Jin Sebagai Perawi Hadis
Oleh: Zaenal Mutaqin
- Latar Belakang
Pembahasan
mengenai periwayatan jin sebenarnya bukanlah suatu hal yang aneh menurut
sebahagian kalangan, namun tidak menutup kemungkinan aneh menurut kalangan yang
lain. Walaupun banyak kita temukan hadis yang diriwayatkan dari jin atau bentuk
suatu riwayat yang menceritakan mengenai jin.
Sebagaimana
dalam pembahasan sebelumnya bahwa sanad dalam menentukan ke-shahîh-an
hadis menempati tempat yang cukup urgen, yang pada akhirnya dapat menentukan
apakah sebuah hadis itu shahîh atau dhaiîf, di samping juga perlu
untuk mengkaji segi matannya. Oleh karenanya sanad menjadi penting dalam
hukum islam, sebab hadis adalah salah satu sumber hukum islam.
Sebagai
pendahuluan, kita sepakat bahwa ilmu sanad dan ilmu hadis adalah
pengetahuan ilmiah, oleh karenanya segala yang terkait dengannya harus memenuhi
standar ilmiah pula, yaitu: rasional sistematis, dan teruji. Menjadi pertanyaan
besar kita adalah apakah seorang perawi (manusia) dapat meriwayatkan sebuah
hadis dari jin? Untuk menjawab pertanyaan tersebut haruslah dijelaskan secara
komprehensif apa sesungguhnya jin itu? Bagaimana pertemuan manusia dengan jin?
Dan bagaimana posisinya dalam periwayatan hadis?
- Pengertian Jin
Dalam bahasa
Arab Jin جن secara etimologis berarti sesuatu yang
berkonotasi "tersembunyi" atau "tidak terlihat". Dalam
Islam dan mitologi Arab pra-Islam, jin adalah salah satu ras makhluk yang tidak
terlihat dan diciptakan dari api.
Abu Ya’la bin
al-Farra’ berpendapat bahwa jin terdiri dari jasad yang dapat berubah-ubah.[1]
Sedangkan dalam Irsyād al-Imām Haramain mengatakan bahwa jin dan syaitan
terdiri dari jasad yang tercipta dari api halus yang tidak dapat dilihat oleh
mata. Dan sebagian sifatnya jin itu ada yang tidak makan dan minum, tapi ada
juga yang makan dan minum.[2]
Pengertian di
atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa jin adalah bagian dari makhluk
hidup yang penciptaannya berbeda dengan manusia atau makhluk lain pada umumnya.
Melihat dari segi dia dapat berubah (menyamar) wujud maka dapat dipersamakan
dengan malaikat yang juga dapat berubah wujud dengan bentuk seorang laki-laki
yang ganteng atau dalam bentuk lain, sebagaimana yang dikisahkan dalam hadis
dialog Nabi saw. dengan seorang laki-laki yang datang kepada Nabi saw. bertanya
mengenai apa itu islam, apa itu iman, apa itu ihsan, dan tentang hari kiamat
kapan terjadi. Sedangkan dalam bentuk aslinya sebagaimana dikisahkan dalam
hadis ketika surat pertama turun yaitu surat al-muzzammil atau
surat al-‘Alaq yang diturunkan dalam gua Hira.
Tidak jauh
berbeda, jin sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah swt dari api, juga
dapat berubah (menyamar) sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa manusia dan jin memiliki alam hidup yang berbeda, walaupun masih
dalam tempat ciptaan Allah swt.
- Alquran dan Hadis Berbicara Tentang Jin
Alquran dan
Hadis memberikan gambaran yang begitu sempurna ketika berbicara mengenai jin,
baik dalam hal penciptaannya maupun kehidupannya sehari-hari. Sebagaimana
penciptaan jin yang termaktub dalam surah al-Hijr [15]: 27 menjelaskan bahwa
penciptaan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.[3] Bahkan dalam salah
satu nama surah Alquran adalah surah jin itu sendiri, lebih tepatnya dalam
surah ke-72.
Sedangkan dalam
hadis, sebagaimana salah satu fungsi hadis adalah menjelaskan lebih lanjut apa
yang ada dalam Alquran, juga banyak menjelaskan bagaimana dan apa
sesungguhnya jin itu. Sebagaimana dalam hadis dinyatakan bahwa malaikat
diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala dan Adam diciptakan
dari tanah.[4]
Begitu juga
dalam hal beragama terjadi persamaan antara manusia dan jin sebagaimana
digambarkan dalam hadis bahwa jin juga terdapat kelompok yang kafir. Salah satu
ayat yang mengindikasikan golongan jin yang kafir diceritakan ketika Allah
memerintahkan malaikat iblis untuk sujud kepada Adam.[5]
- Jin dan Manusia: persamaan, perbedaan dan hubungannya.
Dari berbagai
macam makhluk ghaib, jin adalah salah satu yang hampir memiliki kesamaan dengan
manusia jika melihat dari segi kemakhlukannya. Di antaranya adalah sama-sama
dapat berkembang biak,[6] sama-sama memerlukan makanan dan minuman, atau
sama-sama menerima dakwah dari Nabi saw. Dan dalam menerima dakwah dari Nabi
saw. banyak riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi saw. sering berkomunikasi dan
jin sering mendengarkan dakwah Rasulullah saw., oleh karena itu tidak heran
jikalau jin ada yang muslim. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada di
antara mereka yang kafir.
Perkembangan
umat islam, jikalau kita lihat dari segi spiritualitas dan/atau intelektualitas
dapat kita bagi kedalam dua golongan besar, sebagaimana para ahli fikih membagi
para ulama mazhab ke dalam dua bagian. Yaitu pertama, mereka yang
berlandaskan pada logika atau nass yang ada, yang ini diwakili oleh ahli-ahli
fikih, dan hadis; dan kedua, diwakili oleh para tasawwuf, yang
berlandaskan pada hal-hal yang bersifat mistis dan sulit dijangkau oleh orang
awam.
Sedangkan Imam
Ghazali membagi manusia pada tiga golongan yaitu, ‘awām, khās, khawās
dan khawāsu al-khawās.[7] Dari penggolongan ini tergambar
bahwa dalam hal intelektual maupun spiritual memiliki tingkatan masing-masing,
antara satu golongan dengan golongan yang lain sangat berbeda.
Gambar I
Segitiga
Tingkatan Manusia
Manusia sebagai
insān berbeda dengan manusia sebagai basyar, dalam pembahasan ini
kita tidak hanya melihat manusia sebagai insān atau makhluk intelejensia
tapi juga sebagai basyar, sebab ini berkaitan erat dengan hubungan
manusia dengan jin. Jikalau kita hanya membahas dari segi intelejensia maka
tidak sulit untuk kita katakan bahwa manusia mampu untuk menjangkau jin,
sedangkan jika kita lihat dari sisi kemanusiaannya maka kemungkinan untuk
berhubungan antara manusia dengan jin sulit untuk dilaksanakan, hal ini
disebabkan manusia hidup di alam yang nyata, dapat dilihat dengan indra mata,
dapat disentuh dengan kulit, dan dapat didengar suaranya. Sedangkan jin sulit
untuk dilakukan sebab mereka hidup di alam yang berbeda dengan manusia (alam
ghaib) yang indra manusia sulit untuk menjangkau hal tersebut,[8] kecuali hanya
sebagian kecil golongan. Berbeda dengan jin yang dapat melihat dan mengikuti
manusia.[9]
Perbedaan alam
dipengaruhi oleh awal penciptaan manusia dan jin itu sendiri, manusia yang
diciptakan dari tanah tentu memiliki tekstur yang lebih kasar dibanding dengan
jin yang diciptakan dari api[10] atau malaikat yang diciptakan dari cahaya.
Oleh Karena itu pula jin dan malaikat dapat berubah bentuk sebagaimana yang
mereka inginkan, sedangkan manusia tidak dapat.
No
Jin
Manusia
1
Diciptakan
Dari Api
Dari Tanah
2
Jasad
Halus (Dapat
Berubah-ubah)
Kasar (tidak
dapat berubah-ubah)
3
Kemungkinan
Bertemu
Sulit (Ghaib)
Dapat Bertemu
(Nyata)
4
Agama
Ada Islam dan
Ada Kafir
Ada Islam dan
Ada Kafir
5
Ruh
Memiliki Ruh
Memiliki Ruh
Table I
Perbedaan dan
Persamaan Manusia dengan Jin
Jin sebagai
makhluk Allah swt. tidak dapat diingkari, karna percaya kepada yang ghaib
adalah salah satu dari iman. Akan tetapi, apakah dengan kepastian adanya jin
kita dapat menerima suatu riwayat dari jin? Pertanyaan ini perlu mencermati
dari berbagai aspek pertimbangan. Sebab, jikalau tidak, maka tidak akan
menemukan hasil yang maksimal.
Pertimbangan
yang paling penting adalah dalam hal pertemuan dengan jin, apakah dalam
pertemuan tersebut benar-benar bertemu dengan jin islam atau dia adalah
syaitan, sebab, keduanya sama-sama hidup di alam ghaib.[11]
- Syarat Periwayatan Hadis Agar Diterima
Disiplin ilmu
hadis dikenal cukup ketat dalam penerimaan sebuah matan, sebab ia tidak
hanya dikaitkan dengan kebenaran berita tersebut tapi juga, kesakralan
kata-kata atau petunjuk Rasulullah saw., bahkan Rasullah saw. pernah mengatakan
bahwa orang yang sengaja berbohong atas namanya, maka ia telah mempersiapkan
singgasananya di neraka.[12] Atas nama Rasulullah saw. di sini dapat berupa
penyebaran hadis dho’îf atau bahkan hadis maudhū’ yang tidak
diketahui dari mana asal usulnya. Bahkan ulama mengharamkan bagi siapa yang
telah mengetahui akan ke-dho’îf-an atau ke-maudhū’-an sebuah
hadis untuk menyebarkannya.
Oleh karenanya
tidak mengherankan jika bagi sejarawan ilmu hadis adalah yang paling otentik
kebenarannya dan merupakan ilmu yang paling mulia. Ilmu hadis, khususnya
terkait dengan sanad adalah salah satu bentuk tradisi transfer
ilmu klasik, dan bukanlah seutuhnya murni dari kontemplasi ilmuan muslim, tapi
juga dipengaruhi oleh umat sebelum Islam.[13] Akan tetapi sanad hadir
dengan format yang berbeda dan persyaratan yang cukup ketat, di antara
persyaratan tersebut penulis mencatat ada tiga hal yang fundamental yang harus
dimiliki perawi hadis agar kabar yang dia berikan dapat diterima, yaitu syarat
‘ādil, dhābith, dan dikenal. Persyaratan ketat seperti adalah
hasil inspirasi perintah Allah swt. yang mengharuskan mengecek ulang setiap
kabar yang diterima.[14]
Dalam
pembahasan ini, tidak dijelaskan kembali lebih dalam. Sebab, pembahasan
tersebut telah ada tersendiri sebelumnya, disini hanya menjelaskan secara umum
saja.
- Syarat ‘Ādil
‘Ādil
adalah kejelasan bahwa perawi tidak fāsiq, yakni tidak melakukan sering
dosa kecil dan/atau melakukan besar serta selalu menjaga muruahnya. Dengan
demikian bahwa keadilan tidak hanya melihat dari aspek keislaman, tapi lebih
dari itu fokus pada menjaga muruah. Seperti memakai sandal, tidak merekok,
tidak makan berdiri, dll sesuai dengan kultur masyarakat tersebut.
- Syarat Dhābith
Dhābith adalah keadaan
perawi yang kuat dalam menjaga teks hadis yang dimilikinya, baik itu secara
hafalan atau dalam hal tulisan, dan ke-dhābith-an adalah titik
selanjutnya dalam menentukan ke- tsiqah-an seorang perawi.
- Syarat Dikenal
- Bertemu
Syarat harus
bertemu dikarenakan indikasi untuk tidak bertemu sangat tinggi antara satu
perawi dengan perawi lainnya. Imam Bukhari menjadikan syarat bertemu dalam
bukunya, sehingga tidak heren jika kitab paling mulia setelah Alquran adalah shahîh
al-imām al-Bukhāri, karena selektifitasnya dalam menerima riwayat hadis,
yang mengharuskan bertemunya antara murid dan guru, ini penting karena sanad
adalah pembenar dari sebuah matan hadis.
- Dikenal Biografinya
Penting
biografi adalah agar dapat menjawab apakah perawi termasuk dari yang tsiqah,
dan jin sebagai makhluk yang sulit untuk ditemui adalah karena keterbatasan
indra, dan sulit untuk mengidentifikasikan jin tersebut. Oleh karenanya dari
segi pemahaman biografi jin sulit untuk diungkap.
- Apakah Ada Sahabat dari Golongan Jin?
Pertanyaan ini
penting untuk menambah luas pemahaman kita terhadap sahabat. Jika kita melihat
dari beberapa pengertian sahabat yang diutarakan oleh para ulama bahwa yang
dimaksud sahabat adalah mereka yang bertemu dan/atau melihat Nabi saw serta dia
beriman kepada ajaran islam. Ada juga yang memberikan pengertian bahwa
yang dimaksud dengan sahabat adalah mereka yang ber-mulāzamah dengan
nabi sampai lima tahun.
Pengertian di
atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa, sahabat juga termasuk dari
golongan jin, sebagaimana dikatakan oleh imam al-Sakhawi, sebab nabi juga
diutus ke pada mereka, dan mereka juga dibenbankan untuk beribadah,[15] dll.
- Analisis Kedudukan Jin Sebagai Perawi Hadis
Untuk
mengetahui kedudukan jin sebagai perawi hadis, maka pertanyaannya bukan apakah
manusia dapat bertemu dengan jin? Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah
ketika seorang manusia yang meriwayatkan sebuah hadis dari jin, memang
benar-benar jin islam yang memenuhi persyaratan di atas? Dan bagaimana kita
dapat mengetahuinya (red. Jin)?
Pertanyaan di
atas akan dapat dijawab apabila kita mengetahui karakteristik dari jin itu
sendiri, kemudian dihubungkan dengan persyaratan diterimanya sebuah rawi. Dari
penjelasan sebelumnya tampak jelas bahwa jin adalah makhluk halus yang dapat
berubah bentuk, seperti ular, anjing, atau hewan lainnya.[16] Manusia sulit
untuk mengetahui apakah jin yang dia temui jikalau berbentuk manusia adalah
memang benar-benar jin islam, atau bahkan jin yang tidak islam.
Kesulitan untuk
mengetahui dengan jelas pertemuan tersebut berimplikasi pada sulitnya
menentukan biografi dari jin tersebut. Walaupun dikatakan oleh sebagian
kalangan itu dapat diketahui dengan cara menanyakan pada ulama yang tau akan
jin tersebut, dan ini adalah kesulitan yang kedua, bahwa ulama mana yang telah
menuliskan atau mengetahui biografi jin tersebut. Hal ini berbeda dengan
manusia, sebab ia hidup di tengah-tengah manusia lainnya, keadaan seperti ini
mempermudah mendeteksi biografi hidup perawi tersebut, dan ini terbukti dengan
banyaknya kitab rijāl al-hadîts yang menuliskan biografi para perawi
mulai dari sahabat sampai pada gurunya mudawwin (penyusun kitab), yang
memuat nama, tanggal lahir, wafat, guru, murid, keberagamaannya,
kemasyarakatannya, dll.
Gambar II
Proses
Penerimaan Hadis
Ketidak jelasan
biografi dari seorang perawi akan mepersulit menentukan apakah dia ‘Ādil
dan dhābith? Sebab, dalam sebuah periwayatan diharuskan orang yang
meriwayatkan hadis bertemu langsung dengan yang diriwayatkan, jikalau pertemuan
tersebut tidak jelas di mana dan bagaimana, maka sulit untuk menentukan apakah
hadis tersebut bersambung atau tidak. Karena periwayatan dari jin hanya dapat
dilakukan dan disaksikan oleh orang tertentu, dengan kata lain tidak semua orang
dapat mengetahuinya.
Kedudukan hadis
yang diriwayatkan dari jin hanya dapat diamalkan bagi mereka yang bertemu saja,
dan untuk tidak dapat dijadikan argumentasi hukum. Sebab, hadis yang
diriwayatkan oleh salah satu perawinya jin adalah hadis majhūl, sebab
perawinya tidak dapat dikenal dengan jelas.
- Penutup
Dari penjelasan
di atas sejatinya belum dapat mencukupi pembahasan yang cukup kompleks ini
apabila diingingkan pembahasan yang komprehensif. Dan sebagai bentuk kesimpulan
bahwa penulis berpendapat periwayatan dari jin, hadisnya dihukumi sebagai hadis
yang majhūl, sebab perawinya yang tidak dikenal, dan apabila ingin
dijadikan sebagai hujjah tidak dapat digunakan kecuali ada riwayat lain yang
menceritakan permasalahan tersebut.
Sebagai
rekomendasi kepada akademisi hadis agar meneliti lebih lanjut membahas mengenai
posisi jin sebagai perawi, apakah ada jin yang meriwayatkan hadis, dan
bagaimana pertemuan mereka dalam periwayatan tersebut.
Akhir kalam.
Wallahu’alam
Bisshowab
Curriculum
Vitae
Nama
: Abdul Karim Munthe
T.T.L
: Siamporik, 19 Oktober 1991
Alamat
: Jl. Lintas Sumatera Utara, Desa Siamporik, Kec. Kualuh
Selatan.
Kab. Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara
Pendidikan,
SD
: tamat 2003
SMP
: tamat 2006
MAK :
tamat 2009
S1
: 2009-sampai sekarang
Peradilan Agama
dan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Mahasantri
Darus-Sunnah Interntional Institute For Hadith Siences.
Motto
Hidup :
“Hidup yang berarti hidup yang memberi perubahan.”
[1] Teks
kalimat tersebut lebih lengkap,
قَالَ أَبُو يَعْلَى بْن الْفَرَّاء: الْجِنّ أَجْسَام مُؤَلَّفَة وَأَشْخَاص
مُمَثَّلَة (فتح الباري لابن حجر - (ج 10 / ص 79))
[2] Teks
kalimat tersebut lebih lengkap,
وفي إرشاد إمام الحرمين : الجن والشياطين أجسام لطيفة نارية غائبة عن إدراك
العيون. قال: وعن بعض التابعين أن من الجن صنفا روحانيا لا يأكل ولا يشرب ومنهم من
يأكل ويشرب. (الفتاوى الحديثية لابن حجر الهيتمي - (ج 1 / ص 263) )
[3] Di antara
ayat yang menceritakan penciptaan jin diantaranya al-Hijr [15]: 27
¨b!$pgø:$#ur
çm»uZø)n=yz `ÏB ã@ö6s% `ÏB Í$¯R ÏQqßJ¡¡9$# ÇËÐÈ
Kemudian dalam
surah al-Rahmān [55]:15,
t,n=yzur
¨b!$yfø9$# `ÏB 8lÍ$¨B `ÏiB 9$¯R ÇÊÎÈ
Ibn ‘Abbas,
Ikrimah, Mujāhid dan al-dhahhak berkata bahwa yang dimaksud dengan firman
Allah: dari nyala api ialah api murni.
[4] Sebagaimana
hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur Muhammad bin Rafi’ dari
Abdurrazzāq,
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : خلقت الملائكة من نور و خلق الجان من
مارج من نار و خلق آدم مما و صف لكم
[5] Sujud dalam
pemahaman Ulama tidak sujud sebagaimana dilakukan dalam sholat, sebab hal itu
merupakan kemusyrikan dan dilarang dalam agama islam. Dalam hal memberikan
hukum terhadap sujud yang diperbolehkan hanya dalam tiga hal yaitu, dalam
sholat, sujud al-tilāwah, sahwi, dan ada juga yang masih
memperdebatkan dalam hal sujud doa. Dan sujud dalam perintah ini adalah cukup
dengan menundukkan kepala. Ayat yang menjelaskan perintah sujud tersebut di
antaranya dalam surah al-Kahfi [18]: 50 berbunyi,
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ
وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاء مِن دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ
لِلظَّالِمِينَ بَدَلاً
[6] Lihat QS.
al-Kahfi [18]: 50
[7] Pembagian
tersebut dilandaskan pada nilai spiritual terkait dengan pemahaman terhadap
agama ataupun terkait dengan tingkat ibadah mereka, dan yang paling rendah
adalah ‘awām. Istilah awam bukanlah istilah yang aneh dikalangan
Indonesia sebab, dia telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Awam dalam bahasa
Indoensia diartikan, sebagai kebanyakan, biasa, tidak istimewa, atau orang
kebanyakan. Dan tingkatan yang kedua adalah khāsh yaitu mereka yang
telah menempati ruang atau derajat yang lebih tinggi atau khusus; dan terakhir
adalah kawāsh al-khawāsh yang berada di atas tingkatan khas dan ini
diduduki oleh para nabi atau auliya’ Allah.
[8] Bahkan
dalam surah al-A’raf [7]: 27 dijelaskan bahwa manusia tidak dapat melihat jin
karena mereka makhluk ghaib.
[9] Lihat QS.
Al-A’raf [7]: 27.
[10] QS. Hijr
[15]: 27.
[11]
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Dari Sufyān al-Tsaurî,
وأخرج البخاري عن سفيان الثوري: أخبره رجل كان يرى الجن أنه رأى قاصا يقص في
مسجد الخيف فتطلبه فإذا هو شيطان، وجاءت آثار أخرى بنحو ذلك
Artinya,
diceritakan bahwa seorang laki-laki pernah melihat jin menceritakan suatu kisah
di Masjid al-Khaif, jawab Nabi dia adalah syaithan. Dan ada juga atsar
yang lain seperti ini. Lihat, Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-haditsiah, h.
152.
[12] Teks hadis
nya adalah
من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من النار
[13] Untuk
lebih lengkapnya silahkan baca Sejarah Sanad.
[14] Lihat QS.
al-Hujurāt [49]: 6.
[15] Dalam
Alquran dikatakan bahwa Allah tidak menciptakan dari golongan manusia dan jin
kecuali untuk beribadah kepada Allah.
[16]
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Thabrāni, Hākim, Baihaqi,
عن أبي ثعلبة الخشني رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (الجن ثلاثة أصناف صنف لهم أجنحة يطيرون في الهواء وصنف حيات
وكلاب وصنف يحلون ويظعنون)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar