Oleh; Zaenal Mutaqin
1.
Biografi
Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun
1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang
bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara
madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke
dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal
dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali
dan Iqbal.
Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain
mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menimba banyak ilmu tradisional dari
ayahnya--seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di
anak benua Indo-Pakistan. [1] Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam
keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh, ia
sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala. [2] Ia juga menerima ilmu hadis
dan ilmu syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda dengan kalangan tradisional
pada umumnya, ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang memandang modernitas
sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia apresiatif
terhadap pendidikan modern. Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi
perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karier
pendidikannya.
Selain itu, latar sosial anak benua
Indo-Pakistan yang telah melahirkan sejumlah pemikir Islam liberal, seperti
disinggung di atas, juga merupakan benih-benih dari mana pikiran liberal Rahman
dan skeptisisme Rahman tumbuh. Misalnya, Rahman sangat apresiatif terhadap
pemikiran pendahulunya. Bahkan dalam pembahasannya mengenai wahyu ilahi dan
nabi, ia secara eksplisit mengakui bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan dari
pemikiran pendahulunya, yakni Sah Wali Allah dan Muhammad Iqbal:
Dengan demikian, argumen saya
tentang kemapanan karakter wahyu Al-Qur’an terdiri dari dua bagian. Dalam
bagian Pertama, saya telah menyetujui—dan tidak berbuat lebih lagi
terhadap—pernyataan-pernyataan syah wali Allah dan Muhammad Iqbal yang
menerangkan proses psikologis wahyu.[3]
2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman
Setelah menamatkan sekolah menengah,
Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada
Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di
Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak
puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi
doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat
pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa
Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa
Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu.[4] Ia
mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai
Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University,
Kanada.
Sekembalinya ke tanah air, Pakistan,
pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic
Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of
Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut
bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam
rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan
Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah
maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan
Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan
Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan
mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.
Karena tugas yang diemban oleh kedua
lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk
menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal Rahman,
yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan
ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan. Ide-idenya di seputar riba
dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa
mengenai kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah
meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan.
Bahkan pernyataan Rahman dalam karya magnum opusnya, Islam, bahwa “Al-Qur’an
itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan—dalam pengertian biasa—juga
seluruhnya adalah perkataan Muhammad”, telah menghebohkan media massa selama
kurang lebih setahun. Banyak media yang menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum
fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman sebagai munkir al-Quran. Puncak
kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan
protes terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun mengajukan pengunduran
dirinya dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968.
Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada
1969.
Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah
ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala
aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University
of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan
lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.
3. Perkembangan Pemikiran dan Karya-karyanya
Dari selintas perjalanan hidup
Fazlur Rahman di atas, Taufik Adnan Amal membagi perkembangan pemikirannya ke
dalam tiga babakan utama, yang di dasarkan pada perbedaan karakteristik
karya-karyanya: (I) periode awal (dekade 50-an); periode Pakistan (dekade
60-an); dan periode Chicago (dekade 70-an dan seterusnya).[6]
Ada tiga karya besar yang disusun Rahman pada periode
awal: Avicenna’s Psychology (1952); Avicenna’s De Anima (1959); dan Prophecy in
Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Dua yang pertama merupakan terjemahan
dan suntingan karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir mengupas
perbedaan doktrin kenabian antara yang dianut oleh para filosof dengan yang
dianut oleh ortodoksi. Untuk melacak pandangan filosof, Rahman mengambil sampel
dua filosof ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037). Secara
berturut-turut, dikemukakan pandangan kedua filosof tersebut tentang wahyu
kenabian pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis atau
imaninatif, doktrin mukjizat dan konsep dakwah dan syariah. Untuk mewakili
pandangan ortodoksi, Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali,
Al-Syahrastani, Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Hasilnya adalah kesepekatan
aliran ortodoks dalam menolak pendekatan intelektualis-murni para filosof
terhadap fenomena kenabian. Memang, Kalangan mutakallimun tidak begitu
keberatan menerima kesempurnaan intelektual nabi. Tapi mereka lebih menekankan
nilai-nilai syariah ketimbang intelektual.
Rahman sampai pada kesimpulan bahwa
tidak ada perbedaan mendasar antara posisi filosofis dan ortodoksi. Sebab,
perbedaan ada sejauh pada tingkat penekanan saja. Menurut para filosof, nabi
menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Intelek Aktif;
sementara menurut ortodoksi nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan
dirinya dengan malaikat. Sementara para filosof lebih menekankan kapasitas
alami nabi sehingga menjadi “nabi-manusia”, ortodoksi lebih suka meraup
karakter ilahiah dari mukjziat wahyu ini. Kelak, pandangan ini cukup mempunyai
pengaruh terhadap pandangan Rahman tentang proses “psikologis” nabi menerima
wahyu. Seperti halnya teori para filosof dan kaum ortodoks, Rahman berteori
bahwa Nabi mengidentifikasikan dirinya dengan hukum moral.[7]
Pada periode kedua (Pakistan), ia menulis buku yang
berjudul: Islamic Methodology in History (1965). Penyusunan buku ini bertujuan
untuk memperlihatkan: (I) evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar
(sumber pokok) pemikiran Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan (ii)
peran aktual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri.
Buku kedua yang ditulis Rahman pada periode kedua ini adalah Islam, yang
menyuguhkan—meminjam istilah Amin Abdullah—rekontruksi sistemik terhadap
perkembangan Islam selama empat belas abad. Buku ini boleh dibilang sebagai
advanced introduction tentang Islam.
Pada periode Chicago, Rahman menyusun: The Philosophy
of Mulla Sadra (1975), Major Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and
Modernity:Transformatioan of an intellektual tradition (1982).
Kalau karya-karya Rahman pada
periode pertama boleh dikata bersifat kajian historis, pada periode kedua
bersifat hitoris sekaligus interpretatif (normatif), maka karya-karya pada
periode ketiga ini lebih bersifat normatif murni. Pada periode awal dan kedua,
Rahman belum secara terang-terangan mengaku terlibat langsung dalam arus
pembaruan pemikiran Islam. Baru pada periode ketiga Rahman mengakui dirinya,
setelah mebagi babakan pembaruan dalam dunia Islam, sebagai juru bicara
neomodernis.
4. Pembahasan masalah sunnah
Sunnah adalah sebuah
konsep perilaku baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun kepada
aksi-aksi mental. Selanjutnya sunnah ini merupakan aksi yang dilakukan
secara berulang atau mungkin sekali dapat berulang kembali. Dengan kata lain, sunnah
adalah sebuah hukum tingkah laku, baik yang terjadi sekali maupun
berungkali. Dimana sunnah ini disyaratkan dilakukan oleh orang yang
sadar dan orang tersebut merupakan orang yang memiliki aksi-aksi tersebut.
Dengan maksud orang tersebut benar-benar berperilaku sesuai apa yang ia
kehendaki tanpa adanya paksaan. Dari syarat-syarat tersebut maka sebuah sunnah
tidak hanya merupakan hukum tingkah laku tetapi juga merupakan sebuah hukum
yang moral yang bersifat normatif.
Menurut sarjana Barat pada masa ini, sunnah adalah praktek
aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Hal ini
secara tidak langsung sunnah dipandang selain sebagai praktek yang aktual, ia
juga dipandang sebagai sebagai aktifitas
yang lama yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
Pada dasarnya sunnah dipandang sebagi teladan, dimana kepatuhan
terhadapnya bukanlah sebagian daripada arti sunnah tersebut. Hal ini dapat
dibuktikan dengan kata Sunnah yang dimaknai dengan Shawwara (al-syay’a)
oleh Ibnu Durayd dalam karyanya yang bernama Jamharah. Kata tersebut berarti
membuat sesuatu menjadi teladan. Hal ini tepat sebagaimana yang diungkapkan Abu
Yusuf dalam kitabnya Kitab Al-Kharaj, dimana perkataan tersebut
dogunakan untuk menegur khalifah Harun al-Rasyid. Perkataan tersebut menyuruh
kahlifah untuk memperkenalkan sunnah-sunnah yang baik bukan mengikutinya.
Pada bagian yang sama, Abu Yusuf juga menuturkan hadis Nabi:
“Barang siapa memperkenalkan sebuah sunnah yang baik maka ia
akan memperoleh pahala........ dan barang siapa yang memperkenalkan sebuah
sunnah yang buruk maka........”
Sebuah sunnah juga dipandang sebagai jalan lurus yang berada di
depan atau jalan yang tidak menyimpang. Sunnah yang dipandang sebagai jalan
yang lurus juga dapat diartikan dengan penengah diantara hal-hal yang ekstrim
atau jalan tengah. Sebagai buktinya Abu Hanifah pernah ditannya oleh Utsman
al-Batti masalah seorang muslim yang berdosa besar, atau sikap Abu Hanifah
ketika menentang kaum Khawarij, ia mengatakan bahwa pendapatnya sama dengan
pendapat yang dipegangi oleh Ahl al-Adl wa al-Sunnah atau “orang-orang
penengah yang berada di jalan tengah”.
Seorang orientalis yaitu Ignaz Goldziher berkata begitu Nabi
Muhammad SAW tampil dalam segala perbuatan dan tingkah lakunya, hal itu
merupakan sunnah bagi masyarakat muslim yang masih baru dan idealitas sunnah
dari orang-orang Arab pun berakhir. Hal ini membirikan gambaran bahwa yang
dimaksud sunnah disini adalah bid’ah-bid’ah (inovasi) yang dibuat Nabi baik
dimana bid’ah tersebut dapat merubah idelitas
orang-orang Arab. Selanjutnya, Snouck Hurgronje menyatakan bahwa kaum muslim
sendiri menambah-nambahi sunnah Nabi, sehingga hampir semua hasil pemikiran dan
praktek muslim dianggap sebagai sunnah Nabi. Berbeda dengan dua ilmuwan di
atas, Lammens dan Margoliuth memandang sunnah semata-mata sebagai karya dari
orang Arab baik itu pra ataupun islam ada. Joseph Schaut menambahi bahwa konsep
sunnah nabi hanya timbul di kemudian hari, sedang generasi generasi muslim di
masa lampau sunnah berarti praktek kaum muslimin itu sendiri.
Sebab-sebab sarjana menolak konsep Sunnah Nabi adalah karena
menemukan:
1.
Sebagian dari kandungan sunnah merupakan kontinuasi langsung dari
kebiasaan dan adat istiadat Arab dari masa lampau sebelum islam.
2.
Sebagian besar dari kandungan sunnah adalah hasil pemikiran
ahli-ahli hukum yang dengan ijtihad pribadi mereka telah menarik
kesimpulan-kesimpulan dari sunnah atau praktek-praktek yang ada.
3.
Dikemudian hari hari hadis menjadi suatu gerakan yang besar dan
berubah menjadi fenomena massal pada akhir abad kedua dan terutama pada abad
ketiga, dimana seluruh kandungan sunnah pada masa itu dikatakn bersumber dari
Nabi Muhammad sendiri dibawah naungan konsep sunnah nabi.
Seorang sarjana muslim, Fazlur Rahman membantah tudingan tersebut
dengan mengatkan bahwa (1) sementara kisah perkembangan sunnah di atas pada
dasarnya hanya benar sehubungan dengan kandungannya akan tetapi tidak benar
sehubungan dengan konsepnya yang menyatkan bahwa sunnah nabi tetpa merupakan
konsep yang memiliki validitas dan operatif sejak awal sejarah islam hingga mas
kini. (2) kandungan sunnah yang bersumber dari dari nabi tidak banyak
jumalahnya dan dimaksudkan untuk bersifat spesifik secara mutlak. (3) konsep
sunnah sesudah nabi wafat tidak hanya mencakup dari nabi akan tetapi juga
mencakup tafsiran-tafsiran terhadap sunnah dari nabi tersebut. (4) sunnah di
dalam pengertian yang terakhir ini sama luasnya dengan ijma yanhg pada dasranya
merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus;dan terakhir
sekali. (5) Setelah gerakan pemurnian hadis yang besar-besaran hubungan organis
diantara sunnah, ijtihad, dan ijma menjadi rusak.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teori yang mengatakan sunnah nabi dan kandungannya
tidak ada selain dari pada ketentuan-ketentuan al-Qur’an mengenai hukum moral
adalah berdasarkan dua buah pertimbangan: 1. Di dalam kenyataanya hampir semua
kandungan sunnah pada masa generasi-generasi mulim pertama sekali adalah
sebagai kelanjutan dari praktek-praktek orang arab pra islam atau sebagai
aktifitas pemikiran yang dolakukan secara asismilatif deduktif oleh generasi
muslim, 2. Betapapun juga sunnah merupakan sebuah tradisi yang berbeda dengan
dari aktifitas seorang pribadi.
Dari beberapa bukti, sunnah juga mengkerucut pada pengertian bahwa
pekerjaan tersebut dilakukan oleh nabi yaitu perkataan al-Kumayt “ Bi Ayyi
Kitaabin aw Bi Ayyi Sunnatin tara Hubbahum Aaran alayya wa tahsabu? Dalam kalimat tersebut menggugkapkan
bahwa sunnah disana diartiakan dengan sunnah yang berasala dari nabi baukan
dari sunnah madinah atau yang lainnya. Begitu juga dengan perkataan Khalifah
Umar bin Al-Khattab yang diterangkan dalam kitan al-Kharaj karya Abu Yusuf,
yaitu ketika Umar mengirim beberapa utusan ke beberapa negara. Ia mengatakan “
mengajarkan al-qur’an dan Sunnah Nabi”.
Dalam perkembangannya sunnah juga diartikan sebagai suatu praktek
yang telah disepakati secara bersama, hal ini dapat kita lihat dalam karya imam
Malik (w. 179). Dalam kitab tersebut disebutkan “Dan inipun merupakan Sunnah
bagi kita”, tetapi sunnah bagi kita adalah ...” dan “sunnah yang telah diakui
adalah....”.
Selanjutnya Fazlur Rahman menyatakan: 1. Bahwa sunnah dari kaum
muslimin di masa lampau secara konsepsional dan kurang lebih secara garis
besarnya berhubungan erat dengan sunnah nabi dan pendapat yang menyatakan
praktek-praktek muslim di masa lampau terpisah dari konsep sunnah adalah salah,
2. Bahwa meskipun demikian kandungan yang khusus dan aktual dari sunnah kaum
muslimin di masa lampau tersebut sebagian besarnya adalah produk dari kaum
muslimin itu sendiri; 3. Bahwa unsur kreatif dari kandungan ini adalah ijtihad
personal yang mengalami kristalisasi menjadi ijma’berdasarkan petunjuk pokok
dari sunnah nabi yang tiak dianggap sebagai sesuatu yang bersifat spesifik; dan
4. Bahwa kandungan sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati
secara bersama adalah identik dengan ijma’.
Diringakas dari buku membuka pintu ijtihad karya Fazlur Rahman,
terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung:Penerbit Pustaka.1983. hal 1-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar