YASIN DUTTON (ASAL MULA HUKUM ISLAM)
Review atas buku Asal Mula Hukum Islam karya Yasin Dutton
A.
Pemikiran awal tentang Hadits
Dalam dunia Islam awal terdapat dua
pendapat utama tentang sumber-sumber yurisprudensi Muslim. Pertama adalah
pendapat dari para ulama muslim klasik (paska Asy-syafi’i) dan kedua pendapat
dari kelompok revisionis dari mayoritas sarjana Barat modern khususnya yang
sependapat dengan Goldziher dan Schact.
Pendapat klasik menunjukkan bahwa
hukum Islam adalah hukum yang berasal dari dua sumber utama, terpelihara dalam
teks-teks al-Quran dan hadits Nabi (sunnah), disamping sumber lain yang diakui
seperti ijma’(consensus) dan Qiyas (analogi) yang keduanya bersumber dari teks-teks
itu sendiri. Pendapat ini mengkristal dalam pendapat selanjutnya ysng
mengatakan bahwa pengetahuan Islam termasuk pula hukum Islam, pada kenyataannya
terbatasi oleh teks-teks Al-Quran dan
hadits, khususnya kumpulan hadits-hadits dari Al-Bukhori dan Muslim meskipun
tidak berarti menafikan Kitab hadits lainnya.
Sementara itu pendapat kedua yang merupakan pendapat dari mayoritas sarjana
Barat modern menolak mentah-mentah pendapat ulama klasik, terutama Goldziher
dan Schact. Meskipun pada dasarnya mereka menyepakati bahwa Al-Quran sebagai
sumber awal hukum Islam, tetapi mereka menganggap sebagian besar taks-teks
hadits yang ada adalah palsu yang
disandarkan kepada Nabi. Dukungan untuk
memperkuat pendapat ini adalah fakta adanya sejumlah teks hadits yang muncul
dengan pesatnya, padahal hadits-hadit tersebut tidak pernah ada sebelumnya.
Riwayat-riwayat tersebut ditujukan sebagai sokongan, jutifikasi ataupun
legatimasi bagi kepentingan-kepentingan orang dan kelompok tertentu khususnya
demi menarik simpati publik ataupun sekedar mengukuhkan posisi seseorang atau
kelompok khususnya secara politik di mata publik.
Di
tengah kedua pendapat tersebut kemudian muncul pendapat ketiga. Pendapat
ketiga ini adalah pendapat yang walaupun
dalam banyak hal sangat bersifat tradisional, tetapi ia berbeda dengan pendapat
mazhab tradisional Islam dalam beberapa hal penting, dan walaupun secara
esensial ia bertentangan dengan pendapat para revisionis orientalis, tetapi ia
memiliki kesamaan dengannya. Pendapat ketiga ini adalah yang ditawarkan Malik
Ibn Anas dalam al-Muwatta’ yang
menjadi fokus kajian Yasin Dutton dalam bukunya “ Asal Mula Hukum Islam
“ ini.
B.
Malik dan Muwatha
1. Biografi Malik Ibn Anas
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abd Allah Malik Ibn
Anas Ibn Malik Ibn Abi ‘Amir Ibn ‘Amr Ibn al-Haris. Ia lahir dari pasangan Anas
bin Malik (bukan sahabat) dan ‘Aliyah bint Syuraikh al-Azdiyya di Madinah
sekitar tahun 715 M. keluarganya adalah murni keturunan suku al-Asbahi dari
Yaman, namun kakeknya Abu ‘Amir, setelah masuk Islam, membawa serta keluarganya
ke Madinah pada tahun ke-2 H (623 M.).
Malik Ibn Anas terkenal sebagai “ulama Madinah”
dan julukan itu sesuai karena ia tumbuh besar di Madinah, belajar di sana pada
guru-guru terkemuka serta menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya di sana
sambil mengajar dan memberi fatwa berdasarkan tradisi Madinah. Ia tidak seperti
orang-orang semasanya yang mengembara demi memperoleh pengetahuan, disebutkan
bahwa Malik pernah meninggalkan Madinah hanya sekali untuk melaksanakan ibadah
haji di Makkah. Ia meninggal di Madinah pada tahun 179 H./795 M. dan
disemayamkan di pemakaman al-Baqi’.
2.
Tentang al-Muwatta
Kitab al-Muwatta’adalah salah satu formulasi
paling awal dari hukum Islam yang kita miliki serta menjadi salah satu dari
kitab hadits utama yang paling awal. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai
memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan
memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Walaupun isi dari al-Muwatta’ mencakup pada
hadits dan fatwa, kitab ini bukan semata-mata sebuah kitab hadits maupun kitab
fikih. Ia lebih merupakan sebuah kitab tentang tradisi, yaitu kumpulan dari
prinsip-prinsip, aturan-aturan, dan preseden-preseden yang telah disepakati dan
mapan sebagai tradisi Madinah.
Menurut Yasin Dutton kitab Muwatha tidak hanya
merupakan sebuah produk dari Malik di Madinah yang ditulis sebelum kewafatannya
pada 179H, tetapi secara substansial juga telah eksis sebelum 150H. yang oleh
karena itu menjadikannya sebagai kitab yang paling awal saat ini. Bukti akan
hal ini adalah:
a.
Terdapat
penggalan teks yang ditulis di atas daun lontar yang merujuk pada pendapat di
atas, yang oleh Abbot diberi tahun penulisan menurut bukti tekstual menurut
kondisi masa Malik sendiri pada paruh edua abda ke-2.
b.
Adanya
penggalan riwayat dari Ali bin Ziyad berbentuk kertas kulit yang ditulis pada
288H.
c.
Sebuah
perbandingan terhadap riwayat Ibn Ziyad dengan riwayat-riwayat lainnya. Sebagai
contoh, Kitab Al-Umm dari Asy-Syafi’I yang merupakan salah satu orang yang
meriwayatkan kitan Muwatha dari Malik. Dalam penentangan terhadap Malik dan
ulama Madinah ia banyak mengutp dari kitab Malik, dan kutipan-kutipannya itu
merefleksikan sebuah teks yang hampir sama dengan teks dari riwayat Yahya Ibn
Yahya.
d.
Literatur biografis
yang mengungkap sebagian dari sejumlah orang yang meriwayatkan kitab Muwatha
secara langsung dari Malik.
Terkait dengan content hadis, terdapat
literatur tentang Malik yang menunjukkan bahwa terdapat dua tipe hadis khusus
yang dipandang oleh Malik tidak seharusnya diriwayatkan secara luas walaupun
semuanya adalah hadis yang otentik (sahih) sebab hal itu mungkin dapat
menyebabkan orang lain pada bahaya kesesatan. Yaitu:
a.
hadis yang
mungkin dapat menyesatkan orang dalam kaitannya dengan masalah-masalah akidah,
seperti hadis yang berisi tentang gambaran antromoforsis terhadap Allah.
b.
hadits yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan hukum yang tidak merepresentasikan praktik
normatif di Madinah, yaitu hadis yang tidak memiliki kesesuaian dengan ‘amal.
Bahkan, menurut Dutton, terdapat banyak hadits
yang tidak diriwayatkan Malik dengan alasan ini. Namun, ia kadang-kadang
meriwayatkan sebuah hadits yang sama sekali tidak memiliki kesesuaian dengan ‘amal
demi menjelaskan bahwa meskipun hadits ini dikenal tetapi ia tidak
dipraktikkan.
3.
Konsep Sunnah
Malik Ibn Anas
Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa Malik
dalam Muwatta’tidak hanya berdasarkan pada sunnah Nabi untuk mendukung
pendapat-pendapatnya dalam masalah-masalah legal melainkan juga pada tradisi
yang hidup baik di masa lalu maupun pada masa hidupnya. Dalam masalah-masalah
legal, Malik biasanya mengutip hadis Nabi atau riwayat para sahabat, khususnya
dari keempat khalifah yang pertama. Setelah itu ia biasanya memberikan
pernyataan-pernyataan yang didasarkan pada praktik masyarakat. Ungkapan yang
biasa digunakan adalah qad madat al-sunnah (telah menjadi sunnah), al-sunnah
‘indanaa (sunah bagi kita), al-sunnah allatii laa ikhtilaaf ‘indanaa
(sunnah yang tidak kita perselisihkan), al-amr al-mujtama’ ‘alayh ‘indanaa (praktek
yang telah kita sepakati adalah…) dan al-amr alladzii laa ikhtilaaf fiih
‘indanaa (praktek kita yang telah kita sepakati…). Ungkapan-ungkapan
tersebut meskipun secara redaksional berbeda, namun pada dasarnya merujuk pada
makna yang sama yakni praktek aktual masyarakat yang telah mapan.
Jika pada mazhab tradisional Islam, sunnah
tidak dibedakan dengan hadits dan karenanya setiap sunnah hampir selalu merujuk
pada hadits, maka dalam pengertian al-Muwatta’, ia sama sekali berbeda
dengan term hadis, tetapi lebih memiliki hubungan erat dengan dengan konsep ‘amal
atau tradisi, yaitu jika hadits merujuk pada teks-teks, maka sunnah merujuk
pada tindakan. Akan tetapi, sunnah tidak hanya harus dibedakan dari hadits,
melainkan juga harus dibedakan dari ‘amal. Sebab jika sunnah dalam pengertian al-Muwatta’
merujuk pada sebuah praktik yang berasal dari tradisi Nabi, maka ‘amal
(tradisi) merupakan sebuah konsep yang lebih luas yang tidak hanya mencakup
sunnah yang dilakukan Nabi, tetapi juga pada ijtihad ulama terdahulu.
Jadi, dapat dikatakan bahwa seluruh sunnah adalah tradisi tetapi tidak seluruh
tradisi adalah sunnah.
C.
Amal Masyarakat Madinah
Bagi Malik terdapat sumber lain yang sama
pentingnya dengan empat sumber hukum Islam lainnya (Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas) yang mungkin merupakan bagian dari semuanya, yakni ‘amal, atau
“praktik/tradisi” penduduk Madinah. Yang dimaksud dengan amal Madinah di sini
adalah bahwa ‘amal Madinah bukanlah “tradisi lokal” semata,
sebagaimana klaim para penentangnya, melainkan sebuah sumber sunnah
non-tekstual pada level hadis mutawatir. Yakni, ‘amal
Madinah merupakan representasi
dari sebuah transmisi non-tekstual dari praktik Nabi yang diriwayatkan oleh
orang banyak dari orang banyak pula, dengan cara yang sama sebagaimana hadits mutawaatir.
Kepercayaan Malik terhadap tradisi Madinah
terefleksikan dalam isnad yang terdapat dalam kitab Muwatha. Dalam kitab ini
tidak sampai 30 persen hadits yang bersumber dari non Madinah. Hal ini menjadi
indicator akan banyaknya Malik mendasarkan diri pada sumber-sumber Madinah.
Namun kehadiran hadits yang bersumber dari non Madinah, walaupun sedikit pada
kenyataannya menunjukkan bahwa ia tidak menola untuk meriwayatkan hadits dari
para ahli hadits non Madinah.
Schacht—sebagaimana dilansir Yasin
Dutton—menunjukkan bahwa mazhab masyarakat Madinah, didasarkan pada perpaduan
antara tradisi dan ra’y. Tradisi adalah praktik yang sudah mapan dari
masyarakat Madinah, sedangkan ra’y adalah penerapan seperlunya terhadap
pertimbangan akal bebas (ijtihad) ketika tidak ada satu pun preseden
yang jelas dalam tradisi yang sedang berlaku.
Malik menganggap tradisi Madinah sebagai sebuah
sumber legal (a legal source) sebagaimana dinyatakannya dalam fatwa-fatwa-nya.
Itulah mengapa ia sering mengatakan, setelah menyebutkan tradisi-tradisi dan
hadits, “praktek kita yang telah kita sepakati”
Adapun argumentasi Malik adalah bahwa al-Qur’an
memuat hukum-hukum dan fikih Islam terbentuk di sana (Madiah) dan penduduknya
merupakan orang-orang yang pertama kali menjadi objek perintah dan pelarangan
dan yang menjawab seruan Allah atas apa yang Dia perintahkan dan dalam
pembentukan dasar-dasar diin. Kemudian setelah masa Nabi saw., di antara
mereka hidup orang-orang yang berasal dari komunitas Nabi dan yang senantiasa
mengikutinya; Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman. merekalah yang mengimplementasikan
sunnah-nya setelah menelaah dan mempelajarinya ketika sunnah tersebut masih
baru. Kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’in) mengikuti jejak
mereka termasuk sunnah tersebut. Madinah telah mewariskan pengetahuan tentang
sunnah dan fikih Islam secara turun temurun. Dengan bahasa lain, argumentasi
Malik tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.
Penduduk
Madinah menjadi ikutan seluruh masyarakat lain,
b.
Tempat
al-Qur’an di wahyukan, halal dan haram ditetapkan,
c.
Nabi hidup di
sana dan penduduk Madinah menyaksikan dan mengalami turunnya wahyu, dan
d.
Di sana Nabi
membentuk sunnah yang harus mereka ikuti.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Malik secara
jelas memandang tradisi Madinah sebagai sumber yang otoritatif. Dalam suatu
kesempatan, Malik pernah mengatakan: “Jika terdapat sesuatu yang secara jelas
dipraktikkan di Madinah, maka saya tidak berpendapat bahwa setiap orang boleh
melakukan yang sebaliknya”
Menurut
para penentangnya, Malik diklaim berpandangan bahwa seluruh tradisi Madinah
harus diikuti apapun sifat yang dimilikinya, satu-satunya sayarat adalah bahwa
tradisi tersebut harus ‘secara jelas dipraktikkan di Madinah’. Namun
sesungguhnya terdapat perbedaan yang jelas antara term sunnah dan amr
dari Malik. Sunnah merujuk pada tradisi yang berasal dari sebuah praktik
normatif dari Nabi (atau kadang-kadang tradisi pra-Islam Madinah yang didukung
oleh Nabi) tanpa satu pun unsur ijtihad belakangan di dalamnya. Sedangkan ‘amr
merujuk pada tradisi, walaupun sering berasal dari Nabi, tetapi setidaknya
ia mengandung beberapa unsur ijtihad belakangan.
Di lain pihak, ada pula sekelompok orang yang
menentang kehujjahan tradisi madinah secara umum. Adapun argument yang mereka
sampaikan antara lain:
- Sesungguhnya al-Qur’an dan sunnah sahih penjelas al-Qur’an, keduanya adalah hujjah dan keduanya tidak memerlukan ‘amal ahl al-madinah.
- Di antara penduduk Madinah ada yang mu’min dan ada yang kembali kepada kemunafikan (hanya Allah yang mengetahuinya). Adapun orang-orang mu’min, sesungguhnya mereka mengamalkan al-Qur’an dan sunnah, sedangkan mereka yang kempali kepada kemunafikan, bagaimana mungkin tradisi mereka dijadikan hujjah?
- Hadis-hadis Nabi saw. telah terkodifikasikan, demikian pula hadis sebagian sahabat dan tradisi sebagian penduduk Madinah. Tradisi penduduk Madinah dengan sendirinya bukanlah hujjah, karena hadis nabawy tidak lagi membutuhkannya setelah diketahu tentang matan dan sanadnya.
- Dalam beberapa hal, terdapat tradisi Madinah yang menyalahi al-Qur’an.
D.
Tradisi dan Hadits
Terkait dengan hubungan antara tradisi dan
hadits, Qadli Abu al-Fadl menyatakan bahwa tradisi pasti berhubungan dengan
hadis ahad dalam salah satu dari empat bentuk berikut:
a.
Tradisi
tersebut bersesuaian dengan hadits. Jika demikian maka keberadaan tradisi tersebut
akan mendukung validitas dari hadis yang bersangkutan.
b.
Tradisi
bersesuaian dengan satu hadits tapi bertentangan dengan hadits yang lainnya.
Dalam kasus ini, tradisi berposisi sebagai argumen kuat untuk mengunggulkan
hadits yang pertama dari hadits yang kedua.
c.
tradisi akan
bertentangan dengan sebuah hadits (atau banyak hadits). Dalam kasus ini jika
tradisi tersebut adalah ‘amal naqli, maka ia harus didahulukan daripada
hadits, sebab jenis tradisi ini bersifat qath’i al-tsubuut sedangkan khabar
al-waahid hanya bersifat dhanni al-tsubuut. Tetapi, jika
tradisi tersebut adalah ‘amal ijtihadi, maka menurut pandangan jumhur,
akhbar al-aahaad itu harus didahulukan atas tradisi tersebut.
d.
jika ada hadits
tentang suatu persoalan tetapi tidak ada tradisi tentangnya. Dalam kasus ini
tentu saja tidak ada pertentangan dan hadis tersebut harus diikuti asalkan shahiih
dan tidak ada hadits lain yang bertentangan dengannya. Jika ternyata
terdapat hadits lain yang bertentangan dan salah satunya diriwayatkan melalui
rawi-rawi Madinah sedangkan yang lain tidak, maka yang didahulukan adalah yang
berasal dari rawi-rawi Madinah tersebut.
Sikap Malik dalam persoalan ini
terdokumentasikan dengan baik, dan banyak riwayat yang menunjukkan bahwa ia
memandang tradisi lebih dapat dipercaya (atsbaat) daripada hadits.
Terdapat riwayat mengenai pertemuan Malik dan Abu Yusuf dan diskusi mereka
tentang adzan. ‘Iyadl menceritakan: Abu Yusuf mengatakan (kepada Malik); ‘Kamu
mengumandangkan adzan dengan tarjii’, padahal kamu tidak menjumpai hadits
yang berasal dari Nabi tentangnya.’ Malik menoleh kepadanya dan menjawab: ‘Subhaana
Allaah, saya tidak pernah menjumpai sesuatu yang lebih mengherankan dari
hal ini! Adzan telah dikumandangkan (di sini) sebanyak lima kali sehari di
depan orang-orang dan para anak telah mewarisinya dari bapak-bapak mereka sejak
masa Rasulullah saw. Apakah ini masih memerlukan “demikian-demikian dari
demikian dan demikian?” Praktik ini, dalam pandangan kami lebih valid (ashahh)
dari hadis.
Ibn Qasim dan Ibn Wahb berkata: “saya melihat
bahwa tradisi Malik lebih kuat daripada hadits” Malik berkata: “terdapat sebagian ulama dari
kalangan sahabat yang akan meriwayatkan hadis tertentu, dan mendengar hadis
lainnya dari yang lain, dan mereka akan berkata,’kami tidak mengabaikan tentang
ini, tetapi tradisi yang telah datang kepada kami berbeda.”
Adapun Ibn Mahdi, ia menyatakan: “tradisi awal
Madinah lebih baik dari pada hadis”] dia juga menyatakan: “Sering kali ketika
saya akan menerima sejumlah hadis tentang suatu persoalan, maka saya akan
mendapati orang-orang yang mengajar di masjid (ahl al-arshah) megikuti
sesuatu yang bertentangan dengan hadis itu dan oleh karena itu hadis tersebut
menjadi lemah dalam pandangan saya.”
Yasin Dutton, dalam akhir kajiannya tentang
“hadis versus tradisi”, menyatakan bahwa Malik dan kelompok Madinah
berpandangan bahwa tradisi adalah petunjuk yang lebih baik bagi sunnah,
sedangkan kelompok Irak dan belakangan, al-Syafi’i, berpandangan bahwa
sunnah yang otentik adalah sunnah yang didukung oleh riwayat-riwayat yang
otentik dan bahwa tradisi tidak dapat diterima kecuali ia didukung oleh
riwayat-riwayat semacam itu. Dengan kata lain, mereka memandang bahwa sumber
tekstual yang sumbernya dapat diketahui dengan pasti harus didahulukan atas
sumber non tekstual yang sumbernya tidak diketahui secara pasti. Tetapi,
menurut Malik, bukan hadis yang menjadi sumber utama dari sunnah normative,
melainkan tradisi. Bahkan Malik menilai hadis berdasarkan kriteria tradisi yang
dapat dikatakan bahwa ia menilai hadis dengan menunjuk pada sunnah daripada
menilai sunnah dengan merujuk pada hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar