Sabtu, 03 November 2012

KONSEP KE-TUHANAN DALAM ISLAM


BAB I
KONSEP KE-TUHANAN DALAM ISLAM


1. Filsafat ke-Tuhanan dalam Islam

Ciri-ciri pemikiran kefilsafatan adalah : Konsepsional, Saling berhubungan antar jawaban-jawaban kefilsafatan, Koheren (sistematis), Rasional, Komprehensip, Universal dan Mendasar (Radikal). Filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth), sedangkan tujuan agama juga menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Seperti pendapatt al-Kindi bahwa yang benar pertama (alhaqqul-awwal = the First Truth) adalah Tuhan. Untuk itu dikatakan bahwa filsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah filsafat utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar.

Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan menurut al-Kindi adalah Pencipta. Alam bagi al-Kindi bukan kekal di zaman lampau (qadim), tetapi mempunyai permulaan. Oleh karena itu al-Kindi dalam hal ini lebih dekat dengan filsafat Plotinus, yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam dan sumber dari segala yang ada. Alam adalah emanasi dari Yang Maha Satu (Harun Nasution, 1978).

Dalam semua kitab suci, adanya Tuhan dianggap secara terang-terangan sebagai kebenaran axioma. Akan tetapi dalam Al-Qur'an dijumpai banyak bukti untuk membuktikan adanya Dzat Yang Maha Luhur, Pencipta dan Pengatur semesta alam, yaitu Allah swt. Setidaknya ada tiga bukti dalam Al-Qur'an, yaitu : 1. Bukti yang diambil dari kejadian alam atau disebut dengan pengalaman jasmani manusia (96:1, 87:1 – 3, 51:47 – 49, 36:36, 43:12; 67:3 -4, 55:5 – 6, 36:38 – 40, 41:11, 45:12 – 13, 7:54), 2. bukti tentang kodrat manusia atau pengalaman ruhani manusi (52:35 – 36, 43:9, 7:172, 30:30, 50:16, 56:85; 41:51, 30:32, 16:53) dan 3. Bukti yang didasarkan atas Wahyu Tuhan kepada manusia (68:2 – 3, 108:1, 94:5, 93:4 – 5, 81:19 – 20, 17:79, 20:1 – 2, 30:4 – 5, 40:51, 25:10, 24:55, 48:28, 72:24, 54:44 – 45, 3:11).
Selanjutnya, konsep ke-Tuhanan dalam Islam sepenuhnya membahas tentang ke-Esaan Allah sebagai inti dari ajaran keimanan yang lazim disebut dengan istilah Tauhid.
Kalimat Tauhid yang terkenal adalah "laa ilaaha illallaah" artinya tidak ada Tuhan selain Allah, mengandung maksud bahwa tidak ada Tuhan yang pantas disembah selain Allah. Menurut Al-Qur'an mengandung arti bahwa Allah itu Esa Dzat-Nya, Sifat-Nya dan Af'al-Nya (Perbuatan-Nya). Esa Dzat-Nya maksudnya adalah bahwa bahwa tidak ada Tuhan lebih dari satu dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Esa Sifat-Nya maksudnya adalah tidak ada dzat lain yang memiliki satu atau lebih sifat-sifat ke-Tuhanan yang sempurna, sedangkan Esa Af'al-Nya adalah bahwa tidak ada satu kekuatanpun yang bisa melakukan pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Allah. Ajaran Tauhid digambarka secara simple dan indah oleh Al-Qur'an surat Al-Ihlash (112:1 – 4).

Lawan Ke-Esaan atau Tauhid adalah Syirik, artinya persekutuan yang jika diambil jamaknya kalimat tersebut menjadi Syurakaa', artinya sekutu. Dalam Al-Qur'an kalimat syirk digunakan dalam arti mempersekutukan Tuhan lain dengan Allah, baik persekutuan itu mengenai Dzat-Nya, Sifat-Nya atau Af'al-Nya, maupun mengenai ketaatan lain yang seharusnya ditujukan kepada Allah semata. Dalam Al-Qur'an diterangkan bahwa syirk adalah perbuatan dosa paling berat yang perlu dijauhi dan diwaspadai (31:13, 4:48, 2:30, 45:12 – 13, 2:34, 6:165, 7:140; 3:63, 9:31, 25:43, dsb).

Berbagai macam syirik yang diuraikan dalam Al-Qur'an menunjukkan, bahwa ajaran Tauhid menganugerahkan kepada dunia sebuah amanat tentang peningkatan kemajuan dalam segala bidang, baik jasmani, akhlak maupun rohani. Manusia bukan saja dibebaskan dari perbudakan oleh barang yang hidup atau mati, melainkan pula dibebaskan dari penyembahan kepada kekuatan alam yang besar dan mengagumkan. Justru manusia harus menakklukkan itu semua guna kepentingan manusia itu sendiri. Nabi Muhammad saw sebagai seorang hamba pilihan Allah diperintahkan supaya mengatakan : "Aku hanya manusia biasa seperti kamu; hanya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa" (18:110). Dengan demikian, segala belenggu yang mengikat jiwa manusia harus dipatahkan; dan manusia berjalan diatas jalan yang menuju kearah kemajuan. Jiwa budak tidak akan mungkin berbuat sesuatu yang baik dan besar; oleh sebab itu syarat pertama untuk mencapai kemajuan ialah, membebaskan jiwa dari segala macam perbudakan yang membelenggu; ini hanya bisa dicapai dengan Tauhid.


2. Keimanan dan Ketaqwaan

            Dalam Al-Qur'an terdapat sejumlah ayat yang redaksionalnya terdapat kata iman, seperti dalam 2:165. Tergambar dalam ayat tersebut bahwa orang-orang yang beriman (kepada Allah) adalah orang yang "Asyaddu Hubban Lillaah"  artinya cinta yang mendalam kepada Allah. Sikap yang menunjukkan kecintaan atau kerinduan yang luar biasa terhadap Allah. Disitu mencerminkan bahwa iman adalah sikap atau attitude, yaitu kondisi mental yang menunjukkan kecenderungan atau keinginan luar biasa terhadap Allah. Orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang rela mengorbankan jiwa, raga dan hartanya untuk mewujudkan harapan atau kemauan yang dituntut Allah kepadanya.

            Sedangkan kata Taqwa berasal dari kata Waqa, Yaqi, Wiqayah, artinya takut, menjaga, memelihara dan melindungi. Sesuai dengan makna etimologi tersebut, makna Taqwa adalah sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten (istiqamah). Diantara makna Taqwa yang diterangkan dalam Al-Qur'an terdapat dalam 2:177. Disana akan dijumpai setidaknya ada 5 indikator orang yang bertaqwa, yaitu :

  1. Iman kepada Allah, para Malaikat, Kitab-kitab (suci), dan para Nabi.
Indikator pertama adalah memelihara fitrah iman.

  1. Mengeluarkan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan, peminta-minta, dan untuk misi kemanusiaan (riqaab).
Indikator kedua adalah kesanggupan mengorbankan harta demi kecintaannya kepada sesame manusia
.
  1. Mendirikan Shalat dan menunaikan Zakat
Indikator ketiga adalah memelihara ibadah formal.

  1. Menepati janji
Indikator keempat adalah memelihara kehormatan diri (komitmen).

  1. Sabar di saat kepayahan, kesusahan dan diwaktu perang
Indikator kelima adalah memiliki semangat perjuangan.

            Secara garis besar, agama Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu, bagian teori atau yang lazim disebut dengan rukun iman dan bagian kedua adalah bagian praktek, yang mencakup segala apa yang harus dikerjakan oleh orang Islam. Bagian pertama bisa disebut Ushul (pokok) sedangkan bagian kedua disebut Furu' (cabang). Keimanan seseorang adalah sebagai landasan bersikap, berfikir dan perbuatan yang dilakukan dalam hidupnya. Sejauh dia berusaha menjaga dan mengembangkan kualitas imannya, maka sejauh itu pula dia akan mencapai derajat ketaqwaannya dihadapan Allah swt.

            Dalam Hadits acap kali kata iman itu digunakan dalam pengertian yang lebih luas, atau kadang untuk menggambarkan perbuatan baik yang sederhana. Nabi saw pernah bersabda : "Iman mempunyai cabang enam puluh lebih , dan rendah hati (Hayyaa') adalah salah satu cabang dari Iman" (Bu.2:3). Dalam Hadits lain disabdakan : "Iman mempunyai cabang tujuh puluh lebih, yang paling tinggi ialah kalimat Laa ilaaha illlallah, sedang yang yang paling rendah ialah menyingkirkan apasaja yang bisa mendatangkan bencana dari jalan" (M. 1:12). Rasulullah pernah bersabda : 'Bahwa mencintai Shahabat Anshar adalah salah satu pertanda iman" (Bu. 2:10). Sabda Beliau yang lain : "Salah seorang diantara kamu tidak beriman, kecuali dia mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri sendiri (Bu. 2:7). Masih banyak lagi Hadits-Hadits yang senada seperti itu. Singkat kata bahwa ketaqwaan itu adalah suatu implementasi dari keimanan seseorang dalam hidupnya, yang sudah barang tentu juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu sebagai lingkunagannya.

            Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa semua rukun iman itu sebenarnya landasan bagi perbuatan. Allah adalah Dzat yang mempunyai segala sifat kesempurnaan. Jika orang diharuskan beriman kepada Allah, itu sebenarnya ia harus berusaha memiliki sifat-sifat akhlak yang tinggi dengan tujuan mencapai Sifat Ilahi. Dia harus menempatkan cita-cita yang amat luhur dan amat suci sebagai idamannya, yang selalu terlintas dalam benaknya, serta dia harus berusaha menyesuaikan tingkah lakunya dengan cita-cita itu. Adapun beriman kepada Malaikat ialah agar dia menuruti bisikan yang baik, sehingga membentuk karakter seperti Malikat, yaitu selalu taat kepada Allah dan sekali-kali tidak mendurhaka kepada-Nya.

Beriman kepada Kitab Suci ialah agar manusia mengikuti petunjuk yang termuat didalamnya guna mengembangkan daya batin dalam dirinya. Sedangkan beriman kepada para Utusan ialah agar manusia mencontoh suri-tauladan yang diberikan   oleh  mereka  dan rela mengorbankan hidup untuk kepentingan sesama manusia.Beriman kepada hari Akhir mengajarkan kepada manusia, bahwa kemajuan material, fisik atau jasmani bukanlan tujuan hidup, akan tetapi tujuan hidup yang sebenarnya ialah hidup abadi yang amat luhur, dimulai dari Hari Kebangkitan (qiyamat). Akhirnya, Iman kepada Qadla' dan qodar memberi kesadaran kepada manusia tentang Maha luasnya ketentuan-ketentuan Allah yang harus difahami, baikk yang tersirat dalam setiap gajala di alam semesta, maupun yang tersurat pada Kitab-kitab Suci yang telah diturunkan kepada para Utusan-Nya.

Disamping itu memberikan dorongan kepada manusia agar mencapai kemajuan dalam hidupnya, menyadarkan akan keterbatasan dirinya dan menyadarkan bahwa keputusan Allah (Qadla') adalah suatu hak prerogratif yang tidak bisa  diganggu gugat oleh siapapun.


3. Implementasi Iman dan Taqwa dalam Kehidupan Modern.

Seperti yang telah dijelaskan, bahwa manusia harus melepaskan belenggu-belenggu dalam hidupnya guna mengadakan perubahan-perubahan positif mencapai kemajuan, yang itu bisa dicapai hanyalah dengan Tauhid (meng-Esaka Allah swt). Dalam Islam tidak ada satupun ajaran dogmatis, yaitu ajaran yang dianggap dapat menyelamatkan manusia hanya dengan percaya saja. Menurut ajaran Islam, Iman bukanlah semata-mata suatu keyakinan akan benarnya ajaran yang diberikan, melainkan Iman itu sebenarnya menerima suatu ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan. Hanya dengan Iman yang benar manusia mencapai kemajuan yang sebenarnya dalam kehidupan modern. Disamping itu manusia dalam setiap perbuatannya selalu berpegangan dengan satu kekuatan yang luar biasa untuk menyelamatkan kehidupan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Allah : "Maka barang siapa mengafiri Thoghut (syetan) dan beriman kepada Allah, ia sungguh-sungguh berpegang teguh pada pegangan yang tidak putus-putusnya atau kuat (2:256).         

Iman kepada Allah dan Malaikat akan mendorong manusia kearah perbuatan baik, sedangkan setan adalah makhluk yang mendorong manusia kearah perbuatan jahat. Oleh sebab itu yang dimaksud mengimplementasikan iman adalah, menerima suatu prinsip sebagai lendasan bagi perbuatan baik, yang seluruh ajaran Islam cocok dengan kemajuan fitrah manusia. Dalam  Islam  tidak
ada dogma, tidak ada rahasia dan tidak ada kepercayaan yang tidak memerlukan perbuatan. Tiap-tiap rukun iman adalah ajaran yang harus diwujudkan dalam perbuatan, guna mencapai puncak perkembangan manusia.

            Dalam menegakkan Tauhid, manusia harus menyatukan iman dan amal, konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian bertauhid adalah yakin dan percaya kepada Allah semata melalui fikiran dan membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan. Disamping itu manusia juga dianugerahi akal pikiran dalam melakukan perbuatannya. Menggunanakan akal atau pertimbangan dalam masalah agama dan undang-undang, juga memegang peranan penting dalam agama Islam, oleh karena itu Al-Qur'an sangat menghargai akal fikiran. Berulang-ulang Al-Qur'an berseru untuk menggunakan akal dan pertimbangan. Al-Qur'an banyak pernyataan seperti :
"Apakah kamu tidak merenungkan ?", "Apakah kamu tidak mengerti?" , "Apakah kamu tidak mempunyai akal?", "Ini adalah pertanda bagi orang yang mempunyai akal", "Dalam hal ini adalah pertanda bagi orang yang mempunyai akal"  
dan sebagainya. Orang yang tidak menggunakan akalnya disamakan dengan binatang, bahkan dikatakan pula dalam Al-Qur'an, sebagai orang yang tuli, bisu dan buta (2:171, 7:179, 8:22, 25:44, 3:189, 190).

            Islam yang telah dipisahkan dengan ilmu pengetahuan, sebagai akibat lanjut dari pemisahan agama dengan masalah-masalah dunia oleh kekuatan-kekuatan jahat. Dalam perkembangannya umat Islam seolah-olah kehilangan kemampuan menghadapi cepatnya perubahan sosial dan teknologi dizaman modern ini. Berbagai cabang ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Teknologi dengan temuan-temuannya dalam waktu yang relative singkat semakin canggih, makin mengagumkan dan memukau.

            Seharusnya dengan hasil tersebut dapat membuat makin sempurnalah kebahagiaan hidup manusia. Akan tetapi kenyataannya bukan mengangkat harkat manusia, kemajuan tersebut bahkan membuat kesengsaraan sebagian besar umat manusia. Penjajajahan, penindasan bentuk baru, tindak kesewenangan hingga kepeperangan dalam berbagai bentuk menghantui kehidupan ini.

            Dengan pemahaman yang benar tentang implementasi iman dan taqwa dalam kehidupan modern, diharapkan mencapai kesadaran yang benar tentang tidak terpisahnya hubungan Islam dan Ilmu Pengetahuan, tidak terpisahnya kehidupan jasmani dan ruhani serta kehidupan dunia dan akhirat, sehingga sumbangan kemajuan ilmu pengetahuan akan mendatangkan kebahagiaan hidup pribadi, bangsa bahkan dunia hingga akhirat melaui Islam.

            Dalam Al-Qur'an sarat akan keterangan mengenai indikator orang-orang yang Taqwa, antara lain dalam 3:133 - 136 setidaknya ada 6 indikator :
  1. Gemar berinfaq dalam berbagai situasi dan kondisi
  2. Mampu menahan amarah
  3. Pemaaf kepada segenap manusia
  4. Gemar berbuat baik dengan siapapun
  5. Segera insyaf dan bertaubat atas kesalahan yang pernah diperbuat
  6. Tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama.
Juga dalam 3:190 – 195 disebutkan beberapa indicator orang-orang yang berakal sehat, antara lain :
1.      Selalu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi
2.      Selalu berfikir (mempelari) gejala-gejala alam (ilmu pengetahuan)
3.      Kesadaran menghindarkan kesengsaraan dalam hidup
4.      Kesadaran menumbuhkan keimanan
5.      Mewaspadai terjadinya kesalahan yang mungkin diperbuat
6.      meyakini kebenaran janji-janji Allah lewat Utusan-Nya.

Ada kalimat yang perlu direnungkan dalam hal ini, dari Dr. Albert Instein yang mengandung saran untuk berusaha kearah penyatuan agama dan ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
"Emosi yang paling indah dan paling mendalam yang dapat kita alami adalah kesadaran akan perkara yang sifatnya spiritual (mistis). Kesadaran itu merupakan kekuatan segala ilmu pengetahuan sejati. Orang yang tidak mengenal emosi itu, yang tidak dapat lagi merasa kagum dan terpesona karena rasa hormat yang mendalam, boleh dikatakan mati. Mengetahui sesuatu yang tidak dapat kita fahami itu sungguh ada dan menyatakan diri sebagai kebijaksanaan yang setinggi-tingginya dan keindahan yang seindah-indahnya, dimana kesanggupan kita yang tumpul itu hanya dapat memahaminya dalam bentuknya yang paling sederhana, pengetahuan dan perasaan itu ialah pusat keagamaan yang sejati".














BAB II
SUMBER POKOK AJARAN ISLAM

2.1. Al-Qur'an

            Sumber asli dari semua ajaran dan syari"at Islam ialah Kitab suci yang lazim disebut Al-Qur'an. Kata Qur'an berulang-ulang disebutkan dalam Kitab itu sendiri, diantaranya : 2:185; 10:37, 61; 17:106 dan sebagainya. Kata Qur'an adalah isim masdar (bentuk infinitive) dari akar kata qoro'a yang arti aslinya adalah mangumpulkan barang-barang menjadi satu (LL). Qur'an berarti pula membaca, karena dalam membaca, huruf dan kata-kata dihubungkan satu sama lain menjadi susunan kalimat (R). Jadi dengan demikian,  secara harfiah kata Al-Qur'an lazimnya diartikan dengan bacaan, karena pada kenyataannya Kitab itu yang paling luas dibaca di seluruh dunia. Sedangkan menurut istilah Al-Qur'an adalah kumpulan Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Melalui malaikat (Jibrlil) sebagai podoman hidup manusia sepanjang jaman. Oleh karena itu seluruh ayat-ayat yang terdapat didalamnya adalah berbentuk Wahyu Matluww, artinya Wahyu yang dibacakan oleh Malaikat.

            Al-Qur'an pertama kali diturunkan oleh Allah swt. Pada suatu malam nan Agung (97:1), yang diberkahi (44:3) dengan menggunakan bahasa Arab (44:58; 43:3). Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur, dan setelah penggalan-penggalan itu diturunkan segera ditulis dan dihafalkan. Adapun lamanya Al-Qur'an diturunkan selama kenabian Muhammad saw. adalah duapuluhtiga tahun, yang selama itu beliau sibuk memperbaiki dunia yang dilanda kegelapan (17:106). Al-Qur'an adalah Firman Allah yang dibawa oleh Ruh suci atau malaikat Jibril dan disampaikan dalam bentuk kata-kata yang diucapkan (Matluww), Kepada Nabi Muhammad saw, untuk disampaikan kepada umat manusia (26:192 – 195; 2:97; 16:102).

            Walaupun Al-Qur'an itu diturunkan secara berangsur-angsur, akan tetapi seluruh wahyu Al-Qur'an adalah satu kesatuan yang bulat, disampaikan oleh Allah dengan cara yang sama, yaitu diturunkan melalui Ruh Suci atau Malaikat Jibril. Seluruh kandungan Al-Qur'an adalah merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisah-pisahkan satu dengan yang lain, sebagai bentuk wahyu Allah swt yang paling tinggi derajatnya dibandingkan bentuk-bentuk Wahyu Allah yang lain untuk sekalian umat manusia (42:51).

2.2. Al-Hadits

            Al-Hadits atau As-Sunnah adalah sumber pokok syari'at Islam yang kedua sesudah Al-Qur'an. Kata Hadits artinya adalah ucapan yang disampaikan kepada manusia, sedangkan kata Sunnah artinya adalah laku, aturan, cara bertindak atau tingkah laku. Dalam ajaran Islam dua istilah itu dimaksudkan semua ucapan atau sabda, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw semasa kenabiannya. Sehingga kita mengenal adanya Hadits atau Sunnah qauli, fi'li dan taqriri. Dari istilah Hadits dan Sunnah tersebut dalam perkembangannya yang sangat popular adalah kata Hadits atau Al-Hadits (kata ma'rifat).

            Setiap orang yang mempelajari Al-Qur'an pasti tahu bahwa pada umumnya ayat-ayatnya membehas asas-asasnya atau aturan-aturan secara garis besar dan jarang dibahas sampai pada yang sekecil-kecilnya. Pada umumnya penjelasan yang sekecil-kecilnya tentang pembahasan yang terdapat dalam Al-Qur'a itu didapatkan dalam Al-Hadits, baik berupa contoh tentang bagaimana melaksanakan suatu perintah, maupun penjelasan secara lisan atau kata-kata. Maka disinilah arti pertingnya Al-Hadits sebagai dasar pokok ajaran Islam setelah Al-Qur'an.

            Al-Hadits bukan saja sangat dibutuhkan setelah Nabi Muhammad saw wafat, akan tetapi dibutuhkan pula ketika beliau masih hidup. Misalnya perintah shalat dan zakat adalah dua perintah yang sering diulang dalam Al-Qur'an, berarti perintah yang sangat penting dan tidak ada keterangan yang detail menjelaskan tentang perintah itu. Perintah itu hanya disampaikan dalam Al-Qur'an dengan kalimat "Aqiimus-Shalaata wa-atuz-Zakaata" artinya : Tegakkanlah oleh kalian semua, Shalat dan tunaikanlah Zakat, disampaikan berkali-kali akan tetapi tidak ada penjelasan rinci dalam ayat-ayat yang lain dan akan didapatkan penjelasan dan contoh-contohnya hanyalah dalam Al-Hadits, baik dalam tata-cara menegakkan Shalat maupun tata-cara menunaikan Zakat. Ini adalah sekedar contoh, tetapi karena ajaran Al-Qur'an adalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, maka beratus atau beribu persoalan yang harus dijelaskan dan diberikancontoh oleh Nabi Muhammad saw. Untuk itu dalam segala hal beliau dijadikan oleh Allah swt sebagai suri tauladan bagi umat Islam (33:12).

            Karena begitu pentingnya Al-Hadits sebagai juru penjelas dari setiap ajaran Al-Qur'an, maka Al-Hadits harus dibersihkan dari campur tangan Tarikh Nabi,  Israiliyat,  Nashraniyat  dan  dari  Juru Cerita yang mencoba menyisipkan itu kedalamnya. Jika Al-Hadits tercemari oleh itu semua, digunakan untuk menjelaskan Al-Qur'an maka akan terjadi kesalahan yang fatal. Oleh sebab itu Syah Abdul Aziz telah menyimpulkan aturan penilaian Hadits dalam kitabnya yang berjudul "Ujalah Nafi'ah", menyebutkan bahwa Hadits tidak boleh diterima jika keadaannya sebagai berikut :
  1. Bertentangan dengan fakta sejarah
  2. Diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dikuatkan oleh kesaksian orang yang tidak memihak.
  3. Mewajibkan kepada semua orang untuk mengetahuinya dan mengamalkannya, dan hanya diriwayatkan oleh satu orang.
  4. Saat dan kejadian diriwayatkannya Hadits itu membuktikan bahwa Hadits itu dibikin-bikin.
  5. Bertentangan dengan akal, atau bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang terang.
  6. Menjelaskan peristiwa yang secara wajar seharusnya diriwayatkan oleh banyak orang, akan tetapi ternyata hanya oleh seorang saja.
  7. Kalimatnya menjelaskan hal-hal yang tidak idium dengan bahasa Arab, atau tidak pantas dilakukukan oleh Nabi Muhammad saw.
  8. Berisi ancaman dan hukuman yang berat untuk perbuatan dosa kecil, dan menjanjikan pahala besar bagi amal yang tak seberapa.
  9. Menjanjikan pemberian pahala oleh Nabi atau Rasulullah kepada orang yang berbuat baik.
  10. Ada pengakuan langsung dari perowi bahwa dia yang membuat-buat Hadits itu.

Aturan penilaian Hadits yang sama juga disampaikan oleh Mullah Ali Qari dalam kitabnya yang berjudul Maudlu'at, oleh Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya Fathul Mughits, dan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Nuzatun-Nazar.

Selain aturan-aturan tersebut, sebenarnya ada batu uji yang ampuh untuk menetapkan keshahihan Al-Hadits, bahkan batu uji itu pemakaiannya diperintahkan oleh Nabi saw. sendiri. Diriwayatkan bahwa beliau bersabda sebagai berikut :
"Banyak orang yang meriwayatkan Hadits dari saya; maka ujilah itu dengan Al-Qur'an; jika suatu Hadits cocok dengan Al-Qur'an, maka terimalah itu; tetapi jika tidak cocok, maka tolaklah itu". Ada lagi pengakuan dari Beliau : "Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan sesuatu kepada kamu tentang agama, terimalah itu; dan jika aku memerintahkan tentang perkara dunia, aku hanyalah manusia biasa" (MM. 1:6 – i).


2.3. Ijtihad

            Ijtihad adalah sumber syariat islam yang nomor tiga.kata ijtihad berasal dari kata jahd yang artinya berusaha keras atau berusaha sekuat tenaga; kata ijtihad yang secara harfiah mengandung arti yang sama, ini secara teknis diterapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan kemampuan akalnya berusaha keras untuk menentukan pendapat dilapangan hukum mengenai hal yang pelik dan meragukan.

            Ada beberapa metode dalam berijtihad, yaitu:

1. Qias

            Qias makna aslinya, mengukur atau membandingkan atau menimbang dengan membandingkan sesuatu. Para fukaha menerapkan Qias itu pada proses deduksi, yang dengan ini teks undang-undang itu diterapkan pada suatu perkara, yang walaupun tak dijelaskan oleh bahasa undang-undang itu, tetapi dipengaruhi oleh kesimpulan teks itu. Singkatnya, Qias itu dapat dirumuskan, menarik kesimpulan dengan analogi.


2. Istihsan

Istihsan yang makna aslinya menganggap baik suatu barang atau menyukai barang itu, itu menurut terminologi pada ahli hukum, berarti menjalankan keputusan pribadi, yang tak didasarkan atas Qias, melainkan didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan.

3. Istidlal
            Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Dua sumber utama yang diakui untuk ditarik kesimpulannya ialah adat dan kebiasaan; demikian pula undang-undang agama yang diwahyukan sebelum islam. Diakui bahwa adat dan kebiasaan yang lazim di tanah arab pada waktu datangnya islam yang tak dihapus oleh islam, ini mempunyai kekuasaan hukum. Demikian pula, adat dan kebiasaan yang lazim dimana-mana, jika ini tidak bertentangan dengan jiwa ajaran Qur’an, atau tak terang-terangan dilarang oleh Qur’an, ini juga diperbalehkan; karena, menurut peribahasa para ahli hukum yang sudah terkenal, diizinkannya sesuatu adalah prinsip asli , oleh karena adat itu diakui oleh sebagian besar rakyat, maka adat ini mempunyai kekuatan ijmak dengan demikian, adat mempunyai prioritas di atas tertib hukum yang diambil dari analogi.

4. Ijmak        
            Kata Ijmaa’ (di-Indonesiakan menjadi ijmak) berasal dari kata Jam”, artinya menghimpun atau mengumpulkan, Ijmak mempunyai dua makna, yaitu, menyusun dan mengatur suatu hal yang tak teratur, oleh sebab itu berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Menurut istilah ulama fikih, Ijmak berarti kesepakatan pendapat diantara mujtahid, atau persetujuan pendapat diantara ulama fikih dari abad tertentu mengenai masalah hukum. Persetujuan pendapat ini disimpulkan dengan tiga cara, pertama, dengan qoul (ucapan), yaitu pendapat tentang suatu masalah yang dikeluarkan oleh para mujtahid yang diakui sah. Kedua, dengan fi’il (perbuatan), yaitu apabila ada kesepakatan dalam praktek. Ketiga, dengan sukuut (diam), yaitu apabila para mujtahid tak membantah suatu pendapat yang dikeluarkan oleh salah satu atau beberapa mujtahid. Pada umumnya ulama berpendapat, bahwa Ijmak berarti kesepakatan pendapat diantaranya para mujtahid saja; jadi orang yang tak alim dalam hukum, tak boleh mengambil bagian dalam Ijmak, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa Ijmak berarti persetujuan pendapat diantara kaum muslimin; hanya anak kecil dan orang gila sajalah yang tak diikutsertakan dalam Ijmak. Ada berbagai  pendapat tentang apakah ijmak itu hanya terbatas pada suatu tempat, atau terbatas pada satu atau beberapa generasi. Imam Malik mendasarkan Ijtihad beliau atas kesepakatan pendapat orang-orang madinah. Secara teori, pembatasan semacam itu tak dapat dibenarkan. Jika diingat bahwa orang terpelajar itu tak hanya terbatas di Madinah saja, bahkan di zaman Nabi Muhammad saw, mereka dikirim ke tempat-tempat yang jauh di luar jazirah. Pendapat yang paling dapat diterima ialah bahwa Ijmak Ahlus Sunnah wal Jamaah tak mengikutsertakan kaum Syiah dalam rencana Ijmak bagitu pula sebaliknya. Kaum Syiah berpendapat bahwa hanya keturunan Sayyidina Ali dan Siti Fatimah sajalah yang pantas melakukan ijtihad. Diantara golongan Ahlus Sunnah wal jamaah, ada sebagian yang berpendapat bahwa ijmak itu hanya terbatas bagi para Sahabat nabi, sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa ijmak itu meliputi generasi berikutnya, yaitu generasi Tabiin, tetapi pendapat yang paling umum adalah bahwa ijmak itut tidak terbatas pada suatu generasi, atau pada suatu Negara; oleh sebab itu, ijmak yang sebenarnya ialah kesepakatan pendapat diantara sekalian mujtahid dari semua Negara dalam abad apa saja, tetapi ini adalah sesuatu yang hampir-hampir tak mungkin.

            Ada perbedaan pendapat yang cukup besar tentang apakah hukum ijmak itu dibentuk dengan suara terbanyak diantara para mujtahid, ataukan dengan kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid itu.
































BAB III
HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM

3.1. Konsep Manusia dalam Berbagai Perspektif

            Manusia adalah ciptaaan Allah sebagai makhluk yang sempurna QS. Ath-Thin 95 : 4 dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan demikian Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Manusia sebagai al-basyar tunduk kepada taqdir Allah, sama dengan makhluk yang lain. Manusia sebagai al-insan dan An-Nas bertalian dengan hembusan Ilahi atau Roh Allah yang memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang Taqdir Allah.

            Menurut pandangan Murtadlo Mutahhari manusia adalah makhluk serba dimensi. Dimensi pertama, secara fisik manusia hampir sama dengan hewan, membutuhkan makan, minum, istirahat dan kawin, supaya dia bisa hidup, tumbuh dan berkembang. Dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian. Dimensi ketiga, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi keempat, manusia manusia memiliki kemampuan untuk menyembah Tuhan. Dimensi kelima, manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda, karena dia dikaruniai akal, fikiran dan kehendak bebas, sehingga dia mampu menahan hawa nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam hidupnya. Dimensi keenam, manusia mampu mengenal dirinya sendiri. Jika dia sudah mengenal dirinya, maka dia akan mencari dan ingin mengetahui siapa penciptanya, mengapa dia diciptakan, dari apa dia diciptakan, bagaimana proses penciptaannya, dan untuk apa dia diciptakan.

3.2. Eksistensi dan Martabat Manusia

            Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai Khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi-samawi, yang dalm dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta dikaruniai keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan manusia dimulai dari kelemahan dan ketidak mampuan, yang kemudian bergerak kearah kekuatan, tetapi hal itu tidak menghapuskan kegelisahan, kecuali manusia dekat dengan Tuhan dan mengingat-Nya. Kapasitas manusia tidak terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu.

            Manusia mempunyai keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong manusia, dalam banyak hal tidak bersifat kebendaan. Manusia dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada dirinya, namun pada saat yang sama, manusia harus menunaikan kewajiban kepada Tuhan.

3.3. Tanggung Jawab Manusia sebagai Hamba dan Khalifah Allah

            Sebagai makhluk Allah, manusia mendapat amanat yang harus dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia dimuka bumi adalah tugas kekhalifahan, yaitu tugas kepemimpinan; wakil Allah di muka bumi untuk mengelola dan memelihara alam.

            Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah, berarti manusia memperoleh mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya mengolah dan mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah.

            Agar manusia bias menjalankan kekhalifahannya dengan baik, Allah telah mengajarkan kepadanya kebenaran dalam segala ciptaan-Nya dan melalui pemahaman serta panguasaan terhadap hokum-hukum yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia bias menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.

            Disamping peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang memiliki kebebasan, dia juga sebagai hamba Allah (‘abdullah). Seorang hamba harus taat dan patuh kepada perintah Allah.

            Kekuasaan manusia sebagai khalifah Allah dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hokum-hukum Tuhan baik yang tertulis dalam kitab suci (al-qaul), maupun yang tersirat dalam kandungan pada setiap gejala alam semesta (al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu dia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya dihadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam surat fathir : 39.

            Makna yang esensial dari kata ‘abdun (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan dan kepatuhan mnusia hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan pada kebenaran dan keadilan.

            Dua peran yang dipegang manusia dimuka bumi, sebagai khalifah dan ‘abdun merupakan keterpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup yang sarat dengan kreatifitas dan amaliyah yang selalu berpihak pada nilai-nilau kebenaran.

            Berdasarkan pemahaman ayat tersebut dapat dipahami, bahwa kwalitas kemanusia sangat tergantung pada kwalitas komunikasinya dengan Allah melalui ibadah dan kwalitas interaksi sasialnya dengan sesame manusia melalui muamalah.

            Berbicara tentang ibadah dalam Islam kita mengenal istilah ibadah mahdlah, yaitu setiap bentuk ibadah yang sudahditentukan baik syarat maupun rukun dalam menunaikannya, dan ibadah ghairu mahdlah, yaitu setiap perbuatan baik manusia yang senantiasa memperhatikan nilai-nilai kebenaran baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.



































BAB IV
ETIKA, MORAL, DAN AKHLAK

4.1. Pengertian Etika, Moral, dan Akhlak

            Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sestem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk adalah akal manusia.

            Moral secara lughawi berasal bahasa latin “mores” kata jamak dari kata “mos” yang berarti adat kebiasaan, susila. Yang dimaksud adat kebiasaan dalam hal ini adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima oleh masyarakat, mana yang baik, dan wajar. Jadi bisa juga dikatakan moral adalah prilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.

            Sementara kata “akhlak” merupakan bentuk jamak dari kata khuluq secara etimologis artinya adalah budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. Sedangkan secara terminologis akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terbaik dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.

            Dalam definisi yang agak panjang Ahmad Amin menjelaskan bahwa akhlak adalah ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lainnya. Menyatakan tujuan yang harus dituju manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

4.2. Karakteristik Etika Islam (Akhlak)

            Jika dicermati etika Islam itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a.       Mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b.      Menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah swt.
c.       Bersifat universal dan komprehensip, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
d.      Mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia.






4.3. Tingkatan-Tingkatan Akhlak

            Dalam ajaran Islam tentang tingkatan akhlak dalam kehidupan manusia itu ada tiga macam :
  1. Akhlak Radzilah
  2. Akhlak Fadlilah
  3. Akhlak Karimah


4.4. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak

            Tasawuf dalah tingkat pendekatan diri manusia kepada Tuhan dengan cara mensucikan hati sesuci-sucinya. Tuhan yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh orang suci hatinya. Adapun cara bagaimana mensucikan hati dijelaskan dalam ilmu tasawuf. Dalam pengamalannya tasawuf tidak biasa terlepas dari fiqih atau syariat, sebab fiqih merupakan aspek dhahir ajaran Islam sementara tasawuf merupakan aspek bathinnya. Islam yang sebenarnya adalah paduan aspek dhahir dan bathin secara seimbang.

            Orang yang suci hatinya akan tercermin dari air muka dan perilakunya yang baik (akhlak karimah). Akhlak yang baik sebenarnya merupakan gambaran dari hati yang suci, sebaliknya perilaku yang buruk adalah merupakan gambaran hati yang kotor dan busuk. Dengan demikian, agar seorang mukmin akhlak yang baik adalah dengan melaksanakan tasawuf secara sistematis. Yaitu melaksanakan semua kewajiban (al-wajibaat), melaksanakan yang sunnah-sunnah (an-nafilah) dan melaksanakan latihan spiritual (al-riyadlah). Inti al-riyadlah dalam Islam adalah ingat akan kebesaran Allah (dzikir).

4.5.1. Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan Masyarakat

            Kata Islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat, dan patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama Islam adalah ajaran yang mengandung nilai-nilai untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan kehidupan manusia pada khususnya dan semua makhluk Allah pada umumnya, serta penyerahan diri, mentaati, dan mematuhi ketentuan-ketentuan Allah. Menurut ajaran, Mnusia yang diberikan amanat oleh Allah untuk menjadi khalifah-Nya di bumi, harus dpat menciptakan kemaslahatan bagi sekalian makhluk Allah. Artinya bahwa setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus membarikan kebaikan dan tidak boleh merugikan atau menyakiti pihak lain dengan cara menegakkan aturan-aturan Allah. Itulah wujud rahmat dari agama Islam sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam QS. Al-Anbiya’ 21 : 107
Adapun diantara implementasi dari ajaran tersebut bias di aktualisasikan dalam bentuk-bentuk kerukunan hidup bermasyarakar berbangsa dan bernegara, yang secara garis besar ada dua bentuk penjelasan dalam hal itu, yaitu :


1. Ukhwah Islamiyah dan ukhwah Insaniyah.
           
            Kata Ukhwah berarti persaudaraan, maksudnya perasaan simpati dan empati antar dua orang atau lebih. Masing-masing pihak memiliki satu  kondisi yang sama, baik suka maupun duka, baik senang maupun sedih. Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbale balik untuk saling membantu jika pihak lain mengalami kesulitan, dan sikap untuk berbagi kesenangan kapada pihak lain jika salah satu pihak menemukan kesenangan. Ukhwah ini jika berlaku oleh sesama ummat Islam maka disebut Ukhwah Islamiyah, dan berlaku untuk sekalian umat manusia yang tidak membedakan agama, suku, dan aspek-aspek kekhususan lainnya, yang disebut ukhwah insaniyah.

            Konsep ukhwah insaniyah dilandasi oleh ajaran bahwa manusia adalah makhluk Allah. Meskipun Allah telah memberikan petunjuk kebanaran melalui ajaran Islam, tetapi Allah juga memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalan hidup berdasarkan pertimbangan rasionya.

2. Kebersamaan Umat beragama dalam Kehidupan Sosial

            Umat manusia mempunyao tanggangjawab barsama untuk menciptakan harmoni kehidupan sosial. Masing-masing elemen masyarakat berkewajiban melaksanakan peran sosial sesuai dengan bidang tugas dan kemampuannya. Kontribusi sosial yang ditekankan oleh Islam adalah kebaikan dan tidak berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash : 77)

            Prinsip tolong menolong sesame manusia memberi makna universalisme nilai-nilai kebaikan yang diinginkan oleh setiap manusia. Nilai-nilai itu dalam Al-Qur’an diformulasikan dengan amar ma’ruf nahi munkar.

4.5.2. Etika /Kewajiban terhadap Diri Sendiri

            Menurut abu Bakar Al-Jaziri, bahwa etika terhadap diri sendiri meliputi :
  1. Al-Taubah, yaitu melaksanakan upaya insaf terhadap setiap kesalahan dan berusaha mencapai pengampunan
  2. Al-Muraqabah, yaitu berusaha mendekatkan diri kepada sang Khaliq dengan mentaati perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
  3. Al-Muhasabah, yaitu berusaha intruspeksi dan evaluasi terhadap amaliyah yang sudah dilakukannya.
  4. Al-Mujahada, yaitu berusaha dengan sungguh melakukan upaya mensucikan ruhani atau jiwa dengan peningkatan intensitas ibadah-ibadah nafilah disamping ibadah-ibadah maktubah.





BAB V
HUKUM, HAK ASASI MANUSIA (HAM),
DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM

5.1. Konsep Hukum, HAM dan Demokrasi

5.1.1. Hukum Islam: Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuannya

            Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya yang kini terdapat dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya melalui sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan lainnya mempunyai persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah dimaksud adalah syari’at Islam, fikih Islam dan hukum Islam.

Di dalam keputusan hukum Islam berbahasa inggeris, syari’at Islam diyerjemahkan dangan Islamic Law, sedang fikih islam diterjemahkan dengan Islamic Jurisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syari’at islam sering dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’, untuk fikih Islam dipergunakan hukum fikih atau kadang-kadang hukum Islam. Dalam praktek seringkali, ke dua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami karena keduanya sangat erat hubungannya, dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan. Kedua syari’at merupakan landasan fikih, dan fikih merupak pemahaman orang yang memenuhi syarat tentang syari’at. Oleh karena itu seseorang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar harus dapat membedakan antara syari’at Islam dengan fikih Islam.

            Hukum islam baik dalam pengertian syari’at maupun fikih dibagikan ke dalam dua bagian besar, yakni bidang ibadah dan bidang mu’alamah. (Mohammad Daud Ali, 1999: 49). Hukum Islam itu sangat luas, bahkan luasnya hukum Islam tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh para fukaha (para yuris Islam) di masa lampau seperti hukum bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga berencana, hukum bunga bank, eutanasia dan lain sebagainya.

            Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka; mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagian hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala manfaat dan mencegah dan menolak yang madlarat Abu Ishaq al-Shatibi yakni yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia, merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) Agama, (2) Jiwa, (3) Akal, (4) keturunan, dan (5) harta yang disebut “maqashid al-khamsah”. Kelima tujuan ini kemudian disepakati oleh ahli para ahli hukum Islam.
            Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh hukum Islam ditetapkan oleh Allah adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan hidup yang bersifat primer, sekunder maupun tertier. Oleh karena itu apabila seorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah, maka ia akan selamat baik dalam hidupnya di dunia maupun diakhirat kelak.

5.1.2. Hak Asasi Manusia menurut Islam

            Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugrahi hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya. Dengan hak asasi tersebut manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai suatu hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia.

            Ada perbedaan prinsip antara HAM dilihat dari sudut pandangan Barat dan Islam. HAM menurut pandangan barat semata-mata bersifat antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada manusia. Dengan demikian manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya HAM ditilik dari sudut pandangan Islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu berpusat pada Tuhan. Dengan demikian Tuhan sangat dipentingkan. Dalam hal ini A.K. Brohi menyatakan : “Berbeda dengan hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di dalam hati, pikiran, dan jiwa penganut-penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sungguh bersifat teosentris”.

            Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang menjadi tolok ukur segala sesuatu, maka didalam Islam melalui Firman-Nya Allahlah yang menjadi tolok ukur segala sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Disini letak perbedaan yang fundamental antara HAM menurut pola pemikiran Barat dengan HAM menurut pola ajaran Islam. Makna teosentris menurut umat Islam adalah manusia pertama-tama harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat yakni pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya. Barulah setelah itu umat Islam melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, menurut isi keyakinannya itu.

            Dari uraian tersebut, sepintas lalu nampak bahwa seakan-akan dalam Islam manusia tidak mempunyai hak asasi. Dalam konsep Islam seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas kepada Allah karena ia harus mematuhi hukum-hukum-Nya. Namun secara paradoks, didalam tugas-tugas inilah terletak semua hak dan kemerdekaannya. Menurut ajaran Islam, manusia mengakui hak-hak dari manusia yang lain, karena hal ini merupakan sebuah kewajiban yang ditentukan oleh hukum agama untuk mematuhi Allah. Oleh karena itu, HAM dalam Islam tidak semata-mata menekankan kepada hak asasi manusia saja, akan tetapi hak-hak itu dilandasi kewajiban asasi manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai penciptanya.

            Kewajiban yang diperintahkan kepada ummat manusia dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu haqqullah dan haqqul ‘ibad. Haqqullah (hak Allah) adalah keawajiban-kewajiban manusia terhadap Allah swt yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, sedangkan haqqul ‘ibad (hak-hak manusia) merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-makhluk Allah lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa hak-hak yang diminta oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, akan tetapi hak-hak Allah itu bersesuaian dengan hak-hak makhluk-Nya.

5.1.3. Demokrasi dalam Islam

            Kedaulatan mutlak dan keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para cendikiawan belakangan ini mengembangkan teori politik yang dianggap demokratis. Di dalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintah. Penjelasan mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, banyak memberikan perhatian pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi  Islam dianggapsebagai system yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura)., persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi politik Barat, istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi  dan mempunyai   banyak    konteks    dalam    wacana muslim dewasa ini.

Namun, lepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi di kalangan masyarakat muslim. Perlunya musyawarah merupakan konsekwensi politik kekhalifahan manusia. Masalah musyawarah ini dengan jelas juga disebutkan dalam QS. 42 : 28, yang isinya berupa perintah kepada para pemimpin dalan kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan mereka yang dipimpinnya dengan cara musyawarah.

Dengan demikian, tidak akan terjadi kewenangan-kewenangan dari seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya jika tidak didasari atas konsep-konsep tersebut. Oleh karena itu “Perwakilan Rakyat” dalam sebuah Negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura). Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah Negara.

            Di samping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam maslah demokrasi, yakni konsensus atau ijma’. Konsensus memainkan peranan yang menentukan dalah perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Namun hamper sepanjang sejarah Islam, konsensus sebagai salah satu sumber hukum Islam cenderung dibatasi pada consensus para cendikiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan mempunyai makna yang kurang begitu penting dalam kehidupan umat Islam. Namun dalam pemikiran muslim modern, potensi flesibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus akhirnya mendapat saluran yang lebih besar untuk mengembangkan hukum Islam untuk mengembangkan hukum Islam dan menyesuaikannya dengan kondisi yang terus berubah.

            Dalam pengertian yang lebih luas, consensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan system yang mengakui suara mayoritas.

Disamping konsep syura dan ijma’ ada satu konsep lagi yang tidak kalah pentingnya, yaitu Ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat dan waktu. Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak diperdebatkan maknanya, namun lepas dari ramainya perdebatan maknanya di dunia Islam, istilah-istilah ini memberikan landasan yang efektif untuk memahami antara Islam dan demokrasi di dunia kontemporer.

5.2. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan
       Hukum

            Kontribusi umat Islam khususnya di Indonesia dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti misalnya UURI. No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;  PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah milik; UURI. No. 7 tahun1989 tentang Peradilan Agama; INPRES. No. 1 tahun 1991 tetang Kompilasi Hukum Islam; UURI. No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; UURI. No. 17 tahun 1999 tantang penyelenggaraan Ibadah Hajji; dan masih banyak lagi yang lainnya.

            Adapun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara memang harus melalui proses, yakni proses cultural dan dakwah. Apabila Islam sudah memasyarakat, maka sebagai konsekwensinya hukum harus ditegakkan. Di dalam Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan berfikir harus di kembangkan. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi pemahaman maupun dalam segi pengembangnnya. Dalam ajara Islam ditetapkan bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan Allah. Masalahnya kemudian. Bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses, perjuangan, dan waktu untuk merealisasikannya.

BAB VI
MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMMAT

6.1. Konsep Masyarakat Madani

            Makna utama dari Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradaban sebagai ciri utama. Karena itu dalam sejarah pemikiran filsafat, sejak filsafat Yunani sampai masa filsafat Islam juga dikenal istilah Madinah atau Polis, yang berarti kota, yaitu masyarakat yang maju dan berperadaban. Masyarakat madani menjadi simbol idealisme yang di harapkan oleh setiap masyarakat. Didalam Al-Qur’an, Allah memberikan ilustrasi masyarakat ideal, sebagai gambaran dari masyarakat madani dengan Firman-Nya yang artinya : (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. Saba’ : 15).

            Masyarakat Madani sebagai masyarakat yang ideal itu memiliki karakteristik sebagai berikut :
  1. Bertuhan
  2. Damai
  3. Tolong-menolong
  4. Toleran
  5. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial
  6. Berperadaban tinggi
  7. Berakhlak mulia.

6.2.            Peranan Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani

Dalam kontek masyarakat Indonesia, dimana umat Islam adalah mayoritas, peranan umat Islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat menentukan. Kondisi masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat Islam. Peranan umat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-politik, ekonomi, dan dan yang lain. Sistem hukum, sosial-politik, ekonomi, dan yang lain di Indonesia, memberikan ruang untuk menyalurkan aspirasinya secara konstruktif  bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan kosistensi umat Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang ada. Sekalipun Umat Islam secara kwantitatif mayoritas, tetapi secara kwalitatif masih rendah sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis.

 Sikap amar ma’ruf nahi munkar juga masih lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka krimilaitas yang tinggi, KKN yang terjadi disemua sektor, kurangnya jaminan rasa aman dan sebagainya. Bila umat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, pasti bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.

6.3. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat

            Yang dimaksud sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang terjadi setelah prinsip ekonomi yang menjadi pedoman kerjanya, dipengaruhi dan dibatasi oleh ajaran-ajaran Islam. Sistem ekonomi Islam tersebut di atas, bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dikembangkan oleh pemikiran manusia yang memenuhi syarat dan ahli dalam bidangnya. Jika Al-Qur’an dan Al-Hadits dipelajari secara seksama, tampak jelas bahwa Islam mengakui motif laba (profit) dalam kegiatan ekonomi. Namun motif itu terikat atau dibatasi oleh syarat-syarat moral, sosial tan temperanse (pembatasan diri).

            Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan serentak. Menurut ajaran Islam, dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat kelak. Untuk mencapai tujuan kesejahteraan dimaksud, di dalam Islam selain dari kewajiban zakat, masih disyari’atkan untuk memberikan shadaqah, infaq, hibah, dan wakaf kepada pihak-pihak yang memerlukan. Lembaga-lembaga tersebut dimaksud untuk menjembatani dan memperdekat hubungan sesame manusia, terutama hubungan antara kelompok masyarakat yang kuat dengan kelompok masyarakat yang lemah; antara yang kaya dengan yang miskin.

6.4. Manajemen Zakat dan Wakaf

6.4.1. Manajemen Zakat

            Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur sosial Islam. Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekag wajib. Dengan terlaksananya lembaga zakat secara baik dan benar diharapkan kesulitan dan penderitan fakir miskin dapat teratasi. Di samping itu dengan pengelolaan zakat yang professional, berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan mustahiq juga dapat dipecahkan.
                           
Zakat ada dua macam yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu pula. Sedangkan zakat fitrah adalah zakat yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadlan. Hukumnya wajib bagi setiap muslim, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka.

            Zakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan di kalngan umat Islam sendiri, dari golongan umat yang kaya kepada golongan umat yang miskin, agar tidak terjadi jurang pemisah di antara mereka serta untuk menghindari penumpukan kekayaan pada golongan kaya saja. Untuk melaksanakan lembaga zakat itu dengan baik dan sesuai dengan fungsi dan tujuannya tentu harus ada aturan-aturan yang harus dilakukan dalam pengelolaannya. Pengelolaan zakat yang berdasarkan prinsip-prinsip pengaturan yang baik jelas akan lebih meningkatkan manfaatnya yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan pengelolaan zakat di Indonesia, pada tanggal 23 September 1999 Presiden RI, B. J. Habibie mengesahkan Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Selanjutnya untuk melaksanakan Undang-Undang RI tersebut, Menteri Agama RI manetapkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999.

            Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada banyaknya zakat yang terkumpul, tetapi juga tergantung pada dampak dari pengelolaan zakat tersebut dalam masyarakat. Lembaga Zakat baru dikatakan berhasil dalam pengelolaannya apabila zakat tersebut benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Keadaan yang demikian sangat tergantung dari manajemen yang diterapkan oleh ‘amil zakat dan Political Will dari pemerintah.

6.4.2. Manajemen Wakaf

            Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam, yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang baik di beberapa Negara misalnya Mesir, Yordania, Arab Saudi, Bangladesh dan lain-lain. Hal ini barangkali karena lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik sehingga manfaatnya sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

            Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfatan tersebut dilihat dari segi social khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan pengelolaan secara produktif, maka wakaf sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat terealisasi secara optimal. Untuk keperluan itulah pada saatnya pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 Tantang Wakaf  dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya.

            Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi umat, maka di Indonesia perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini hanya dikelola secara kunsumtif dan tradisional, sudah saatnya kini kini dikelola secara produktif.

            Di beberapa Negara seperti mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, Bangladesh, sangat dikembangkan wakaf itu selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.

            Wakaf uang atau sekarang disebut wakaf tunai dan wakaf produktif penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia pada saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Contoh sukses pelaksanaan sertifikat wakaf tunai di Bangladesh dapat dijadikan teladan bagi umat Islam Indonesia. Jika umat Islam Indonesia mampu melaksanakan dalam sekala besar, maka akan terlihat implikasi positif dari kegiatan wakaf tunai tersebut. Wakaf tunai mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial.




























BAB VII
ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI
(IPTEKS) DALAM ISLAM

7.1. Konsep Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS)

            Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi, dan diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyetif, sudah diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara ilmiah.

            Secara etimologis, kata ilmu berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Oleh sebab itu orang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai spesialis. Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan pengetahuan.

            Teknologi merupakan salah satu budaya sebagai penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia, tetapi juga sebaliknya dapat membawa dampak negative berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan alam semesta yang berakibat terjadinya berbagai kehancuran dalam kehidupan. Oleh sebab itu teknologi bersifat netral, artinya bahwa teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya atau bisa juga digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri. Adapun seni termasuk bagian dari budaya manusia, sebagai hasil ungkapan akal budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan hasil ekspresi jiwa yang berkembang menjadi bagian dari budaya manusia.

            Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu, yaitu wahyu dan alam semesta dengan segala macam gejala-gejalanya yang bisa ditangkap oleh akal manusia. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan untuk mengembangkan akalnya, dengan catatan dalam pengembangannya tetap terikat dengan petunjuk wahyu dan tidak bertentangan dengan syari’at. Atas dasar itu secara garis besar ilmu bisa dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu ilmu yang bersifat abadi (perennial knowladge), tingkat kebenarannya bersifat mutlak (absolute), karena bersumber dari wahyu Allah, dan ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowladge), sifat kebenarannya bersifat nisbi (relative), karena bersumber dari akal pikiran manusia.

7.2. Intergrasi Iman, IPTEKS, dan Amal

            Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya tergambar dalam keutuhan inti ajarannya. Ada tiga inti ajaran Islam, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Ketiga inti ajaran Islam itu terintegrasi didalam sebuah sistem ajaran yang disebut Dinul Islam. Iman, Ilmu dan Amal merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Iman diidentikkan dari akar sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu bagaikan batang dan dahan pohon itu yang mengeluarkan cabang-cabang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Sedangkan amal ibarat buah dari pohon. Ipteks yang dikembangkan diatas nilai-nilai Iman dan Taqwa akan menghasilkan amal shalih dan pelestarian alam semesta.

            Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal shalih apabila perbuatan tersebut tidak dibangun diatas nilai-nilai iman dan taqwa. Sama halnya pengembangan IPTEKS sebagai bagian perbuatan baik yang lepas dari keimanan dan ketaqwaan, tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya apabila apabila tidak dikembangkan atas dasar nilai-nilai iman dan taqwa.

7.3. Keutamaan Orang Beriman dan Berilmu

            Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaannya karena dibakaliseperangkat potensi. Potensi yang paling utama dalam diri manusia adalah akal. Akal berfungsi untuk berpikir, dan hasil pemikirannya itu adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt akan memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia termasuk bagi alam lingkunyannya. Berkenaan dengan orang yang berilmu, Al-Ghazali mengatakan : “ Barang siapa berilmu, membimbing manusia dan memanfaatkan ilmunya bagi orang lain, bagaikan matahari, selain menerangi dirinya, juga menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kesturi yang yang harum dan menyebarkan keharumannya kepada orang yang berpapasan dengannya”.

            Dari uraian diatas tampak bahwa Al-Ghazali sangat menghargai orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Salah satu pengamalannya adalah mengajarkan ilmu yang dimiliki kepada orang lain.

7.4. Tanggungjawab Ilmuwan terhadap Alam lingkungannya

            Ada dua fungsi utama fungsi utama manusia didunia, yaitu sebagai ‘Abdullah (hamba Allah) dan sebagai Khalifah Allah di bumi. Esensi dari ‘abdun adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah. Adapun esensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ia mempunyai tanggungjawab untuk menjaga alam dan lingkungannya tempat mereka tinggal. Manusia diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi, menggali sumber-sumber daya, serta memanfaatkannya sebesar-besar kemanfaatan dan kemaslahatan. Karena manusia diciptakan untuk manusia itu sendiri, yang dalam menggali potensi alam dan memanfaatkannya diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai.

BAB VIII
KEBUDAYAAN ISLAM

1, Konsep Kebudayaan dalam Islam

            Secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi, ciptarasa, karsa, dan karya manusia. Kebudayan pasti tidak lepas dari nialai-nilai ketuhanan. kebudayaan yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang universal berkembang menjadi peradaban. Dalam perkembangannya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani sehingga akan merugikan dirinya sendiri. Disini agama Islam berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau berperadaban Islam.

            Sehubungan dengan hasil perkembangan kebudayaan yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan atau disebut sebagai peradaban Islam, maka fungsi agama disini semakin jelas. Ketika perkembangan dan dinamika kehidupan umat manusia itu sendiri mengalami kebekuan karena keterbatasan dalam memecahkan persoalannya sendiri, disini sangat terasa akan perlunya suatu bimbingan wahyu.

            Allah mengangkat seorang Rasul dari jenis manusia karena yang akan menjadi sasaran bimbingannya adalah umat manusia. Oleh sebab itu misi utama Muhammad diangkat sebagai Rasul adalah menjadi Rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam. Mengawali tugas utamanya, Nabi meletakkan dasar-dasar kebudayaan Islam yang kemudian berkembang menjadi peradaban Islam. Ketika dakwah Islam keluar dari jazirah Arab, kemudian tersebar keseluruh dunia, maka terjadilah suatu proses panjang dan rumit, yaitu asimilasi budaya-budaya setempat dengan nilai-nilai Islam yang kemudian menghasilkan kebudayaan Islam. Kebudayaan ini berkembang menjadi suatu peradaban yang diakui kebenarannya secara universal.

8.2. Sejarah Intelektual Islam

            Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga masa, yaitu masa klasik, antara tahun 650 – 1250 M, masa pertengahan, antara tahun 1250 – 1800 M, dan masa modern atau kebangkitan intelektual Islam kembali, antara tahun 1800 M hingga sekarang dan seterusnya. Pada masa klasik lahir ulama-ulama besar seperti Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki dibidang Hukum Islam. Dibidang filsafat Islam seperti Al-Kindi tahun 801 M, yang berpendapat bahwa kaum Muslimin hendaknya menerima filsafat sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Kemudian Al-Razi lahir tahun 865 M, Al-Farabi lahir tahun 870 M, sebagai pembangun agung filsafat Islam. Pada abad berikutnya lahir pula filosof besar Ibnu Maskawaih pada tahun 930 M, yang terkenal memiliki pemikiran tentang Pendidikan Akhlak. Selanjutnya Ibnu Sina tahun 1037 M, Ibnu Bajjah tahun 1138 M, Ibnu Tufail tahun 1147 M, dan Ibnu Rusyd tahun 1126 M.

            Pada masa pertengahan, yaitu antara tahun 1250 – 1800 M, dalam catatan sejarah pemikiran Islam pada masa ini merupakan fase kemunduran, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan Wahyu, iman depertentangkan dengan ilmu, dan dunia dipertentangkan dengan akhirat. Jika diperhatikan secara seksama pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sebagian ulama kontemporer sering melontarkan tuduhan kepada Al-Ghazali sebagai yang pertama menjauhkan filsafat dengan agama sebagaimana dalam tulisannya “Tahafutul Falasifah” (kerancuan filsafat). Tulisan Al-Ghazali itu dijawab oleh Ibnu Rusyd dengan tulisan “Tahafutu Tahafut” (kerancuan diatas kerancuan).

            Pada saat ini ada pertanyaan mendasar yang sering dilontarkan oleh para intelektual muda muslim. Mengapa umat Islam tidak bisa mengusai ilmu dan teknologi modern ?. Jawabannya sangat sederhana, yaitu karena umat Islam tidak mau melanjutkan tradisi keilmuan yang diwariskan oleh para ulama besar pada masa klasik. Pada masa kejayaannya umat Islam terbuai dengan kemegahan yang bersifat material. Sebagai contoh kasus pada zaman modern ini tidak lahir para ilmuwan dan tokoh-tokoh kaliber dunia dikalangan umat Islam dari Negara-negara kaya di Timur Tengah. Pada sisi yang lain umat Islam yang tinggal di Negara-negara bekas jajahan sangat sulit membangun semangat kebangkitan intelektual Islam karena keterbatasannya.

8.3. Masjid sebagai Pusat Peradaban Islam

            Masjid pada umumnya hanya dipahami oleh masyarakat sebagai tempat ibadah khusus seperti shalat, padahal masjid mestinya berfungsi lebih luas dari pada sekedar sebagai tempat shalat. Sejak awal berdirinya masjid belum bergeser dari fungsi utamanya, yaitu sebagai pusat penyelenggaraan peribadatan pada umumnya, disamping tempat shalat. Masjid pada zaman Nabi dijadikan sebagai pusat membangun peradaban Islam. Nabi Muhammad saw. mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hikmah, bermusyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin, membina sikap dasar kaum muslimin terhadap orang yang berbeda agama atau ras, hingga upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan umat justru melaui Masjid. Masjid dijadikan simbol kesatuan dan persatuan umat Islam. Selama sekitar 700 tahun sejak Nabi mendirikan masjid pertama, fungsi masjid masih kokoh orisinal sebagai pusat peribadatan dan peradaban. Sekolah-sekolah dan universitas-universitaspun kemudian bermunculan, justru dari masjid. Masjid Al-Azhar di Mesir merupakan salah satu contoh yang sangat dikenal luas kaum muslimin Indonesia. Melalui masjid ini tercetak intelektual Islam dari berbagai belahan dunia, juga mampu memberikan beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan pengentasan kemiskinan merupakan program utama masjid.

            Pada saat ini kita akan sangat sulit menemukan masjid yang memiliki program nyata dibidang pencerdasan keberagamaan umat. Kita (mungkin) tidak menemukan masjid yang memiliki kurikulum terprogram dalam pembinaan keberagamaan umat, terlebih-lebih lagi masjid yang menyediakan beasiswa dan upaya pengentasan kemiskinan. Dalam perkembangan berikutnya muncul kelompok-kelompok yang sadar untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya. Kini mulai tumbuh kesadaran umat akan pentingnya peranan masjid untuk mencerdaskan dan mensejahterakan jamaahnya. Menurut ajaran islam, masjid memiliki dua fungsi yang utama, yaitu (1) sebagai pusat ibadah ritual dan; (2) berfungsi sebagai pusat ibadah sosial. Dari kedua fungsi tersebut titik sentralnya bahwa fungsi utama masjid adalah sebagai pusat pembinaan umat Islam.

8.4. Nilai-nilai Islam dalam budaya Indonesia

            Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam lahir dan berkembang dari negeri Arab, maka Islam yang masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya. Pada awal-awal masuknya dakwah Islam ke Indonesia dirasakan sangat sulit membedakan mana ajaran Islam dan mana budaya arab. Masyarakat awam menyamakan antara perilaku yang ditampilkan oleh orang arab dengan perilaku ajaran Islam. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh orang arab itu semua mencerminkan ajaran Islam, bahkan hingga kini budaya arab masih melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.

            Dalam perkembangan dakwah islam di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh para wali ditanah jawa. Karena kehebatan para wali Allah dalam mengemas ajaran islam dengan bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Lebih jauh lagi bahwa nilai-nilai islam sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan mereka. Seperti dalam upacara-upacara adapt dan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa al-Qur’an/arab sudah banyak masuk kedalam bahasa daerah bahkan kedalam bahasa Indonesia yang baku. Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ajaran islam.










BAB IX
SISTEM POLITIK ISLAM

9.1. Pengertian Sistem Politik Islam

            Dalam terminologi politik islam, politik itu identik dengan siasah, yang secara kebahasaan artinya mengatur. Fikih siasah adalah aspek ajaran Islam yang mengatur sistem kekuasan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagiannya) mengenai pemerintahan suatu Negara, dan kebijakan suatu Negara terhadap Negara lain. Politik dapat berarti kebijakan atau cara bertindak suatu Negara dalam  menghadapi atau menangani suatu masalah.

            Dalam fikih siasah disebutkan bahwa garis besar fikih siasah meliputi: Acep Djazuli, 2000: 15).

(1)    Siasah dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam)
(2)    Siasah dauliyyah (politik yang mengatur hubungan antara suatu Negara islam dengan Negara islam yang lain atau dengan Negara sekuler lainnya.)
(3)    Siasah maaliyyah (sistem ekonomi Negara)

            Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di masyarakat. Dalam konsep islam,  kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT. Ekspresi kekuasaan dan kehendak Allah tertuang dalam al-Qur’an dan sunnah rasul. Oleh karena itu penguasa tidaklah memiliki kekuasaan yang mutlak, ia hanyalah wakil (khalifah) Allah dimuka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata. Disamping itu, kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang berhak memilikinya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaan-kekuasaan itu dengan sebaik-baiknya. Sesuai prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan al-Qur’an dan sunnah rasul.


9.2. Prinsip-prinsip Dasar Siasah dalam negeri

            Menurut sitem politik Islam dalam penyelenggaraan suatu  Negara perlu adanya prinsip-prinsip Dasar yang harus diperhatikan, diantaranya :
1. Musyawarah, 2. Pembahasan bersama, 3. Tujuan bersama, 4. Pembahasan diarahkan untuk penyelesaian masalah, 5. Persamaan (Al-Musa’awah), 6. Kebebasan atau kemerdakaan, 7. Perlindungan terhadap jiwa, raga, dan harta masyarakat.





9.3. Prinsip-prinsip Dasar Siasah luar negeri

            Menurut Ali Anwar, ada beberapa prinsip politik luar negeri dalam Islam, yakni: (Ali Anwar, 2002:195). (1) Saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat (Q.s. 8: 58; 9: 4,7:   16: 91; 17: 34, (2) Kehormatan dan integrasi nasional(Q.s. 16:92), (3) Keadilan universal (internasional) (Q.s. 5: 8), (4) Menjaga perdamaian abadi; (Q.s. 5: 61), (5) Menjaga kenetralan Negara-negara lain (Q.s. 4 : 89, 90), (5) Larangan terhadap eksploitasi para imperialis (Q.s. 6: 92), (6) Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup dinegara lain (Q.s. 8: 72), (7) Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral (Q.s. 60: 8,9), (8) Kehormatan dalam hubungan internasional (Q.s.55: 60), (9) Persamaan keadilan untuk para penyerang (Q.s. 2: 195; 16: 126; 42: 40).


9.4. Kontribusi umat islam terhadap kehidupan politik Indonesia

            Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah memberikan kontribusi yang cukup signifikasi terhadap kehidupan politik di Indonesia. Pertama ditandai dengan munculnya partai-partai berasaskan islam serta partai nasionalis berbasis umat Islam dan kedua dengan ditandai sikap pro aktifnya tokoh-tokoh politik Islam dan umat Islam terhadap keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia, sejak proses awal kemerdekaan, hingga sekarang jaman reformasi.

            Berkaitan dengan keutuhan Negara, misalnya Muhammad Natsir pernah menyerukan umat Islam, perumusan Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an, karena nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila juga merupakan bagian dari nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an. Demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, umat Islam rela menghilangkan tujuh kata dari sila ke satu dari Pancasila, yaitu kata-kata “kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi para pemaluknya”.

            Umat Islam Indonesia dapat menyetujui pancasila dan UUD 45 setidak-tidaknya atas dua pertimbangan: pertama; nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam; kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antara berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama.     





















2.3. IJTIHAD

            Ijtihad adalah sumber syariat islam yang nomor tiga.kata ijtihad berasal dari kata jahd yang artinya berusaha keras atau berusaha sekuat tenaga; kata ijtihad yang secara harfiah mengandung arti yang sama, ini secara teknis diterapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan kemampuan akalnya berusaha keras untuk menentukan pendapat dilapangan hukum mengenai hal yang pelik dan meragukan.

            Ada beberapa metode dalam berijtihad, yaitu:
1. Qias
            Qias makna aslinya, mengukur atau membandingkan atau menimbang dengan membandingkan sesuatu. Para fukaha mengetrapkan Qias itu pada proses deduksi, yang dengan ini teks undang-undang itu ditrapkan pada suatu perkara, yang walaupun tak dijelaskan oleh bahasa undang-undang itu, tetapi dipengaruhi oleh kesimpulan teks itu. Singkatnya, Qias itu dapat dirumuskan, menarik kesimpulan dengan analogi. Misalnya ada suatu perkara yang harus diputuskan, yang terang-terangan tak tercantum dalam Qur’an atau hadist. Lalu, hakim mencari dalam Qur’an atau hadist, perkara yang serupa dengan itu, dan dengan menarik kesimpulan atas dasar analogi, sampailah ia pada suatu keputusan. Jadi, Qias itu memperluas undang-undang yang terdapat dalam Qur’an dan hadist, tetapi Qias itu tidaklah sama dengan dalil yang terdapat dalam Qur’an dan hadist, karena tak ada ahli hukum yang pernah menyatakan bahwa hukum Qias itu mutlak benar; dan telah diakui sebagai prinsip ijtihad, bahwa mujtahid itu boleh juga salah dalam mengambil pertimbangan. Oleh sebab itu, banyak sekali terjadi perbedaan tentang hukum Qias ini, bahkan dikalangan ulama besar sekalipun menilik sifat-sifatnya, maka hukum Qias yang dihasilkan oleh suatu generasi, dapat ditolak oleh generasi berikutnya.

2. Istihsan
Istihsan yang makna aslinya menganggap baik suatu barang atau menyukai barang itu, itu menurut teknologi pada ahli hukum, berarti menjalankan keputusan pribadi, yang tak didasarkan atas Qias, melainkan didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan. Menurut mazhab hanafi, jika suatu hukum Qias tak dapat diterima karena ini bertentang an dengan aturan adilan yang lebih luas, atau karena ini bukan kepentingan kesejahteraan umum, dan orang yang dikenakan hukum Qias itu barang kali akan mengalami kesusahan yang tak semestinya, makahakim diperbolehkan untuk menolak hukum Qias, dan sebagai

                                             11
gantinya, ia boleh mengambil aturan yang berguna untuk kesejahteraan umum, atau aturan yang seirama dengan aturan keadilan yang lebih luas. Metode ini khusus dikerjakan oleh mazhab hanafi, tetapi adanya perlawanan kuat dari lain mazhab, hukum istihsan ini tak berkembang baik, sekalipun dalam mazhab hanafi sendiri. Tetapi, prinsip yang menjadi dasarnya hukum istihsan ini adalah prinsip yang amat sehat, dan selaras dengan jiwa Qur’an. Selain itu, dalam metode ini, lebih kecil kemungkinannya mengalami kesalahan daripada hukum Qias yang terlalu jauh mengkiasnya, yang acap kali mendatangkan hukum-hukum yang sempit yang bertentangan dengan jiwa Qur’an yang luas. Dalam mazhab maliki, aturan semacam itu juga dipakai, yang oleh mazhab ini disebut istishlah, artinya, suatu hukum yang diambil dengan menari kesimpulan atas dasar pertimbangan kesejahteraan umum.

3. Istidlal
            Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Dua sumber utama yang diakui untuk ditarik kesimpulannya ialah adat dan kebiasaan; demikian pula undang-undang agama yang diwahyukan sebelum islam. Diakui bahwa adapt dan kebiasaan yang lazim di tanah arab pada waktu datangnya islam yang tak dihapus oleh islam, ini mempunyai kekuasaan hukum. Demikian pula, adapt dan kebiasaan yang lazim dimana-mana, jika ini tidak bertentangan dengan jiwa ajaran Qur’an, atau tak terang-terangan dilarang oleh Qur’an, ini juga diperolehkan; karena, menurut peribahasa para ahli hukum yang sudah terkenal, diizinkannya sesuatu adalah prinsip asli , oleh karena adat itu diakui oleh sebagian besar rakyat, maka adat ini mempunyai kekuatan ijmak dengan demikian, adat mempunyai prioritasdi atas tertib hukum yang diambil dari analogi. Satu-satunya syarat yang harus dipenuhi ialah bahwa adat itu tak bertentangan dengan Qur’an suci dan hadist sahih. Mazhab hanafi menekankan secara khusus nilai-nilai adat dan kebiasaan. Dalam kitab Alasybahu wan nazhair diterangkan sbb: banyak sekali keputusan hukum yang didasarkan atas adat dan kebiasaan, begitu banyak, hingga ini diambil sebagai landasan hukum. Adapun undang-undang yang diwahyukan sebelum islam, terdapat bermacam-macam pendapat. Menurut sebagian ulama, undang-undang semacam itu, yang terang-terangan tak dihapus oleh Qur’an, sampai sekarang tetap mempunyai kekuatan hukum, sedang menurut ulama lain, undang-undang semacam itu tak mempunyai lagi kekuatan hukum. Menurut mazhab hanafi, undang-undang agam yang sudah-sudah, yang dicantumkan dalam Qur’an suci dan tak dihapus, ini tetap berlaku.


                                                                        12


4. Ijmak        
            Kata Ijmaa’ (di-Indonesiakan menjadi ijmak) berasal dari kata Jam”, artinya menghimpun atau mengumpulkan, Ijmak mempunyai dua makna, yaitu, menyusun dan mengatur suatu hal yang tak teratur, oleh sebab itu berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Menurut istilah ulama fikih, Ijmak berarti kesepakatan pendapat diantara mujtahid, atau persetujuan pendapat diantara ulama fikih dari abad tertentu mengenai masalah hukum. Persetujuan pendapat ini disimpulkan dengan tiga cara, pertama, dengan qoul (ucapan), yaitu pendapat tentang suatu masalah yang dikeluarkan oleh para mujtahid yang diakui sah. Kedua, dengan fi’il (perbuatan), yaitu apabila ada kesepakatan dalam praktek. Ketiga, dengan sukuut (diam), yaitu apabila para mujtahid tak membantah suatu pendapat yang dikeluarkan oleh salah satu atau beberapa mujtahid. Pada umumnya ulama berpendapat, bahwa Ijmak berarti kesepakatan pendapat diantaranya para mujtahid saja; jadi orang yang tak alim dalam hukum, tak boleh mengambil bagian dalam Ijmak, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa Ijmak berarti persetujuan pendapat diantara kaum muslimin; hanya anak kecil dan orang gila sajalah yang tak diikutsertakan dalam Ijmak. Ada berbagai  pendapat tentang apakah ijmak itu hanya terbatas pada suatu tempat, atau terbatas pada satu atau beberapa generasi. Imam Malik mendasarkan Ijtihad beliau atas kesepakatan pendapat orang-orang madinah. Secara teori, pembatasan semacam itu tak dapat dibenarkan. Jika diingat bahwa orang terpelajar itu tak hanya terbatas di Madinah saja, bahkan di zaman Nabi Muhammad saw, mereka dikirim ke tempat-tempat yang jauh di luar jazirah. Pendapat yang paling dapat diterima ialah bahwa Ijmak Ahlus Sunnah wal Jamaah tak mengikutsertakan kaum Syiah dalam rencana Ijmak bagitu pula sebaliknya. Kaum Syiah berpendapat bahwa hanya keturunan Sayyidina Ali dan Siti Fatimah sajalah yang pantas melakukan ijtihad. Diantara golongan Ahlus Sunnah wal jamaah, ada sebagian yang berpendapat bahwa ijmak itu hanya terbatas bagi para Sahabat nabi, sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa ijmak itu meliputi generasi berikutnya, yaitu generasi Tabiin, tetapi pendapat yang paling umum adalah bahwa ijmak itut tidak terbatas pada suatu generasi, atau pada suatu Negara; oleh sebab itu, ijmak yang sebenarnya ialah kesepakatan pendapat diantara sekalian mujtahid dari semua Negara dalam abad apa saja, tetapi ini adalah sesuatu yang hampir-hampir tak mungkin.
            Ada perbedaan pendapat yang cukup besar tentang apakah hukum ijmak itu dibentuk dengan suara terbanyak diantara para mujtahid, ataukan dengan kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid itu.
Kebanyakan ulama fikih menghendaki kesepakatan pendapat dari seluruh mujtahid pada abad tertentu, tetapi ulama yang penting-penting mempunyai pendapat yang bertentangan dengan itu. Bahkan kebanyakan ulama berpendapat, bahwa apabila sebagian besar mujtahid menetapkan suatu pendapat, maka pendapat itu sah dan mengikat, walaupun tak mutlak. Hukum ijmak dapat dikatakan lengkap apabila sekalian mujtahid pada abad tertentu memperoleh kata sepakat tentang suatu masalah, walaupun menurut sebagian ulama harus dipenuhi suatu syarat, yakni para mujtahid itu meninggal tanpa mengubah pendapat mereka tentang masalah itu. Bahkan ada sebagian ulama yang mempunyai pendapat yang lebih jauh lagi, yakni tak ada hukum ujmak yang berlaku kecuali setelah dibuktikan bahwa para ulama fikih yang dilahirkan pada abad itu, tak ada yang menentang hukum ijmak itu.
            Apabila hukum ijmak tentang suatu masalah telah ditetapkan, ini mempunyai akibat, bahwa tak seorang ahli hukum pun yang diizinkan membuka kembali pembicaraan tentang itu, kecuali jika sebagian ahli hukum pada abad dimana ijmak itu dilaksanakan, telah menyatakan pendapat yang berlainan. Suatu ijmak boleh saja dibatalkan oleh ijmak lain yang dilaksanakan pada abad yang sama atau pada abad berikutnya, dengan syarat bahwa ijmak dari para Sahabat Nabi tak boleh dibatalkan oleh generasi yang dating kemudian. Ada perbedaan pendapat tentang apakah jika dikalangan para Sahabat Nabi tak ada kesepakatan mengenai suatu masalah, diperbolehkan ataukan tidak mengadakan ijmak untuk menyokong. Sahabat pun dapat membuat kesalahan dalam menuangkan keputusan, ini diakui oleh semua pihak; oleh karena itu secara teknis tak ada halangan terhadap ijmak yang menentang pendapat seorang Sahabat.
            Ada dua hal lagi yang harus dijelaskan agar kami mengerti tentang kekuatan hukum ijmak. Dari apa yang telah diuraikan di atas, nampak sekali bahwa untuk mengadakan ijmak yang sah, diperlukan sejumlah besar mujtahid. Tetapi ada suatu pendapat bahwa, jika ada tiga atau bahkan dua orang mujtahid yang mengambil bagian dalam merundingkan suatu masalah, ijmak itu sudah sah, sedang ada pula seorang ahli hukum yang mempunyai pendapat, bahwa jika pada suatu abad hanya ada seorang ahli hukum saja, maka pendapatnya yang tunggal itu pun mempunyai kekuatan ijmak. Dan sekarang kami sampai pada masalah yang amat penting. Sumber apakah yang harus dijadikan dasar dari pada ijmak? Menurut pendapat Imam besar empat, ijmak boleh didasarkan atas Quran atau Hadis atau kias. Tetapi kaumm Muktazilah berpendapat bahwa ijmak itu tak boleh didasarkan atas hadis gharib atau kias. Kaum Muktazilah dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa oleh karena
ijmak itu mutlak maka sumber yang dijadikan dasar itu pun harus mutlak pula.                                                                  
            Jadi teranglah bahwa keliru sekali menyebut ijmak itu suatu sumber hukum Islam tersendiri. Sebenarnya, ijmak itu adalah ijtihad; bedanya ialah bahwa ijmak itu adalah ijtihad yang disepakati oleh semua atau sebagian besar mujtahid pada abad tertentu. Dibenarkan pula bahwa ijmak dari generasi kaum Muslimin yang satu, dapat dibatalkan oleh ijmak dari generasi kaum Muslimin yang lain, kecuali ijmak yang dilakukan oleh para Sahabat. Tetapi faktanya adalah, bahwa jika orang mengartikan ij dalam arti kesepakatan  pendapat diantara kaum Muslimin pada generasi tertentu, maka ijmak ini barangkali ta pernah dilakukan sesudah zaman  permulaan para Sahabat Nabi. Oleh karena kaum Muslimin telah terpencar dimana-mana dan menetap di tempat-tempat yang jauh, tak mungkin mereka merundingkan suatu masalah pada waktu yang sama. Dalam satu negarapun suatu masalah tak memerlukan perhatian semua mujtahid secara serampak. Namun tak dapat disangkal, jika kebanyakan mujtahid setuju pendapatnya tentang suatu masalah maka pendapat mereka itu lebih besar pengaruhnya dari pada pendapat satu orang, namun demikian pendapat kebanyakan mujtahid itu atau bahkan pendapat sekalian mujtahid itu tak mutlak benar. Akhirnya ijmak hanyalah ijtihad atas dasar yang lebih luas; oleh karenanya ijmak itu seperti halnya ijtihad, selalu membuka pintu untuk diadakan koreksi.
            Perlu kami tambahkan disini bahwa pada dewasa ini, kata ijmak itu biasanya dipakai dalam arti yang salah, karena kebanyakan orang memakai kata ijmak dalam arti pendapat orang banyak dan pada umumnya orang berpikir bahwa orang Islam yang pendapatnya berlainan dengan orang banyak itu berdosa. Tetapi perbedaan yang pendapat yang jujur itu oleh Nabi Muhammad bukan dosa, melainkan disebut rahmat; menurut hadis Beliau berkata sbb: “Beda-Bedanya pendapat umatku adalah rahmat”. Perbedaan pendapat disebut rahmat, karena hanya melalui perbedaan pendapat sajalah maka kemampuan berpikir seseorang dapat berkembang, yang akhirnya didapatlah kebenaran. Diakalngan para Sahabat Nabi terdapat benyak perbedaan pendapat dan banyak pula perkara yang tentang ini seseorang mempunyai keberanian untuk menyatakan pendapat berlainan dengan pendapat orang banyak.
           
            Para ulama fikih zaman akhir berbicara tentang tiga derajad Ijtihad, walaupun tentang hal ini tak ada dalilnya dalam Qur’an, atau Hadist, atau tulisan imam-imam besar. Adapun tiga derajad itu ialah: Ijtihad fi-sy syar’iyy, Ijtihad fi- mazhab, dan IJtihad fi-l massa’il, artinya, Ijtihad tentang membuat undang-undang atau hukum syarak, Ijtihad tentang mazhab, dan Ijtihad tentang masalah tertentu. Ijtihad yang pertama, yaitu Ijtihad tentang membuat undang-undang baru, ini hanya terbatas pada tiga abad permulaan, dan praktis dipusatkan pada empat imam, yang menurut pendapat orang, telah menulis segala undang-undang dan memasukkan itu dalam mazhab mereka, diambil dari apa saja yang diriwayatkan oleh para sahabat dan tabiin, yaitu generasi sesudah para sahabat. Memang tak disebutkan dengan kata-kata yang terang, bahwa setelah abad kedua hijriah, pintu Ijtihad untuk membuat undang-undang telah tertutup, tetapi dikatakan oleh sebagian ulama, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang mujtahid dalam melakukan Ijtihad derajat pertama (yakni, Ijtihad fi-sy syar’iyy), ini setelah imam empat, tak diketemukan lagi pada seorang, bahkan para ulama mengira, bahwa sampai hari kiamat syarat-syarat itu tak diketemukan pada siapapun juga. Adapun syarat-syarat yang dimaksud, ada tiga  : (1) mempunyai ilmu yang luas tentang Qur’an dengan berbagai aspeknya; (2) mempunyai ilmu tentang sunnah dengan segala rawinya, demikian pula teks dengan segala variasi maknanya; (3) mempunyai ilmu tentang berbagai aspek tentang Qias. Tak diterangkan alasannya kenapa syarat-syarat ini hanya terdapat pada empat imam pada abad kedua Hijriah, dan mengapa syarat-syarat itu tak terdapat pada salah seorang diantara para sahabat Nabi, atau para ulama pada abad pertama Hijriah, atau para ulama sesudah abad kedua Hijriah. Itu adalah ucapan yang tak ada dasarnya.
            Selanjutnya dikatan, bahwa Ijtihad derajat kedua (yakni, Ijtihad fi- mazhab), ini hanya dikaruniakan kepada para murid langsung dari imam empat. Imam Abu yusuf dan Imam Muhammad, dua murid kenamaan dari Imam Abu hanafiah, termasuk golongan ini; jika mereka mempunyai pendapat tentang suatu masalah yang telah disepakati, sekalipun bertentangan dengan pendapat guru mereka, ini harus diterima. Adapun derajat Ijtihad yang ketiga (yakni, Ijtahad fi-l masaa’il), ini dapat dilakun oleh ulama fikih zaman kemudian, yang dapat memecahkan soal-soal khusus yang diajukan kepada mereka, yang belum diputuskan oleh para mujtahid derajat kesatu dan kedua; tetapi keputusan ini mutlak harus sesuai dengan pendapat para mujtahid besar. Pintu Ijtihad semacam itu
dianggap telah tertutup sesudah abad keenam Hijriah. Selanjutnya dikatakan, bahwa pada dewasa ini yang diperbolehkan hanyalah mukallidin yaitu orang yang mengikuti orang lain apa yang ia katakan atau ia lakukan, dengan kepercayaan teguh bahwa dalam hal ini ia adalah benar, tak peduli apakah ada dalilnya ataukah tidak. Mereka hanya boleh mengutip fatwa dari salah satu ulama salaf, atau jika diantara benar atau salah. Jadi, Ijtihad yang oleh para imam besar dan murid mereka, tak pernah dianggap sebagai sumber yang mutlak, sekarang ini praktis ditempatkan ditempat yang sama dengan Qur’an dan sunnah, oleh karenanya tak seorangpun dianggap mampu untuk menjalankan Ijtihad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar