BAB I
1.
PENGANTAR
Beriman dan bermakrifat kepada Al – Qur’an
merupakan prinsip keimanan yang harus ditegakkan oleh setiap orang yang mengaku
sebagai muslim. Keimanan dan keyakinan terhadap kebenaran dari pesan-pesan
Al-Qur’an, baik yang tersurat ( makna lahir ) maupun yang tersirat ( makna
batin ) hukumnya wajib, dan memperoleh kemurkaan Allah apabila kita tidak
mempercayainya.Namun demikian, keimanan, pengenalan dan keyakinan terhadap
kebenaran kebenaran Al – Qur’an tidak dapat eksis dalam
diri, bahkan tidak mentransformasi diri, apabila diri belum masuk dan menyatu
dengan hakekat dan sustansinya yang hidup.
Dalam kenyataan sehari-hari, sering dijumpai
bahwa banyak orang yang membaca Al-Qur’an dengan baik dalam perspektif ilmu
tajwid serta alunan seni baca yang indah didengar oleh telinga, namun sedikit
dari mereka yang dapat mengaplikasikan dan mengimplementasikan pesan-pesan
Al-Qur’an tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula banyak orang yang
pandai menterjemahkan dan menafsirkannya, namun sangat sedikit dari mereka
dapat menemukan diri dan perjumpaan dengan Dzat Yang Maha Berfirman. Yang lebih
ironi dan mengerikan, ada sekelompok orang yang lebih mengagungkan hasil
pendapat kelompoknya sendiri daripada Al-Qur’an. Padahal pesan-pesan
Al-Qur’an sangat jelas, universal, fleksibel, serta melepaskan diri manusia
dari sikap fanatisme, sektarianisme, dan pandangan picik dari berbagai
persoalan yang terjadi dalam kehidupan ini.
Al-Qur’an datang dengan membuka lebar-lebar
mata manusia, agar mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaan mereka di
pentas bumi ini, dan agar mereka tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga
mereka tidak mendengar bahwa hidup mereka hanya dimulai dari kelahiran dan
berakhir dengan kematian. Al-Qur’an mengajak mereka berfikir tentang kekuasaan
Allah. Dan dengan berbagai argumentasi Al-Qur’an selalu mengajak kita untuk
selalu bersatu dan bersama membangun kehidupan ini. Al-Qur’an yang
diyakini sebagai firman Allah merupakan petunjuk mengenai apa yang dikehendakiNya.
Jadi, manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang
dikehendakiNya itu untuk meraih kebahagiaan akherat, harus dapat memahami
maksud serta mengakomodasi perbedaan dari petunjuk – petunjuk tersebut.
1.
Definisi
Konflik
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik
merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam
rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak
mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau
tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau
agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama
dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau
pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi
pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku)
para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran
terhadap konflik.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan
reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik
termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan
pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar
dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan
interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak
ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi
konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika
ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah
transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara
keseluruhan.
- Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
- Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
- Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
- Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
- Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan
yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan
melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup
pencegahan dan penyelesaian konflik.
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa
manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota
merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen
konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif,
artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus
menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan
ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan
diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah
yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau
ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi
konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya),
menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan
peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.
Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan
melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai
partisipan atau pihak ketiga.
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat
situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu
dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik
merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang
ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya
dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu
bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan
produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)
Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn,
Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup
organisasi) adalah: Conflict is a situation which two or more people disagree
over issues of organisational substance and/or experience some emotional
antagonism with one another. yang kurang lebih memiliki arti bahwa konflik
adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap
suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan
timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut Stoner Konflik organisasi adalah
mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan
soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17).
Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai:
1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak
cocok satu sama lain.
2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).
2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).
2.
Ciri-Ciri
Konflik
Menurut Wijono (1993:37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok
yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara
perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan
ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh
gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi,
dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti:
status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik:
sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu:
mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa
aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai
akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
3.
Tahapan-Tahapan
Perkembangan kearah terjadinya Konflik
1.Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang
biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang
belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti
timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik
yang dapat dirasakan (felt conflict)
Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak
terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest
behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap
suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau
sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang
tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak.
Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak
sehingga mempengaruhi produkivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41).
4.
Sumber-Sumber Konflik
1.
Konflik Dalam Diri
Individu (Intraindividual Conflict)
A. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai
(goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis
konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict),
yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk
melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi
tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk
menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai
saling terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius
Di dalam organisasi, konflik seringkali
terjadi karena adanya perbedaan peran dan ambigius dalam tugas dan tanggung
jawab terhadap sikap-sikap, nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan
dalam suatu organisasi.
Filley and House memberikan kesimpulan atas
hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang
dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok
yaitu:
1)
Sejumlah
kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing
2)
Beraneka macam cara yang
berbeda yang mendorong peranan-peranan dan kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
3)
Banyaknya bentuk
halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan.
4)
tujuan Terdapatnya baik
aspek-aspek positif dan negatif yang menghalangi tujuan-tujuan yang diinginkan.
Hal-hal yang disebutkan itu dalam proses
adaptasi seseorang terhadap lingkungannya acapkali menimbulkan konflik. Kalau
konflik dibiarkan maka akan menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan.
Walaupun pada hakikatnya konflik bersumber dari kepentingan seseorang yang
bergesek dengan kepentingan orang lain, akan tetapi konflik tidak bisa
dihindari.
Pendeknya suatu konflik bisa terjadi
manakala seseorang dalm usahanya mencapai tujuannya terasa secara relatif
terhalang oleh pencapaian tujuan orang lain. Dengan demikian kepentingan
seseorang tersebut terasa terhalang oleh kepentingan orang lain.
2.
Konflik Antar Pribadi
Selain konflik yang terjadi dalam diri
seseorang, konflik dapat pula terjadi antarpribadi. Konflik antar pribadi ini
merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena
konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota
organisasi yang tidak bisa tidak akan mempengaruhi proses pencapaian tujuan
organisasi tersebut.
Konflik antarpribadi terjadi jika dua orang
atau lebih berinteraksi satu sama lain dalam melaksanakan pekerjaan. Joe Kelly
mencatat, bahwa situasi konflik yang tidak bisa dihindari adalah
keadaan-keadaan seperti ini: paling sedikit dua orang yang mempunyai
pandangan-pandangan yang tidak bisa disatukan, orang-orang yang tidak bisa
bertoleransi dari sesuatu yang bermakna ganda, seseorang yang mengabaikan
kenikmatan dari indahnya bayang-bayang kelabu, dan seseorang yang dengan
cepatnya suka menarik suatu konklusi.
A.
Strategi Pemecahan
Konflik Antarpribadi
Banyak
cara untuk memecahkan persoalan-persoalan konflik antarpribadi, misalnya
membuka diri, menerima umpan balik, menaruh kepercayaan pada orang lain, atau
tidak menutup diri mengenai informasi dirinya. Selain cara-cara yang disebutkan
tadi, ada beberapa cara yang merupakan strategii dasar. Strategi dasar ini
menurut hasilnya dapat disebut: sama-sama merugi (lose-lose), kalah menang (win-lose),
dan sama-sama beruntung (win-win).
1.
Sama-sama Merugi (lose-lose)
Pendekatan sama-sama merugi untuk mengatasi
konflik antarpribadi ini ialah bahwa kedua pihak yang sedang konflik merugi
atau sama-sama kehilangan. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan beberapa
bentuk. Pertama, ialah pendekatan
yang amat populer yakni kompromi atau mengambil jalan tengah dari persoalan
yang di pertengkarkan. Kedua, ialah
memberikan perhatian salah satu dari pihak-pihak yang konflik. Cara ini
seringkali di lakukan dengan cara merampas atau penyogokan. Pendekatan ketiga, ialah mempergunakan pihak ketiga
di luar pihak-pihak yang konflik. Cara ini seringkali di namakan memakai wasit
dari pihak ketiga. Cara yang keempat,
ialah menggunakan peraturan yang ada untuk memecahkan persoalan yang menjadi
konflik tersebut. Cara ini dapat dioakai jika pihak-pihak konflik tersebut mau
berlindung pada peraturan-peraturan birokrasi. Dalam empat cara pendekatan ini
pada hakikatnya kedua pihak yang konflik sama-sama merugi.
2.
Kalah-Menang (Win-Lose)
Strategi ini adalah suatu cara yang biasa
dipergunakan untuk memecahkan konflik di masyarakat Amerika. Dalam suatu
kebudayaan yang bersaing, sebagaimana yang terjadi di Amerika, satu pihak yang
sedang dalam situasi konflik akan berusaha untuk memaksakan kekuatannya untuk
menang, dan mengalahkan pihak lain.
Suatu contoh tentang kalah-menang ini dapat
dijumpai dalam hubungan atasan-bawahan, perselisihan antar pejabat ini dan
pejabat staf, hubungan antara serikat buruh-majikan, dan banyak situasi konflik
yang terjadi pada organisasi-organisasi zaman sekarang. Strategi kalah-menang
ini dapat mempunyai akibat-akibat yang bersifat fungsional maupun yang tidak
fungsional.
Persoalan yang amat besar dari strategi
kalah-menang ini bahwa dengan strategi ini seseorang selalu mendapatkan
kekalahan. Orang-orang yang menderita kekalahan ini mungkin mereka akan
mempelajari sesuatu yang terjadi dalam proses kalah-menang tadi, dan pihak yang
merasa kalah tersebut mempunyai rasa dendam dan ingin membalas dendamnya. Suatu
strategi yang barangkali amat sehat ialah memberi kemungkinan kedua pihak
tersebut untuk menang.
3.
Menang-menang (Win-win)
Strategi pemecahan konflik menang-menang
ini barang kali sesuai dengan keinginan-keinginan manusia dan organisasi.
Energi dan kreativitas lebih banyak ditunjukan untuk memecahkan masalah-masalah
dibandingkan dengan untuk mengalahkan pihak lain. Strategi ini banyak mengambil
aspek-aspek kebaikan dari strategi kalah-menang yang fungsional, dan membuang
aspek yang negatif dari yang tidak berfungsional. Kedua pihak yang berkonflik
bisa di ketemukan dalam satu titik musyawarah, dan keduanya pun menerima suatu
penghargaan yang sama.
Contoh yang mengesankan dari strategi
menang-menang ini pernah diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, sebelum beliau
menjadi Nabi. Ketika itu kepala-kepala suku berselisish tentang siapakah yang
paling patut memindahkan Hajar Aswad
ketempatnya semula. Semua kepala-kepala suku itu berhak untuk memindahkannya.
Perselisihan ini mencapai puncaknya, hampir saja terjadi peperangan diantara
suku-suku tersebut. Cara yang dilakukan Muhammad ialah membeberkan surbannya,
kemudian semu kepala-kepala suku memegang tepi kain surbanya. Setelah itu
Muhammad menaruh batu tersebut di atas surban. Sesampainya ditempatnya batu
hitam tersebut diambil Muhammad dan ditaruhkan olehnya. Sampai disini
perselisihan dan konflik di antara suku-suku tersebut hilang. Mereka merasa
sama-sama menang, dapat memindahkan batu tersebut ketempatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar