Tafsir
‘Ilmi, Arah Baru Epistemologi Tafsir al-Qur’an
Pendahuluan
Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang mutlak diperlukan
manusia dalam memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Seiring bergeraknya
zaman, kreatifitas dan pengetahuan manusia juga berkembang. Hal itu ditandai
dengan munculnya berbagai ilmu pengatahuan modern baik ilmu-ilmu alam maupun
ilmu-ilmu sosial beserta perkembangannya dari waktu ke waktu. Selain itu,
memiliki potensi mengembangkan pengetahuan dengan perantara pendengaran, penglihatan,
akal dan hati adalah keistimewaan yang menjadikan manusia lebih unggul dari
makhluk-makhluk lain dalam menjalankan fungsi kekhalifahan. Dalam pada itu
tidak dapat dipungkiri bahwa dalam menunjukkan keagungan dan kebesaran-Nya,
al-Qur’an mengisyaratkan fenomena-fenomena alam untuk dipahami dan dipelajari.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.”[1]
Beberapa pertanyaan yang seringkali muncul dalam
hubungan proporsional antara al-Qur’an dan berbagai ilmu pengatahuan
diantaranya: Pertama, apakah dengan mencari kesesuaian ilmu pengetahuan
dalam al-Qur’an, atau sebaliknya termasuk kedudukannya sebagai sumber
penafsiran (baca: epistemologi tafsir). Dalam hal ini kemudian bagaimana metode
dan pendekatan yang digunakan beserta batasan-batasannya; Kedua, apakah
al-Qur’an dipahami hanya sebagai spirit yang ditujukan kepada manusia untuk
mengembangkan pengetahuannya dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya, juga
mengenal Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan keajaiban-keajaiban di
dalamnya; Ketiga, ataukah kesemuanya (tidak bermaksud mensejajarkan
kedudukan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan) mampu berjalan selaras sebagaimana
ungkapan “agama dan sains berbicara satu sama lain seperti dua kawan yang
bekerja sama.”[2]
Tafsir Ilmi, Konteks Kemunculan
Pemahaman dan penafsiran terhadap al-Qur’an, selain
sebagai produk juga sebagai proses dimana antara teks, penafsir dan realitas
selalu berhubungan. Hal ini dapat dilihat dari metode, corak, karakteristik dan
kecenderungan produk tafsir yang selalu berkembang. Bahkan lebih jauh ditinjau
dari aspek paradigma dan epistimologi untuk mendekati al-Qur’an juga selalu
mengalami perkembangan dan pergeseran.[3] Tafsir adalah
salah satu bentuk cerminan produk pemikiran dan peradaban manusia secara umum,
karena ia juga selalu mengalami perkembangan dan dipengaruhi dinamika peradaban
manusia.
Salah satu jenis epistemologi tafsir yang menarik
untuk dibahas secara sederhana dalam tulisan ini adalah sebuah tafsir yang pada
awalnya dibangun berdasarkan asumsi bahwa al-Qur’an mengandung berbagai macam
ilmu, baik yang sudah maupun yang belum ditemukan (baca: tafsir ilmi). Beberapa
definisi yang penulis temukan berkaitan dengan tafsir ilmi diantaranya, tafsir
ilmi sebagai salah satu corak atau kecenderungan penafsiran yang menempatkan
berbagai terminologi ilmiah berdasarkan ungkapan-ungkapan dalam ayat-ayat
al-Qur’an, atau berusaha mendeduksi berbagai ilmu serta pandangan-pandangan
filosofisnya dari ayat ayat al-Qur’an.[4] Ada juga yang
mendefinisikan sebagai tafsir yang mencoba memindahkan semua pengetahuan
kemanusiaan yang memungkinkan kedalam penafsiran al-Qur’an.[5] Lebih spesifik
Kha>lid ‘Abdurrah}ma>n al-‘Akk mengkategorikan tafsir ini dalam tafsir isya>ri>
karena bergerak terbatas hanya pada isyarat-isyarat kauniyah dalam ayat-ayat
al-Qur’an,[6] sehingga dalam
pengertian ini ilmu pengetahuan (natural science) dapat menjadi
epistemologi penafsiran.
Secara historis, kemunculan penafsiran model ini
banyak dikaitkan dengan masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa
pemerintahan Haru>n ar-Rasyi>d (169-194 H/ 785-809 M) dan al-Makmu>n
(198-215 H/ 813-830 M) di mana terjadi perkembangan berbagai ilmu pengetahuan,
termasuk trend penerjemahan buku-buku ilmiah karena terjadinya interaksi
dunia Islam atau Arab dengan dunia luar (Yunani). Tokoh-tokoh sains muslim
seperti al-Kindi (185-260 H/ 801-873) dengan logika, matematika dan fisikanya;
Al-Razi (251-313 H/ 865-925 M) dengan filsafat dan kedokteran; Ibn
al-Haytsam (354-431 H/ 965-1039 M) lensa dan refraksi cahaya; Ibn Sina
(370-429 H/ 980-1037 M) dengan kedokteran, filsafat dan logika; Umar Khayam
(430-517 H/ 1038-1123 M) dengan teori geometri dan persamaan kubik; Ibn Khaldun
(733-809 H/ 1332-1406 M) dengan sejarah, sosiologi dan antropologi dan
sebagainya bermunculan dan meramaikan suasana ilmiah pada masa ini karena
dukungan latar belakang ekonomi-sosial-politik.
Abu> H}a>mid al-Ghaza>li> (450-505 H/
1058-1111 M) disebut-sebut sebagai salah satu tokoh generasi awal, di mana
dianggap ikut memberikan legitimasi terhadap munculnya penafsiran ini. Hal itu
ditunjukkan melalui ungkapan-ungkapan dan riwayat-riwayat yang disebutkan dalam
beberapa karyanya.
“Sesungguhnya al-Qur’an mencakup tujuh puluh tujuh
ribu seratus ilmu. Setiap kalimat adalah ilmu yang dilipat gandakan empat kali,
memiliki makna dzahir dan batin.”
“Siapa yang menghendaki ilmu para awwali>n (klasik)
dan para a>khirin (modern) maka bertadabburlah dengan
al-Qur’an.”
“Setiap ilmu adalah manifestasi dari dzat,
sifat dan perbuatan Allah. Hal ini dijelaskan dan diisyaratkan
secara keseluruhan dalam al-Qur’an. Ilmu ini tidak terbatas, akan tetapi
terjadi perbedaan pendapat dan rasionalitas terhadap hal itu, sehingga
memerlukan teori-teori dan dalil-dalil yang hanya dipahami oleh para ahli.”[7]
Dalam perkembangannya Al-Ghaza>li> kemudian juga
memetakan memetakan Ilmu-ilmu al-Qur’an dalam dua bagian, yaitu:
- Ilmu-ilmu cangkang dan kulitnya, mencakup ilmu bahasa yang mengkaji kosakata dari segala aspeknya seperti nah}wu dan sebagainya, juga yang berkaitan dengan cara membaca dan mengucapkan teks seperti qira>’at, makha>rij al-h}uru>f (fonologi), atau juga ilmu tafsir secara tekstual z}a>hir.
- Ilmu-ilmu inti yang mencakup kisah-kisah umat terdahulu, ilmu kalam, fiqh, us}u>l fiqih, ilmu tentang Allah (ma’rifatullah) dan hari akhir, ilmu tentang s}ira>t al-mustaqi>m (jalan yang lurus) dan jalan sulu>k.
Selain itu al-Ghaza>li> juga menyebutkan bahwa
terdapat ilmu-ilmu lain dalam al-Qur’an, seperti ilmu kedokteran “QS.
As-Syu’ara>’ (26): 80, QS. al-Infit}a>r (82): 6-8,” Astronomi “QS.
ar-Rah}ma>n (55): 5, QS. Yu>nus (10): 5, QS. al-Qiya>mah (75): 8-9,
QS. al-H}ajj (22): 61.”, anatomi hewan termasuk menjelaskan organ-organ di
dalamnya, bahkan ilmu sihir, perdukunan dan sebagainya. Ia juga menegaskan
bahwa “terdapat berbagai ilmu-ilmu lain yang dirasakan keberadaannya namun
tertutupi keterbatasan untuk mampu mengetahuinya.”[8]
Setelah al-Ghaza>li>, muncul nama Jala>l
ad-Di>n as-Suyu>t}i> (849-911 H / 1445-1505 M) yang juga dinilai
mendukung pemahaman dan penafsiran ini. Hal ini ditujukkan melalui pengutipan
beberapa ayat dan riwayat yang menunjukkan bahwa al-Qur’an mencakup segala
bentuk ilmu pengetahuan.
Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam al-Kitab. QS.
al-An’a>m (6): 38.
Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran)
untuk menjelaskan segala sesuatu. QS. an-Nah}l (16): 89.
Rasulullah saw, bersabda: “Akan terjadi fitnah atau
penyimpangan,” para Sahabat bertanya: “Apa yang menjadi jalan
keluar…?” Nabi menjawab: “Kitab Allah (al-Qur’an) di
dalamnya terdapat informasi tentang sesuatu sebelum dan sesudah kalian. Hal itu
menjadi solusi bagi kalian.”
Rasulullah saw, bersabda: “Sesungguhnya jika Allah telah
melupakan sesuatu, maka Dia akan melupakan bagian terkecil dan nyamuk.”[9]
Dalam al-Qur’an terdapat seluruh ilmu yang menjelaskan
kepada kita tentang segala sesuatu, akan tetapi ilmu kita terbatas pada sesuatu yang dijelaskan
pada kita dalam al-Qur’an.[10]
Tokoh berikutnya adalah Abu> al-Fad}l al-Mursi>
(w. 655 H/ 1257 M).[11] Dalam
tafsirnya, al-Mursi> mengatakan bahwa al-Qur’an mencakup ilmu klasik dan
modern secara keseluruhan. Tiada yang mengetahuinya secara sempurna selain
Allah, kecuali yang disampaikan kepada Nabi Muhamad saw, dan diwariskan kepada
para sahabat seperti al-Khulafa>’ ar-Ra>syidu>n, Ibn Mas’u>d, Ibn
‘Abba>s dan sebagainya. Dalam perkembangannya, generasi penerus sahabat
tersebut menurut al-Mursi>> tidak mampu merepresentasikan ilmu-ilmu tersebut
secara baik dan menyeluruh, sehingga lahir golongan-golongan yang hanya concern
terhadap disiplin yang mereka kuasai. Di antara tipikal-tipikal
golongan-golangan tersebut:
- Menekankan cara membaca makha>rijul h}uru>f dan jumlahnya, ayat-ayat, surat, ahza>b, ans}a>f, arba>’, jumlah sajdah (Qurra>’)
- Menekankan kaidah bahasa seperti mabni> atau mu’rabnya isim dan fi’il, huruf yang digunakan, la>zim dan muta’addi>.
- Menafsirkan secara tekstual, mencari dan menjelaskan kata yang memiliki satu, dua atau banyak makna, termasuk mengungkapkan makna yang tersembunyi.
- Mencari dalil ke-Esaan, wujud, keabadian, kodrat, ilmu-Nya (Usu>luddin).
- Mencari dan memilah ayat-ayat yang umum, khusus, makna (hakekat & maja>z): takhs}i>s}, d}ami>r, nas}, z}ahi>r, mujmal, muh}kam, mutasya>bih, ‘amr, nahy, naskh, istisha>b, h}a>l, istiqra’ (Us}u>l Fiqh).
- Mencari ayat-ayat yang berbicara tentang halal, haram, segala bentuk hukum dan aturan, dasar-dasar dan cabang-cabangnya (Furu>’ atau Fiqh).
- Mencari ayat yang memuat kisah-kisah masa lampau, umat terdahulu, (Ta>ri>kh) kemudian berkembang pada ayat-ayat tentang janji, ancaman, kabar gembira, mengingat mati, surga, neraka.
- Mencari ayat-ayat yang berkaitan dengan warisan, fara>’id} dan wasiat.
- Mencari ayat-ayat yang menunjukkan siang, malam, matahari, bulan dan peredarannya, rasi bintang (mawa>qi>t).
- Menekankan aspek sastra seperti keindahan kata dan kalimat, susunannya, alur, permulaannya, berhentinya, selesainya, pemberian warna dalam pembicaraan (badi>’, ma’a>ni>, baya>n).
- Menekankan aspek hakekat, isyarat dan yang bersifat metafisis seperti konsep fana>’, baqa>’, hud}u>r, takut, kehebatan, keramahan, sedih, kegembiraan.
Menurut al-Mursi>, ilmu-ilmu tersebut adalah
ilmu-ilmu yang dikenal oleh generasi awal (awwalu>n) dalam tradisi Islam.
Di luar ilmu-ilmu tersebut dalam al-Qur’an juga tedapat ilmu-ilmu lain seperti
medis dan kedokteran “an-Nah}l (16): 69,” debat, astronomi “al-Ah}qa>f (46):
4,” arsitektur “al-Mursala>t (77): 30-31,” aljabar, perbandingan dan
perbintangan.
Selain itu menurut al-Mursi>, dalam al-Qur’an juga
terdapat dasar-dasar industri termasuk alat-alat yang digunakan seperti
menjahit “al-A’ra>f (7): 22,” pandai besi “al-Kahf (18): 96,” tukang kayu
“Hu>d (11): 37,” memintal “an-Nah}l (16): 92,” menenun “al-‘Ankabu>t (29):
41,” bertani “al-Wa>qi’ah (56): 63,” berburu & menyelam “S}a>d (38):
37,” kerajinan emas dan perak “al-A’ra>f (7): 148,” kerajinan kaca “an-Naml
(27): 44,” gerabah “al-Qas}as} (28): 38,” pelayaran dan navigasi “al-Kahfi
(18): 79,” tulis menulis “al-‘Alaq (96): 4,” pembuat roti “Yu>suf (12): 36,”
memasak “Hu>d (11): 69,” mencuci “al-Mudas|s|ir (74): 4,” Jagal
“al-Ma>’idah (5): 3,” tukang batu “as-Syu’ara>’ (26): 149.”[12]
Beberapa tokoh tersebut tergolong merepresentasikan
pemahaman yang relatif sama bahwa seluruh ilmu pengetahuan, ketrampilan dan
teknik-teknik yang diperlukan untuk menerangi upaya-upaya ilmiah manusia
memiliki dasar dan landasan dalam al-Qur’an. Dengan demikian benih-benih tafsir
ilmi telah muncul dan berkembang dalam kurun waktu 11 abad (mulai abad 2 – 13 H
atau 8 – 19 M) dengan mencari hubungan dan kesesuaian antara pernyataan atau
ungkapan dalam al-Qur’an dengan penemuan-penemuan ilmiah pada masa itu.[13] Dalam proses
ini, nampak keterpengaruhan dan kesadaran akan kebutuhan terhadap
pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak dikenal sebelumnya.
Selain beberapa beberapa tokoh diatas, tercatat juga
Abi> Bakr Ibn ‘Arabi> (w. 543 H/ 1148 M) dalam “Qa>nu>n
at-Ta’wi>l,” Fakhruddi>n ar-Ra>zi> (w. 606 H/ 1209 M) dengan
karya tafsirnya “at-Tafsi>r al-Kabi>r aw Mafa>tih} al-Ghaib,” “Ghara>’ib
al-Qur’a>n wa Ragha>’ib al-Furqa>n” karya karya an-Naysaburi>
(w. 728 H 1327 M), “Anwa>r at-Tanzi>l wa Asra>r at-Ta’wi>l”
karya al-Baid}awi> (w. 791 H/ 1389 M) dan “Ru>h} al-Ma’a>ni>
fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa Sab’ al-Mas|a>ni>”
karya al-Alu>si> (w. 1217 H/ 1802 M). Beberapa karya tafsir tersebut
dinilai memiliki kecenderungan dan corak tafsir ilmi, namun tidak secara mutlak
atau secara spesifik bercorakkan tafsri ilmi saja karena juga mencakup berbagai
corak penafsiran baik kebahasaan, aqidah, filsafat, fiqih bahkan tasawuf.[14]
Perkembangan Tafsir Ilmi
Dalam perjalanannya, tafsir ilmi mengalami
perkembangan dan mendapat perhatian cukup besar dari kalangan intelektual
Islam. Jika pada awal kemunculannya lebih bermuara pada pengaruh-pengaruh
tradisi Yunani, arus perkembangan tafsir ilmi pada era selanjutnya sangat
berkaitan dengan pengaruh superioritas Barat dan teknologinya di dunia Arab dan
dunia Islam. Terlebih pada saat terjadi ekspansi Barat dan Eropa dikawasan
muslim, semisal pendudukan Inggris di Mesir (1300 H/ 1882 M).
Berbagai pembicaraan hubungan antara al-Qur’an dan
berbagai ilmu pengetahuan pada masa ini tercatat dalam berbagai tulisan, di
antaranya:
- Muh}ammad Ibn Ah}mad al-Iskandara>ni> dengan karyanya “Kasyf al-Asra>r an-Nu>ra>niyyah al-Qur’a>niyyah, fi> ma> Yata’allaqu bi al-Ajra>m as-Sama>wiyyah, wa al-Ard}iyyah wa al-H}ayawa>na>t wa an-Naba>ta>t wa al-Jawa>hir al-Ma’daniyyah,” ditulis dalam 3 (tiga) jilid, dipublikasikan di Kairo (1297 H/ 1880 M) beberapa tahun sebelum penjajahan Ingrris, didalamnya mendiskusikan tentang benda-benda angkasa, bumi, hewan-hewan, serangga-serangga, mineral dan sebagainya. Karyanya yang lain “Tibya>n al-Asra>r ar-Rabba>niyyah,” dipublikasikan (1331 H/ 1883 M) setelah penjajahan Inggris.
- ‘Abdullah Ba>sya> Fikri> dengan karyanya “Muqa>ranah Ba’d} Maba>his| al-Hai’ah” (1315 H/ 1897 M).
- ‘Abdurrah}ma>n al-Kawa>kibi> dengan karyanya “T}aba>’i’ al-Istibda>d wa Mas}a>ri’ al-Istibda>d” (1318 H/ 1900 M).
- Mukhta>r al-Gha>zi> dengan karyanya “Riya>d} al-Mukhta>r”
- Mus}t}afa> S}a>diq ar-Ra>fi’i> “I’ja>z al-Qur’a>n”
- Taufi>q Sidqi> dengan karyanya “ad-Di>n fi Naz}ar al-‘Aql as-S}ah}i>h” (1323 H/ 1905 M) dicetak ulang (1346 H/ 1927 M) dan “Duru>s Sunan Ka>’ina>t, Muha>d}arat Ti>biyyah ‘Ilmiyyah Isla>miyyah” (1328 H/ 1910 M) tentang ilmu kimia, biologi dan sebagainya.
- T}ant}a>wi> Jauhari “al-Jawa>hir fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m” (1341 H/ 1922 M) dan “al-Qur’a>n wa al-‘Ulu>m al-‘As}riyyah” (1344 H/ 1925 M)
- ‘Abdul ‘Azi>z Isma>’i>l “al-Isla>m wa at-T}ib al-H}adi>s|” tulisan-tulisannya dalam majalah “al-Azha>r” (1357 H/ 1938 M).
- ‘Abdul ‘Azi>z Isma>’i>l “al-Isla>m wa at-T}ib al-H}adi>s|” (1357 H/ 1938 M)
- Abdurrah}ma>n Syahi>n, “I’ja>z al-Qur’a>n wa al-Iltis}afat al-H}adi>s|ah” (1369 H/ 1950 M)
- Fari>d wajdi> (1292-1359 H/ 1875-1940 M) dengan “al-Mush}af al-Mufassar” dan 10 jilid ensiklopedi berjudul “Da>’irat Ma’a>rif al-Qarn ar-Ra>bi’ ‘As}r al-‘Is}ri>n.”
- Husain al-Hara>wi> “an-Naz}ariyyat al-‘Ilmiyya fi> al-Qur’a>n” (1361 H/ 1942 M)
- Hanafi> Ah}mad “Mu’jiza>t al-Qur’a>n fi> Wasf al-Ka>’ina>t” (1374 H/ 1954 M) dicetak ulang dengan judul “at-Tafsi>r al-‘Ilmi> li al-A>ya>t al-Kauniyyah” (1380H/ 1960 M dan 1388 H/ 1968 M)
- S}alah ad-Di>n al-Khat}t}a>b “al-Janib al-‘Ilmi fi> al-Qur’a>n” (1390 H/ 1970 M).[15]
Pada era perkembangan ini, arah perdebatan banyak
berkutat pada sekitar persoalan apakah ilmu pengetahuan non-Islam dan non-Arab
dari Barat dapat diterima dikalangan muslim, atau apakah pemakaian mesin-mesin
teknik Eropa diperbolehkan menurut hukum Islam dan sebagainya. Ada juga yang
berupaya mengembalikan kejayaan Islam dalam mengembangkan berbagi ilmu
pengetahuan, juga kondisi ekonomi, sosial dan politik sebagaimana periode
keemasan Islam pada masa dinasti Abbasiyah sebagai bentuk upaya menyaingi
kemajuan teknologi Barat dan Eropa.
Lebih jauh, Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Ignaz
Golziher menyatakan bahwa kajian terhadap berbagai ilmu pengetahuan merupakan
tujuan utama dalam bentuk praksis yang terkait langsung dengan posisi politik
dunia Islam. Menurutnya memerangi kelompok non-muslim adalah sebuah kewajiban
ketika dunia Islam diperangi. Hal itu hanya dapat diwujudkan melalui sistem
pertahanan dan militer yang kuat termasuk persenjataan yang memadai, semisal
penangkal rudal, kapal-kapal perang, tank dan sebagainya yang memerlukan
pengetahuan-pengetahuan modern. Dengan asumsi bahwa tidak mungkin al-Qur’an
mengandung suatu ajaran yang bertentangan dengan hakekat ilmu pengetahuan, maka
menafsirkan al-Qur’an terbebas dari aturan-aturan dan hukum-hukum klasik dan
mengembangkan teknologi secara mandiri adalah sebuah keniscayaan bagi dunia
Islam.[16]
Dari sekilas pembacaan di atas, gagasan-gagasan yang
berupaya menghubungkan atau mencari relevansi antara berbagai ilmu pengetahuan
dengan pemahaman atau penafsiran al-Qur’an terus mengalami perkembangan hingga
abad 14 H/ 20 M dengan berbagai motivasi dan latar belakang.
T}ant}a>wi> Jauhari dan al-Jawa>hir fi>
Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m
Salah satu karya tafsir yang cukup fenomenal dan
menarik untuk sekilas di ketengahkan dalam tulisan ini adalah “al-Jawa>hir
fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m” yang ditulis oleh
T}ant}a>wi> Jauhari> (1287-1359 H/ 1870-1940 M). Ia berangkat dari
ketertarikan terhadap fenomena-fenomena keajaiban alam yang ada di langit dan
bumi, sebagaimana ayat-ayat al-Qur’an juga berbicara tentang fenomena-fenomena
tersebut. Menurutnya, dalam al-Qur’an terdapat 750 ayat yang berbicara tentang
berbagai ilmu pengetahuan dan hanya 150 ayat yang berbicara tentang fiqih
secara jelas. Sayangnya perhatian intelektual Islam terhadap
pemikiran-pemikiran tersebut sangat minim, sementara di sisi lain kebutuhan
terhadap ilmu pengetahuan seperti yang ditunjukkan dalam ayat-ayat yang
berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi juga tidak bisa
dinafikan disamping kebutuhan terhadap hukum dan sebagainya.[17] Beberapa
contoh sebagaimana berikut:
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai
Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam
makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar dia
mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu
sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang
adasnya, dan bawang merahnya.” Musa berkata: “Maukah kamu
mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? pergilah kamu
ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta.” Lalu
ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat
kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka
selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak
dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu
berbuat durhaka dan melampaui batas. QS. al-Baqarah (2): 61.
Ia mengaitkan ayat diatas dengan terminologi medis,
kemudian ia menyebutkan perkembangan dunia medis di Eropa. Ia mengatakan bahwa
ayat tersebut menegaskan makan-makanan yang lebih baik dan sehat dari daging
dan rempah-rempah seperti madu dan makanan-makanan yang manis.[18]
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata
kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor
sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan kami
buah ejekan?” Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar
tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.”[19]
Dalam ayat ini ia menyebutkan keajaiban dalam
al-Qur’an dan berkesimpulan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan penelitian
tentang ruh sebagaimana eksperimen di Amerika dan Eropa dengan menunjukkan
metodenya termasuk keinginan-keinginan menghidupkan orang yang telah meninggal.[20]
Sementara berkaitan dengan “fawa>tih} as-suwar”
sebagaimana disebutkan pada QS. A>li ‘Imra>n (3): 1. Ia mengaitkannya
dengan rahasia-rahasia kimia. Huruf-huruf tersebut adalah ungkapan bahasa,
sementara bahasa adalah sarana untuk memahami hakekat ilmiah termasuk
matematika dan sains. Bagaimana bahasa itu digunakan untuk memahami sesuatu
yang lain tanpa memahami hakekat bahasa itu sendiri kecuali dengan
menganalisisnya sebagaimana matematika dengan mengetahui hakekat angka-angka
dan kimia dengan mengatahui hakekat molekul-molekul.[21]
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki
mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
QS. an-Nu>r (24): 24.
Ayat di atas, juga QS. Fus}s}ilat (41): 20-22 dan QS.
Ya>si>n (36): 65 di mana di dalamnya terdapat penyebutan tangan, kaki,
kulit dan kesaksiannya pada hari kiamat menurutnya menunjukkan rahasia-rahasia
di dalamnya.[22]
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, yang
bersemayam di atas ‘Arsy.
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang
di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.
QS. T}a>ha> (20): 5-6.
Ayat di atas menurutnya menunjukkan kepada pengetahuan
tentang awan, listrik dan semua ilmu yang mencakup seluruh ilmu pengetahuan
alam klasik dan modern. Menurutnya ayat di atas juga mengisyaratkan adanya dua
alam yang hanya dapat diketahui pada zaman modern.[23]
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian
kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu
yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? QS.
al-Anbiya>’ (21): 30.
Ayat di atas menurutnya menunjukkan mu’jizat
al-Qur’an, dimana Ia berbicara mengenai sesuatu yang terjadi ratusan tahun
sebelumnya, yaitu tentang langit dan bumi, matahari dan bintang-bintang.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut sebelumnya tidak diketahui oleh manusia hingga
datangnya era modern.[24]
Penafsiran model T}ant}a>wi> Jauhari> diatas
kemudian banyak dinilai melenceng dari kaidah-kaidah dan prinsip penafsiran
pada umumnya, bahkan tidak memiliki hubungan dan relevansi dengan al-Qur’an.
Beberapa kritik yang dilontarakan kepada karya T}ant}a>wi> Jauhari,
diantaranya:
- Menafsirkan al-Qur’an secara tekstual dan ringkas, lebih banyak menunjukkan pemikiran-pemikiran sains Timur dan Barat modern untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an juga berbicara tentang hal itu.
- Menggunakan teori-teori sains tanpa memperhatikan kaidah-kaidah penafsiran pada umumnya dan melenceng dari tujuan-tujuan al-Qur’an.
- Tidak memperhatikan dan keluar dari kaidah-kaidah Ilmu-ilmu al-Qur’an termasuk menggunakan rumus-rumus matematika yang pada umumnya tidak dibenarkan.
- Menunjukkan ilustrasi gambar, foto, tabel tentang hewan-hewan, tumbuhan, pemandangan alam yang dimaksudkan untuk menjelaskan kepada pembaca secara gamblang.
- Menggunakan referensi dari Injil (Barnabas), sementara para kritikus menilai banyak terjadi penyelewengan dan perubahan didalamnya.
- Banyak dipengaruhi karya-karya filsafat Plato. [25]
Meskipun demikian, T}ant}a>wi> Jauhari>
membela diri dengan menjelaskan bahwa pendekatannya terhadap teks al-Qur’an
tidak lebih dibuat-buat daripada tafsir-tafsir hukum. Dengan cara yang sama
dilakukan oleh para ahli hukum Islam yang mendasarkan sistem-sistem hukum dari
peringatan-peringatan moral al-Qur’an yang bersifat samar-samar. Mufassir
ilmiah (tafsir ilmi) menurutnya juga bisa menarik kesimpulan benda-benda
angkasa dari al-Qur’an. Menurutnya metode tafsir ilmi-nya tidak berbeda dari
tafsir-tafsir hukum. Jika tafsir ilmi menyangkut hukum-hukum alam maka tafsir
hukum menyangkut persoalan hukum-hukum manusia.
Kontra Tafsir Ilmi
Salah satu tokoh yang kontra dengan penafsiran model
ini adalah Abu> Isha>q as-Sya>t}ibi> (w. 790 H/ 1388 M), menurutnya
al-Qur’an diturunkan mempertimbangkan kemaslahatan penerimanya dengan
menunjukkan berbagai ilmu yang berguna dan mampu diterima oleh rasionalitas
masyarakat Arab waktu itu. Syari’at tersebut menyempurnakan hal-hal yang telah
ada sebelumnya dan membatalkan yang batil di dalamnya, termasuk menjelaskan
yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat bagi mereka. Menurut
as-Sya>t}ibi>, ramal dan perdukunan merupakan pengetahuan yang tergolong
batil. Sementara di antara ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat Arab waktu
itu, diantaranya:
- Astronomi “QS. al-An’a>m (6): 97, QS. an-Nah}l (16): 16, QS. Ya>sin (36): 39-40, QS. Yu>nus (10): 5, QS. al-Isra>’ (17): 12, QS. al-Mulk (67): 5, QS. al-Baqarah (2): 189” yang dapat menjadi petunjuk di darat dan laut, perbedaan waktu dan yang berhubungan.
- Meteorologi “QS. ar-Ra’d (13): 12-13, QS. al-Wa>qi’ah (56): 68-69, QS. Fa>t}ir (35): 9” untuk mengetahui peralihan musim, waktu turunnya hujan, terjadinya awan, angin ribut.
- Sejarah “QS. A>li ‘Imra>n (3): 44, QS.Hu>d (11): 49” untuk mengetahui informasi umat terdahulu
- Medis “QS. al-A’ra>f (7): 31,” Sastra “QS. al-Isra>’ (17): 88” dan Perumpamaan “QS. ar-Ru>m (30): 58.”
as-Sya>t}ibi juga mengemukakan bahwa salaf
as-s}a>lih para Sahabat dan Tabi’in adalah orang-orang yang mengetahui
segala sesuatu yang terkait dengan al-Qur’an dan ilmu-ilmunya, akan tetapi
tidak ada ungkapan-ungkapan mereka yang menunjukkan atau setidaknya berkaitan
dengan sains. Hal itu menurutnya merupakan salah satu bukti bahwa al-Qur’an
tidak ditujukan sebagai penjelas atas segala problematika ilmu pengetahuan. [26]
Senada dengan hal itu, az|-Z|ahabi juga menunjukkan
beberapa kelemahan dalam dalam penafsiran model tafsir ilmi ini, diantaranya:
- Aspek Bahasa: Bahasa selalu mengalami perkembangan, sehingga sebuah kata tidak hanya memiliki satu makna akan tetapi memiliki berbagai makna termasuk penggunaannya dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, pada umumnya ayat-ayat al-Qur’an dipahami dengan tetap memperhatikan latar belakang pemaknaan pada saat ayat itu turun, yang di antaranya diketahui melalui informasi para Sahabat dan masyarakat Arab pada waktu itu. Memperluas pemaknaan sebuah ayat dengan istilah-istilah baru sains tanpa memperhatikan latar belakang pemaknaan, sementara hal itu tidak pernah dikenal sebelumnya dinilai merupakan sesuatu yang tidak rasional.
- Aspek Retoris: Al-Qur’an dikenal memiliki nilai dan kualitas retorika yang tinggi sehingga selalu terdapat korelasi dalam sebuah ayat dengan ayat-ayat yang lainnya termasuk dari aspek pemaknaannya. Adanya anggapan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh ilmu pengetahuan, bahkan mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an dengan istilah-istilah sains dan ilmu pengetahuan tanpa memperhatikan korelasinya dengan ayat-ayat yang lain adalah sesuatu yang mengurangi ketinggian nilai al-Qur’an.
- Aspek Aqidah: Al-Qur’an adalah kebenaran mutlak yang diturunkan kepada seluruh manusia secara sempurna, tidak akan pernah lekang dimakan waktu sehingga selalu dapat di dipahami dan diaplikasikan sepanjang masa. Sementara kebenaran temuan ilmiah adalah sesuatu yang bersifat tentatif dan relatif, dalam arti bahwa teori-teori sains tersebut dapat diruntuhkan oleh teori lain sebagaimana dikenal dalam dunia saintifik. Mensejajarkan ayat-ayat al-Qur’an dengan teori dan temuan-temuan saintifik dengan demikian merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima karena jika teori-teori tersebut runtuh maka kebenaran al-Qur’an seolah-olah juga runtuh.[27]
Sementara ‘Abdurrah}ma>n al-‘Akk secara konsisten
sesuai definisi yang dikemukakan pada halaman awal, terkesan lebih longgar
dalam penafsiran model ini dengan memberikan syarat-syarat yang cukup ketat,
yaitu:
- Menafsirkan ayat-ayat kauniyah dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan makna dasarnya dalam al-Qur’an
- Penggunaan landasan teori-teori sains tersebut terbatas hanya pada isyarat yang terkandung dalam ayat-ayat kauniyah
- Mempertimbangkan prinsip dan kaidah penafsiran pada umumnya
- Tidak keluar dari prinsip dalam penafsiran dengan landasan perdebatan teori-teori sains
- Memperhatikan kesesuaian dengan ayat-ayat yang lain dan tidak keluar dari prinsip syari’at.[28]
Komentar
Berdasarkan sekilas dan sekelumit uraian sejarah
tentang kemunculan tafsir ilmi serta perkembangannya dari waktu ke waktu
sebagaimana telah disampaikan, terlihat adanya upaya secara terus menerus dalam
mencari hubungan yang sesuai antara al-Qur’an dan “sains” termasuk kedudukannya
sebagai sumber (epistemologi) penafsiran.
Beberapa hal yang perlu dicermati adalah pemahaman
terhadap “sains.” Pada umumnya, sains modern (awalnya hanya berkutat pada
wilayah natural science, dalam perkembangannya juga membicarakan social
& humanities science) dipahami sebagai sekumpulan aturan tertentu
yang digunakan untuk mencari pemahaman rasional atas alam semesta fisik. Ia
dibangun atas dasar pengamatan (pengalaman objektif) dan kesesuaiannya dengan
logika, sehingga eksperimen dan logika merupakan satu-satunya penentu kebenaran
dimana ia tidak terkait dengan perasaan, kebangsaan atau keyakinan agama dan
politik.[29] Namun
anggapan-anggapan ini berangkat dari penolakan ilmuan-ilmuan Barat tehadap
dunia metafisik. Berbeda dengan ilmuan-ilmuan Muslim yang memiliki kepercayaan
penuh pada dunia metafisik sehingga tetap mempengaruhi rumusan teori dan
epistemologi yang dihasilkan.[30] Perdebatan dan
perhatian epistemologi Barat lebih terletak pada wilayah natural sciences,
sementara studi Islam diklaim hanya berkutat pada wilayah ‘ulu>m ad-Di>n,
khususnya syari>’ah, ‘aqi>dah, tasawuf, ‘ulu>m al-Qur’a>n dan
‘ulu>m al-Hadi>s| yang sering disebut bergerak pada wilayah classical
humanities sciences.
Sebagaimana diungkapkan sekilas dalam poin sejarah
kemunculan corak tafsir ilmi pada masa al-Ghazali dan al-Mursi di atas,
terlihat belum adanya pemilahan atau pengklasifikasian hierarki ilmu-ilmu
pengetahuan berkaitan dengan al-Qur’an berdasarkan epistemologinya secara
jelas. Dalam hal ini model “bayani>” seperti otoritas salaf yang
dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi us}u>l fiqh klasik lebih
diunggulkan dari sumber otoritas keilmuan lain seperti alam (kauniyah),
akal (‘aqliyah) dan intuisi (wijdaniyah). Begitu juga dengan
model “’irfa>ni>” yang bersumber pada intuisi dan “burha>ni>”
yang lebih bersumber kepada realitas (al-waqi’) baik realitas alam,
sosial, kemanusiaan maupun keagamaan. Semua epistemologi yang dibangun
berhubungan secara paralel atau linier. Paralel dalam arti masing-masing
epistemologi berjalan sendiri-sendiri dan linier dalam arti hanya salah satu
epistemologi yang mendominasi.[31] Tokoh-tokoh
sains muslim seperti al-Kindi, ar-Razi, Umar Khayam dan sebagainya yang muncul
pada kurun waktu yang relatif sama dengan as-Suyuti, al-Mursi maupun al-Ghazali
dengan ulu>m ad-Di>n-nya. Hal ini menunjukkan kesenjangan dan
dikotomi antara “sains” dan ilmu-ilmu keagamaan.
Menurut Amin Abdullah hubungan yang relevan di antara
ketiga epistemologi tersebut (baya>ni>, ‘irfa>ni> dan
burha>ni>) dalam konteks sekarang adalah secara sirkular, dimana
masing-masing epistemologi keilmuan dapat memahami keterbatasan dan kekurangan
untuk saling diperbaiki. Hal ini dilakukan dengan melakukan sintesis, analisis
dan menguji terus menerus melalui kesimpulan-kesimpulan sementara dan teori
yang dirumuskan dengan logika keilmuan sehingga peristiwa-peristiwa dan
persoalan-persoalan alam, kemanusiaan, sosial, keagamaan dan keislaman kontemporer
dapat dipahami secara baik.[32]
Penutup
Al-Qur’an adalah wahyu Allah, petunjuk dalam bahasa
simbol, berisikan pesan-pesan yang bersifat universal, absolut dan mutlak
kebenarannya. Kesempurnaannya bukan berarti ia berbicara tentang segala sesuatu
secara menyeluruh akan tetapi terletak pada dasar-dasar, pokok dan
isyarat-isyarat yang terkandung di dalamnya. Ia juga tidak turun dalam kondisi
yang hampa kultural namun sebagai bentuk dialektika dan respon terhadap kondisi
dan situasi sosial, politik dan religius bangsa Arab pada masa itu sehingga
upaya pemahaman atau penafsiran tidak akan pernah lepas dari konteks zaman. Hal
ini relevan dengan karakteristik al-Qur’an yang selalu dapat dipahami dan
diaplikasikan sepanjang masa.
Sebagaimana dipahami bahwa Tafsir adalah salah satu
bentuk cerminan produk pemikiran dan peradaban manusia. Ia selalu mengalami
perkembangan dan dipengaruhi dinamika peradaban manusia, hingga dalam
perjalanannya “sains” dan al-Qur’an kemudian dapat dipertemukan secara
dialogis.
[1] QS. A>li
‘Imra>n (3): 190-191.
[2] Louis Leahy,
“Sains dan Agama: Suatu Dialog yang Baru Menurut John Polkinghorne”, dalam
Louis Leahy (ed.), Sains dan Agama dalam Konteks Zaman Ini (Yogyakarta:
Kanisius, 1997), hlm. 95.
[3] Abdul
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 33.
[4] Muh}ammad
H}usain az|-Z|ahabi, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1976), Jilid II, hlm. 349.
[5] J.J.G. Jansen,
The Interpretation of The Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill,
1974), hlm. 35.
[6] Kha>lid
‘Abdurrah}ma>n al-‘Akk, Us}u>l at-Tafsi>r wa Qawa>’iduh
(Beirut: Da>r an-Nafa>’is, 1986), hlm. 217.
[7]Abu>
H}a>mid al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m ad-Di>n
(Semarang: Kerabat, t.t), Jilid I, hlm. 290.
[8] Abu>
H}a>mid al-Ghaza>li>, Jawa>hir al-Qur’a>n (Beirut:
Da>r al-Fikr, 1986), hlm. 7-9.
[9] Jala>l
ad-Di>n as-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
(Beirut, Risalah Publisher, 2008), hlm. 661.
[10] Jala>l
ad-Di>n as-Suyu>t}i>, al-Ikli>l fi> Istinba>t}
at-Tanzi>l (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), 140.
[11] Namanya
lengkapnya Muh}ahmmad Ibn ‘Abdullah Ibn Abi> al-Fad}l as-Sulami>
al-Mursi, disebut-sebut memiliki karya tafsir lebih dari 20 jilid dan diberi
nama “Rayy az}-Z}ama>n.”
[12] Muh}ammad
H}usain az|-Z|ahabi, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, hlm.
352-355.
[13] Abdul
Mustaqim, Madzhibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode
Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 68.
[14] A. Rofiq
(ed.), Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 117 &
158-159.
[15] J.J.G. Jansen,
The Interpretation…, hlm. 40-50.
[16] Ignaz
Goldziher, Maz|a>hib at-Tafsi>r al-Isla>mi> terj. ‘Abdul
H}ali>m an-Naja>r (Mesir: Maktabah al-Khanji>, 1955), hlm. 381.
[17] Manna>’
al-Qat}t}a>n, Maba>his| fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000), hlm. 360.
[18]
T}ant}a>wi> Jauhari>, al-Jawa>hir fi Tafsi>r al-Qur’a>n
(Kairo: Mus}t}afa al-Ba>bi> al-H}alabi>, 1922), Jilid 1, hlm. 66-67.
[19] QS. al-Baqarah
(2): 67.
[20]
T}ant}a>wi> Jauhari>, al-Jawa>hir…, Jilid 1, hlm. 69-70.
[21]
T}ant}a>wi> Jauhari>, al-Jawa>hir…, Jilid 2, hlm. 10-11.
[22]
T}ant}a>wi> Jauhari>, al-Jawa>hir…, Jilid, 12, hlm. 35.
[23]
T}ant}a>wi> Jauhari>, al-Jawa>hir…, Jilid 11, hlm. 133.
[24]
T}ant}a>wi> Jauhari>, al-Jawa>hir…, Jilid 11, hlm. 189.
[25] Muh}ammad
H}usain az|-Z|ahabi, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, hlm.
372-373.
[26] Abu>
Isha>q as-Sya>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l
as-Syari>’ah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), Juz II, hlm. 71-74.
[27] Muh}ammad
H}usain az|-Z|ahabi, at-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, hlm. 349.
[28] Kha>lid
‘Abdurrah}ma>n al-‘Akk, Us}u>l at-Tafsi>r, hlm. 224.
[29] Pervez
Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas; Antara Sains dan Ortodoksi Islam
terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 224.
[30] Mulyadi
Kartanegara, “Pondasi Metafisik Bangunan Epistemologi Islam; Perspektif
Ilmu-ilmu Filosofis” dalam M. Amin Abdullah (dkk.), Menyatukan Kembali
Ilmu-ilmu Agama dan Umum; Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan
Umum (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 22.
[31] M. Amin
Abdullah, “At-Ta’wi>l al-‘Ilmi>: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran
Kitab Suci” dalam Al-Ja>mi’ah, Vol. 39, No. 2. Juli – Desember 2001, hlm.
372-378.
[32] M. Amin
Abdullah, “At-Ta’wi>l al-‘Ilmi…, hlm. 387.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar