KONTRIBUSI TEORI-TEORI SAINS
DALAM MENAFSIRKAN AL-QURAN
MAKALAH
Makalah ini diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah Membahas Kitab Tafsir
Disusun Oleh:
Enjen Zaenal Mutaqin
Ikhsan Nasrullah
Darman
Ahmad Suhaemi
Iim Mulyana
Aang Kutubi
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Al-Qur'an sebagai sebuah kitab suci, ternyata tidak hanya mengandung
ayat-ayat yang berdimensi aqidah, syari'ah dan akhlaq semata, akan tetapi juga
memberikan perhatian yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan
(sains). Jika kita membaca Al-Qur'an secara seksama, akan kita temukan sangat
banyak ayat-ayat yang mengajak kepada manusia untuk bersikap ilmiah, berdiri di
atas prinsip pembebasan akal dari takhayul dan kebebasan akal untuk berpikir.
Al-Qur'an selalu mengajak manusia untuk melihat, membaca, memperhatikan,
memikirkan, mengkaji serta memahami dari setiap fenomena yang ada terlebih lagi
terhadap fenomena-fenomena alam semesta yang perlu mendapatkan perhatian khusus
karena darinya bisa dikembangkan sains dan teknologi untuk perkembangan umat manusia
dan dengan itu pula akan didapatkan pemahaman yang utuh dan lengkap.
Bukan hanya itu, ayat yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah SAW
merupakan perintah untuk membaca (ا
قرا) yang menurut Quraish
Shihab, kata ini terambil dari akar kata qara'a (قرا ) yang berarti menghimpun. Dari menghimpun
lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks yang tertulis maupun tidak.[1] Karena
kata ini objeknya bersifat umum sehingga maknanya mencakup segala sesuatu yang
bisa dijangkaunya, baik yang tersurat maupun yang tersirat, ayat-ayat qauliyyah
maupun kawniyyah. Jika demikian adanya merupakan hal yang wajar jika
orang-orang yang berpengetahuan mendapatkan derajat yang lebih tinggi karena
tidaklah sama antara orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan yang tidak.
Dengan demikian, besar harapan para ilmuwan-ilmuwan muslim tergerak dan
termotivasi untuk mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang berdimensi ilmiah dan
berusaha menafsirkan serta menggali makna yang terkandung di dalamnya serta
menjadikannya sebagai inspirasi untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru yang
bermanfaat bagi umat manusia dan dengan semakin berkembangnya sains dan
teknologi ini pula mendorong munculnya corak baru dalam bidang penafsiran yang
dikenal pada saat ini sebagai penafsiran ilmiah atau Tafsir 'Ilmy (Sciences
Exegesis) yang cukup banyak menarik perhatian para intelektual muslim dan
permasalahan (Tafsir 'Ilmy) ini pula yang akan menjadi pokok pembahasan penulis
dalam makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir 'Ilmy
Pada dasarnya al-Qur’an adalah kitab suci yang menetapkan masalah akidah
dan hidayah, hukum syari’at dan akhlak. Bersamaan dengan hal itu, di dalamnya
di dapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang berbagai hakikat (kenyataan)
ilmiah yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari, membahas dan
menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum muslimin telah berusaha
menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari ayat-ayat
al-Qur’an, dan di kemudian hari usaha ini semakin meluas, dan tidak ragu lagi,
hal ini telah mendatangkan hasil yang banyak faedahnya.[2]
Adapun pengertian tafsir ‘ilmi atau yang dalam terminologi Jansen disebut
sebagai sejarah alam secara sederhana dapat didefinisikan sebagai usaha
memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menjadikan
penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Ayat al-Qur’an di
sini lebih diorientasikan kepada teks yang secara khusus membicarakan tentang
fenomena kealaman atau yang biasa dikenal sebagai al-ayat al-kauniyat. Jadi
yang dimaksud dengan tafsir ‘ilmi adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang
mufassir dalam mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an dengan
penemuan-penemuan sains modern, yang bertujuan untuk memperlihatkan
kemukjizatan al-Qur’an.[3]
Tafsir ‘ilmi adalah penafsiran al-Qur’an yang pembahasannya menggunakan
pendekatan istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam mengungkapkan al-Qur’an,
dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.[4]
Tafsir 'ilmy adalah التفسير
الذى يحكم الاصطلاحات العلمية فى عبارات القران, ويجتهد فى استخراج مختلف العلوم
والاراء الفلسفية منها suatu metode penafsiran yang mengukuhkan
keterangan atau istilah-istilah ilmiah yang terkandung di dalam
perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam al-Qur’an yang kemudian melahirkan
berbagai macam pengetahuan dan teori-teori filsafat.[5]
Tafsir 'ilmy sebagai penafsiran ayat-ayat kawniyyah yang terdapat di
dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul
saat sekarang.[6]
Tafsir ‘ilmi ialah
penafsiran al-Qur’an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Perintah untuk
menggali pengetahuan berkenaan dengan tanda-tanda Allah pada alam semesta
memang banyak dijumpai di dalam al-Qur’an. Inilah alasan yang mendorong para
mufasir corak ini untuk menulis tafsirnya.[7]
Tafsir ‘ilmi ialah tafsir yang menjelaskan makna isyari (melalui
petunjuk) yang mengagungkan dan membesarkan Allah Swt melalui ciptaan-Nya.
Tafsir ‘ilmi ini termasuk dalam perbahasan tafsir isyari menurut pendapat
al-Syeikh Khalid Abdul Rahman al-‘Ak. Ini adalah karena tafsir ilmi tidak
termasuk padanya syarat-syarat tafsir al-‘aqli al-Ijtihadi.
Kaedah pentafsiran tafsir ‘ilmi ini lebih kepada petunjuk melalui kajian
sains dan bukannya menggunakan ijtihad melalui akal. Oleh sebab itu, ada ulama’
tafsir memasukkan tafsir ilmi ini dalam tafsir isyari. Tafsir ilmi adalah
berasaskan kepada penerangan dan penjelasan melalui isyarat dari pada al-Quran
sendiri yang menunjukkan kepada kehebatan ciptaan Allah Swt. Allah berfirman
yang bermaksud:
óOÎgÎã\y $uZÏF»t#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKt öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3t y7În/tÎ/ ¼çm¯Rr& 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky ÇÎÌÈ
“Akan Kami tunjukkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di
segenap ufuk (penjuru) dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas kepada
mereka bahawa al-Quran itu benar.” (Surah Fussilat: ayat 53.)
Dalam kitab Tafsir al-Quran al-‘Azim, al-Imam Ibn Kathir berkata,
“(Allah) akan tunjukkan bukti-bukti serta dalil-dalil di alam ini yang
menunjukkan bahwa al-Quran ini adalah benar.” Untuk menerangkan dan
mengeluarkan bukti serta dalil dari pada alam, sains diperlukan.
Seterusnya, berhubung dengan firman Allah yang bermaksud, “Dan pada diri
mereka sendiri,” Imam Ibn Kathir berkata, “Berkemungkinan yang dimaksudkan oleh
ayat ini ialah apa yang terdapat dalam tubuh badan manusia yang menakjubkan,
sebagaimana yang dapat dilihat dalam ilmu tasyrih (anatomi). Kesemua ini akan
menampakkan kebijaksanaan Yang Maha Pencipta”. Untuk mengenali organ serta
memahami sistem yang terdapat dalam tubuh manusia, sains juga diperlukan.[8]
Dari beberapa definisi tafsir 'ilmy di atas pada intinya adalah merupakan sebuah upaya untuk
mengeksplorasi ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an khususnya ayat-ayat
kawniyyah dengan berbagai cara dan metode sehingga dengan penafsiran ini akan
dihasilkan teori-teori baru ilmu pengetahuan ataupun sesuatu yang berkesesuaian
dengan ilmu pengetahuan modern yang ada pada saat ini. Sehingga penafsiran ini
tidak dianggap sebagai sebuah “kelatahan” yang hanya berusaha men”justifikasi”
setiap temuan-temuan sains saat ini sebagai sesuatu yang sudah terdapat
al-Qur’an.
B.
Sejarah Perkembangan Tafsit ‘Ilmi dan
Tokoh-tokohnya
Secara historis, kecenderungan penafsiran al-Qur’an secara ilmiah sudah
muncul semenjak masa perkembangan ilmu pengetahuan di era dinasti Abbasiyah,
khususnya pada masa pemerintahan al-Makmun (198/813 M). Munculnya kecenderungan
ini sebagai akibat pada penerjemahan kitab-kitab ilmiah yang pada mulanya
dimaksudkan untuk mencoba mencari hubungan dan kecocokan antara pernyataan yang
diungkapkan di dalam al-Qur’an dengan hasil penemuan ilmiah (sains). Gagasan
ini selanjutnya ditekuni oleh imam al-Ghazali dan ulama-ulama lain yang
sependapat dengan dia. Rekaman akan fenomena ini antara lain dituangkan oleh
Fahru al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib.[9]
Bisa dikatakan, Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) patut untuk
dikedepankan ketika kita membahas
munculnya penafsiran secara ilmiah. Hal ini diakui oleh seluruh penulis
Ahlusunnah dan riset lapangan juga membuktikan hal itu.[10] Sebelum
Fakhruddin, al-Ghazali (505 H) dalam bukunya, Jawahir Al-Qur’an juga telah
menyebutkan penafsiran beberapa ayat al-Qur’an yang dipahami dengan menggunakan
beberapa disiplin ilmu, seperti: astronomi, perbintangan, kedokteran, dan lain
sebagainya. Jika upaya al-Ghazali ini kita anggap sebagai langkah pertama bagi
kemunculan penafsiran ilmiah, tidak diragukan lagi bahwa al-Ghazali sendiri
belum berhasil merealisasikan metode tersebut, setelah satu abad berlalu,
barulah Fakhrurrazi di dalam Mafatih al-Ghaib-nya berhasil merealisasikan
metode penafsiran yang pernah menjadi percikan
pemikiran al-Ghazali itu.[11]
Pasca masa Fakhrurrazi, tendensi penafsiran ilmiah (ini diteruskan dan
menghasilkan buku-buku tafsir yang sedikit banyak terpengaruh oleh teori
penafsiran Fakhrurrazi dalam ruang lingkup yang agak terbatas. Di antaranya adalah:
Ghara’ib Al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan, karya An-Nasyaburi (w. 728 H), Anwar
at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, karya Al-Baidhawi (w. 791 H), dan Ruh al-Ma’ani
fa Tafsir al-Qur’an al-Adzim wa Sab’al-Matsani, karya Al-Alusi (w. 1217 H).
Melalui buku-buku tafsir itu, para pengarangnya telah melakukan
penafsiran saintis atas ayat-ayat al-Qur’an. Selain mereka, terdapat beberapa
mufassir lagi, seperti Ibn Abul Fadhl al-Marasi (w. 655 H), Badruddin
az-Zarkasyi (w. 794 H), dan Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H). Yang termasuk
dalam golongan para mufassir yang memiliki tendensi penafsiran saintis.
Meskipun demikian, sebenarnya para mufassir ini tidak dapat dimasukkan ke dalam
kategori mufassirin yang memiliki aliran saintis dalam menafsirkan al-Qur’an,
karena mereka hanya mengklaim bahwa al-Qur’an memuat semua jenis dan
disiplin ilmu pengetahuan, dan hanya
klaim ini tidak dapat dijadikan bukti bahwa mereka memiliki tendensi penafsiran
saintis.
Pasca periode tafsir Ruh al-Ma’ani, pada permualaan abad ke-4 Hijriyah,
metode penafsiran saintis mengalami kemajuan yang pesat. Tercatat, para
mufassir seperti: Muhammad bin Ahmad al-Iskandarani (w. 1306 H), dalam Kasyf
al-Asrar an-Nuraniyah al-Qur’aniyah-nya, Al-Kawakibi (w. 1320 H), dalam Thaba’i
al-Istibdad wa Mashari al-Isti’bad-nya, Muhammad Abduh (w.1325 H) dalam Tafsir
Juz’Amma-nya, dan Ath-Thanthawi (w.1358 H) dalam Jawahir al-Qur’an-nya,
masing-masing menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara saintis. Contoh penafsiran
saintis al-Qur’an yang paling gamblang adalah buku tafsir al-Iskandarani dan
ath-Thanthawi di mana dengan sedikit perbedaan, mereka telah berusaha untuk
memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui ilmu pengetahuan empiris (tajribi) dan
penemuan-penemuan manusia.
Pemikiran penafsiran secara ilmiah mengalami perkembangan yang lebih
pesat sampai sekarang ini, sehingga memberi dorongan yang cukup besar bagi para ilmuan untuk
menulis buku tafsir yang didasarkan atas pemikirin ilmiah secara tematik
(al-maudhu’i).[12]
Pada masa sekarang inipun juga bermunculan berbagai kitab penafsiran
ilmiah yang bersifat Maudhu’iy seperti Afzalurrahman dengan Qur’anic
Sciences-nya dimana menurutnya “al-Qur’an dan ilmu pengetahuan itu sama-sama
mengandung kebenaran, dan tidak ada pertentangan di antara keduanya”. [13]
Ada juga Maurice Bucaille dengan The Bible, The Qur’an and Science-nya, Abbas
Mahmud al-‘Aqqad dengan Tafsir al-Falsafah al-Qur’aniyah-nya dan masih banyak
lagi tafsir-tafsir lainnya.
Meluasnya corak penafsiran ilmiah ini menurut Quraish Shihab setidaknya
dipengaruhi oleh dua faktor, yang pertama adalah merupakan reaksi terhadap
ketertinggalan umat Islam dalam bidang kemajuan ilmu pengetahuan dan teklnologi
dari dunia barat. Karena ketertingggalan ini mereka berusaha mencari kompensasi
sebagai sebuah shock therapy atau sebagai salah satu upaya untuk menutupi rasa rendah diri yang berlebihan (inferiority
complex) yang melanda mereka. Salah satunya dengan mengingat kejayaan-kejayaan
yang pernah diraih umat Islam pada masa lalu yang baik secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat Islam dalam
menafsirkan al-Qur'an. Maka tidaklah mengherankan ketika ada penemuan baru,
para cendekiawan muslim sepertinya berlomba-lomba untuk mencari ayat-ayat
al-Qur'an yang berkesesuaian dengan penemuan tersebut dan serta merta
mengatakan bahwa apa yang ditemukan sebenarnya sudah tercantum dalam al-Qur'an.
Faktor kedua yang menjadikan cendekiawan muslim melakukan hal ini sebagai
reaksi atas resistansi yang besar dari gereja terhadap ilmu pengetahuan yang
dikarenakan adanya pertentangan penemuan ilmiah dengan kepercayaan atau
teori-teori tertentu yang diyakini kebenarannya dan kesuciannya oleh gereja.
Pertentangan ini mengakibatkan terjadinya kekejaman dan penindasan terhadap
ilmuwan yang dianggap kafir dan berhak mendapat kutukan. Hal ini menimbulkan
keyakinan di kalangan umum bahwa ilmu pengetahuan bertentangan dengan agama. Pertentangan antara agama
dengan ilmu pengetahuan ini memberikan pengaruh terhadap cendekiawan muslim.
Mereka khawatir kalau-kalau penyakit pertentangan ini timbul pula dalam dunia
Islam sehingga mereka senantiasa
berusaha membuktikan hubungan yang sangat erat antara ilmu pengetahuan
dengan agama terutama al-Qur'an walaupun terkadang langkah mereka terlampau
jauh dalam membuktikan hal itu.[14]
Adapun tokoh-tokoh penafsir ilmi kontempoter selain yang di sebut di atas
menurut Ali Hasan Al-‘Aridl adalah:
1.
Dr. al-Kauniyah Ahmad
Al-Ghamrawi dalam kitabnya Sunanullah al-Kauniyah dan al-Islam fi ‘Ashr
al-‘ilm.
2.
Dr. Abdul Aziz dalam
al-Islam wa al-Thib al-Hadist.
3.
Al-Syekh Thanthawi Jauhari.
4.
Ahmad Mukhtar al-Ghozali
dalam Riyadh al-Mukhtar.
5.
Al-Ustadz Hanafi Ahmad
dalam al-Tafsir al-‘ilmi Li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim.
6.
Al-Alamah Wahid al-Din Khan
dalam al-Islam Yatahadda.
7.
Dr. Jamal al-Din al-Fandy
dalam al-Ghida wa al-Dawa’ dan
8.
Ustadz ‘Abd al-Razzaq
Naufal dalam al-Qur’an wa al-‘ilm al-Hadist.[15]
Sedangkan menurut Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, tokoh-tokoh
penafsir ilmi kontemporer lainnya yaitu:
1.
As-Syekh Muhammad Abduh.
2.
Muhammad Jamaluddin
al-Qasimi dalam Mahaasinu at-Ta’wil.
3.
Mahmud Syukri al-Aluusi (w.
1992 M) dalam buku Maa Dalli ‘Alaihi al-Qur’anu Mimmaa ya’dhidu al-Hai’ata
al-Jadiidata al-Qawiimatu al-Burhan (Dalil-dalil al-Qur’an yang meneguhkan ilmu
astronomi modern, dengan argumentasi kuat).
4.
Abdul Hamid bin Badis dalam
Tafsiru Ibni Badis fii Majaalisi at-Tadzkiiri min Kalaami al-Hakimi al-Khabiir
(Tafsir Ibnu Badis mengenai Firman Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Tahu dalam
forum-forum kajian).
5.
Musthafa Shadiq ar-Rafi’i
dalam bukunya I’jaazu al-Qur’ani wa Balaghtu an-Nabawiyah (Mukjizat al-Qur’an
dan Balaghah Kenabian).[16]
C.
Metode dalam Tafsir ‘Ilmi
Memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an adalah salah satu contoh dari usaha
pengejawantahan metode tafsir saintis. Dalam metode penafsiran ini, terdapat
beberapa kriteria:
1.
Lebih menekankan pada
penemuan-penemuan sains dan menjadikannya sebaga tolok ukur memahami ayat-ayat
al-Qur’an.
2.
Penyerupaan.
3.
Tidak menghiraukan kriteria-kriteria
teologis dan kondisi yang ada pada saat ayat turun.
4.
Mempersiapkan kemunculan
aliran pemikiran eklektis dan penafsiran material terhadap ayat-ayat
al-Qur’an.
Hanya saja, dua kriteria terakhir ini hanya mendominasi mayoritas metode
penafsiran saintis ini, bukan seluruhnya.[17]
D.
Pendapat Para Ulama tentang
Tafsir ‘Ilmi
Sikap ulama terhadap tafsir ‘ilmi, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke
dalam dua bagian, sebagai berikut:
1.
Sebagian dari mereka
mendukung model tafsir ‘ilmi dan bersikap terbuka, sehingga mereka menjadikan
al-Qur’an sebagai mukjizat ilmiah, oleh karena itu mencakup segala macam
penemuan dan teori-teori ilmiah modern. Mereka berkata al-Qur’an itu menghimpun
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak kesemuanya dapat dijangkau
oleh manusia lebih dari itu ia mengemukakan hal-hal yang terjadi jauh sebelum
ia turun dan yang akan terjadi. Di dalamnya terdapat pula prinsip-prinsip umum
tentang hukum alam, fenomena alam dan hal-hal lain yang bisa diungkap oleh ilmu pengetahuan
modern dan biasanya diduga sebagai hal yang baru, padahal itu semua telah
diisyaratkan dalam al-Qur’an. Pandangan mereka ini didasarkan pada al-Qur’an
dan al-Hadits yang antara lain:
....... 4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ......
“Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab”
(QS. Al-An’am:38)
Dan firman Allah
yang lain:
......ونزلنا عليك الكتب تبينا لكل شئ......
“Dan Kami turunkan kepadamu
al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS. Al-Anfal:89).
Kemudian Ibn
Abbas berkata:
و الله بو ضاع مني عقال بغير لوجدته في كتاب الله
“Seandainya aku kehilangan
tali unta, niscaya aku akan menemukannya di dalam kitab Allah (Al-Qur’an).” (HR. Ibn Abbas).[18]
Berikut pandangan-pandangan ringkas pendapat mereka yang mendukung
mengenai tafsir ‘ilmi:
a.
Al-Ghazali, adalah orang
yang paling banyak memasarkan tafsir ilmiah di tengah percaturan keilmuan
Islam. Dalam kitabnya Ihya’ ‘ulumuddin pada pasal IV menyinggung mengenai
pemahaman dan penafsiran al-Qur’an secara rasional tanpa menggunakan Naqal
(Al-Qur’an dan Hadits). Beliau sepakat dengan pendapat beberapa ulama bahwa
al-Qur’an mengungkapkan 77.200 macam/buah ilmu, karena setiap kata merupakan
sebuah ilmu. Dengan mengutip hadist dari Ibn Mas’ud yang menyatakan bahwa Nabi
pernah bersabda:
عن
ابن مسعود رضي الله عنه انه قال: من اراد علم الآولين ولاخرين فليتدبر القران
(رواه ابن مسعود
“Barang siapa
ingin memperoleh pengetahuan tentang beberapa permulaan dan beberapa kesudahan,
maka kajilah al-Qur’an dengan seksama.”
Beliau mengatakan bahwa segala sesuatu yang sulit dipahami dengan
penginderaan dan penalaran sehingga menimbulkan berbagai teori yang berlawanan
satu sama lain sebenarnya sudah dikemukakan dan dirumuskan dalam al-Qur’an dan
semuanya dapat diketahui oleh para pemikir.[19]
Al-Ghozali juga berpendapat dalam kitab Jawahir Al-Qur’an bahwa segala macam ilmu itu termasuk dalam
af’al (perbuatan-perbuatan Allah dan sifat-sifatnya). Pengetahuan tersebut
tidak terbatas. Dalam al-Qur’an terdapat isyarat-isyarat menyangkut
prinsip-prinsip pokoknya. Hal terakhir ini, antara lain dibuktikan dengan
mengemukakan ayat:
#sÎ)ur àMôÊÌtB uqßgsù ÉúüÏÿô±o ÇÑÉÈ
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang
menyembuhkan Aku.”(QS.
Asy-Syu’araa: 80).
“Obat” dan “penyakit” menurut al-Ghozali, tidak dapat diketahui kecuali
oleh yang berkecimpung dibidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas
merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.[20]
b.
Al-Marasi, seperti yang
diungkapkan kembali oleh as-Syuyuti dalam tafsirnya mengatakan bahwa ilmu ukur
disebut dalam al-Qur’an:
Pergilah kamu
mendapatkan naungan [21]yang
mempunyai tiga cabang[. (QS. Al-Mursalat: 30)
Beliau juga menyatakan bahwa al-Jabar dan Aritmatik ditemukan dari
huruf-huruf lepas pada permulaan beberapa buah surat al-Qur’an, karena dalam
huruf-huruf itu mengandung keterangan tentang kurun waktu, tahun-tahun dan
hari-hari terjadi peristiwa-peristiwa sejarah
bangsa-bangsa terdahulu dan juga keterangan kelangsungan hidup ummat
Muhammad Saw sekarang ini. Dari pernyataan itu tampak jelas al-Marasi berpegang
pada pendirian bahwa ilmu-ilmu pengetahuan bisa ditemukan dan diformulasikan
dari al-Qur’an.[22]
c.
Al-Kawakibi, mengatakan
bahwa ilmu-ilmu pengetahuan termasuk penemuan teori-teori ilmiah di Eropa dan
Amerika sekarang ini, sebenarnya sejak abad 13 yang lalu telah dijelaskan dan
diisyaratkan dalam al-Qur’an. Hal-hal yang masih belum terungkap pada saat
ditemukannya, nanti akan menjadi bukti kemukjizata al-Qur’an.[23]
d.
Fakhruddin ar-Razi,
walaupun tidak sepenuhnya sependapat dengan al-Ghozali, amun dalam tafsirnya
Mafatih Al-Ghayb, dipenuhi dengan pembahasan ilmiah menyangkut filsafat,
teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran, dan sebagainya.
e.
Hal-hal senada juga
dipegangi oleh Imam al-Syuyuti dalam Al-Itqan, Al-Baidhawi dalam kitab Anwaaru
at-Tanzil wa Asraaru at-Ta’wil, An-Naisaburi yang lebih dikenal dengan
an-Nadhdham al-A’raj (penyair yang pincang) dalam kitabnya Gharaibu Al-Qur’an
wa Raghaibu al-Furqaani, dan Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan fii ‘Ulumul
Al-Qur’an.[24]
2.
Sebagian yang lain menolak
tafsir ‘ilmi. Mereka tidak melangkah jauh untuk memberikan makna-makna yang
tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadap al-Qur’an kepada
teori-teori ilmiah yang jelas-jelas terbukti tidak benar setelah berpuluh-puluh
tahun, oleh karena teori itu bersifat relative dan terbuka pada perubahan.
Mereka berpendapat, tidak perlu masuk terlalu jauh dalam memahami dan menginterpretasikan
ayat-ayat al-Qur’an dengan kebenaran-kebenaran ilmiah, tetapi ia semata-mata
merupakan kitab petunjuk dan penuntun yang diturunkan oleh Allah untuk
kebahagiaan manusia. Oleh karena itu, kita harus menjauhkan al-Qur’an dari
pemikiran-pemikiran yang mengada-ada dan kita tidak boleh menundukkannya kepada
teori-teori dan penemuan-penemuan. Berikut pandangan-pandangan ringkas pendapat
mereka yang menolak tafsir ‘ilmi:
a.
As-Syatibi (Abu Ishaq
Ibrahim bin Musa as-Syatibi al-Andalusia (w. 790 H). dalam kitabnya
al-Muwafaqat menyatakan sebagai ketidak setujuannya terhadap tafsir ‘ilmi,
“.....banyak yang bersikap keterlaluan dalam memahami al-Qur’an sehingga mereka
mengaitkannya dengan semua ilmu pengetahuan baik yang disebut orang-orang
dahulu maupun orang-orang sekarang. Lebih lanjut seperti yang dinukilkan
Al-Dzahabi, beliau mengatakan bahwa ulama salaf yang saleh dari kalangan
sahabat, tabi’in dan tabi’at adalah orang-orang yang paling tahu tentang
al-Qur’an, tentang ilmu-ilmunya dan kandungan isinya, namun kita tidak pernah
mendengar bahwa mereka membicarakan hal-hal sebagaimana mereka pegangi
itu.....” Al-Qur’an memang tidak dimaksudkan untuk memberikan pengakuan atas
kebenaran pendapat mufassir ‘ilmi.[25]
b.
Abu Hayyan al-Andalusi,
Muhammad Rasyid Ridha, as-Syeikh Mahmud Syaltut, as-Syeikh Muhammad Musthafa
al-Maraghi, Muhammad Izzat Darwazat, Amir al-Khauli, Syauqi Dhaif dan Muhammad
Maghfur Wachid mengatakan, “.....saya tegaskan, bahwa saya menolak tendensi
tafsir al-Qur’an ilmiah. Saya tidak membenarkan praktik menunjukkan ayat-ayat al-Qur’an pada ilmu
pengetahuan alam murni....”.[26]
c.
Quraish Shihab, beliau
tegas mengatakan bahwa “Saya tidak sependapat dengan upaya sementara mufassir
yang ingin mencari pembenaran al-Qur’an
terhadap penemuan-penemuan ilmiah yang terbuka untuk perubahan dan kritik.[27] Lebih lanjut ia mengatakan, “kita harus
membedakan antara penafsiran dan
pemahaman mufassir yang bersifat sementara. Dengan demikian, seorang mufassir
bisa saja memahami sebuah ayat dengan pemahaman ilmiah. Tapi jangan menamakan
itu tafsir. Namakan saja pemahaman.”.[28]
d.
Muhammad al-Ghozali, mengungkapkan
ketidak setujuannya, berangkat dari problem I’jaz al-‘Ilmi (mukjizat keilmuan)
dalam al-Qur’an. Bila kita melihat secara seksama pada sebagian isyarat ilmiah
yang ada dalam al-Qur’an, lalu dibandingkan dengan ilmu-ilmu modern, masalah
I’jaz al-‘Ilmi di dalam al-Qur’an adalah pendapat yang riskan.Seandainya yang
disebut adalah I’jaz al-‘Ilmi berarti kekalnya ketidakmampuan manusia untuk mencapai sesuatu yang mampu dicapai
al-Qur’an termasuk mencapai esensi-esensi, ketentuan-ketentuan ilmiah, dan
sebagainya maka I’jaz untuk dunia saat ini tidaklah berarti terungkap
sejumlahnya hukum ilmu pengetahuan oleh manusia sebagaimana telah dicapai dan
dibuktikan al-Qur’an dan apa yang
diisyaratkan al-Qur’an merupakan I’jaz pada kurun tertentu.[29]
Selain dua sikap ulama di atas, ada di antara ulama kontemporer yang
bersikap moderat. Mereka mengatakan: “Kita sangat perlu mengetahui
cahaya-cahaya ilmu mengungkapkan kepada hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang
dikandung oleh ayat-ayat kauniyah dan yang demikian itu tidak ada salahnya,
mengingat ayat-ayat itu tidak hanya dipahami seperti pemahaman bangsa Arab,
oleh karena al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia. Masing-masing orang
dapat menggali sesuatu dari al-Qur’an
sebatas kemampuan dan kebutuhannya sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
tujuan pokok al-Qur’an, yaitu sebagai petunjuk dan sasaran yang hendak
ditujunya sebagai tuntunan. Banyak hikmah di dalamnya yang jika dikaji oleh
ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah cahayanya dan mampu
menjelaskan rahasia kemukjizatan. Maka siapakah yang mengingkari bahwa kita
perlu membuktikan misalnya ilmu botani yang dengannya akan jelas bagi kita.
Firman Allah Swt:
z`»ysö6ß Ï%©!$# t,n=y{ ylºurøF{$# $yg¯=à2 $£JÏB àMÎ7/Yè? ÞÚöF{$# ô`ÏBur óOÎgÅ¡àÿRr& $£JÏBur w tbqßJn=ôèt ÇÌÏÈ
“Maha suci Tuhan
yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui.” (QS. Yaasiin : 36).
E.
Contoh Penerapan Tafsir ‘Ilmi
Untuk memperkuat penjelasan tentang model penafsiran secara ilmiah, maka penulis merasa perlu
untuk menghadirkan contoh penerapan model penafsiran ini. Berkaitan dengan hal
ini, kita dapat memerhatikan tafsiran ayat al-Qur’an yang berbunyi:
uä!$uK¡¡9$#ur $yg»oYøt^t/ 7&÷r'Î/ $¯RÎ)ur tbqãèÅqßJs9 ÇÍÐÈ
“Dan langit itu Kami bangun dengan
kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS. Adz-Dzariyat:47)
Al-‘Alamah Thabathabai menafsirkan ayat tersebut dengan ungkapan, “Dan
ada kemungkinan bahwa kata “musi’un” diambil dari ungkapan “awsa’a an-nafaqah”,
yaitu memperbanyak nafkah. Atas dasar
ini, maksud dari ayat tersebut adalah perluasan dan penambahan ciptaan langit,
sebagaimana hal itu menjadi kecenderungan dalam pembahasan-pembahasan saintis
pada masa kini.[30]
Kita juga bisa
mencermati penafsiran ayat :
ߧôJ¤±9$#ur ÌøgrB 9hs)tGó¡ßJÏ9 $yg©9 4 y7Ï9ºs ãÏø)s? ÍÍyèø9$# ÉOÎ=yèø9$# ÇÌÑÈ
“Dan matahari berjalan ditempat
peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.” (QS. Yaasin: 38)
Pada masa-masa sebelumnya, para mufassir menafsirkan ayat ini dengan
gerakan lahiriah matahari yang berjalan sehari-hari atau per musim. Akan
tetapi, pada masa kini, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah dan sains baru,
para ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan gerakan matahari menuju suatu
titik tertentu yang di situ terdapat planet Vega. Semua penafsiran itu masih
disertai dengan kehati-hatian dan bersifat moderatif. Akan tetapi, di beberapa
kalangan mufassirin kita melihat keteledoran dan keberlebihan dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan rangka mendukung metode penafsiran ilmiah.
Pada bagian
lain, kita dapat mencermati pula penafsiran ayat:
ts?ur tA$t7Ågø:$# $pkâ:|¡øtrB ZoyÏB%y` }Édur ßJs? §tB É>$ys¡¡9$# 4 yì÷Yß¹ «!$# üÏ%©!$# z`s)ø?r& ¨@ä. >äóÓx« 4 ¼çm¯RÎ) 7Î7yz $yJÎ/ cqè=yèøÿs? ÇÑÑÈ
“Dan kamu Lihat gunung-gunung itu,
kamu sangka Dia tetap di tempatnya, Padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.
(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu;
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
An-Naml:88)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan bergeraknya
gunung-gunung pada hari kiamat. Akan tetapi, sebagian yang lain mengklaim bahwa
ayat ini adalah salah satu mukjizat ilmiah al-Qur’an. Mereka meyakini bahwa
ayat ini membuktikan bahwa bumi bergerak.[31]
(#þqà)Î=sÜR$# 4n<Î) 9e@Ïß Ï Ï]»n=rO 5=yèä© ÇÌÉÈ
“Pergilah kamu mendapatkan naungan
yang mempunyai tiga cabang.” (QS. Al-Mursalaat:30)
Menurut al-Marasi tentang ayat di atas, sesuai dengan hukum yang berlaku
dalam geometri bahwa bentuk segitiga tidak memiliki bayangan (karenanya tidak
dapat dijadikan bernaung).
Contoh lainnya adalah penafsiran Thanthawi Jauhari terhadap QS.
Al-Baqarah: 61 sebagai berikut:
øÎ)ur óOçFù=è% 4ÓyqßJ»t `s9 uÉ9óÁ¯R 4n?tã 5Q$yèsÛ 7Ïnºur äí÷$$sù $oYs9 /u ólÌøä $uZs9 $®ÿÊE àMÎ6.^è? ÞÚöF{$# .`ÏB $ygÎ=ø)t/ $ygͬ!$¨VÏ%ur $ygÏBqèùur $pkÅytãur $ygÎ=|Át/ur (
“Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan)
dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada
Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu
sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang
merahnya".......
Menurut penafsirannya bahwa kehidupan orang-orang pedalaman (Badui)
dengan memakan makanan satu macam akan lebih sehat dibanding dengan makan makanan
yang bermacam-macam.[32]
BAB
III
PENUTUP
A.
Analisis
Dengan munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan semakin meningkatnya ilmu
pengetahuan tersebut, baik ilmu kealaman maupun ilmu sosial menuntut kita agar
memahami dan menafsirkan al-Qur’an tidak hanya secara harfiah saja, tetapi
haruslah dengan cara pendekatan teoritis. Objek pengamatan yang sama bisa
tampak berbeda, karena perbedaan cara penglihatan atau perbedaan pendekatan
teori yang kita pakai. Hal ini bisa dimengerti sebab teori tersebut akan
membentuk realitas yang diamati. Demikian halnya ketika kita memahami dan
menafsirkan al-Qur’an yang dianggap sebagai realitas, sebagai wujud
ketentuan-ketentuan Tuhan yang pasti dan jelas tertulis.
Indikasi di atas menunjukkan bahwa penafsiran akan berbeda apabila
pendekatan dan teori yang digunakan berbeda. Hasil penafsiran menggunakan
paradigma ilmiah tidaklah sama dengan hasil penafsiran secara harfiah. Untuk
itu, penafsiran al-Qur’an yang banyak melibatkan disiplin ilmu pengetahuan akan
menghasilkan teori-teori baru dari realitas al-Qur’an. Dengan teori ini, objek
pengamatan yang yang terdapat dalam masyarakat dapat diamati secara jelas dan ayat-ayat al-Qur’an dapat dipahami secara
lebih kontekstual dan menghasilkan penjelasan-penjelasan yang lebih bisa
diterima, baik yang berhubungan dengan peristiwa sejarah masa lampau maupun
keadaan sekarang.
Bertitik tolah dari realitas al-Qur’an sebagai realitas yang dapat
didekati melalui pengalaman empiris sejalan dengan sinyalemen al-Qur’an tentang
ayat-ayat kauniah dan eksistensi manusia dalam masyarakat, maka sesungguhnya
tepat apabila ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan secara ilmiah dan memadukannya
secara relevansif dengan perkembangan ilmu pengetahuan melalui pendekatan
analitis interdisipliner dan kontekstual.
Penafsiran terhadap ayat al-Qur’an tidak akan pernah berakhir. Dari masa
ke masa akan muncul tafsiran baru sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu
pengetahuan. Hal ini relevan dengan karakteristik al-Qur’an itu sendiri yang
mengandung berita masa silam dan keadaan
masa depan. Dengan melakukan penelitian dan pengamatan terhadap
isyarat-isyarat al-Qur’an akan membuka
tabir rahasia-rahasia yang belum
tersentuh oleh generasi sebelumnya. Hakikat ayat sebagai simbol wahyu yang tampak
dan tersurat tidak dapat dipisahkan dari
sesuatu yang tersirat.
Upaya penafsiran secara ilmiah akan berdampak pada petampakan fungsi
al-Qur’an sebagai petunjuk dan pemisah
antara yang hak dan yang batil dan akan menunjukkan sifat fleksibilitasnya
al-Qur’an yang dipandang pantas, cocok dan sesuai untuk dipedomani umat manusia
dalam segala waktu dan tempat.
Di samping itu, perlu disadari bahwa produk penafsiran masa lampau,
penafsiran satu generasi, individu dan kelompok tertentu tidak kosong sama sekali dari pengaruh berbagai persoalan
yang sedang menguasai zamannya. Situasi dan kondisi yang dialaminya tidak
pernah terlepas dari pengaruh pikiran, pandangan, hukum yang sedang berlaku,
kondisi politik, sosiokultural, ilmu pengetahuan, madzhab dan berbagai kemajuan
peradaban dan kebudayaan. Padahal, kecenderungan subjektivitas yang dialami
waktu itu akan berbeda dengan perkembangan di era-era selanjutnya.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas serta melihat kompleksnya permasalahan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
maka sudah pada tempatnya jika pemahaman dan penafsirannya tidak hanya
dimonopoli oleh sekelompok atau seorang ahli dalam suatu bidang tertentu saja.
Penafsiran al-Qur’an hendaknya merupakan usaha bersama yang
mengkolaborasikan berbagai ahli dalam
berbagai bidang. Kita merasa terdorong dan menganggap penting untuk melihat
betapa urgennya penafsiran al-Qur’an secara ilmiah dan relevansinya dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Sudah seyogyanya kita menggunakan pendekatan
interdisipliner antara beberapa ahli dengan kemahiran di bidangnya
masing-masing, yaitu berbentuk kerjasama atau team work yang beroperasi secara
kooperatif.
B.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan,
yaitu:
1)
Tafsir ‘ilmi adalah tafsir
yang menggunakan istilah-istilah ilmiah dalam mendiskripsikan al-Qur’an dan
berusaha keras untuk mengeluarkan berbagai ilmu pengetahuan dan visi filsafat
darinya.
2)
Dalam menanggapi tafsir
‘ilmi ini, para ulama ada dua kelompok yakni menolak dan mendukung. Bahkan
banyak ulama-ulama kontemporer yang bersikap lebih moderat seperti al-Ghamrawi.
3)
Kita tidak bisa mengklaim
kebenaran bahwa teori-teori ilmiah ini adalah sebagai bentuk final dari
penafsiran ayat, dalam artian al-Qur’an adalah bukan kitab ilmu pengetahuan
melainkan kitab yang menjadi petunjuk dan rahmat bagi kehidupan manusia baik
spiritual maupun material yang bisa dikembangkan melalui ilmu pengetahuan.
DAPTAR PUSTAKA
M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
Cet.VIII. (Bandung: Mizan, 1998)
Muhammad Nor
Ichwan. Memasuki Dunia Al-Qur’an.
(Semarang: Lubuk Raya, 2001)
Muhammad Nor
Ichwan. Tafsir ‘Ilmiy Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains
Modern. (Yogyakarta: Menara Kudus, 2004)
Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2.
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
M. Husain al-Zahabiy.
Al-Tafsir wa al-Mufassirun, J. II (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961)
Sayyid Agil
Husin al-Munawwar. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta:
Ciputat Press, 2002)
Mursi Ibrahim
al-Bayuni. Dirasat fi Tafsir al-Mudhu’iy (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah Li
al-Thaba’ah, 1970)
Quraisy Shihab,
dkk. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)
Pendang Team.
2009. Menyelusuri Manhaj Ilmu Tafsir. (online)(http://PYZAM.com.html, diakses 17 Okt. 2012.)
Sayid Musa
Husaini. Metode Penafsiran Saintis di Dalam Buku-buku Tafsir
Modern.(online)(http://quran.al-shia.com/id/metode/01.htm. di akses: 11 Okt. 2012)
Rohimin.
Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007)
Afzalur Rahman.
Qur’anic Sciences. (London: The Muslim Schools Trust, 1981)
M. Quraish
Shihab. Membumikan Al-Qur,an: Fungsi dan
Peran Wahyu dalam kehidupan masyarakat, Cet XIX. (Bandung: Mizan, 1999)
Ali Hasan
Al-‘Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, cet. II. (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1994)
Abdul Majid
Abdussalam al-Muntasib. Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj.
Mohammad Maghfur Wachid. Judul asli Ittijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri ar-Rahin.
(Bangil: Al-Izzah, 1997).
Al-Ghozali. Ihya’ ‘Ulumuddin Jilid I. (Kairo:
Al-Tsaqofah al-Islamiyah, 1356 H)
Al-Ghozali.
Jawahir Al-Qur’an Cet. 1. (Mesir: Percetakan Kordistan, 1329 H)
Muhammad Al-Ghozali. Berdialog dengan Al-Qur’an. Terj.
Masykur Hakim dan Ubaidillah. (Bandung: Mizan, 1996)
Supiana dan M.
Karman.Ulumul Qur’an. (Bandung:Pustaka Islamika, 2002)
[1] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet.VIII. (Bandung:
Mizan, 1998) hlm 433
[3] Muhammad Nor
Ichwan. Tafsir ‘Ilmiy Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains
Modern. (Yogyakarta: Menara Kudus, 2004) hlm 127
[4] Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2.
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm. 135
[5] M. Husain al-Zahabiy.
Al-Tafsir wa al-Mufassirun, J. II (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961) hlm.
474
[6] Sayyid Agil Husin
al-Munawwar. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat
Press, 2002) hlm.72
[7] Quraisy Shihab, dkk.
Sejarah dan Ulum Al-Qur’an.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) hlm. 183
[8] Pendang Team. 2009.
Menyelusuri Manhaj Ilmu Tafsir. (online)(http://PYZAM.com.html, diakses 07 Oktober 2012.)
[9] Sayid Musa Husaini. Metode
Penafsiran Saintis di Dalam Buku-buku Tafsir
Modern.(online)(http://quran.al-shia.com/id/metode/01.htm. di akses: 11 Oktober 2012)
[10] Ibid
[11] Rohimin. Metodologi Ilmu
Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm
94
[12] Ibid, hlm 95-96
[13] Afzalur Rahman. Qur’anic
Sciences. (London: The Muslim Schools Trust, 1981) hal 1
[14] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur,an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam kehidupan masyarakat, Cet XIX. (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 102
[15] Ali Hasan Al-‘Aridl.
Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, cet. II. (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1994) hlm 62-63
[16] Abdul Majid Abdussalam
al-Muntasib. Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Mohammad
Maghfur Wachid. Judul asli Ittijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri ar-Rahin. (Bangil:
Al-Izzah, 1997) hlm 279.
[17] Rohimin. Op.cit. hlm
92-93
[18] Ali Hasan Al-‘Aridl.
Op.cit. hlm 62-63
[19] Al-Ghozali. Ihya’
‘Ulumuddin Jilid I. (Kairo: Al-Tsaqofah al-Islamiyah, 1356 H) hlm. 301
[20] Al-Ghozali. Jawahir
Al-Qur’an Cet. 1. (Mesir: Percetakan Kordistan, 1329 H) hlm. 31-32
[21] Yang dimaksud dengan
naungan di sini bukanlah naungan untuk berteduh akan tetapi asap api neraka
yang mempunyai tiga gejolak, Yaitu di kanan, di kiri dan di atas. ini berarti bahwa
azab itu mengepung orang-orang kafir dari segala penjuru.
[22] M. Husain al-Zahabiy.
Op.cit. hlm 113-114
[23] Ibid. hlm 115
[24] Ali Hasan Al-‘Aridl.
Op.cit. hlm 64
[25] Ibid. hlm 65
[26] Abdul Majid Abdussalam
al-Muntasib. Op.cit. hlm 330
[27] Quraish Shihab. Biarkan
Al-Qur’an Sendiri yang Bicara, hasil wawancara dalam UMMAT no. 24 thn 1, 27 Mei
1996, hlm. 79
[28] Ibid. hlm 113
[29] Muhammad Al-Ghozali. Berdialog dengan Al-Qur’an. Terj.
Masykur Hakim dan Ubaidillah. (Bandung: Mizan, 1996) hlm. 174-175
[30] Rohimin. Op.cit. hlm 97
[31] Ibid. hlm. 97
[32] Supiana dan M.
Karman.Ulumul Qur’an. (Bandung:Pustaka Islamika, 2002) hlm 316
Tidak ada komentar:
Posting Komentar