Oleh: Enjen Zaenal Mutaqin
TH VI A
Pendahuluan
Orang sering membuat
ibarat kalau tokoh itu seperti sebuah cermin. Memandang seorang tokoh, dengan
mengibaratkannya sebagai sebuah cermin, mestilah mengedepankan kearifan. Pada
banyak sisi yang menjadi segala kelebihan dan kekurangan sang tokoh, kita dapat
belajar banyak dalam menyelami hidup. Dengan menelusuri riwayat dan merenungi
liku perjalanan seorang tokoh, kita akan dapat makin mengerti letak arti
penting melanjutkan hidup secara seimbang dan setabil.
Dalam usia yang relatif
masih sangat belia, Jujun Junaedi melesat sebagai tokoh masyarakat yang
dikagumi (sekaligus dicaci) banyak orang. Di kawasan tatar sunda, nama Jujun
Junaedi tampaknya telah menjadi sabiwir hiji. Ia telah menjelma sebagai
sosok yang segala liku kehidupannya akan menjadi pembicaraan masyarakat luas.
Biografi ini akan
mengungkap sekilas riwayat hidup Jujun Junaedi, semenjak anak-anak sampai di
usianya yang hampir sepertiga abad sekarang. Biografi ini juga akan mengungkap
sisi-sisi dramatik dari sang tokoh. Sebagai manusia biasa yang kini telah
menjelma sebagai tokoh yang dikenal secara luas, pastilah ia mengalami
peristiwa-peristiwa kehidupan tertentu yang mungkin mengguncang dan menentukan
titik balik kehidupan sang tokoh berikutnya. Dengan demikian, biografi ini akan
mencoba memotret sosok sang tokoh dalam keadaan yang sejujur-jujurnya. Dan
tentu saja, biografi ini juga akan memaparkan metode ceramah atau retorika yang
ia gunakan dalam berda’wah.
Metode pelacakan data
biografi diperoleh melalui analisis buku biografi beliau dan melalui wawancara
dengan beliau. Wawancara hanya dilakukan beberapa sesi, yang ternyata itu
sangat tidak mudah, khususnya untuk mencari waktu yang tepat dan kosong dari
sang tokoh. Wawancara di lakukan di kediaman Jujun di kompleks Bumi Panyawangan
jln. Ebony Asri No. A-6 Cileunyi Bandung, yang kebetulan penulis juga tinggal
disana dan bertetangga dengan beliau, tepatnya di jln. Eboni III No. 15.
wawancara juga dilakukan degan assisten dan santri beliau di kamp. komplek
Tamansari A-6 Cileunyi, Bandung. Di samping itu transkriping dan
rewriting dari kaset-kaset yang sudah sang tokoh release akan
menjadi bahan utama penulusan biografi dan resensi ini.
Biografi
Siapakah sesungguhnya
Jujun Junaedi? Mendiskusikan kiprah seorang tokoh muda semacam Jujun adalah
memahami apa yang sebenarnya dicari tokoh tersebut dn bagaimana cara ia
mendapatkannya. harus diakui bahwa ceramah-ceramah mubaligh muda ini telah
menyedot perhatian kalangan Muslim, khususnya bagi mereka yang ada dipelosok
desa nun diujung bukit dan sebrang sungai. Ia telah menjelma menjadi mubaligh
dengan tingkat daya pikat di atas rata-rata, yang karenanya ia sangat
ditunggu-tunggu di mana-mana. Undangan yang harus ditunaikan sampai enam bulan
kedepan adalah bukti paling sahih akan tingginya nialai Jujun.
Sebagai mubaligh muda,
ia mengikuti jejak para mubaligh pendahulunya yang sudah lebih dahulu kesohor
dikalangan masyarakat Sunda. Sebut saja misalnya, K.H. A.F Ghazali (almarhum),
K.H. Abdul Hamid, MA, atau K.H. Zainal Abidin, MA. Sampai batas-batas tertentu
Jujun bahkan sudah melampaui mereka, setidaknya dalam hal popularitas dan daya
jelajah. Di samping sibuk ceramah kemana-mana, Jujun juga telah melahirkan
banyak kaset dakwah yang jumlahnya tidak urang dari 20 buah.
Di usianya yang masih
muda, 39 tahun (ketika biografi ini ditulis) capaian seperti itu bisa disebut
fenomenal, setidaknya di Jawa Barat. Kendati sudah mengenyam popularitas yang
cukup luas, Jujun tetap dikenal sebagai sosok yang dengan senang hati menyebut
dirinya sebagai “mubaligh angkutan
pedesaan”. Mengiringi puncak popularitas yang kini telah diraihnya, Jujun juga
banyak ditabrak angin puting beliung yang sangat deras menimpanya. Ia didera
sejumlah fitnah –baik kubra maupun sughra- yang datang. Ada yang
menyebutnya sebagai mubaligh matre, mubaligh mata duitan, dan
semacamnya.
Kalau melihat posturnya,
orang akan segera berkesimpulan kalau Jujun termasuk kategori orang yang pendek
tidak, tinggi apalagi, setidaknya untuk ukuran Indonesia. Kalau teliti
mengamati, akan segera ditemukan kenyataan bahwa Jujun sebenarnya cenderung
berpostr agak pendek. Meski tentu saja, ia tidak temasuk kategori yang sering
disebutnya sebagai semampai alaias satu meter tak sampai. Ukuran
1,55 meter tentu saja bukan ukurn yang terlalu pendek. Rambunya lurus dengan
gaya poni berbrlah dua yang sangat khas. Orang sering mengatakan bahwa rambut
lurus menandakan orang yang sangat optimis. Wajahnya cenderung bulat dengan
sorotan mata yang tajam menikam ulu hati.
Di usianya yang masih
kurang dari sepertiga abad ini, urat-urat wajah penggemar olah raga bulu
tangkis ini terlihat masih kencang. Hal itu agaknya selaras dengan jenis
suaranya yang melengking tinggi. Dengan tingkat suara seperti itu, ia mampu
melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dan syair-syair lagu dengan nada yang melengking
tinggi.
Riwayat Keluarga
Jujun Junaedi lahir di
Garut, tepatnya di 1 juni 1971 silam. Lahir di dusun Sangoraja, desa
Sirnagalih, kecamatan Sukawening, Garut. Ia adalah anak tunggal dari pasangan
Affandi dan Nunung Wasfiyah, yang biasa dipanggil Nyi Mas Eoh. Ayahnya adalah
seorang duda ketika menikahi ibunya yang juga adalah seorang janda. Kakeknya
dari pihak ayah adalah mandor besar dan ditakuti banyak orang, namanya aki
Darnuji yang beristrikan Nini Omo. Dari pihak ibunya kakeknya bernama Aki Momon
dan neneknya bernama Nini Saodah. Aki momon adalah seorang kiai yang sangat
dihormati. Sementara itu nenek jujun, yakni Nini Saodah, adalah seseorang yang
paling tidak bisa untuk menolak mereka yang berjualan. Kalau ada sepuluh orang
yang datang berjualan kerumah, maka kesepuluh-sepuluhnnya dibeli.
Ayah Jujun adalah
seorang yang tidak bisa baca tulis, bahkan sampai hari ini. Sekolah Dasar (SD)
pun tidak tamat. Ibu Jujun, sebagai anak seorang kiai, memiliki pemahaman
keagamaan yang bisa dikatakan lumayan. Kontras dengan ibunya, ayah Jujun adalah
seorang yang buta huruf, tapi seorang yang memahami liku-liku kehidupan. Apa
yang dikatakannya adalah apa yang dijalani dab diyakininya. Dari sisi
spiritual, pengaruh ibu tampaknya sangat besar terhadap Jujun. Hanya, dalam
soal karakter Jujun lebih dekat ke ayah. Ayah Jujun yang keras, tegas, dan agak
gampang marah, dan tabiat itulah yang tampaknya diwarisi dengan sejati oleh
Jujun.
Riwayat Pendidikan
Tahun 1977, Jujun kecil
memasuki jenjang pendidikan awal di Sekolah Dasar Sindang Galih, Garut. Pendidikan
formal Jujun selalu disokong oleh jenjang pendidikan pesantren. Tidak kurang
dari lima pesantren di Garut pernah Jujun singgahi: Pondok Pesantren Tarbiyatul
Atthfal, Pondok Pesantren Al-Huda, Pondok Pesantren Jam’iyah, Pondok Pesantren
al-Qurthubiyah, dan Pondok Pesantren Kudang Limbangan.
Selepas Sekolah Dasar, tahun
1983, Jujun melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Ma’arif. Tahun 1986, Jujun
memasuki jenjang pendidikan lanjutan atas. Jujun menjatuhkan pilihan untuk
Madrasah Aliyah Negeri Garut, mengambil Jususan Agama (A-1). Tahun 1989, Jujun
memasuki jenjang pendidikan tinggi. Perguruan yang ia pilih adalah IAIN
(Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung Djati, dengan mengambil Jurusan
Dakwah Fakultas Ushuluddin.
Pertama kali masuk IAIN,
Jujun dikenal sebagai seorang qari, padahal pada mulanya Jujun dikenal
sebagai mubaligh cilik dari Garut, tetapi begitu masuk IAIN ia dikenal sebagai
qari. Makanya, banyak orang IAIN yang kaget begitu Jujun muncul sebagai
mubaligh seperti sekarang, karena mereka lebih mengenal Jujun sebagai qari
ketimbang jadi mubaligh. Citra Jujun sebagai qari sangat lekat karena didukung
oleh fakta sejarah bahwa ia bersama-sama dengan Asep Mustapa Kamal (dosen
fakultas Syari’ah IAIN Bandung) yang mendirikan UPTQ (Unit Pengembangan
Tilawatil Quran) di IAIN.
Riwayat Menjadi Mubaligh
Ketika usianya baru
menginjak 4 tahun, Jujun Junaedi kecil sudah mulai menunjukan bakat besarnya
sebagai seorang mubaligh. Sejak usia enam tahun, Jujun sudah memulai
undangan-undangan ceramah ketempat yang jauh, bahkan sudah pula merambah
ibukota. Tahun 1976-1977, Jujun telah muncul sebagai ajeungan cilik yang telah
memikat banyak orang. Kepiawaian Jujun kecil dalam berceramah telah menebar
sejumlah kesan amat hebat di kalangan masyarakat. Bahkan beberapa diantara
mereka, ada yang mengatakan fenomena Jujun kecil seperti itu sebagai sihir.
Kecenderungan ke dunia
tabligh sudah dirasakan Jujun sejak kecil, itu karena bakat. Sejak kecil Jujun
sudah mulai ceramah, pada momen imtihan misalnya, Jujun selalu tampil didepan
publik. Sesungguhnya bakat Jujun bisa terbilang banyak. Ngaji bisa, nyanyi
bisa, mantun bisa, main gitar bisa, ngedalang bisa, ceramah apalagi.
Motivasi pertama yang
mendorong Jujun terjun kedunia tabligh adalah lingkungan. Lingkungan yang
mendidik begitu, kemudian Jujun menyediakan bakat dan mengarahkannya, maka
hasilnya adalah undangan ceramah yang terus mengalir yang harus Jujun tunaikan.
Dari kegiatan ceramahnya itu, pada gilirannya, kemudian mendatangkan
penghargaan berupa finansial. Tidak dipungkiri, hal itu turut memotivasi Jujun
untuk makin terus ke dunia tabligh.
Yang paling berpengaruh
dalam menuntut perjalanan Jujun ke dunia tabligh, sudah tentu adalah Ibu,
Bapak, dan Kakek Jauhar Maknun. Di luar mereka bertiga, nama KH Zainal Abidin
dan KH Abdul Hamid diakui Jujun memiliki jasa besar dalam mengantar Jujun ke
dunia tabligh. Dan yang terakhir yang berjasa pada Jujun tentu saja produser
rekaman, melalui pangersa Abah Anom (KH Shohibul Wafa Tajul Arifin).
Salah satu trade mark
Jujun yang dikenal masyarakat luas
adalah kebiasaannya bernyanyi di tengah-tengah ceramahnya. Menurut Jujun,
kebiasaanya menyanyi ditengah-tengah ceramahnya, diawali dengan kebiasaannya
menghafal nadhom (syair pelajaran) ketika belajar diwaktu kecil. Penyampaian lagu-lagu dalam
ceramah-ceramahnya sesungguhnya hanyalah sekedar sebuah strategi untuk menarik
minat orang datang ke pengajian. Itulah sebenarnya kerangka awal Jujun
menyampaikan materi ceramahnya dengan lagu.
Pada saat ini masih
sangat sedikit upaya-upaya transformasi metodologis yang dilakukan dalam
berdakwah. Upaya-upaya dakwah –khususnya tabligh- masih lebih banyak
menggunakan formula lama yang cenderung kaku. Sementara pada saat yang
bersamaan, transformasi metodologis pada dunia hiburan misalnya, berlangsung
begitu dinamis dan kreatif, sehingg sangat menarik perhatian. Sementara itu,
dunia tabligh masih berkutat pada pola lama yang seolah tidak pernah beranjak.
Padahal ia menuntut sentuhan baru sesuai dengan laju zaman yang baru.
Atas dasar itulah, muncul
gagasan untuk memodifikasi pola ungkap tabligh yang selama ini melulu berisi
ceramah yang bersifat monolog ke dalam satu bentuk baru yang lebih atraktif,
kreatif, dan supermotivatif. Munculah kemudian gagasan dari seorang mubaligh
kenamaan, KH Zaina Abidin, untuk menampilkan suatu kreasi baru dalam bertabigh
yang disebut dengan isyilah “Mustaqim” singkatan dari musik, tabligh,
qiraat indah dan menentramkan. Dengan demikian, tabligh dalam
kreasi baru ini mengandung berbagai unsur sekaligus: yakni music, ceramah, dan
qiraat yang di dalamnya juga bisa berlangsung dialog interaktif
Jujun Junaedi adalah
mubaligh yang memiliki kesadaran yang sama dengan gurunya KH Zainal Abidin.
Jujun sangat menyadari betapa pentingnya unsur kesenian dalam menyampaikan pesan-pesan
dakwah kepada masyarakat luas. Karena itu, Jujun pun dengan gayanya tersendiri,
banyak menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui alat bantu syair lagu.
Setidak-tidaknya, syair-syair lagu sering dipakai Jujun untuk menjadi ilustrasi
atas sebuah masalah yang sedang diceramahkan.
Diluar kebiasaannya
mendendangkan lagu, Jujun juga sangat suka menyelipkan humor-humor segar dalam
ceramahnya. Humor orisinal dari kehidupan sehari-hari adalah bahasa ungkapan
budaya yang paling canggih dalam gambaran inti realitas zaman. Humor adalah
sinar laser yang amat tajam, yang mengirimkan kita secara pragmatis untuk ngeh
terhada sesuatu hal. Humor-humor tadi bisa berupa cerita-cerita lucu yang
bersifat ilustratif terhadap masalah yang sedang dijelaskan.
Sesekali, Jujun juga suka
menyelipkan puisi-puisi relijius ditengah-tengah pengajiannya. Sebagai hiburan,
puisi memang kurang begitu laku. Sebagai obat ia tak begitu berkhasiat. Terlalu
kecil juga untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat: system yang
ekspoitatif dan manipulative, susunan keadaan yang timpang, arah kehidupan yang
mendangkal, usaha-usaha membahagiakan yang menyusahkan, usaha perluasan yang
menyempitkan. Syair memang tidak lebih dari barang bikinan manusia. Barang
mainan, seperti halnya ketapel atau sepotong pisau. Sebagai mainan, mungkin
saja dianggap sebagaikebutuhan wajib, produksi yang termasuk pokok, bahkan
mungkin sacral, religjius, penuh cinta kasih, dan terlalu romantic untuk
diabaikan. Puisi tak begitu penting, sebab yang utama darinya ialah kemampuannya
menawarkan suatu dunia dalam.
Kalau disimak,
ceramah-ceramah Jujun tidak jarang menampilkan plesetan-plesetan. Konon,
fenomena plesetan merupakan kekalahan kaum marginal atas desakan-desakan
yang menimpa mereka. Plesetan adalah bentuk sangat eksetorik dari
tradisi eufimisme kebudayaan masyarakat kita. Plesetan adalah cermin
ketidaksanggupan global kita dalam menghadapi permasalahan-permasalahan sumpek,
scara obyektif dan realistic. Plesetan adalah ungkapan pemalsuan realitas.
Riwayat Popularitas
Menurut Jujun, yang
paling utama dalam hidup adalah amal, atau pekerjaan dan manfat. Jujun bisa
disebut seniman karena senang berkesenian, bisa disebut kiai karena suka
berdakwah. Tetapi itu bukan agenda hidup Jujun. Kalau Jujun bernyanyi, tidak
otomatis Jujun adalah penyanyi. Kalau Jujun bertabligh, tidak berarti Jujun
adalah kiai atau ulama. Yang penting software dari itu semua satu: yakni
berusaha bermanfaat bagi orang lain, dibidang apa saja yang diperlukan oleh
lingkungan Jujun. Agenda Jujun hanyalah terus belajar agar bia bermnfaat.
Jujun menganggap bahwa
apa yang dikerjakannya bukanlah karir, apalagi karir pribadi. Jujun memahami
sepenuhna bahwa namanya yang kini melambung hanyalah kulit, yang nanti siang
sudah kembali terkelupas oleh panas matahari.
Mubaligh matre
Brand image yang melekat kuat di benak public
adalah bahwa Jujun tidak lebih dari seorang mubaligh matre. Kesan itu muncul
karena Jujun dibayar mahal. Dulu, awalnya Jujun sekli ceramah dibayar sepuluh
ribu, lima belas ribu. Kemudian setelah
rekaman, dua ratus lima puluh ribu, semakin kesini lima ratus ribu,
lama-kelamaan muncul kasus-kasus penipuan.
Seiring daya jual Jujun
yang semakin tinggi, orang-orang yang memiliki naluri bisnis tinggi, nama Jujun
pun akhirnya dicatut untuk menipu masyarakat. Entah berapa ratus juta orang
yang tertipu atas nama Jujun.macam-macam modus operandi yang dipakai para
penipu untuk mengelabui masyarakat.
Dari kasus-kasus
tersebut, akhirnya muncul kesepakatan gagasan, agar penipu yang kurang kerjaan
tidak bisa gerak lagi, hendaknya tiga hari sebelm undangan, yang punya hajat
menyerahkan ujrah buat Jujun di tempat Jujun. Alhasil, lewat mekanisme
semacam itu, munculah kemudian standar harga Jujun, yang sesungguhnya berasal
dari masyarakat pengundangnya sendiri.
Sebenarnya Jujun sendiri
tidak pernah memasang tarif, dan memang tidak harus begitu, bahkan pihak
manajemen Jujun sendiri. Jujun masih terima undangan yang dua-tiga ratus ribu.
Jujun masih bersedia diundang dan tidak dikasih apa-apa. Bahkan tidak jarang
Jujun mengembalikan amplop yang telah diterimanya, setelah melihat keadaan yang
mengundngnya. Di samping itu Jujun kerap melakukan pengajian-pengajian amal
(semacam pengajian lelang) untuk menghimpun dana ummat.
Tampaknya, muncul
nggapan “mubaligh matre” ini tidak terlepas dari adanya semacam common sense
yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang menyebutnya bahwa dunia keagamaan
harus steril dari hal-hal yang bersifat material. Menurut Jujun, dengan adanya
standar harga seperti itu juga dapat menjadikan sebagai sarana pendidikan, biar
masyarakat tahu, bahwa ilmu itu mahal. Intinya, adalah bagaimana menumbuhkan
kesadaran baru ditengah-tengah masyarakat bagaimana mereka menghargai para
mubaligh secara wajar dan terhormat.
Hatur nuhun inrormasina kang..
BalasHapussami-sami
HapusNyuhunkeun no contact person na kang. Abdi bade ngundang.
BalasHapus