Jumat, 26 Oktober 2012

K.H. Jujun Junaedi



K.H. Jujun Junaedi
Oleh: Enjen Zaenal Mutaqin
TH VI A


Pendahuluan
Orang sering membuat ibarat kalau tokoh itu seperti sebuah cermin. Memandang seorang tokoh, dengan mengibaratkannya sebagai sebuah cermin, mestilah mengedepankan kearifan. Pada banyak sisi yang menjadi segala kelebihan dan kekurangan sang tokoh, kita dapat belajar banyak dalam menyelami hidup. Dengan menelusuri riwayat dan merenungi liku perjalanan seorang tokoh, kita akan dapat makin mengerti letak arti penting melanjutkan hidup secara seimbang dan setabil.
Dalam usia yang relatif masih sangat belia, Jujun Junaedi melesat sebagai tokoh masyarakat yang dikagumi (sekaligus dicaci) banyak orang. Di kawasan tatar sunda, nama Jujun Junaedi tampaknya telah menjadi sabiwir hiji. Ia telah menjelma sebagai sosok yang segala liku kehidupannya akan menjadi pembicaraan masyarakat luas.
Biografi ini akan mengungkap sekilas riwayat hidup Jujun Junaedi, semenjak anak-anak sampai di usianya yang hampir sepertiga abad sekarang. Biografi ini juga akan mengungkap sisi-sisi dramatik dari sang tokoh. Sebagai manusia biasa yang kini telah menjelma sebagai tokoh yang dikenal secara luas, pastilah ia mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan tertentu yang mungkin mengguncang dan menentukan titik balik kehidupan sang tokoh berikutnya. Dengan demikian, biografi ini akan mencoba memotret sosok sang tokoh dalam keadaan yang sejujur-jujurnya. Dan tentu saja, biografi ini juga akan memaparkan metode ceramah atau retorika yang ia gunakan dalam berda’wah.
Metode pelacakan data biografi diperoleh melalui analisis buku biografi beliau dan melalui wawancara dengan beliau. Wawancara hanya dilakukan beberapa sesi, yang ternyata itu sangat tidak mudah, khususnya untuk mencari waktu yang tepat dan kosong dari sang tokoh. Wawancara di lakukan di kediaman Jujun di kompleks Bumi Panyawangan jln. Ebony Asri No. A-6 Cileunyi Bandung, yang kebetulan penulis juga tinggal disana dan bertetangga dengan beliau, tepatnya di jln. Eboni III No. 15. wawancara juga dilakukan degan assisten dan santri beliau di kamp. komplek Tamansari A-6 Cileunyi, Bandung. Di samping itu transkriping dan rewriting dari kaset-kaset yang sudah sang tokoh release akan menjadi bahan utama penulusan biografi dan resensi ini.

Biografi
Siapakah sesungguhnya Jujun Junaedi? Mendiskusikan kiprah seorang tokoh muda semacam Jujun adalah memahami apa yang sebenarnya dicari tokoh tersebut dn bagaimana cara ia mendapatkannya. harus diakui bahwa ceramah-ceramah mubaligh muda ini telah menyedot perhatian kalangan Muslim, khususnya bagi mereka yang ada dipelosok desa nun diujung bukit dan sebrang sungai. Ia telah menjelma menjadi mubaligh dengan tingkat daya pikat di atas rata-rata, yang karenanya ia sangat ditunggu-tunggu di mana-mana. Undangan yang harus ditunaikan sampai enam bulan kedepan adalah bukti paling sahih akan tingginya nialai Jujun.
Sebagai mubaligh muda, ia mengikuti jejak para mubaligh pendahulunya yang sudah lebih dahulu kesohor dikalangan masyarakat Sunda. Sebut saja misalnya, K.H. A.F Ghazali (almarhum), K.H. Abdul Hamid, MA, atau K.H. Zainal Abidin, MA. Sampai batas-batas tertentu Jujun bahkan sudah melampaui mereka, setidaknya dalam hal popularitas dan daya jelajah. Di samping sibuk ceramah kemana-mana, Jujun juga telah melahirkan banyak kaset dakwah yang jumlahnya tidak urang dari 20 buah.
Di usianya yang masih muda, 39 tahun (ketika biografi ini ditulis) capaian seperti itu bisa disebut fenomenal, setidaknya di Jawa Barat. Kendati sudah mengenyam popularitas yang cukup luas, Jujun tetap dikenal sebagai sosok yang dengan senang hati menyebut dirinya  sebagai “mubaligh angkutan pedesaan”. Mengiringi puncak popularitas yang kini telah diraihnya, Jujun juga banyak ditabrak angin puting beliung yang sangat deras menimpanya. Ia didera sejumlah fitnah –baik kubra maupun sughra- yang datang. Ada yang menyebutnya sebagai mubaligh matre, mubaligh mata duitan, dan semacamnya.
Kalau melihat posturnya, orang akan segera berkesimpulan kalau Jujun termasuk kategori orang yang pendek tidak, tinggi apalagi, setidaknya untuk ukuran Indonesia. Kalau teliti mengamati, akan segera ditemukan kenyataan bahwa Jujun sebenarnya cenderung berpostr agak pendek. Meski tentu saja, ia tidak temasuk kategori yang sering disebutnya sebagai semampai alaias satu meter tak sampai. Ukuran 1,55 meter tentu saja bukan ukurn yang terlalu pendek. Rambunya lurus dengan gaya poni berbrlah dua yang sangat khas. Orang sering mengatakan bahwa rambut lurus menandakan orang yang sangat optimis. Wajahnya cenderung bulat dengan sorotan mata yang tajam menikam ulu hati.
Di usianya yang masih kurang dari sepertiga abad ini, urat-urat wajah penggemar olah raga bulu tangkis ini terlihat masih kencang. Hal itu agaknya selaras dengan jenis suaranya yang melengking tinggi. Dengan tingkat suara seperti itu, ia mampu melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dan syair-syair lagu dengan nada yang melengking tinggi.
Riwayat Keluarga
Jujun Junaedi lahir di Garut, tepatnya di 1 juni 1971 silam. Lahir di dusun Sangoraja, desa Sirnagalih, kecamatan Sukawening, Garut. Ia adalah anak tunggal dari pasangan Affandi dan Nunung Wasfiyah, yang biasa dipanggil Nyi Mas Eoh. Ayahnya adalah seorang duda ketika menikahi ibunya yang juga adalah seorang janda. Kakeknya dari pihak ayah adalah mandor besar dan ditakuti banyak orang, namanya aki Darnuji yang beristrikan Nini Omo. Dari pihak ibunya kakeknya bernama Aki Momon dan neneknya bernama Nini Saodah. Aki momon adalah seorang kiai yang sangat dihormati. Sementara itu nenek jujun, yakni Nini Saodah, adalah seseorang yang paling tidak bisa untuk menolak mereka yang berjualan. Kalau ada sepuluh orang yang datang berjualan kerumah, maka kesepuluh-sepuluhnnya dibeli.
Ayah Jujun adalah seorang yang tidak bisa baca tulis, bahkan sampai hari ini. Sekolah Dasar (SD) pun tidak tamat. Ibu Jujun, sebagai anak seorang kiai, memiliki pemahaman keagamaan yang bisa dikatakan lumayan. Kontras dengan ibunya, ayah Jujun adalah seorang yang buta huruf, tapi seorang yang memahami liku-liku kehidupan. Apa yang dikatakannya adalah apa yang dijalani dab diyakininya. Dari sisi spiritual, pengaruh ibu tampaknya sangat besar terhadap Jujun. Hanya, dalam soal karakter Jujun lebih dekat ke ayah. Ayah Jujun yang keras, tegas, dan agak gampang marah, dan tabiat itulah yang tampaknya diwarisi dengan sejati oleh Jujun.
Riwayat Pendidikan
Tahun 1977, Jujun kecil memasuki jenjang pendidikan awal di Sekolah Dasar Sindang Galih, Garut. Pendidikan formal Jujun selalu disokong oleh jenjang pendidikan pesantren. Tidak kurang dari lima pesantren di Garut pernah Jujun singgahi: Pondok Pesantren Tarbiyatul Atthfal, Pondok Pesantren Al-Huda, Pondok Pesantren Jam’iyah, Pondok Pesantren al-Qurthubiyah, dan Pondok Pesantren Kudang Limbangan.
Selepas Sekolah Dasar, tahun 1983, Jujun melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Ma’arif. Tahun 1986, Jujun memasuki jenjang pendidikan lanjutan atas. Jujun menjatuhkan pilihan untuk Madrasah Aliyah Negeri Garut, mengambil Jususan Agama (A-1). Tahun 1989, Jujun memasuki jenjang pendidikan tinggi. Perguruan yang ia pilih adalah IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung Djati, dengan mengambil Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin.
Pertama kali masuk IAIN, Jujun dikenal sebagai seorang qari, padahal pada mulanya Jujun dikenal sebagai mubaligh cilik dari Garut, tetapi begitu masuk IAIN ia dikenal sebagai qari. Makanya, banyak orang IAIN yang kaget begitu Jujun muncul sebagai mubaligh seperti sekarang, karena mereka lebih mengenal Jujun sebagai qari ketimbang jadi mubaligh. Citra Jujun sebagai qari sangat lekat karena didukung oleh fakta sejarah bahwa ia bersama-sama dengan Asep Mustapa Kamal (dosen fakultas Syari’ah IAIN Bandung) yang mendirikan UPTQ (Unit Pengembangan Tilawatil Quran) di IAIN.
Riwayat Menjadi Mubaligh
Ketika usianya baru menginjak 4 tahun, Jujun Junaedi kecil sudah mulai menunjukan bakat besarnya sebagai seorang mubaligh. Sejak usia enam tahun, Jujun sudah memulai undangan-undangan ceramah ketempat yang jauh, bahkan sudah pula merambah ibukota. Tahun 1976-1977, Jujun telah muncul sebagai ajeungan cilik yang telah memikat banyak orang. Kepiawaian Jujun kecil dalam berceramah telah menebar sejumlah kesan amat hebat di kalangan masyarakat. Bahkan beberapa diantara mereka, ada yang mengatakan fenomena Jujun kecil seperti itu sebagai sihir.
Kecenderungan ke dunia tabligh sudah dirasakan Jujun sejak kecil, itu karena bakat. Sejak kecil Jujun sudah mulai ceramah, pada momen imtihan misalnya, Jujun selalu tampil didepan publik. Sesungguhnya bakat Jujun bisa terbilang banyak. Ngaji bisa, nyanyi bisa, mantun bisa, main gitar bisa, ngedalang bisa, ceramah apalagi.
Motivasi pertama yang mendorong Jujun terjun kedunia tabligh adalah lingkungan. Lingkungan yang mendidik begitu, kemudian Jujun menyediakan bakat dan mengarahkannya, maka hasilnya adalah undangan ceramah yang terus mengalir yang harus Jujun tunaikan. Dari kegiatan ceramahnya itu, pada gilirannya, kemudian mendatangkan penghargaan berupa finansial. Tidak dipungkiri, hal itu turut memotivasi Jujun untuk makin terus ke dunia tabligh.
Yang paling berpengaruh dalam menuntut perjalanan Jujun ke dunia tabligh, sudah tentu adalah Ibu, Bapak, dan Kakek Jauhar Maknun. Di luar mereka bertiga, nama KH Zainal Abidin dan KH Abdul Hamid diakui Jujun memiliki jasa besar dalam mengantar Jujun ke dunia tabligh. Dan yang terakhir yang berjasa pada Jujun tentu saja produser rekaman, melalui pangersa Abah Anom (KH Shohibul Wafa Tajul Arifin).
Salah satu trade mark  Jujun yang dikenal masyarakat luas adalah kebiasaannya bernyanyi di tengah-tengah ceramahnya. Menurut Jujun, kebiasaanya menyanyi ditengah-tengah ceramahnya, diawali dengan kebiasaannya menghafal nadhom (syair pelajaran) ketika belajar diwaktu kecil.  Penyampaian lagu-lagu dalam ceramah-ceramahnya sesungguhnya hanyalah sekedar sebuah strategi untuk menarik minat orang datang ke pengajian. Itulah sebenarnya kerangka awal Jujun menyampaikan materi ceramahnya dengan lagu.
Pada saat ini masih sangat sedikit upaya-upaya transformasi metodologis yang dilakukan dalam berdakwah. Upaya-upaya dakwah –khususnya tabligh- masih lebih banyak menggunakan formula lama yang cenderung kaku. Sementara pada saat yang bersamaan, transformasi metodologis pada dunia hiburan misalnya, berlangsung begitu dinamis dan kreatif, sehingg sangat menarik perhatian. Sementara itu, dunia tabligh masih berkutat pada pola lama yang seolah tidak pernah beranjak. Padahal ia menuntut sentuhan baru sesuai dengan laju zaman yang baru.
Atas dasar itulah, muncul gagasan untuk memodifikasi pola ungkap tabligh yang selama ini melulu berisi ceramah yang bersifat monolog ke dalam satu bentuk baru yang lebih atraktif, kreatif, dan supermotivatif. Munculah kemudian gagasan dari seorang mubaligh kenamaan, KH Zaina Abidin, untuk menampilkan suatu kreasi baru dalam bertabigh yang disebut dengan isyilah “Mustaqim” singkatan dari musik, tabligh, qiraat indah dan menentramkan. Dengan demikian, tabligh dalam kreasi baru ini mengandung berbagai unsur sekaligus: yakni music, ceramah, dan qiraat yang di dalamnya juga bisa berlangsung dialog interaktif
Jujun Junaedi adalah mubaligh yang memiliki kesadaran yang sama dengan gurunya KH Zainal Abidin. Jujun sangat menyadari betapa pentingnya unsur kesenian dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada masyarakat luas. Karena itu, Jujun pun dengan gayanya tersendiri, banyak menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui alat bantu syair lagu. Setidak-tidaknya, syair-syair lagu sering dipakai Jujun untuk menjadi ilustrasi atas sebuah masalah yang sedang diceramahkan.
Diluar kebiasaannya mendendangkan lagu, Jujun juga sangat suka menyelipkan humor-humor segar dalam ceramahnya. Humor orisinal dari kehidupan sehari-hari adalah bahasa ungkapan budaya yang paling canggih dalam gambaran inti realitas zaman. Humor adalah sinar laser yang amat tajam, yang mengirimkan kita secara pragmatis untuk ngeh terhada sesuatu hal. Humor-humor tadi bisa berupa cerita-cerita lucu yang bersifat ilustratif terhadap masalah yang sedang dijelaskan.
Sesekali, Jujun juga suka menyelipkan puisi-puisi relijius ditengah-tengah pengajiannya. Sebagai hiburan, puisi memang kurang begitu laku. Sebagai obat ia tak begitu berkhasiat. Terlalu kecil juga untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat: system yang ekspoitatif dan manipulative, susunan keadaan yang timpang, arah kehidupan yang mendangkal, usaha-usaha membahagiakan yang menyusahkan, usaha perluasan yang menyempitkan. Syair memang tidak lebih dari barang bikinan manusia. Barang mainan, seperti halnya ketapel atau sepotong pisau. Sebagai mainan, mungkin saja dianggap sebagaikebutuhan wajib, produksi yang termasuk pokok, bahkan mungkin sacral, religjius, penuh cinta kasih, dan terlalu romantic untuk diabaikan. Puisi tak begitu penting, sebab yang utama darinya ialah kemampuannya menawarkan suatu dunia dalam.
Kalau disimak, ceramah-ceramah Jujun tidak jarang menampilkan plesetan-plesetan. Konon, fenomena plesetan merupakan kekalahan kaum marginal atas desakan-desakan yang menimpa mereka. Plesetan adalah bentuk sangat eksetorik dari tradisi eufimisme kebudayaan masyarakat kita. Plesetan adalah cermin ketidaksanggupan global kita dalam menghadapi permasalahan-permasalahan sumpek, scara obyektif dan realistic. Plesetan adalah ungkapan pemalsuan realitas.
Riwayat Popularitas
Menurut Jujun, yang paling utama dalam hidup adalah amal, atau pekerjaan dan manfat. Jujun bisa disebut seniman karena senang berkesenian, bisa disebut kiai karena suka berdakwah. Tetapi itu bukan agenda hidup Jujun. Kalau Jujun bernyanyi, tidak otomatis Jujun adalah penyanyi. Kalau Jujun bertabligh, tidak berarti Jujun adalah kiai atau ulama. Yang penting software dari itu semua satu: yakni berusaha bermanfaat bagi orang lain, dibidang apa saja yang diperlukan oleh lingkungan Jujun. Agenda Jujun hanyalah terus belajar agar bia bermnfaat.
Jujun menganggap bahwa apa yang dikerjakannya bukanlah karir, apalagi karir pribadi. Jujun memahami sepenuhna bahwa namanya yang kini melambung hanyalah kulit, yang nanti siang sudah kembali terkelupas oleh panas matahari.
Mubaligh matre
Brand image yang melekat kuat di benak public adalah bahwa Jujun tidak lebih dari seorang mubaligh matre. Kesan itu muncul karena Jujun dibayar mahal. Dulu, awalnya Jujun sekli ceramah dibayar sepuluh ribu, lima belas ribu.  Kemudian setelah rekaman, dua ratus lima puluh ribu, semakin kesini lima ratus ribu, lama-kelamaan muncul kasus-kasus penipuan.
Seiring daya jual Jujun yang semakin tinggi, orang-orang yang memiliki naluri bisnis tinggi, nama Jujun pun akhirnya dicatut untuk menipu masyarakat. Entah berapa ratus juta orang yang tertipu atas nama Jujun.macam-macam modus operandi yang dipakai para penipu untuk mengelabui masyarakat.
Dari kasus-kasus tersebut, akhirnya muncul kesepakatan gagasan, agar penipu yang kurang kerjaan tidak bisa gerak lagi, hendaknya tiga hari sebelm undangan, yang punya hajat menyerahkan ujrah buat Jujun di tempat Jujun. Alhasil, lewat mekanisme semacam itu, munculah kemudian standar harga Jujun, yang sesungguhnya berasal dari masyarakat pengundangnya sendiri.
Sebenarnya Jujun sendiri tidak pernah memasang tarif, dan memang tidak harus begitu, bahkan pihak manajemen Jujun sendiri. Jujun masih terima undangan yang dua-tiga ratus ribu. Jujun masih bersedia diundang dan tidak dikasih apa-apa. Bahkan tidak jarang Jujun mengembalikan amplop yang telah diterimanya, setelah melihat keadaan yang mengundngnya. Di samping itu Jujun kerap melakukan pengajian-pengajian amal (semacam pengajian lelang) untuk menghimpun dana ummat.
Tampaknya, muncul nggapan “mubaligh matre” ini tidak terlepas dari adanya semacam common sense yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang menyebutnya bahwa dunia keagamaan harus steril dari hal-hal yang bersifat material. Menurut Jujun, dengan adanya standar harga seperti itu juga dapat menjadikan sebagai sarana pendidikan, biar masyarakat tahu, bahwa ilmu itu mahal. Intinya, adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran baru ditengah-tengah masyarakat bagaimana mereka menghargai para mubaligh secara wajar dan terhormat.

3 komentar: