Jumat, 26 Oktober 2012

Kritik Hadits Harald Motzki Atas Mushannaf Abd. Razzaq


Kritik Hadits Harald Motzki Atas Mushannaf Abd. Razzaq

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pandangan minor atas studi kritis Islam termasuk studi kritis terhadap hadits yang digelar Barat adalah bukan sekedar transfer pengetahuan semata. Namun akibat yang akan ditimbulkan darinya haruslah menjadi cacatan serius bagi kaum cendikiawan muslim, terlebih sikap mereka pasca telaah kajian Barat terhadap perkara yang telah disepakati sebagai sesuatu yang telah mapan (tsawabith) yang oleh Arkoun disebut sebagai “the unthinkable”, seperti persoalan-persoalan akidah, otentisitas al-Qur’an, kehujjahan hadits Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Hadits sebagai salah satu landasan dasar Islam adalah sasaran utama setelah al-Qur’an untuk dikritisi nilai validitasnya oleh mereka yang “di luar pagar”. Namun di perjalanannya, malah berbagai temuan ilmiah kadang mereka munculkan sebagai akibat dari desakan agar mereka (kaum orientalis) bertindak objektif dalam mengkritisi apapun tentang dunia Islam. Harald Motzki sebagai sosok orientalis muda memiliki tradisi unik dalam agak “menyalahi” pakem kaum orientalis pada umumnya, ia bahkan berani mengoreksi pendapat sesepuhnya sesame orientalis dalam menilai Islam. Mazhab skeptis terwakili oleh Joseph Schacht (Austria) dan Ignaz Goldziher (Hongaria). Meskipun demikian, pada dekade terahir mazhab skeptis yang telah mapan di Barat tidak lagi menjadi satunya-satunya trend yang mendominasi diskursus studi Islam di Barat. Kaum Orientalis non-skeptis bermunculan dan dikomandani oleh sejumlah Orientalis sekaliber Harald Motzki, Fuec, serta Scheoler. Sanad, rawi, matan dan berbagai hal yang berkenaan dengan hadits menjadi barang penting untuk diteliti, kaum orientalis menyadari semua ini, maka Joseph Schacht menyatakan bahwa sanad adalah hasil kreasi dari para ulama abad ke-2 H. Harald Motzki berusaha mengcounter pandangan seniornya ini dengan penelitiannya terhadap kitab al-Mushannaf karya Abdurrazzaaq as-Shan’aani. Tak aneh bila kemudian teori uji hadits Harald Motzki menjadi trend baru bagi orientalis yang menjadikan rijal hadits sebagai salah satu sandaran kekuatan penelitian. Hal ini berdasar pehaman Harald Motzki sendiri terhadap pemaknaanhadits itu sendiri sebagaimana ungkapannya: “Hadith is understood here in its broader meaning as the bulk of the texts which contain information on the prophet Muhammad and his Companions, having the form of transmissions from them. The reliability of this material as a source for early Islam is still a highly debated issue. This selection of articles presents the different points of view in this debate and the varying methodological approaches with which scholars trained in modern secular sciences have tried to find a solution to the problem.” (Hadis yang dipahami di sini dalam arti lebih luas karena sebagian besar teks-teks yang berisi informasi tentang Nabi Muhammad dan para sahabatnya, memiliki bentuk transmisi dari mereka. Keandalan bahan ini sebagai sumber awal Islam masih merupakan isu yang sangat diperdebatkan. Pemilihan artikel menyajikan sudut pandang yang berbeda dalam perdebatan ini dan pendekatan metodologis yang berbeda-beda dengan yang sarjana dilatih dalam ilmu sekuler modern telah mencoba untuk menemukan solusi untuk masalah ini. Terjemah: penulis) Maka penulis berusaha mengungkapkan pandangan Harald Motzki seputar otentifikasi Hadits dan bentuk sanggahan Harald Motzki atas skeptisisme para orientalis terhadap hadits dengan berbagai pendekatan yang relatif baru bagi kalangan orientalis yang selama ini lebih memilih memakai metode “ala orientalis” dalam menilai hadits.
BAB II
BIOGRAFI HARALD MOTZKI DAN KARYANYA DALAM KHASANAH ISLAM
A. Biografi Harald Motzki
Berbagai upaya penulis tempuh untuk menggali lebih dalam sosok Harald Motzki, mulai dari referensi literer yang berupa majalah, buku bahkan dunia maya, namun tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Beberapa sumber yang bisa dicapai penulis adalah sebagai berikut: Dia dikenal sebagai sosok sarjana studi Islam yang concern terhadap materi hadist dan berbagai keilmuan penyangganya, dan berupaya untuk mengkritisinya dengan objektif. Dan ia adalah seorang orientalis yang menjadi Guru Besar sekaligus Profesor di Institut Bahasa dan Budaya dari Timur Tengah, Universitas Nijmegen, Belanda. Motzki adalah sosok yang dikenal para pemerhati orientalisme sebagai sosok yang banyak mengkaji hadits sejarah yang berhubungan dengan sīrah, metode pencermatan Motzki terhadap hadits lebih didominasi penelitiannya terhadap sisi sejarah hadits itu sendiri. Di sisi lain, ia adalah salah satu orientalis yang tidak sepakat dengan berbagai temuan Schacht yang berpendapat bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam al-Kutub as-Sittah tidak bisa dapat dijamin keasliannya: “even the classical corpus contains a great many traditions which cannot possibly be authentic.” (hadits-hadits di dalam al-kutub as-Sittah sangat memungkinkan untuk tidak dijamin keasliannya) Masih menurut dia, sistem periwayatan berantai alias isnād merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru mulai dipraktekkan pada abad kedua Hijriah: “there is no reason to suppose that the regular practice of using isnāds is older than the beginning of the second century.” (tidak ada alasan untuk menganggap bahwa penggunaan isnad secara teratur adalah lebih tua dari awal abad kedua). Namun patut cuga dicurigai, bahwa ternyata obyektivitas Motzki perlu ditimbang kembali dengan ambiguitas sikapnya terhadap keabsahan hadits, sebab ia juga berpendapat:”I call this an authentic hadīth of the first/seventh century. That does not necessarily imply that such a tradition can always be proved to go back to the Prophet or a Companion.” (Saya menyebut ini sebuah hadits otentik dari abad pertama/ketujuh. Itu tidak selalu berarti bahwa hadits semacam itu selalu dapat dibuktikan kembali ke Nabi atau seorang sahabat).
B. Karya Harald Motzki dalam khasanah Islam
Beberapa karya Harald Motzki yang bisa penulis jumpai adalah sebagai berikut: 1. Berupa penelitian De ontstaansgeschiedenis van de islamitische jurisprudentie (sejarah yurisprudensi Islam). De methoden van bronnenkritiek op het gebied van de overleveringen over de vroege Islam (Metode kritik terhadap sumber dasar hadits). Het ontstaan van de geschreven tekst van de Koran (Asal dari teks tertulis Qur’an). De reconstructie van het leven van Muhammad (Rekonstruksi kehidupan Muhammad). Historisch-antropologische aspecten van de islamitische beschaving (Historis-Antropologis Kebudayaan Islam).
2. Berupa Ceramah Ilmiah Inleiding Islam 1 & 2 (moslims en de moderne tijd) (Muslim dan Modernitas-Sebuah Pendahuluan Pengenalan Islam), Lektuur Islamitische Teksten (Teks literatur Islam), Werkgroep Jihad (Pemahaman Kelompok Jihad), Werkgroep de overlevering over de vroege Islam (Kelompok Pergerakan pada tradisi Islam awal), Werkgroep het islamitische Midden-Oosten in beweging (met dr. R. Meijer) (Gerakan Pembaharu Islam di Timur Tengah (ditulis dengan R. Meyer)).
3. Berupa Jurnal Ilmiah dan Buku • Harald Motzki, Die Anfange der islamischen Jurisprudenz. Ihre Entwicklung in Mekka bis zur Mitte des 2./8. Jahrhunderts, Stuttgart 1991. Engl. Trans. The Origins of Islamic Jurisprudence. Mekahn Fiqh before the Classical schools, trnasl. Marion H. Katz, Leiden 2002. • Harald Motzki, “Der Fiqh des—zuhri: die Quellenproblematik,“ Der Islam 68, 1991, 1-44. edisi Iggris, “The Jurisprudence of Ibn Sihab Al-Zuhri. A Source-critical Study,“ dalam http:/webdok.ubn.kun.nl/mono/m/motzki_h/juriofibs.pdf • Harald Motzki, “The Musannaf of Abd. Al-Razzaq Al-San’ani as a Source of Authentic ahadith of the First Century A.H.,” Journal of Near Eastern Studies 50, 1991, h. 1-21. • Harald Motzki, “Quo vadis Hadit Forschung? Eine kritische Untersuchung von G.H.A. Juynboll, Nafi’, the mawla of Ibn Umar, and his position in Muslim Hadith Literature,“ Der Islam 73, 1996, h. 40-80, 193-229. • Harald Motzki, “The Prophet and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal Traditions,“ Jurusalem Studies in Arabic and Islam, 21, 1998, h. 18-83. • Harald Motzki, “The Role Of Non-Arab Converts in The Development of Early Islamic Law,” dalam Islamic Law Society, Leiden, Vol. 6, No. 3, 1999. • Harald Motzki, “The Murder of Ibn Abi l-Huqayq: on the Reliability of Some maghaji Reports,” dalam H. Motzki, ed., The Biography of Muhammad: the Issue of the Sources, Leiden, 2000, h. 170-239. • Harald Motzki, “Der Prophet und die Schuldner. Eine hadit-Untersuchung auf dem Prufstand,“ Der Islam, 77, 2000, h. 1083. • Harald Motzki, “The Collection of the Qur’an. A Reconsideration of Western Views in Light of Recent Methodological Developments,” Der Islam 78, 2001, h. 1-34. • Harald Motzki, “Ar-radd ‘ala r-radd – Zur Methodik der hadit-Analyse,“ Der Islam 78, 2001, h. 147-163. • Harald Motzki, ed., Hadith. Origins and the Developments, Aldershot: Ashgate/Variorum, 2004. • Harald Motzki, “Dating Muslim Traditions . A Survey,” Arabica, 52, 2005. Hadith: Origins and Developments (Hadits: Asal-usul dan Perkembangannya) ISBN 0860787044. The Origins of Islamic Jurisprudence (Asal-Usul Sumber Hukum Islam), Scholar of Renown: Abd Al-Razzaq Al-Sanaani (Mengenal sosok Sarjana Muslim: Abd Al-Razzaq Al-Sanaani). Motzki, H.; “The Musannaf Of `Abd al-Razzaq Al-San`ani As A Source of Authentic Ahadith of The First Century A.H.”, Journal Of Near Eastern Studies (Para Musannaf Dari Abd al-Razzaq Al-San’ani Sebagai Sumber hadits Otentik Abad Pertama Hijriyah), 1991, The Biography of Muhammad: the Issue of the Sources (Biografi Muhammad: Sebagai pusat kajian dan sumber Islam), Leiden 2000, Meccan Fiqh before the Classical Schools (Fiqh model Mekkah sebelum Salaf Shalih), Geschlechtsreife und Legitimation zur Zeugung im frühen Islam (Standar kedewasaan dan legitimasi untuk menjadi mukallaf di awal Islam), Schamanismus als Problem religionswissenschaftlicher Terminologie (Shamanisme sebagai masalah dalam studi agama terminologi), Batı’da hadis çalışmalarının tarihî seyri (Barat, sebuah kajian tentang sejarah studi Hadits). 4. Alamat yang bisa dihubungi adalah: Telephone : +31 24 361 6048 Faximile : +31 24 361 2807 e_mail : h.motzki@let.ru.nl Alamat Rumah : Postbus 9103, NL-6500 HD Nijmegen Alamat Kantor : Erasmusplein 1, kamer 9.08, NL-6525 HT Nijmegen
BAB III HARALD MOSTZKI; OTENTISITAS DAN SANGGAHANNYA ATAS SKEPTISISME PARA ORIENTALIS TERHADAP HADITS A.
Pandangan Harald Motzki seputar otentisitas Hadits Langkah penting yang harus ditempuh dalam penilian atas pemikiran Motzki mengenai rekonstruksinya terhadap otentitas hadits adalah mengenal berbagai teori yang dikemukakannya dalam penelitian atas rekonstruksi hadits yang ia tempuh. Dalam hal ini penulis menemukan bahwa Motzki menggunakan 3 metodologi untuk meneliti keabsahan hadits yang ia teliti, yakni: dating, sampling dan analizing. Harus penulis diakui bahwa apa yang ditempuh oleh Motzki dalam mengkritisi hadits ini adalah penambahan khazanah baru dalam dunia penelitian hadits. Hingga Motzki bisa ditempatkan pada jajaran orientalis yang secara concern meneliti hadits secara mandiri dengan tidak “terlalu bergantung” pada teori Projecting Back karya Joseph Schacht (Austria). Latar belakang penelitian Schatt banyak didominasi kecurigaan subjektif pada sisi sejarah Islam sebagaimana penulis nukil dari Muhammad Idris Kritik Atas Proyek Kritik Hadis Joseph: “Sunnah dalam konteks Islam pada mulanya lebih memiliki sebuah konotasi politik ketimbang konotasi hukum; menunjukkan kebijaksanaan dan administrasi khalifah. Persoalan apakah tindakan administratif khalifah pertama, Abû Bakar dan ‘Umar, harus dipandang sebagai preseden-preseden yang mengikat, barangkali persoalan ini muncul pada saat penunjukkan ‘Umar dan ketidakpuasan dengan kebijaksanaan khalifah ketiga, Utsmân, yang mengantarkan pada pembunuhannya pada 35 H/655 M, karena dituduh telah menyimpang dari kebijaksanaan khalifah sebelumnya, secara implisit menyimpang dari al-Qur’an. Dalam hubungan ini, muncullah konsep sunnah Nabi, yang belum diidentifikasikan dengan sejumlah aturan-aturan positif, akan tetapi memberikan serangkaian mata rantai doktrinal antara sunnah Abû Bakar dan ‘Umar serta al-Qur’an. Bukti-bukti awal yang tentunya otentik untuk penggunaan istilah sunnah Nabi adalah surat ‘Abdullah bin ‘Ibâd, pemimpin Khawarij yang ditujukan kepada Khalifah Dinasti Umayyah, ‘Abd al-Mâlik, sekitar 76 H/695 M. Istilah yang sama dengan sebuah konotasi teologis, yang disertai contoh teguran, terdapat dalam risalah yang sezaman dengan Hasan al-Bashrî yang ditujukan kepada khalifah ‘Abd al-Mâlik. Pengertian sunnah seperti ini diperkenalkan ke dalam teori hukum Islam yang diperkirakan berlangsung pada akhir abad 1 Hijriah oleh ulama-ulama Irak.” Secara ringkas Schacht berpendapat bahwa:
1. Konsep awal Sunnah adalah kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum, yang disebutnya sebagai “tradisi yang hidup.”
2. Konsep sunnah nabi pada asal-usulnya relatif terlambat, dibuat oleh orang-orang Irak pada sekitar abad kedua Hijriah.
3. Bahan penggunaan istilah “Sunnah Nabi” tidak berarti sunnah yang sebenarnya berasal dari Nabi saw, ia hanya sekadar “tradisi yang hidup” dari madzhab yang ada diproyeksikan ke belakang hingga ke lisan Nabi saw.
Proses penanggalan isnad dalam studi hadits oleh sebagian orientalis Barat seperti Josef Horovitz (Oriantalis Jerman berdarah Yahudi) tidak lepas dari cara pandang mereka terhadap esensi isnad itu sendiri, mereka menyebut: “Es liegt nahe, in diese Gleichstellung den Einfluss der jüdischen Theorie zu vermuten, um so mehr als sich im Hadīt selbst Reminiszenzen an die Stellung erhalten haben, welche das Judenthum der mundlichen Lehre zuerkennt.” (Tampaknya masuk akal untuk menganggap asimilasi teori Yahudi yang menjadi pengaruh yang menjadikan bertahan dalam –periwayatan- hadits, hal ini mengingatkan sikap bahwa Yudaisme mengakui ajaran lisan, terj.penulis).
Schacht bahkan menyatakan bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama-ulama abad kedua Hijriah, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi SAW. dan para sahabat adalah palsu. Argumen Schacht teringkas dalam lima poin:
1. Sistem sanad dimulai abad kedua, atau paling akhir abad pertama Hijriah.
2. Isnâd-isnâd diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnâd-isnâd secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; Isnâd-isnâd yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syâfi’î untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadis-hadis yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. Isnâd-isnâd keluarga adalah palsu, demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnâd-isnâd itu.
5. Keberadaan common narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa periwayat itu.
Teori Common Link-nya Juynboll juga menjadi sasaran kekritisan Motzki, ia berpendapat dengan menulsi artikel berjudul, “Quo Vadis, Hadit-Forschung? Eine Kritische Untersuchung von G.H.A Juynboll: “Nafi’ the mawla of Ibn Umar and his position in Muslim Hadith Literature” (Penelitian Hadits, analisasis kritis terhadap GHA Juynboll “Nafi ‘dari Ibnu Umar Mawla dan posisinya dalam Sastra HR. Muslim). Menurutnya, temuan Juynboll – bahwa semua hadis nabi dengan isnad Nafi’ –Ibnu ‘Umar tidak kembali kepada Malik tetapi kepada Nafi’– tidak dapat dipertahankan. Dengan menggunakan contoh hadis tentang zakat al-fithr, Motzki mampu menunjukkan bahwa hipotesis Juynboll tersebut tidak benar. Ia menyatakan bahwa hadis tersebut kembali kepada Ibnu ‘Umar dan tidak dipalsukan oleh Malik. Harald Motzki berupaya mandiri menancapkan teorinya dalam penelitian atas Kitab al-Mushannaf Karya Abdurrazzaaq as-Shan’aani. Metode-metode sistematis yang ditempuh Harald Motzki sebagai berikut: 1. Dating Dating adalah sebuah toeri pengujian materi sejarah dengan meneliti asal-muasal dan umur terhadap sumber sejarah atau dalam hal ini dating (penanggalan) hadits digunakan untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang allegedly terjadi pada masa awal Islam. Juga seperti diungkap Kamaruddin Amin: “dating tujuannya adalah menaksir umur dan asal muasal sebuah sumber (dating documents).” Maka tidak ayal bila di dalam dating seorang peneliti terhadap sebuah sumber sejarah terbukti tidak valid dikemudian hari, maka seluruh premis teori dan kesimpulan yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi collaps (roboh). Teori inilah yang menjadi epistemologi Motzki dalam merekonstruksi sejarah awal Islam dalam karyanya The Origins of Islamic Jurisprudence. Sebagai contoh penerapan dating yang dilakuan Motzki adalah langkahnya dalam meneliti kitab Mushannaf milik Abd Razaq, maka langkah dating ia tempuh dengan menelaah sumber rijal hadits, dan ia menemukan beberapa sumber utama dalam penelitiannya menemukan yang sering dirujuk oleh Abd ar-Razaq, yang memberikan kontribusi ribuan hadis, Motzki menemukan komposisi periwayatan dalam kitab tersebut sebagai berikut: Tabel 1.1. NO PERIWAYAT PROSENTASE PERIWAYATAN
1 Ma’mar 23 2 Ibnu Jurayj 29 3 As-Saury 22 4 Ibn Uyainah 4 5 Selain tiga di atas 13 6 Abad ke-2 (Abu Hanifah, Malik, dll) 9 Jumlah prosentase periwayatan 100% Dengan teori datingnya terhadap sisi perawi atas periwayatan hadits ini Motzki berpendapat setiap orang dengan koleksi hadits yang diriwayatkan memiliki karakteristik berbeda satu dengan lainnya, maka hampir mustahil seorang pemalsu dapat memberikan sumber yang begitu bervariasi, apalagi jika penelitian ini difokuskan pada asal perawi dan karakter teks yang diriwayatkan. Kekhasan masing-masing struktur mengindikasikan tidak mungkin seseorang melakukan pemalsuan dalam menyusun materi, akan membuat teks dengan perbedaan-perbedaan yang signifikan. Di samping itu, semakin detail dan mendalam penelusuran terhadap teks-teks tersebut mengenai kekhasan teks dan asal muasal sumber informasi, semakin signifkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai. Dalam hal ini Motzki menunjukkan secara simbolik dalam penelitiannya terhadap Mushannaf karya Abd Razaq menggunakan rijal hadits sebagai instrument penting dalam menentukan keabsahan Abd Razaq dalam pengumpulan hadits yang ia lakukan. Motzki berkesimpulan tidak mungkin Abd Razak melakukan pemalsuan dengan ragam perawi yang ada. Komarudin Amin menyatakan bahwa Motzki mengklasifikasikan riwayat sebagai berikut: Tabel
1.2. NO PERAWI % JALUR PERIWAYATAN
Periwayat % 1 Ma’mar (w. 153 H) 32 Ibn Syihab az-Zuhri 28 Qatadah bin Diama 25 Ayyub bin Abi Tamima 11 Tanpa Nama 6 Ibn Tawus 5 Ma’mar langsung 1 77 orang lainnya 24 Jumlah prosentase dari 23% 100 2 Ibn Jurayj (w. 150 H) 29 ‘Ata’ ibn Rabah 39 Tanpa nama 8 Amr bin Dinar 7 Ibn Syihab az-Zuhri 6 Ibn Tawus 5 Ibn Jurayj 1 103 orang lainnya 34 Jumlah prosentase dari 29% 100 3 Sufyan as-Sauri (w. 161 H) Catatan: dalam hal ini secara personal Sufyan as-Sauri lebih mendominasi periwayatan 22 Sufyan as-Sauri 19 Mansur bin al-Mu’tamir 7 Jabir bin Yazid 6 Tanpa nama 3 161 orang lainnya 65 Jumlah prosentase dari 22% 100 4 Ibn ‘Uyayna 4 Amr bin Dinar 23 Ibn Abi Najih 9 Yahya bin Said al-Anshari 8 Ismail bin Abi Khalid 6 Tanpa Nama 4 37 orang lainnya 50 Jumlah prosentase dari 29% 100 5 90 orang lainnya 13 Jumlah total periwayat 100% Berdasarkan data di atas Moztki menyatakan: “These profile show that each source has a completeley individual face”. (Profil ini menunjukan bahwa keempat koleksi teks tersebut memiliki karakteristik tersendiri. penulis). Bahkan lebih jauh lagi Motzki berani menyimpulkan bahwa hadits yang digunakan Abd ar-Razzaq dengan merujuk keempat informan utamanya adalah otentik. Hal ini penulis pandang sebagai trobosan berani di kalangan orientalis Barat yang selama ini dikenal tidak pernah menggunakan instrument rijal hadits dalam penelitian mereka terhadap hadits. Yang di dalam dunia Islam sendiri peran seorang rawi dipandang sangat menentukan kualitas hadits yang diriwayatkan. 2. Sampling (mengambil sebagian data) Penelitian Motzki atas Mushannaf Abd Razaq tidak mengambil keseluruhan hadits namun ia hanya mengambil sampel dari sumber primer tersebut, yakni mengambil beberapa bagian yang diangap telah mewakili populasi dari yang diteliti. Ia (Motzki) bertujuan menghindari kekeliruan generalisasi dari sampel ke dalam keseluruhan populasi. Ia mengambil 3810 hadis dari keseluruhan 21033 hadis. yang berarti total hadis ia teliti adalah sebanyak 18,11439167023249% hadis dari Mushannaf. Aplikasi metode sampling yang digunakan Motzki ini ia terapkan guna menganalisa hubungan antara pengarang Mushannaf (Abd ar-Razzaq) dengan perawi di atasnya semisal Ibn Jurayj. Motzki menjelaskan bahwa magnitude (besarnya) distribusi transmisi Jurayj didapatkan karena ia pernah tinggal di Makkah yang memungkinkan ia bertemu dengan sejumlah sarjana, terutama ketika memasuki musim haji. Jumlah pendistribusian hadits yang tidak seimbang ditambah tidak tampaknya dominasi Jurayj dalam penyampaian pendapatnya sendiri merujuk otoritas yang lebih awal, hal ini menunjukkan bahwa Abd Razaq bukan pemalsu. Data yang diuji yang bersumber dari Jurayj meliputi: perbedaan isi (misal, pengunaan ra’yu didistribusikan secara tidak seimbang); perbedaan pengunaan riwayat guru-murid, anak-bapak, maula-patron, perbedaan proporsi hadis dari nabi, sahabat, dan tabi’in; perbedaan penggunaan isnad dan perbedaan terminologi periwayatan (misal, penggunaan istilah ‘an atau sami’tu). Menurut penulis, langkah Motzki dalam metode sampling ini bukanlah hal baru dalam dunia jarh wa ta’dil dalam periwayatan di kalangan pemerhati hadits muslim sebab pengujian hubungan timbal balik antara guru-murid sekaligus takaran ‘adalah rawi telah ada di sana, hal menarik yang patut diapresiasi dari langkah berani -kalau tidak boleh dikatakan gegabah, sebab periwayatan hadits dengan metode sampling bisa menghasilkan kesimpulan minor atas keshahihan sebuah kitab hadits bila ternyata rawi yang ‘terambil’ didominasi mereka yang terkena jarh sebagai perawi yang dla’if, matruk, apalagi kadzdzab – Motzki ini adalah trobosan baru yang patut dicermati untuk dikritisi validitas penggunaannya, sebab metode ini bisa menimbulkan implikasi penilaian baik-buruk yang “kurang terjamin validitasnya” atas kitab hadits yang diteliti hingga penilaian atas kitab hadits yang ditelitipun mengalami distorsi penilaian yang melemahkan kedudukannya. Lihat contoh berikut: • Dari Ibnu Juraij dari Atha’, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila naik ke atas mimbar maka beliau menghadap kepada orang-orang lalu mengatakan, ‘Assalamu’alaikum’.” (HR. Abdur Razzaq) dalam Mushannafnya, Penulis menilai hadits ini adalah mursal karena Atha’ adalah tabi’in, dan hadits mursal termasuk hadits lemah). • ’Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanad mursal: عن معمر والثوري عن أيوب عن عكرمة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عق عن حسن وحسين كبشين Dari Ma’mar dan Ats-Tsaury, dari ’Ikrimah: ”Bahwasannya Rasulullah SAW meng-’aqiqahi Hasan dan Husain dengan dua ekor kambing kibasy”. Muhammad bin ’Abdil-Qadir ’Atha’ – pentahqiq kitab As-Sunan Al-Kubraa lil-Baihaqi – ketika mengomentari hadits ’aqiqah Al-Hasan dan Al-Husain di atas menyebutkan perkataan Abu Hatim bahwasannya riwayat dari ’Ikrimah dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam secara mursal itu lebih shahih. Perkataan Ibnu Abi Hatim secara lengkap adalah sebagai berikut : وسألت أبي عن حديث رواه عبد الوارث، عن أيوب، عن عكرمة، عن ابن عباس: أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنِ الْحُسَين والْحَسَن كَبْشَتَين؟ قال أبي: هذا وهم؛ حدثنا أبو معمر، عن عبد الوارث، هكذا. ورواه وُهَيب، وابن عُلَيَّة، عن عِكرمة، عن النبي صلى الله عليه وسلم، مُرسَلٌ. قال أبي: وهذا مُرسَلاً، أَصَحُّ ”Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan ’Abdul-Waarits, dari Ayyub, dari ’Ikrimah, dari Ibnu ’Abbas: ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam meng-’aqiqahi Al-Husain dan Al-Hasan dengan dua ekor kambing?”. Ayahku berkata: ”Ini keliru. Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, dari ’Abdul-Waarits dengan sanad ini. Dan diriwayatkan oleh Wuhaib dan Ibnu ’Ulayyah, dari ’Ikrimah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dengan sanad mursal”. Ayahku berkata : ”Sanad mursal ini lebih shahih”. Diriwayatkan oleh Al-Khaathib dalam At-Taarikh, dari jalur Hafsh bin Muhammad Al-Bashriy, dari Ayyub, dari ’Ikrimah, dari Ibnu ’Abbas r.a. Nama Hafsah bin Muhammad Al-Bashriy dalam rantai sanad ini adalah keliru. Yang benar adalah Hafsah bin ’Umar Al-Bashriy. Adz-Dzahabi dalam berkata: حفص بن عُمر، بصري. عن أيوب السختياني في العقيقة. قال الأزدي : منكر الحديث ”Hafsah bin ’Umar Al-Bashriy, dari Ayyub As-Sikhtiyaaniy dalam hadits ’aqiqah. Berkata Al-Azdiy: Munkaarul-hadits”. Dikarenakan dua riwayat penguat ‘Abdul-Waarits itu tidak shahih, maka yang tersisa hanyalah jalur pertama saja, yaitu ‘Abdul-Waarits bin Sa’id, dari Ayyub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’. Inilah yang dapat dipegang. Patut dicatat bahwa jalur ini pun tidak luput dari penyakit. ’Abdul-Warits menyelisihi banyak perawi – diantara mereka ada yang lebih kuat daripadanya – dalam hal kebersambungan sanadnya. Mengingat kekuatan seorang rawi dalam membawa hadits tidak bisa diabaikan begitu saja, maka ia bisa menjadi penentu apakah hadits yang dibawanya diterima kalangan ahli hadits atau tertolak. Sebagaimana Mahmud al-Qahtan berpendapat: كان الصحابة رضي الله عنهم يثبتون في نقل الأخبار و قبولها، لا سيما إذا شكوا في صدق الناقل لها. فظهر بناء على هذا موضوع الاسناد و قيمته في قبول الأخبار أوردها. فقد جاء في صحيح مسلم عن ابن سميرة: قال: لم يكونوا يسألون عن الاسناد فلما وقعت الفتنة قالوا سموا لنا رجالكم! فينظر إلى أهل السنة فيأخذ حديثهم و ينظر إلى أهل البدع فلا يأخذ حديذهم. “Para shahabat r.a. telah memiliki patokan baku dalam periwayatan hadits dan proses penerimaannya, hal ini sangat ketat dilakukan terlebih bila berhubungan dengan penilaian atas kejujuran perawinya. Diterangkan dalam Shahih Muslim yang diriwayatkan oleh Ibn Sumairah: “Para shahabat tidak banyak bertentangan dalam hal isnad, namun ketika al-fitnah (perbedaan pendapat tentang sesuatu yang bersumber dari hadits Nabi) terjadi, mereka (para shahabat) berseru: ‘sebutkan rijal hadits kalian!’ Maka kedua belah yang berselisih sepakat meneliti mana diantaranya yang termasuk ahlu-s-sunnah (mereka yang terkenal di kalangan muslimin sebagai rijal hadits yang tsiqqah) maka mereka mengambil haditsnya dan meninggalkan hadits ahlu-l-bid’ah.” 3. Analyzing Proses selanjutnya adalah analisa sanad dan matan dengan menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan traditional-historical yakni sebuah metode yang cara kerjanya menark sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi para perawi tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu. Jadi, traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan menguji materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur periwayatan yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang direkayasa.
3.1. Penggunaan teori external criteria dan formal criteria of authenticity sebagai alat analisa periwayatan. Motzki memfokuskan dari sumber yang sering diikuti Jurayj, yakni ‘Ata’. Dalam hal ini ia menggunakan teori External Criteria dan argument internal formal criteria of Authenticity yang merupakan dua alat analisa yang dihasilkan ketika Motzki meneliti penyandaran (transformasi ilmu) yang dilakukan Jurayj kepada ‘Ata’.
3.1.1. External Criteria (Isnad) Bila oriantelis Barat semisal Schacht, Juynboll, Irene, Schnider, dan Herbert Berg cenderung untuk mengesampingkan aspek rawi dan menganggap terlalu formalistik yang hanya didasarkan pada kriteria eksternal (isnad), maka lain halnya dengan Motzki, ia menyarankan untuk menggunakannya sebagai perangkat penting dalam penelitian hadits, sebagaimana pernyataannya: “That it will not be prudent to wholly do away with the chain of narrators as a careful study of these chains can tell us a lot about the provenance of a hadith. Rather, the chain of narrators should be studied in tandem with the text of a hadith, is called the isnad-cum-matn approach.” (Bahwa tidak bijaksana untuk sepenuhnya menyingkirkan dengan rantai perawi sebagai studi yang cermat, sebab perawi rantai ini dapat memberitahu kita banyak tahu tentang asal-usul sebuah hadits. Sebaliknya, rantai periwayat harus dipelajari bersama-sama dengan teks sebuah hadits, yang disebut sebagai isnad-cum-matn. Terjm: penulis). Dalam hal ini Motzki pada titik kesimpulan, bahwa; (Pertama), materi Ibn Jurayj dari ‘Ata’ dalam Musannaf Abd ar-Razzaq adalah benar-benar sumber otentik. (Kedua), sumber tersebut dapat dikatakan sebagai historically reliable source (sumber sejarah yang bisa diandalkan) untuk fase perkembangan hukum di Makkah pada dekade pertama abad ke-2 H.
3.1.2. Magnitude (banyak sanad dan penyebarannya) Kecurigaan yang mendasarkan bahwa Mushannaf adalah kitab hadits yang tidak lebih dari karangan fuqaha’ terbantahkan, sebab Motzki menjelaskan bahwa magnitude (besarnya) distribusi transmisi Jurayj didapatkan dalam periwayatan untuk Mushannaf dikarenakan dua hal: (Pertama), ia pernah tinggal di Makkah yang memungkinkan ia bertemu dengan sejumlah sarjana, terutama ketika memasuki musim haji. (Kedua), adalah genres (gaya atau style penyampaian). Dalam hal ini Jurayj menunjukkan bahwa materi ia sampaikan otentik. Rupanya Motzki tidak setuju bila Jurayj sebagai sumber hadits Abd Razaq dinyatakan sebagai pemalsu. Sebab Jurayj memilih cara yang sangat rumit ketika menyandarkan materi hukumnya kepada sumber yang ia sebutkan secara tidak konstan dan tidak memilih satu atau beberapa informan saja dari fuqaha’ atau perawi terkenal. Dengan metode ini Motzki bisa meneliti apakah seorang Jurayj memiliki kecenderungan untuk berkompromi dengan satu/beberapa sumber yang bisa diajak memalsu hadits, jawabnnya tidak.
B. Sanggahan Harald Motzki atas skeptisisme para orientalis terhadap hadits (Sebuah Pembanaran atas sebagian pendapatnya) Maka Motzki sampai pada kesimpulannya: “While studying the Musannaf of `Abd al-Razzaq, I came to the conclusion that the theory championed by Goldziher, Schacht, and in their footsteps, many others – myself included – which in general, reject hadith literature as a historically reliable sources for the first century AH, deprives the historical study of early Islam of an important and a useful type of source.” (Setelah mengkaji Musannaf Abdurrazzaq, aku sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori yang dibangun oleh Goldziher, Schacht dan para pengikutnya termasuk aku – yang mana secara umum menolak literatur hadis sebagai sumber sejarah yang dapat dipercaya pada abad I H. – berarti mencabut atau menghilangkan studi historis awal Islam dari sebuah sumber penting dan berguna, terj. penulis) Baginya, penelitian serius dengan obyektif terhadap berbagai sumber ajaran agama akan menghasilkan kesimpulan yang obyektif pula sebagaimana ungkapannya di atas. Ini menunjukan bahwa Motzki adalah bukanlah sosok orientalis kebanyakan yang mengalami Islamic phobia sehingga karya-karyanya “cenderung” obyektif terhadap berbagai literature yang ditelitinya, tidak terkecuali kecenderungannya untuk mendekati obyek penelitian dengan kacamata yang diteliti. Penulis menganggap, Motzki adalah sosok orientalis yang “mampu” beradaptasi dengan peradaban Islam dengan berbagai literature ilmiah yang dimilikinya. Hingga ia berkenan untuk menjadikan konsep rawi, isnad, dan sanad hadits seperti pemahaman kaum muslimin terhadapnya.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari langkah-langkah penelitian yang dilakukan penulis, maka sampailah pada kesimpulan bahwa langkah Motzki dalam merekonstruksi otentitas hadits ia menggunakan 3 metodologi untuk meneliti keabsahan hadits yang ia teliti, yakni: dating, sampling dan analizing. (Pertama) Dating, merupakan toeri pengujian materi sejarah dengan meneliti asal-muasal dan umur terhadap sumber sejarah atau dalam hal ini dating (penanggalan) hadits digunakan untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang allegedly terjadi pada masa awal Islam. Motzki menggunakannya untuk meneliti rijal hadits kitab Mushannaf milik Abd Razaq, ia berkesimpulan bahwa hadits yang digunakan Abd ar-Razzaq dengan merujuk keempat informan utamanya adalah otentik. (Kedua) Sampling yang digunakan Motzki ini ia terapkan guna menganalisa hubungan antara pengarang Mushannaf (Abd ar-Razzaq) dengan perawi di atasnya semisal Ibn Jurayj. Langkah Motzki ini bukanlah hal baru dalam dunia jarh wa ta’dil dalam periwayatan di kalangan pemerhati hadits muslim sebab pengujian hubungan timbal balik antara guru-murid sekaligus takaran ‘adalah rawi telah ada di sana, hal menarik yang patut diapresiasi dari langkah berani -kalau tidak boleh dikatakan gegabah, sebab periwayatan hadits dengan metode sampling bisa menghasilkan kesimpulan minor atas keshahihan sebuah kitab hadits bila ternyata rawi yang ‘terambil’ didominasi mereka yang terkena jarh sebagai perawi yang dla’if, matruk, apalagi kadzdzab. Penulis berkesimpulan bahwa metode ini tidak bisa digunakan untuk menstandarisasi kualitas sebuah kitab hadits, sebab bisa menimbulkan implikasi penilaian baik-buruk yang “kurang terjamin validitasnya” atas kitab hadits yang diteliti hingga penilaian atas kitab hadits yang ditelitipun mengalami distorsi penilaian yang melemahkan kedudukannya. Sebagaimana penelitian penulis atas hadits Ibnu Juraij dalam al-Mushannaf dari Atha’ yang menyatakan Nabi mengucap salam ketika khutbah Jum’at yang dimursalkan oleh olama’ hadits. Atau Dari Ma’mar dan Ats-Tsaury, dari ’Ikrimah yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW meng-’aqiqahi Hasan dan Husain dengan dua ekor kambing kibasy, yang juga dimursalkan oleh ulama’ hadits. Dikarenakan dua riwayat penguat ‘Abdul-Waarits itu tidak shahih, maka yang tersisa hanyalah jalur pertama saja, yaitu ‘Abdul-Waarits bin Sa’id, dari Ayyub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’. Inilah yang dapat dipegang. Patut dicatat bahwa jalur inipun tidak luput dari illat. ’Abdul-Warits menyelisihi banyak perawi – diantara mereka ada yang lebih kuat daripadanya – dalam hal kebersambungan sanadnya. Sebab kekuatan seorang rawi dalam membawa hadits tidak bisa diabaikan begitu saja, maka ia bisa menjadi penentu apakah hadits yang dibawanya diterima kalangan ahli hadits atau tertolak, bila mayoritas sample adalah merekayang tertolak, maka kitab hadits itupn tertolak validitasnya. (Ketiga) Analizing, yakni analisa sanad dan matan dengan menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan traditional-historical yakni sebuah metode yang cara kerjanya menark sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi para perawi tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu. Jadi, traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan menguji materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur periwayatan yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang direkayasa. Motzki memfokuskan dari sumber yang sering diikuti Jurayj, yakni ‘Ata’. Dalam hal ini ia menggunakan teori External Criteria (isnad) dan argument internal formal criteria of Authenticity yang merupakan dua alat analisa yang dihasilkan ketika Motzki meneliti penyandaran (transformasi ilmu) yang dilakukan Jurayj kepada ‘Ata’. Dalam hal ini Motzki pada titik kesimpulan, bahwa; Materi Ibn Jurayj dari ‘Ata’ dalam Musannaf Abd ar-Razzaq adalah benar-benar sumber otentik. Kedua, sumber tersebut dapat dikatakan sebagai historically reliable source (sumber sejarah yang bisa diandalkan) untuk fase perkembangan hukum di Makkah pada dekade pertama abad ke-2 H. Kecurigaan yang mendasarkan bahwa Mushannaf adalah kitab hadits yang tidak lebih dari karangan fuqaha’ terbantahkan, sebab Motzki menjelaskan bahwa magnitude (besarnya) distribusi transmisi Jurayj didapatkan dalam periwayatan untuk Mushannaf dikarenakan dua hal: (Pertama), ia pernah tinggal di Makkah yang memungkinkan ia bertemu dengan sejumlah sarjana, terutama ketika memasuki musim haji. (Kedua), adalah genres (gaya atau style penyampaian). Dalam hal ini Jurayj menunjukkan bahwa materi ia sampaikan otentik. Motzki berkesimpulan “While studying the Musannaf of `Abd al-Razzaq, I came to the conclusion that the theory championed by Goldziher, Schacht, and in their footsteps, many others – myself included – which in general, reject hadith literature as a historically reliable sources for the first century AH, deprives the historical study of early Islam of an important and a useful type of source.” (Setelah mengkaji Musannaf Abdurrazzaq, aku sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori yang dibangun oleh Goldziher, Schacht dan para pengikutnya termasuk aku – yang mana secara umum menolak literatur hadis sebagai sumber sejarah yang dapat dipercaya pada abad I H. – berarti mencabut atau menghilangkan studi historis awal Islam dari sebuah sumber penting dan berguna, terj. penulis). Baginya, penelitian serius dengan obyektif terhadap berbagai sumber ajaran agama akan menghasilkan kesimpulan yang obyektif pula sebagaimana ungkapannya di atas. Ini menunjukan bahwa Motzki adalah bukanlah sosok orientalis kebanyakan yang mengalami Islamic phobia sehingga karya-karyanya “cenderung” obyektif terhadap berbagai literature yang ditelitinya, tidak terkecuali kecenderungannya untuk mendekati obyek penelitian dengan kacamata yang diteliti. Penulis menganggap, Motzki adalah sosok orientalis yang “mampu” beradaptasi dengan peradaban Islam dengan berbagai literature ilmiah yang dimilikinya. Hingga ia berkenan untuk menjadikan konsep rawi, isnad, dan sanad hadits.
B. Saran
Sangat dipahami, bahwa posisi orientalis selalu berhadapan dengan perlawanan pemikir Islam, namun bila kemudian apa yang ia capai adalah bentuk dukungan, pembenaran dan penguatan terhadap posisi berbagai piranti analisis Islam maka tidak selayaknya ia dicampakkan begitu saja. Terlebih apa yang dilakukannya berlandaskan pada metode objektif sehingga diyakini “lumayan” terjauh dari bingkai sikap skeptic terhadap Islam. Penulis menyadari, bahwa betapa para orientalis Barat berupaya sungguh-sungguh untuk mencurahkan segala daya upaya untuk menelusuri sumber sejarah peradaban Islam, terlepas dari subjektifitas mereka sebagai orang di luar pagar ketauhidan Islam. Penulis benar-benar memberikan apresiasi yang tinggi bagi siapapun yang telah melakukan berbagai riset ilmiah terlebih yang berkenaan dengan studi kritik hadits, sebab dengan semua itu, hadits menjadi ornament agama Islam yang benar-benar penting untuk dikaji ulang secara menarik, sebab apapun yang tidak bersifat qath’i pastilah debatable. Yang bila dilakukan secara objektif akan menunjukkan muara kebenaran atau bahkan kedustaan dari obyek penelitian. Penulis berharap, apa yang disajikan ini bermanfaat bagi kelimuan Islam pada umumnya dan kajian otentikasi Hadist pada khususnya. Kesalahan dan kekurangan yang ada penulis harap ada kritikan yang membangun untuk perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Aljazeerah.info. Retrieved 2010-06-13. Terakhir diakses 19 Januari 2011, pukul: 11.12 WIB. Amin Kamaruddin, “Book Review The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh before the Classical School”, dalam Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. ______________, ”Problematika Ulumul Hadis Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif”, dalam.www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah /Makalah%20Komaruddin.doc. Diakses pada 21 Juni 2011, pukul 11.03 WIB. ______________, The Reliability of Hadith Transmission, A Reexamination of Hadith Critical Methods, Bonn 2005. ______________, Western Methods of Dating vis-a-vis Ulumul Hadis (Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat), disampaikan pada Pidato Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar, Disampaikan pada acara Wisuda Sarjana dan Pengukuhan Guru Besar Periode Desember 2010, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Arkaoun. M., Rethingking Islam, terj. Yudian W. Yasmin dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. http://www.sonpeygamber.info/hadis–siret–arastirmalari–odul–sahiplerinden -fatma-kizil-sorularimizi-yanitladi, terakhir diakses pada 26 juni 2011 pukul 11.56 WIB. http : // ahlulhadis . wordpress . com / 2008 / 05 / 31 / gugatan – terhadap – hadis/, terakhir diakses pada 26 Juni 2011, pukul 11.18 WIB. http://en.wikipedia.org/wiki/The Free Encyclopedia/Harald Motzki, terakhir diakses 29 maret 2011, pukul: 21.04 WIB. http://idrismuhammad.blogspot.com/2011/04/ membedah – siraj – al – thalibin – karya – syeikh. html, diakses terakhir tanggal 10 Juli 2011. ___________________________________ kritik–atas–proyek–kritik–hadis–joseph.html, terakhir diakses pada 27 juni 2011 pada 11.00 WIB. http://islamlib.com/id/artikel/diskursus-hadis-di-jerman/, diakses pada 27 Juni 2011, 10.31 WIB. http://islamuna-adib.blogspot.com/2010/03/pemikiran-harald-motzki-tentang-hadis. html didownload pada 27 June 2011 09.17 WIB. http://www.ashgate.com/isbn/9780860787044, didownload pada 27 Juni 2011 pukul 10.54 WIB http://www.darulkautsar.net/print.php?page=2&articleid=822 pada 26 juni 2011/ pukul 11.22 WIB. http://www.google.com/search?tbo=p&tbm=bks&q=inauthor:%22Harald+Motzki%22&source=gbs_metadata_r&cad=10#q=inauthor:%22Harald+Motzki%22&hl=en&tbm=bks&ei=2y8dTtSyMsWzrAeksvWNDA&start=10&sa=N&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.&fp=ab5d2971f87bd149&biw=1024&bih=507, terakhir diakses pada: 22 Juni 2011, pukul 12.50 WIB. http://www.ru.nl/arabisch/motzki/, terakhir diakses 29 maret 2011, pukul: 09.12 WIB. M. Mansur Ali, Muslim World Book Review (MWBR), Vol. 31, issue 3, Spring 2011. Mahmud at-Thahani, Taisiru Musthalahi-l-Hadits, Gontor: Darusalam Press, 2000. Motzki Harald, “The Musannaf Of `Abd al-Razzaq Al-San`ani As A Source of Authentic Ahadith of The First Century A.H.”, Journal Of Near Eastern Studies, 1991, Volume 50. ___________, “The Musannaf of ar-Razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadith of the First Century”, Journal of Near Easern Studies, Vol. 50. No. 1. ___________, “Whither Hadith-Studies? A Critical Examination of G.H.A. Juynboll’s Nafi’ the mawla of Ibn ‘Umar and His Position in Muslim Hadith-Literature”, rans. Fiona Ford and Frank Griffel. Radboud Universiteit Nijmegen, Publicatielijst Harald Motzki, 2011. Umi Sumbulah, Kritik Hadis (Pendekatan Historis-Metodologis), Malang: UIN Malang Press, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar