At-Tafsir Al-Ilmi (Tafsir Ilmiah)
Dalam Perspektif M.Qurais Sihab
A.pendahuluan
Menurut Muhammad Quraish Shihab, tafsir
ilmi atau tafsir ilmiah adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan
ilmu pengetahuan atau temuan-temuan baru. Namun Q.Shihab memberi rambu-rambu,
bahwa hubungan al-Qur’an bukan dinilai berdasarkan banyaknya cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang tersimpul di dalamnya atau dengan menunjukkan kebenaran
teori-teori ilmiah, tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang
lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an, dan juga sesuai
dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam dunia Islam, Imam Al-Ghazali (w.
505 H) diyakini sebagai pelopor atau peletak dasar tafsir ilmiah secara
teoritis. Al-Ghazali berpendapat bahwa setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai
makna zhahir dan batin, serta makna yang tersurat dan tersirat. Dalam karya
magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin, dengan mengutip pendapat Ibn Mas’ud,
Al-Ghazali menyatakan, bahwa siapa saja yang ingin memiliki pengetahuan masa
lampau dan pengetahuan modern, ia harus merenungkan ayat al-Qur’an. Hal ini
kembali ditegaskannya kembali dalam karyanya yang lain, yaitu Jawahir
al-Qur’an. Al-Ghazali menyatakan, bahwa prinsip-prinsip ilmu yang telah
disebutkan maupun yang belum disebutkan tidaklah berada di luar al-Qur’an
karena semuanya berasal dari samudera makrifat Allah Swt.
Bila Al-Gazali dikenal sebagai peletak
tafsir ilmi secara teoritis, Fahrur Ar-Razi merupakan orang pertama yang
menerapkan ilmu pengetahuan yang bercorak saintis dan pemikiran untuk memahami
ayat-ayat al-Qur’an. Hal tersebut dapat dilihat dalam kitabnya Mafatih Al-Ghaib
atau yang juga populer dengan Tafsir Al-Kabir. Kemudian, tafsir ilmi
dikembangkan oleh mufasir berikutnya, seperti Muhammad ‘Abduh, Muhammad
Jamaluddin Al-Qasimi, Mahmud Syukri Al-Alusi, Thantawi Jauhari, dan yang
lainnya. Mereka yang disebut belakangan ini disebut sebagai mufasir di era
modern.
E. Pendapat Ulama tentang Tafsir Ilmiah
Setidaknya terdapat tiga kelompok utama berkenaan
dengan tafsir ilmi. Pertama, kelompok yang mendukung keberadaan tafsir ilmi.
Kedua, kelompok yang menolak. Ketiga, kelompok moderat yang mencoba mencari
jalan tengah di antara dua kelompok yang bertolakbelakang secara diametral di
atas.
Kelompok yang mendukung tafsir ilmi
beralasan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah keniscayaan sejarah dan bagian dari
upaya mendialogkan al-Qur’an dengan aktualitas, dengan konteks, dan sebagai
respon terhadap perkembangan zaman yang senantiasa bergerak. Kelahiran tafsir
ilmi merupakan dinamika yang wajar dalam batang tubuh umat Islam. Keberadaan
tafsir ilmi dapat membuka tabir-tabir makna yang selama ini belum terungkap dan
bahkan dalam beberapa kasus dapat merevisi berbagai pandangan atau tafsiran
yang sejatinya bertolak belakang dengan visi dan paradigma al-Qur’an sendiri.
Apalagi ibadah-ibadah utama dalam agama
Islam berkaitan langsung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti shalat
yang membutuhkan ilmu geografi dan astronomi, penentuan puasa yang membutuhkan
ilmu astronomi, dan lain sebagainya. Kelompok pertama ini didukung oleh Imam
Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, semua cabang ilmu pengetahuan terdapat dalam
al-Qur’an, baik yang telah berhasil diungkap maupun yang belum terungkap.
Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa
Allah Swt. telah menerangkan segala sesuatu dalam Al-Kitab dan Allah Swt.
menurunkan Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Kelompok yang pertama ini memberikan
apresiasi yang berbeda terhadap penerapan tafsir limi. Ada yang menjelaskan
ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh sang
mufasir, atau fungsi tabyin. Ada yang berkeinginan membuktikan kebenaran teks
al-Qur’an menurut ilmu pengetahuan mutakhir, atau fungsi I’jaz. Hal ini member
stimulant kepada umat Islam dan Ilmuan dalam meneliti dan observasi ilmu
pengetahuan lewat teks-teks al-Qur’an. Terakhir, fungsi istikhraj al-‘ilm atau
ta’ziz, yakni ayat-ayat al-Qur’an mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori
ilmu pengetahuan mutakhir.
Sementara itu, Imam Abu Ishak Ibrahim
ibn Musa Al-Syatibi Al-Andalusi (w. 790 M) disebut-sebut sebagai orang yang
menantang penggunaan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Menurut
Al-Syatibi, bahwa semua sahabat Nabi lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa
yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun dari mereka yang menyatakan
bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan. Bahkan, menurut kelompok
yang kedua ini, terbaca kesan pemaksaan penerapan tafsir ilmi terhadap
ayat-ayat al-Qur’an. Kelompok kedua ini menolak penerapan tafsir ilmi terhadap
al-Qur’an karena al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, melainkan kitab
hidayah, ishlah, dan tasyri’.
Sedangkan kelompok yang ketiga, kelompok
moderat, mengambil jalan tengah di antara dua kutub Ghazalian dan Syatibian di
atas. Bagi kelompok ini, pendapat Al-Ghazali yang menyatakan bahwa al-Qur’an
mengandung segala sesuatu, adalah argumen yang dilebih-lebihkan. Sebab,
meskipun ilmu Tuhan diyakini tidak terbatas, persoalannya adalah apakah
ilmu-ilmu Tuhan telah dituangkan-Nya dalam al-Qur’an? Apakah setiap kata yang
menyangkut disiplin ilmu merupakan bukti lengkapnya disiplin ilmu tersebut
dalam al-Qur’an?
Untuk kelompok Al-Syatibi pendulum
kritik diarahkan, bahwa umat Islam yang hidup di zaman ini tidak mungkin
memahami al-Qur’an sebagaimana pemahaman sahabat dan orang-orang terdahulu.
Sementara itu di sisi lain, al-Qur’an memerintahkan setiap muslim mempergunakan
akal pikirannya serta merendahkan mereka yang hanya mengekor pendapat orang tua
atau nenek moyangnya. Abbas Mahmud Aqqad adalah salah seorang yang dapat
dimasukkan dalam kategori ketiga ini.
Menurut kelompok yang ketiga ini, tafsir
ilmi dapat diterima dan diterapkan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan catatan
seorang mufasir memenuhi tiga syarat berikut ini. Pertama, penafsirannya
sejalan dengan kaidah kebahasaan. Disebabkan al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Arab, maka ketika menafsirkan ayat-ayat ilmiah, seorang mufasir harus paham
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Selain mengerti dengan ilmu I’rab, bayan,
ma’ani, dan badi’, sesuai dengan kaidah-kaidah dalam kitab-kitab tafsir dan
kamus, seorang mufasir juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan
perkembangan arti dari suatu kata.
Kedua, memperhatikan korelasi ayat (munasabat
al-ayat). Selain menguasai kaidah kebahasaan, seorang mufasir ilmi harus juga
dituntut untuk memperhatikan korealasi ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat
sesudahnya. Hal ini penting, mengingat penyusunan al-Qur’an tidak berdasarkan
pada kronologi turun ayat, melainkan berdasarkan pada korelasi makna
ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat sebelumnya senantiasa berkaitan dengan kandungan
ayat yang berikutnya.
Ketiga, berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah
mapan. Sebagaimana diketahui, sebagai kitab wahyu, kebenaran al-Qur’an diakui
secara mutlak. Otentisitas dan validitasnya dapat diuji dari berbagai
perspektif, baik dari perspektif sejarah, kebahasaan, berita ghaib, dan bahkan
dari aspek ilmiah sekalipun. Oleh sebab itu, pensejajaran al-Qur’an dengan
teori-teori ilmiah yang tidak mapan, tentu saja tidak dapat diterima. Dan, bila
diperhatikan secara seksama, sesungguhnya menyandingkan ayat-ayat al-Qur’an
yang memiliki kebenaran mutlak dengan kebenaran temuan ilmiah yang bersifat
relatif, adalah salah satu alasan utama kelompok yang menolak penerapan tafsir
ilmi terhadap al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar