT MADANI DAN
KESEJAHTERAAN UMMAT
6.1. Konsep Masyarakat Madani
Makna utama dari Masyarakat
madani adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradaban sebagai ciri
utama. Karena itu dalam sejarah pemikiran filsafat, sejak filsafat Yunani
sampai masa filsafat Islam juga dikenal istilah Madinah atau Polis, yang
berarti kota, yaitu masyarakat yang maju dan berperadaban. Masyarakat madani
menjadi simbol idealisme yang di harapkan oleh setiap masyarakat. Didalam
Al-Qur’an, Allah memberikan ilustrasi masyarakat ideal, sebagai gambaran dari
masyarakat madani dengan Firman-Nya yang artinya : (Negerimu) adalah negeri
yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. Saba’ : 15).
Masyarakat Madani sebagai masyarakat yang ideal itu
memiliki karakteristik sebagai berikut :
- Bertuhan
- Damai
- Tolong-menolong
- Toleran
- Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial
- Berperadaban tinggi
- Berakhlak mulia.
6.2.
Peranan
Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam kontek masyarakat Indonesia, dimana umat Islam adalah mayoritas,
peranan umat Islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat menentukan.
Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan
oleh umat Islam. Peranan umat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur
hukum, sosial-politik, ekonomi, dan dan yang lain. Sistem hukum, sosial-politik,
ekonomi, dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang untuk menyalurkan
aspirasinya secara konstruktif bagi
kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan pokok yang masih menjadi
kendala saat ini adalah kemampuan dan kosistensi umat Islam Indonesia terhadap
karakter dasarnya untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun Umat Islam
secara kwantitatif mayoritas, tetapi secara kwalitatif masih rendah sehingga
perlu pemberdayaan secara sistematis.
Sikap amar ma’ruf nahi munkar juga masih lemah. Hal itu dapat dilihat
dari fenomena-fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti
angka krimilaitas yang tinggi, KKN yang terjadi disemua sektor, kurangnya
jaminan rasa aman dan sebagainya. Bila umat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan
sikap hidup yang Islami, pasti bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan
sejahtera.
6.3. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Yang dimaksud sistem ekonomi Islam
adalah sistem ekonomi yang terjadi setelah prinsip ekonomi yang menjadi pedoman
kerjanya, dipengaruhi dan dibatasi oleh ajaran-ajaran Islam. Sistem ekonomi
Islam tersebut di atas, bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang
dikembangkan oleh pemikiran manusia yang memenuhi syarat dan ahli dalam
bidangnya. Jika Al-Qur’an dan Al-Hadits dipelajari secara seksama, tampak jelas
bahwa Islam mengakui motif laba (profit) dalam kegiatan ekonomi. Namun motif
itu terikat atau dibatasi oleh syarat-syarat moral, sosial tan temperanse
(pembatasan diri).
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang
harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan
serentak. Menurut ajaran Islam, dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup
manusia akan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat kelak. Untuk mencapai
tujuan kesejahteraan dimaksud, di dalam Islam selain dari kewajiban zakat,
masih disyari’atkan untuk memberikan shadaqah, infaq, hibah, dan wakaf kepada
pihak-pihak yang memerlukan. Lembaga-lembaga tersebut dimaksud untuk
menjembatani dan memperdekat hubungan sesame manusia, terutama hubungan antara
kelompok masyarakat yang kuat dengan kelompok masyarakat yang lemah; antara
yang kaya dengan yang miskin.
6.4. Manajemen Zakat dan Wakaf
6.4.1. Manajemen Zakat
Zakat merupakan dasar prinsipil untuk
menegakkan struktur sosial Islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia
adalah sedekag wajib. Dengan terlaksananya lembaga zakat secara baik dan benar
diharapkan kesulitan dan penderitan fakir miskin dapat teratasi. Di samping itu
dengan pengelolaan zakat yang professional, berbagai permasalahan yang terjadi
dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan mustahiq juga dapat dipecahkan.
Zakat ada dua macam yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal adalah
bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan
kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah
dimiliki selama jangka waktu tertentu pula. Sedangkan zakat fitrah adalah zakat
yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadlan. Hukumnya wajib bagi setiap muslim,
kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka.
Zakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan di
kalngan umat Islam sendiri, dari golongan umat yang kaya kepada golongan umat
yang miskin, agar tidak terjadi jurang pemisah di antara mereka serta untuk
menghindari penumpukan kekayaan pada golongan kaya saja. Untuk melaksanakan
lembaga zakat itu dengan baik dan sesuai dengan fungsi dan tujuannya tentu
harus ada aturan-aturan yang harus dilakukan dalam pengelolaannya. Pengelolaan
zakat yang berdasarkan prinsip-prinsip pengaturan yang baik jelas akan lebih
meningkatkan manfaatnya yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Sehubungan
dengan pengelolaan zakat di Indonesia, pada tanggal 23 September 1999 Presiden
RI, B. J. Habibie mengesahkan Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Selanjutnya untuk melaksanakan Undang-Undang RI tersebut,
Menteri Agama RI manetapkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
581 Tahun 1999.
Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada
banyaknya zakat yang terkumpul, tetapi juga tergantung pada dampak dari
pengelolaan zakat tersebut dalam masyarakat. Lembaga Zakat baru dikatakan
berhasil dalam pengelolaannya apabila zakat tersebut benar-benar dapat
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Keadaan yang
demikian sangat tergantung dari manajemen yang diterapkan oleh ‘amil zakat dan
Political Will dari pemerintah.
6.4.2. Manajemen Wakaf
Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat
kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga
Islam, yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang baik di
beberapa Negara misalnya Mesir, Yordania, Arab Saudi, Bangladesh dan lain-lain.
Hal ini barangkali karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik
sehingga manfaatnya sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola
secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi
pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfatan tersebut dilihat
dari segi social khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya
kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila
peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan pengelolaan
secara produktif, maka wakaf sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat terealisasi secara
optimal. Untuk keperluan itulah pada saatnya pemerintah Indonesia telah
mengesahkan Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 Tantang Wakaf dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaannya.
Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi umat,
maka di Indonesia perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf
yang selama ini hanya dikelola secara kunsumtif dan tradisional, sudah saatnya
kini kini dikelola secara produktif.
Di beberapa Negara seperti mesir, Yordania, Saudi Arabia,
Turki, Bangladesh, sangat dikembangkan wakaf itu selain berupa sarana dan
prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat,
uang, saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif.
Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan
kesejahteraan umat.
Wakaf uang atau sekarang disebut wakaf tunai dan wakaf
produktif penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia pada saat kondisi
perekonomian yang kian memburuk. Contoh sukses pelaksanaan sertifikat wakaf
tunai di Bangladesh dapat dijadikan teladan bagi umat Islam Indonesia. Jika
umat Islam Indonesia mampu melaksanakan dalam sekala besar, maka akan terlihat
implikasi positif dari kegiatan wakaf tunai tersebut. Wakaf tunai mempunyai
peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan, pendidikan,
dan pelayanan sosial.
BAB VII
ILMU PENGETAHUAN,
TEKNOLOGI, DAN SENI
(IPTEKS) DALAM ISLAM
7.1. Konsep Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni
(IPTEKS)
Ilmu adalah pengetahuan yang sudah
diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi, dan diinterpretasi, menghasilkan
kebenaran obyetif, sudah diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara
ilmiah.
Secara etimologis, kata ilmu berarti kejelasan, karena
itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu
dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini
digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan.
Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Oleh sebab itu orang
yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai spesialis. Dari sudut
pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan pengetahuan.
Teknologi merupakan salah satu budaya sebagai
penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Teknologi dapat membawa dampak positif
berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia, tetapi juga sebaliknya dapat
membawa dampak negative berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia
dan alam semesta yang berakibat terjadinya berbagai kehancuran dalam kehidupan.
Oleh sebab itu teknologi bersifat netral, artinya bahwa teknologi dapat
digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya atau bisa juga digunakan untuk
kehancuran manusia itu sendiri. Adapun seni termasuk bagian dari budaya
manusia, sebagai hasil ungkapan akal budi manusia dengan segala prosesnya. Seni
merupakan hasil ekspresi jiwa yang berkembang menjadi bagian dari budaya
manusia.
Dalam pemikiran Islam, ada dua
sumber ilmu, yaitu wahyu dan alam semesta dengan segala macam
gejala-gejalanya yang bisa ditangkap oleh akal manusia. Keduanya tidak boleh
dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan untuk mengembangkan akalnya, dengan
catatan dalam pengembangannya tetap terikat dengan petunjuk wahyu dan tidak
bertentangan dengan syari’at. Atas dasar itu secara garis besar ilmu bisa
dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu ilmu yang bersifat abadi (perennial
knowladge), tingkat kebenarannya bersifat mutlak (absolute), karena bersumber
dari wahyu Allah, dan ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowladge), sifat
kebenarannya bersifat nisbi (relative), karena bersumber dari akal pikiran
manusia.
7.2. Intergrasi Iman, IPTEKS, dan Amal
Islam merupakan ajaran agama yang sempurna.
Kesempurnaannya tergambar dalam keutuhan inti ajarannya. Ada tiga inti ajaran
Islam, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Ketiga inti ajaran Islam itu terintegrasi
didalam sebuah sistem ajaran yang disebut Dinul
Islam. Iman, Ilmu dan Amal merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Iman diidentikkan dari akar sebuah
pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu bagaikan batang dan dahan pohon
itu yang mengeluarkan cabang-cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Sedangkan amal ibarat buah dari pohon. Ipteks yang dikembangkan diatas
nilai-nilai Iman dan Taqwa akan menghasilkan amal shalih dan pelestarian alam
semesta.
Perbuatan baik seseorang tidak akan
bernilai amal shalih apabila perbuatan tersebut tidak dibangun diatas
nilai-nilai iman dan taqwa. Sama halnya pengembangan IPTEKS sebagai bagian
perbuatan baik yang lepas dari keimanan dan ketaqwaan, tidak akan bernilai
ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam
lingkungannya apabila apabila tidak dikembangkan atas dasar nilai-nilai iman
dan taqwa.
7.3. Keutamaan Orang Beriman dan Berilmu
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling
sempurna. Kesempurnaannya karena dibakaliseperangkat potensi. Potensi yang
paling utama dalam diri manusia adalah akal. Akal berfungsi untuk berpikir, dan
hasil pemikirannya itu adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu-ilmu yang
dikembangkan atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt akan memberikan
jaminan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia termasuk bagi alam
lingkunyannya. Berkenaan dengan orang yang berilmu, Al-Ghazali mengatakan : “
Barang siapa berilmu, membimbing manusia dan memanfaatkan ilmunya bagi orang
lain, bagaikan matahari, selain menerangi dirinya, juga menerangi orang lain.
Dia bagaikan minyak kesturi yang yang harum dan menyebarkan keharumannya kepada
orang yang berpapasan dengannya”.
Dari uraian diatas tampak bahwa
Al-Ghazali sangat menghargai orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya dengan
ikhlas. Salah satu pengamalannya adalah mengajarkan ilmu yang dimiliki kepada
orang lain.
7.4. Tanggungjawab Ilmuwan terhadap Alam
lingkungannya
Ada dua fungsi utama fungsi utama manusia didunia, yaitu
sebagai ‘Abdullah (hamba Allah) dan sebagai Khalifah Allah di bumi. Esensi dari ‘abdun
adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah.
Adapun esensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ia mempunyai
tanggungjawab untuk menjaga alam dan lingkungannya tempat mereka tinggal.
Manusia diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi, menggali sumber-sumber daya,
serta memanfaatkannya sebesar-besar kemanfaatan dan kemaslahatan. Karena
manusia diciptakan untuk manusia itu sendiri, yang dalam menggali potensi alam
dan memanfaatkannya diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai.
BAB VIII
KEBUDAYAAN ISLAM
1, Konsep Kebudayaan dalam Islam
Secara umum kebudayaan dapat
dipahami sebagai hasil olah akal, budi, ciptarasa, karsa, dan karya manusia.
Kebudayan pasti tidak lepas dari nialai-nilai ketuhanan. kebudayaan yang telah
terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang universal berkembang menjadi
peradaban. Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan
yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu
hewani sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Disini agama Islam berfungsi
untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan
kebudayaan yang beradab atau berperadaban Islam.
Sehubungan dengan hasil
perkembangan kebudayaan yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan atau disebut
sebagai peradaban Islam, maka fungsi agama disini semakin jelas. Ketika
perkembangan dan dinamika kehidupan umat manusia itu sendiri mengalami kebekuan
karena keterbatasan dalam memecahkan persoalannya sendiri, disini sangat terasa
akan perlunya suatu bimbingan wahyu.
Allah mengangkat
seorang Rasul dari jenis manusia karena yang akan menjadi sasaran bimbingannya
adalah umat manusia. Oleh sebab itu misi utama Muhammad diangkat sebagai Rasul
adalah menjadi Rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam. Mengawali tugas
utamanya, Nabi meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam yang kemudian berkembang
menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam keluar dari jazirah Arab, kemudian
tersebar keseluruh dunia, maka terjadilah suatu proses panjang dan rumit, yaitu
asimilasi budaya-budaya setempat dengan nilai-nilai Islam yang kemudian
menghasilkan kebudayaan Islam. Kebudayaan ini berkembang menjadi suatu
peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.
8.2. Sejarah Intelektual Islam
Dengan menggunakan
teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya,
sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga masa, yaitu masa
klasik, antara tahun 650 – 1250 M, masa pertengahan, antara tahun 1250 – 1800
M, dan masa modern atau kebangkitan intelektual Islam kembali, antara tahun
1800 M hingga sekarang dan seterusnya. Pada masa klasik lahir ulama-ulama besar
seperti Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki dibidang Hukum
Islam. Dibidang filsafat Islam seperti Al-Kindi tahun 801 M, yang berpendapat
bahwa kaum Muslimin hendaknya menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan
Islam. Kemudian Al-Razi lahir tahun 865 M, Al-Farabi lahir tahun 870 M, sebagai
pembangun agung filsafat Islam. Pada abad berikutnya lahir pula filosof besar
Ibnu Maskawaih pada tahun 930 M, yang terkenal memiliki pemikiran tentang
Pendidikan Akhlak. Selanjutnya Ibnu Sina tahun 1037 M, Ibnu Bajjah tahun 1138
M, Ibnu Tufail tahun 1147 M, dan Ibnu Rusyd tahun 1126 M.
Pada masa pertengahan,
yaitu antara tahun 1250 – 1800 M, dalam catatan sejarah pemikiran Islam pada
masa ini merupakan fase kemunduran, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat
Islam sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan Wahyu, iman
depertentangkan dengan ilmu, dan dunia dipertentangkan dengan akhirat. Jika
diperhatikan secara seksama pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sebagian
ulama kontemporer sering melontarkan tuduhan kepada Al-Ghazali sebagai yang
pertama menjauhkan filsafat dengan agama sebagaimana dalam tulisannya “Tahafutul Falasifah” (kerancuan
filsafat). Tulisan Al-Ghazali itu dijawab oleh Ibnu Rusyd dengan tulisan “Tahafutu Tahafut” (kerancuan diatas
kerancuan).
Pada saat ini ada
pertanyaan mendasar yang sering dilontarkan oleh para intelektual muda muslim.
Mengapa umat Islam tidak bisa mengusai ilmu dan teknologi modern ?. Jawabannya
sangat sederhana, yaitu karena umat Islam tidak mau melanjutkan tradisi
keilmuan yang diwariskan oleh para ulama besar pada masa klasik. Pada masa
kejayaannya umat Islam terbuai dengan kemegahan yang bersifat material. Sebagai
contoh kasus pada zaman modern ini tidak lahir para ilmuwan dan tokoh-tokoh kaliber
dunia dikalangan umat Islam dari Negara-negara kaya di Timur Tengah. Pada sisi
yang lain umat Islam yang tinggal di Negara-negara bekas jajahan sangat sulit
membangun semangat kebangkitan intelektual Islam karena keterbatasannya.
8.3. Masjid sebagai Pusat Peradaban
Islam
Masjid pada umumnya
hanya dipahami oleh masyarakat sebagai tempat ibadah khusus seperti shalat,
padahal masjid mestinya berfungsi lebih luas dari pada sekedar sebagai tempat
shalat. Sejak awal berdirinya masjid belum bergeser dari fungsi utamanya, yaitu
sebagai pusat penyelenggaraan peribadatan pada umumnya, disamping tempat
shalat. Masjid pada zaman Nabi dijadikan sebagai pusat membangun peradaban
Islam. Nabi Muhammad saw. mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajarkan Al-Qur’an
dan Al-Hikmah, bermusyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin,
membina sikap dasar kaum muslimin terhadap orang yang berbeda agama atau ras,
hingga upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan umat justru melaui Masjid. Masjid
dijadikan simbol kesatuan dan persatuan umat Islam. Selama sekitar 700 tahun
sejak Nabi mendirikan masjid pertama, fungsi masjid masih kokoh orisinal
sebagai pusat peribadatan dan peradaban. Sekolah-sekolah dan
universitas-universitaspun kemudian bermunculan, justru dari masjid. Masjid
Al-Azhar di Mesir merupakan salah satu contoh yang sangat dikenal luas kaum
muslimin Indonesia. Melalui masjid ini tercetak intelektual Islam dari berbagai
belahan dunia, juga mampu memberikan beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa,
bahkan pengentasan kemiskinan merupakan program utama masjid.
Pada saat ini kita
akan sangat sulit menemukan masjid yang memiliki program nyata dibidang
pencerdasan keberagamaan umat. Kita (mungkin) tidak menemukan masjid yang
memiliki kurikulum terprogram dalam pembinaan keberagamaan umat, terlebih-lebih
lagi masjid yang menyediakan beasiswa dan upaya pengentasan kemiskinan. Dalam
perkembangan berikutnya muncul kelompok-kelompok yang sadar untuk mengembalikan
fungsi masjid sebagaimana mestinya. Kini mulai tumbuh kesadaran umat akan
pentingnya peranan masjid untuk mencerdaskan dan mensejahterakan jamaahnya.
Menurut ajaran islam, masjid memiliki dua fungsi yang utama, yaitu (1) sebagai
pusat ibadah ritual dan; (2) berfungsi sebagai pusat ibadah sosial. Dari kedua
fungsi tersebut titik sentralnya bahwa fungsi utama masjid adalah sebagai pusat
pembinaan umat Islam.
8.4. Nilai-nilai Islam dalam budaya
Indonesia
Islam masuk ke
Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam lahir dan berkembang dari
negeri Arab, maka Islam yang masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya
Arabnya. Pada awal-awal masuknya dakwah Islam ke Indonesia dirasakan sangat
sulit membedakan mana ajaran Islam dan mana budaya arab. Masyarakat awam
menyamakan antara perilaku yang ditampilkan oleh orang arab dengan perilaku
ajaran Islam. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh orang arab itu semua
mencerminkan ajaran Islam, bahkan hingga kini budaya arab masih melekat pada
tradisi masyarakat Indonesia.
Dalam perkembangan
dakwah islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran islam melalui bahasa
budaya, sebagaimana dilakukan oleh para wali ditanah jawa. Karena kehebatan
para wali Allah dalam mengemas ajaran islam dengan bahasa budaya setempat,
sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai islam telah masuk dan menjadi
tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Lebih jauh lagi bahwa nilai-nilai
islam sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka. Seperti
dalam upacara-upacara adapt dan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa
al-Qur’an/arab sudah banyak masuk kedalam bahasa daerah bahkan kedalam bahasa
Indonesia yang baku. Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang dilakukannya
merupakan bagian dari ajaran islam.
BAB IX
SISTEM POLITIK ISLAM
9.1. Pengertian Sistem Politik Islam
Dalam terminologi
politik islam, politik itu identik dengan siasah, yang secara kebahasaan
artinya mengatur. Fikih siasah adalah aspek ajaran Islam yang mengatur sistem
kekuasan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat, dan sebagiannya) mengenai pemerintahan suatu Negara, dan
kebijakan suatu Negara terhadap Negara lain. Politik dapat berarti kebijakan
atau cara bertindak suatu Negara dalam
menghadapi atau menangani suatu masalah.
Dalam fikih siasah
disebutkan bahwa garis besar fikih siasah meliputi: Acep Djazuli, 2000: 15).
(1) Siasah dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam)
(2) Siasah
dauliyyah (politik yang mengatur hubungan antara suatu Negara islam dengan
Negara islam yang lain atau dengan Negara sekuler lainnya.)
(3) Siasah maaliyyah (sistem ekonomi Negara)
Kedaulatan berarti kekuasaan
tertinggi yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang
berbeda-beda di masyarakat. Dalam konsep islam,
kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT. Ekspresi kekuasaan dan kehendak
Allah tertuang dalam al-Qur’an dan sunnah rasul. Oleh karena itu penguasa
tidaklah memiliki kekuasaan yang mutlak, ia hanyalah wakil (khalifah) Allah dimuka
bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata.
Disamping itu, kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang
yang berhak memilikinya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaan-kekuasaan
itu dengan sebaik-baiknya. Sesuai prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan
al-Qur’an dan sunnah rasul.
9.2. Prinsip-prinsip Dasar Siasah dalam negeri
Menurut sitem politik
Islam dalam penyelenggaraan suatu Negara
perlu adanya prinsip-prinsip Dasar yang harus diperhatikan, diantaranya :
1. Musyawarah, 2. Pembahasan bersama, 3. Tujuan bersama, 4. Pembahasan
diarahkan untuk penyelesaian masalah, 5. Persamaan (Al-Musa’awah), 6. Kebebasan
atau kemerdakaan, 7. Perlindungan terhadap jiwa, raga, dan harta masyarakat.
9.3. Prinsip-prinsip Dasar Siasah luar negeri
Menurut Ali Anwar, ada
beberapa prinsip politik luar negeri dalam Islam, yakni: (Ali Anwar, 2002:195).
(1) Saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat (Q.s. 8: 58; 9:
4,7: 16: 91; 17: 34, (2) Kehormatan dan
integrasi nasional(Q.s. 16:92), (3) Keadilan universal (internasional) (Q.s. 5:
8), (4) Menjaga perdamaian abadi; (Q.s. 5: 61), (5) Menjaga kenetralan
Negara-negara lain (Q.s. 4 : 89, 90), (5) Larangan terhadap eksploitasi para
imperialis (Q.s. 6: 92), (6) Memberikan perlindungan dan dukungan kepada
orang-orang Islam yang hidup dinegara lain (Q.s. 8: 72), (7) Bersahabat dengan
kekuasaan-kekuasaan netral (Q.s. 60: 8,9), (8) Kehormatan dalam hubungan
internasional (Q.s.55: 60), (9) Persamaan keadilan untuk para penyerang (Q.s.
2: 195; 16: 126; 42: 40).
9.4. Kontribusi umat islam terhadap kehidupan
politik Indonesia
Islam sebagai sebuah ajaran
yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah memberikan kontribusi yang
cukup signifikasi terhadap kehidupan politik di Indonesia. Pertama
ditandai dengan munculnya partai-partai berasaskan islam serta partai
nasionalis berbasis umat Islam dan kedua dengan ditandai sikap pro
aktifnya tokoh-tokoh politik Islam dan umat Islam terhadap keutuhan Negara
kesatuan Republik Indonesia, sejak proses awal kemerdekaan, hingga sekarang
jaman reformasi.
Berkaitan dengan
keutuhan Negara, misalnya Muhammad Natsir pernah menyerukan umat Islam,
perumusan Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an,
karena nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila juga merupakan bagian dari
nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an. Demi keutuhan persatuan dan kesatuan
bangsa, umat Islam rela menghilangkan tujuh kata dari sila ke satu dari Pancasila,
yaitu kata-kata “kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi para pemaluknya”.
Umat Islam Indonesia
dapat menyetujui pancasila dan UUD 45 setidak-tidaknya atas dua pertimbangan:
pertama; nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam; kedua, fungsinya
sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antara berbagai golongan untuk mewujudkan
kesatuan politik bersama.
2.3.
IJTIHAD
Ijtihad adalah sumber syariat islam
yang nomor tiga.kata ijtihad berasal dari kata jahd yang artinya berusaha keras
atau berusaha sekuat tenaga; kata ijtihad yang secara harfiah mengandung arti
yang sama, ini secara teknis diterapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan
kemampuan akalnya berusaha keras untuk menentukan pendapat dilapangan hukum
mengenai hal yang pelik dan meragukan.
Ada
beberapa metode dalam berijtihad, yaitu:
1. Qias
Qias makna aslinya, mengukur atau
membandingkan atau menimbang dengan membandingkan sesuatu. Para fukaha
mengetrapkan Qias itu pada proses deduksi, yang dengan ini teks undang-undang
itu ditrapkan pada suatu perkara, yang walaupun tak dijelaskan oleh bahasa
undang-undang itu, tetapi dipengaruhi oleh kesimpulan teks itu. Singkatnya,
Qias itu dapat dirumuskan, menarik kesimpulan dengan analogi. Misalnya ada
suatu perkara yang harus diputuskan, yang terang-terangan tak tercantum dalam
Qur’an atau hadist. Lalu, hakim mencari dalam Qur’an atau hadist, perkara yang
serupa dengan itu, dan dengan menarik kesimpulan atas dasar analogi, sampailah
ia pada suatu keputusan. Jadi, Qias itu memperluas undang-undang yang terdapat
dalam Qur’an dan hadist, tetapi Qias itu tidaklah sama dengan dalil yang
terdapat dalam Qur’an dan hadist, karena tak ada ahli hukum yang pernah
menyatakan bahwa hukum Qias itu mutlak benar; dan telah diakui sebagai prinsip
ijtihad, bahwa mujtahid itu boleh juga salah dalam mengambil pertimbangan. Oleh
sebab itu, banyak sekali terjadi perbedaan tentang hukum Qias ini, bahkan
dikalangan ulama besar sekalipun menilik sifat-sifatnya, maka hukum Qias yang
dihasilkan oleh suatu generasi, dapat ditolak oleh generasi berikutnya.
2.
Istihsan
Istihsan yang makna
aslinya menganggap baik suatu barang atau menyukai barang itu, itu menurut
teknologi pada ahli hukum, berarti menjalankan keputusan pribadi, yang tak
didasarkan atas Qias, melainkan didasarkan atas kepentingan umum atau
kepentingan keadilan. Menurut mazhab hanafi, jika suatu hukum Qias tak dapat
diterima karena ini bertentang an dengan aturan adilan yang lebih luas, atau
karena ini bukan kepentingan kesejahteraan umum, dan orang yang dikenakan hukum
Qias itu barang kali akan mengalami kesusahan yang tak semestinya, makahakim
diperbolehkan untuk menolak hukum Qias, dan sebagai
11
gantinya, ia boleh mengambil aturan
yang berguna untuk kesejahteraan umum, atau aturan yang seirama dengan aturan
keadilan yang lebih luas. Metode ini khusus dikerjakan oleh mazhab hanafi,
tetapi adanya perlawanan kuat dari lain mazhab, hukum istihsan ini tak
berkembang baik, sekalipun dalam mazhab hanafi sendiri. Tetapi, prinsip yang
menjadi dasarnya hukum istihsan ini adalah prinsip yang amat sehat, dan selaras
dengan jiwa Qur’an. Selain itu, dalam metode ini, lebih kecil kemungkinannya
mengalami kesalahan daripada hukum Qias yang terlalu jauh mengkiasnya, yang
acap kali mendatangkan hukum-hukum yang sempit yang bertentangan dengan jiwa
Qur’an yang luas. Dalam mazhab maliki, aturan semacam itu juga dipakai, yang
oleh mazhab ini disebut istishlah, artinya, suatu hukum yang diambil dengan
menari kesimpulan atas dasar pertimbangan kesejahteraan umum.
3. Istidlal
Istidlal
makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Dua sumber
utama yang diakui untuk ditarik kesimpulannya ialah adat dan kebiasaan;
demikian pula undang-undang agama yang diwahyukan sebelum islam. Diakui bahwa
adapt dan kebiasaan yang lazim di tanah arab pada waktu datangnya islam yang
tak dihapus oleh islam, ini mempunyai kekuasaan hukum. Demikian pula, adapt dan
kebiasaan yang lazim dimana-mana, jika ini tidak bertentangan dengan jiwa
ajaran Qur’an, atau tak terang-terangan dilarang oleh Qur’an, ini juga
diperolehkan; karena, menurut peribahasa para ahli hukum yang sudah terkenal,
diizinkannya sesuatu adalah prinsip asli , oleh karena adat itu diakui oleh
sebagian besar rakyat, maka adat ini mempunyai kekuatan ijmak dengan demikian,
adat mempunyai prioritasdi atas tertib hukum yang diambil dari analogi.
Satu-satunya syarat yang harus dipenuhi ialah bahwa adat itu tak bertentangan
dengan Qur’an suci dan hadist sahih. Mazhab hanafi menekankan secara khusus nilai-nilai
adat dan kebiasaan. Dalam kitab Alasybahu wan nazhair diterangkan sbb: banyak
sekali keputusan hukum yang didasarkan atas adat dan kebiasaan, begitu banyak,
hingga ini diambil sebagai landasan hukum. Adapun undang-undang yang diwahyukan sebelum
islam, terdapat bermacam-macam pendapat. Menurut sebagian ulama, undang-undang
semacam itu, yang terang-terangan tak dihapus oleh Qur’an, sampai sekarang
tetap mempunyai kekuatan hukum, sedang menurut ulama lain, undang-undang
semacam itu tak mempunyai lagi kekuatan hukum. Menurut mazhab hanafi,
undang-undang agam yang sudah-sudah, yang dicantumkan dalam Qur’an suci dan tak
dihapus, ini tetap berlaku.
12
4. Ijmak
Kata Ijmaa’ (di-Indonesiakan menjadi ijmak) berasal dari
kata Jam”, artinya menghimpun atau mengumpulkan, Ijmak mempunyai dua makna,
yaitu, menyusun dan mengatur suatu hal yang tak teratur, oleh sebab itu berarti
menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu
dalam pendapat. Menurut istilah ulama fikih, Ijmak berarti kesepakatan pendapat
diantara mujtahid, atau persetujuan pendapat diantara ulama fikih dari abad
tertentu mengenai masalah hukum. Persetujuan pendapat ini disimpulkan dengan
tiga cara, pertama, dengan qoul (ucapan), yaitu pendapat tentang suatu masalah
yang dikeluarkan oleh para mujtahid yang diakui sah. Kedua, dengan fi’il
(perbuatan), yaitu apabila ada kesepakatan dalam praktek. Ketiga, dengan sukuut
(diam), yaitu apabila para mujtahid tak membantah suatu pendapat yang
dikeluarkan oleh salah satu atau beberapa mujtahid. Pada umumnya ulama
berpendapat, bahwa Ijmak berarti kesepakatan pendapat diantaranya para mujtahid
saja; jadi orang yang tak alim dalam hukum, tak boleh mengambil bagian dalam
Ijmak, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa Ijmak berarti persetujuan
pendapat diantara kaum muslimin; hanya anak kecil dan orang gila sajalah yang
tak diikutsertakan dalam Ijmak. Ada berbagai
pendapat tentang apakah ijmak itu hanya terbatas pada suatu tempat, atau
terbatas pada satu atau beberapa generasi. Imam Malik mendasarkan Ijtihad
beliau atas kesepakatan pendapat orang-orang madinah. Secara teori, pembatasan semacam
itu tak dapat dibenarkan. Jika diingat bahwa orang terpelajar itu tak hanya
terbatas di Madinah saja, bahkan di zaman Nabi Muhammad saw, mereka dikirim ke
tempat-tempat yang jauh di luar jazirah. Pendapat yang paling dapat diterima
ialah bahwa Ijmak Ahlus Sunnah wal Jamaah tak mengikutsertakan kaum Syiah dalam
rencana Ijmak bagitu pula sebaliknya. Kaum Syiah berpendapat bahwa hanya
keturunan Sayyidina Ali dan Siti Fatimah sajalah yang pantas melakukan ijtihad.
Diantara golongan Ahlus Sunnah wal jamaah, ada sebagian yang berpendapat bahwa
ijmak itu hanya terbatas bagi para Sahabat nabi, sedang sebagian yang lain
berpendapat bahwa ijmak itu meliputi generasi berikutnya, yaitu generasi
Tabiin, tetapi pendapat yang paling umum adalah bahwa ijmak itut tidak terbatas
pada suatu generasi, atau pada suatu Negara; oleh sebab itu, ijmak yang
sebenarnya ialah kesepakatan pendapat diantara sekalian mujtahid dari semua
Negara dalam abad apa saja, tetapi ini adalah sesuatu yang hampir-hampir tak
mungkin.
Ada perbedaan pendapat yang cukup besar tentang
apakah hukum ijmak itu dibentuk dengan suara terbanyak diantara para mujtahid,
ataukan dengan kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid itu.
Kebanyakan ulama fikih
menghendaki kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid pada abad tertentu,
tetapi ulama yang penting-penting mempunyai pendapat yang bertentangan dengan
itu. Bahkan kebanyakan ulama berpendapat, bahwa apabila sebagian besar mujtahid
menetapkan suatu pendapat, maka pendapat itu sah dan mengikat, walaupun tak
mutlak. Hukum ijmak dapat dikatakan lengkap apabila sekalian mujtahid pada abad
tertentu memperoleh kata sepakat tentang suatu masalah, walaupun menurut
sebagian ulama harus dipenuhi suatu syarat, yakni para mujtahid itu meninggal
tanpa mengubah pendapat mereka tentang masalah itu. Bahkan ada sebagian ulama
yang mempunyai pendapat yang lebih jauh lagi, yakni tak ada hukum ujmak yang
berlaku kecuali setelah dibuktikan bahwa para ulama fikih yang dilahirkan pada
abad itu, tak ada yang menentang hukum ijmak itu.
Apabila hukum ijmak tentang suatu masalah telah
ditetapkan, ini mempunyai akibat, bahwa tak seorang ahli hukum pun yang
diizinkan membuka kembali pembicaraan tentang itu, kecuali jika sebagian ahli
hukum pada abad dimana ijmak itu dilaksanakan, telah menyatakan pendapat yang
berlainan. Suatu ijmak boleh saja dibatalkan oleh ijmak lain yang dilaksanakan
pada abad yang sama atau pada abad berikutnya, dengan syarat bahwa ijmak dari
para Sahabat Nabi tak boleh dibatalkan oleh generasi yang dating kemudian. Ada
perbedaan pendapat tentang apakah jika dikalangan para Sahabat Nabi tak ada
kesepakatan mengenai suatu masalah, diperbolehkan ataukan tidak mengadakan
ijmak untuk menyokong. Sahabat pun dapat membuat kesalahan dalam menuangkan
keputusan, ini diakui oleh semua pihak; oleh karena itu secara teknis tak ada
halangan terhadap ijmak yang menentang pendapat seorang Sahabat.
Ada dua hal lagi yang harus dijelaskan agar kami mengerti
tentang kekuatan hukum ijmak. Dari apa yang telah diuraikan di atas, nampak sekali
bahwa untuk mengadakan ijmak yang sah, diperlukan sejumlah besar mujtahid.
Tetapi ada suatu pendapat bahwa, jika ada tiga atau bahkan dua orang mujtahid
yang mengambil bagian dalam merundingkan suatu masalah, ijmak itu sudah sah,
sedang ada pula seorang ahli hukum yang mempunyai pendapat, bahwa jika pada
suatu abad hanya ada seorang ahli hukum saja, maka pendapatnya yang tunggal itu
pun mempunyai kekuatan ijmak. Dan sekarang kami sampai pada masalah yang amat
penting. Sumber apakah yang harus dijadikan dasar dari pada ijmak? Menurut
pendapat Imam besar empat, ijmak boleh didasarkan atas Quran atau Hadis atau
kias. Tetapi kaumm Muktazilah berpendapat bahwa ijmak itu tak boleh didasarkan
atas hadis gharib atau kias. Kaum Muktazilah dan beberapa ulama lain
berpendapat bahwa oleh karena
ijmak itu mutlak maka
sumber yang dijadikan dasar itu pun harus mutlak pula.
Jadi teranglah bahwa keliru sekali menyebut ijmak itu
suatu sumber hukum Islam tersendiri. Sebenarnya, ijmak itu adalah ijtihad;
bedanya ialah bahwa ijmak itu adalah ijtihad yang disepakati oleh semua atau
sebagian besar mujtahid pada abad tertentu. Dibenarkan pula bahwa ijmak dari
generasi kaum Muslimin yang satu, dapat dibatalkan oleh ijmak dari generasi
kaum Muslimin yang lain, kecuali ijmak yang dilakukan oleh para Sahabat. Tetapi
faktanya adalah, bahwa jika orang mengartikan ij dalam arti kesepakatan pendapat diantara kaum Muslimin pada generasi
tertentu, maka ijmak ini barangkali ta pernah dilakukan sesudah zaman permulaan para Sahabat Nabi. Oleh karena kaum
Muslimin telah terpencar dimana-mana dan menetap di tempat-tempat yang jauh,
tak mungkin mereka merundingkan suatu masalah pada waktu yang sama. Dalam satu
negarapun suatu masalah tak memerlukan perhatian semua mujtahid secara serampak.
Namun tak dapat disangkal, jika kebanyakan mujtahid setuju pendapatnya tentang
suatu masalah maka pendapat mereka itu lebih besar pengaruhnya dari pada
pendapat satu orang, namun demikian pendapat kebanyakan mujtahid itu atau
bahkan pendapat sekalian mujtahid itu tak mutlak benar. Akhirnya ijmak hanyalah
ijtihad atas dasar yang lebih luas; oleh karenanya ijmak itu seperti halnya
ijtihad, selalu membuka pintu untuk diadakan koreksi.
Perlu kami tambahkan disini bahwa pada dewasa ini, kata
ijmak itu biasanya dipakai dalam arti yang salah, karena kebanyakan orang
memakai kata ijmak dalam arti pendapat orang banyak dan pada umumnya orang
berpikir bahwa orang Islam yang pendapatnya berlainan dengan orang banyak itu
berdosa. Tetapi perbedaan yang pendapat yang jujur itu oleh Nabi Muhammad bukan
dosa, melainkan disebut rahmat; menurut hadis Beliau berkata sbb: “Beda-Bedanya
pendapat umatku adalah rahmat”. Perbedaan pendapat disebut rahmat, karena hanya
melalui perbedaan pendapat sajalah maka kemampuan berpikir seseorang dapat
berkembang, yang akhirnya didapatlah kebenaran. Diakalngan para Sahabat Nabi
terdapat benyak perbedaan pendapat dan banyak pula perkara yang tentang ini
seseorang mempunyai keberanian untuk menyatakan pendapat berlainan dengan
pendapat orang banyak.
Para ulama fikih zaman akhir berbicara tentang tiga
derajad Ijtihad, walaupun tentang hal ini tak ada dalilnya dalam Qur’an, atau
Hadist, atau tulisan imam-imam besar. Adapun tiga derajad itu ialah: Ijtihad
fi-sy syar’iyy, Ijtihad fi- mazhab, dan IJtihad fi-l massa’il, artinya, Ijtihad
tentang membuat undang-undang atau hukum syarak, Ijtihad tentang mazhab, dan
Ijtihad tentang masalah tertentu. Ijtihad yang pertama, yaitu Ijtihad tentang
membuat undang-undang baru, ini hanya terbatas pada tiga abad permulaan, dan
praktis dipusatkan pada empat imam, yang menurut pendapat orang, telah menulis
segala undang-undang dan memasukkan itu dalam mazhab mereka, diambil dari apa
saja yang diriwayatkan oleh para sahabat dan tabiin, yaitu generasi sesudah para
sahabat. Memang tak disebutkan dengan kata-kata yang terang, bahwa setelah abad
kedua hijriah, pintu Ijtihad untuk membuat undang-undang telah tertutup, tetapi
dikatakan oleh sebagian ulama, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang
mujtahid dalam melakukan Ijtihad derajat pertama (yakni, Ijtihad fi-sy
syar’iyy), ini setelah imam empat, tak diketemukan lagi pada seorang, bahkan
para ulama mengira, bahwa sampai hari kiamat syarat-syarat itu tak diketemukan
pada siapapun juga. Adapun syarat-syarat yang dimaksud, ada tiga : (1) mempunyai ilmu yang luas tentang Qur’an
dengan berbagai aspeknya; (2) mempunyai ilmu tentang sunnah dengan segala
rawinya, demikian pula teks dengan segala variasi maknanya; (3) mempunyai ilmu
tentang berbagai aspek tentang Qias. Tak diterangkan alasannya kenapa
syarat-syarat ini hanya terdapat pada empat imam pada abad kedua Hijriah, dan
mengapa syarat-syarat itu tak terdapat pada salah seorang diantara para sahabat
Nabi, atau para ulama pada abad pertama Hijriah, atau para ulama sesudah abad
kedua Hijriah. Itu adalah ucapan yang tak ada dasarnya.
Selanjutnya dikatan, bahwa Ijtihad derajat kedua (yakni,
Ijtihad fi- mazhab), ini hanya dikaruniakan kepada para murid langsung dari
imam empat. Imam Abu yusuf dan Imam Muhammad, dua murid kenamaan dari Imam Abu
hanafiah, termasuk golongan ini; jika mereka mempunyai pendapat tentang suatu
masalah yang telah disepakati, sekalipun bertentangan dengan pendapat guru
mereka, ini harus diterima. Adapun derajat Ijtihad yang ketiga (yakni, Ijtahad
fi-l masaa’il), ini dapat dilakun oleh ulama fikih zaman kemudian, yang dapat
memecahkan soal-soal khusus yang diajukan kepada mereka, yang belum diputuskan
oleh para mujtahid derajat kesatu dan kedua; tetapi keputusan ini mutlak harus
sesuai dengan pendapat para mujtahid besar. Pintu Ijtihad semacam itu
dianggap telah tertutup
sesudah abad keenam Hijriah. Selanjutnya dikatakan, bahwa pada dewasa ini yang
diperbolehkan hanyalah mukallidin yaitu orang yang mengikuti orang lain apa
yang ia katakan atau ia lakukan, dengan kepercayaan teguh bahwa dalam hal ini
ia adalah benar, tak peduli apakah ada dalilnya ataukah tidak. Mereka hanya
boleh mengutip fatwa dari salah satu ulama salaf, atau jika diantara benar atau
salah. Jadi, Ijtihad yang oleh para imam besar dan murid mereka, tak pernah
dianggap sebagai sumber yang mutlak, sekarang ini praktis ditempatkan ditempat
yang sama dengan Qur’an dan sunnah, oleh karenanya tak seorangpun dianggap
mampu untuk menjalankan Ijtihad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar