THANTHAWI JAUHARI DAN TAFSIR
SAINNYA
MAKALAH
Makalah ini diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah Membahas Kitab Tafsir
Disusun Oleh:
Enjen Zaenal Mutaqin
Ikhsan Nasrullah
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur'an sebagai sebuah kitab
suci, ternyata tidak hanya mengandung ayat-ayat yang berdimensi aqidah,
syari'ah dan akhlaq semata, akan tetapi juga memberikan perhatian yang sangat
besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan (sains). Jika kita membaca Al-Qur'an
secara seksama, akan kita temukan sangat banyak ayat-ayat yang mengajak kepada
manusia untuk bersikap ilmiah, berdiri di atas prinsip pembebasan akal dari
takhayul dan kebebasan akal untuk berpikir. Al-Qur'an selalu mengajak manusia
untuk melihat, membaca, memperhatikan, memikirkan, mengkaji serta memahami dari
setiap fenomena yang ada terlebih lagi terhadap fenomena-fenomena alam semesta
yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena darinya bisa dikembangkan sains
dan teknologi untuk perkembangan umat manusia dan dengan itu pula akan
didapatkan pemahaman yang utuh dan lengkap.
Bukan hanya itu, ayat yang
pertama kali diturunkan kepada Rasulullah SAW merupakan perintah untuk membaca
(ا قرا) yang menurut Quraish
Shihab, kata ini terambil dari akar kata qara'a (قرا )
yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan
membaca baik teks yang tertulis maupun tidak.
Karena kata ini objeknya bersifat umum sehingga maknanya mencakup segala
sesuatu yang bisa dijangkaunya, baik yang tersurat maupun yang tersirat,
ayat-ayat qauliyyah maupun kawniyyah. Jika demikian adanya merupakan hal yang
wajar jika orang-orang yang berpengetahuan mendapatkan derajat yang lebih
tinggi karena tidaklah sama antara orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan
yang tidak.
Al-Qur’an yang
notabenenya menjelaskan segala hal, secara tersurat maupun tersirat telah
banyak menyinggung fenomema alam (dhawahir al-‘alam), Dan itu jauh masanya
sebelum manusia diera ini mengenal dan mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang
sains (science). Sebagai contoh ayat yang menceritakan tentang perjalanan
spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan, pertama ia melihat bintang dimalam
hari, lalu melihat bulan dan kemudian melihat matahari, Allah SWT.
memperlihatkan fenomena alam tersebut kepada Nabi Ibrahim tidak lain hanya agar
supaya ia mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. atas segala sesuatu.
Adapun terhadap ayat-ayat kawniyyah dari ayat-ayat al-Qur’an, memang tidak
ada yang secara tegas dan khusus ditujukan kepada para ilmuwan untuk mengkaji,
namun pada hakikatnya, mereka inilah yang diharapkan untuk terjun melakukan
penelitian dan mengkaji serta memahami makna-makna yang tersurat dan yang
tersirat dari ayat-ayat kawniyyah. Karena hanya orang-orang yang ahli dan
mempunyai saran serta kompetensi dalam bidangnyalah yang bisa dan mampu untuk
menggali secara lebih komprehensif dan teliti dalam melakukan tugas tersebut
sehingga hasil dari kajian dan penelitian tersebut akan benar-benar memberikan
manfaat bagi umat manusia.
Dengan demikian, besar harapan para ilmuwan-ilmuwan muslim tergerak dan
termotivasi untuk mengeksplorasi ayat-ayat al-Qur’an yang berdimensi ilmiah dan
berusaha menafsirkan serta menggali makna yang terkandung di dalamnya serta
menjadikannya sebagai inspirasi untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru yang
bermanfaat bagi umat manusia dan dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi
ini pula mendorong munculnya corak baru dalam bidang penafsiran yang dikenal
pada saat ini sebagai penafsiran ilmiah atau Tafsir 'Ilmy (Sciences Exegesis)
yang cukup banyak menarik perhatian para intelektual muslim dan permasalahan
(Tafsir 'Ilmy) ini pula yang akan menjadi pokok pembahasan penulis dalam
makalah ini.
Sebagaimana al-Qur’an telah banyak menyinggung tentang alam semesta, tafsir
al-Qur’an juga mengalami kemajuan dan perkembangan corak ragamnya, tidak
seperti periode awal, di era kontemporer makin bermunculan corak tafsir ‘ilmi
yang salah satunya adalah mengenai al-ilm al-thabi’iyah atau ilmu sains.
Thanthawi Jauhari merupakan salah satu ilmuan kontemporer yang melakukan
terobosan penafsiran jenis ‘ilmi, ia menulis kitab tafsir yang diberi judul
Al-Jawahir yang banyak mengupas tentang sains dan ilmu pengetahuan. Terlepas
dari kontroversi boleh tidaknya tafsir bil 'ilmi, yang pasti tafsir ini memberi
kontribusi penting dalam dunia penafsiran.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Biografi Thanthawi Jauhari
Thanthawi Jauhari adalah ulama moderat yang dikenal sebagai
seorang cendekiawan Muslim asal Mesir yang kesohor karena kegigihannya dalam
gerakan pembaruan untuk menumbuhkan motivasi umat Islam terhadap penguasaan ilmu
pengetahuan.[1] Beliau dilahirkan pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, wafat tahun 1940.[2]
Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun
demikian kondisi sosial tersebut tidaklah menyurutkan keinginannya untuk terus
memperdalam ilmu pengetahuan khususnya kajian keislaman, sehingga kabanyakan
waktunya diabdikan untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia
melalui penguasaan ilmu pengetahuan.
Orang tuanya menginginkannya tumbuh sebagai orang berpredikat terpelajar. Karena
itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan formal di kota kelahirannya, ia
dikirim ke universitas al-Azhar kairo untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Di universitas al-Azhar, ia bertemu dengan
seorang pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru,
tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan
pengaruh besar pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu
pengetahuan. Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel
di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu
yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir.
Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya,
ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan
bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat
ditepis.
Dalam banyak kesempatan, hal yang kerap
dikemukakan terkait harapannya adalah, perlunya penguasaan bahasa asing,
terutama bahasa Inggris. Karena dia berpendapat, secara garis besar, ilmu
pengetahuan terbagi dua yakni ilmu bahasa dan selain bahasa. Thanthawi
menyatakan bahwa ilmu bahasa memegang peranan signifikan dalam sebuah studi,
sebab ia merupakan alat untuk menguasai beragam bidang ilmu.[3]
Pada bagian lain, Thanthawi pun membina studi
Alquran, yakni guna membuktikan bahwa kitab suci umat Islam itu adalah
satu-satunya kitab suci yang memotivasi pengembangan ilmu. Karena dalam
pandangannya, Alquran senantiasa menganjurkan kepada umat Muslim untuk menuntut
ilmu dalam arti seluas-luasnya. Pernyataan tersebut dikemukakan sambil
menunjukkan bukti-bukti bahwasanya dalam Alquran terdapat banyak ayat yang
memotivasi umat agar menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan.[4]
B. Sejarah Sosial-Kultural
Mesir Pada abad XIX dan awal abad XX ditandai
dengan kebangkitan gerakan intelektual yang dapat dikategorikan pada tiga
kecenderungan pemikiran, yaitu: Pertama, kecenderungan pada Islam yang diwakili
oleh beberapa tokoh muslim seperti, Hassan al-Banna (1906-1945); Kedua,
berusaha melakukan sintesis antara Islam dan kebudayaan Barat yang diwakili
oleh Muhammad Abduh (1884-1905), Qasim
Amin (1865-1908), dan Ali Abd Raziq (1865-1935); Ketiga, adanya kecenderungan
rasional ilmiah dan kebebasan berfkir yang diwakili oleh Luthfi as-Sayyid dan
emigran-emigran Syiria yang lari ke mesir.
Kesadaran terhadap nalar ilmiah tersebut
kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Ali Pasya setelah berhasil mengusir Napoleon
dari negerinya dan menundukkan kekuatan Mamluk dengan membentuk kementerian
pendidikan dan mendirikan sekolah militer, sekolah tekhnik kedokteran serta
banyak mendatangkan ahli-ahli dari eropa, serta banyak mengirim pelajar ke
negara eropa.
Evolusi ini terus berkembang dan banyak
melahirkan pemikir-pemikir cerdas serta pembaru-pembaru Islam, salah satunya
adalah Thanthawi Jauhari. Sejarah sosial-kultural inilah yang tampaknya sangat
mempengaruhi terhadap kecenderungan pemikiran beliau. [5]
C. Karir Intelektual
Thanthawi mengawali pendidikannya di kota
kelahirannya tersebut. setelah menyelesaikan pendidikan menengah atasnya, dia
dikirim untuk melanjutkan belajar ke universitas al-Azhar di ibukota Kairo.
Ketika menimba ilmu di universitas terkemuka tersebut, dia berkesempatan
bertemu dengan tokoh pembaharu, Muhammad Abduh. Tokoh ini kemudian memang mampu
memberikan pengaruh besar bagi pemikiran dan keilmuannya, khususnya pada bidang
ilmu tafsir.[6]
Setelah
itu dia melanjutkan belajarnya ke Darul Ulum dan mampu menyelesaikan pendidikan
di sana tahun 1893. Akan tetapi ia merasa kurang puas dengan program belajar
yang diberikan, utamanya ilmu tafsir, yang antara lain dikarenakan bimbingan
dari Muhammad Abduh sebelumnya hingga membuat dia memiliki cakrawala pemikiran
yang luas. Meski begitu Thanthawi tetap bertekad menyelesaikan studinya
tersebut. Setelah beberapa tahun kemudian, dia pun berhasil tamat pendidikan di
Darul Ulum untuk selanjutnya berkiprah sebagai tenaga pengajar. Dia tercatat
pernah menjadi guru di madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah dan kemudian sebagai
dosen pada almamaternya, yakni Universitas Darul Ulum.[7]
Dan lantas tahun 1912 diangkat menjadi dosen di Al-Jamiah Al-Misyriyah pada
mata kuliah falsafah Islam.
Di samping mengajar, layaknya seorang
cendekiawan dia pun terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Hal itu
dilakukan dengan membaca buku-buku serta dari artikel di majalah dan surat
kabar. Selain itu pula berbagai seminar maupun pertemuan ilmu pengetahuan tidak
ketinggalan dihadiri. Bidang ilmu yang menjadi fokus perhatiannya adalah ilmu tafsir.
Namun dia pun mengikuti pula ilmu fisika, ilmu yang menurut pandangannya dapat
menangkal kesalahpahaman yang kerap menuding Islam sebagai agama yang menentang
ilmu dan teknologi modern.
D.
Akar Kemunculan dan Pengertian Tafsir ‘Ilmy
Bila kita teliti dan mencoba untuk menganalisa akar kemunculan tafsir
‘Ilmy, maka dapat kita temukan bahwa awal kemunculan tafsir ‘Ilmy ini telah
melintasi beberapa periode. Tepatnya kemunculan tafsir tersebut bertolak dari
zaman Abbasiyah sebagai bentuk usaha mengkompromikan teks-teks keagamaan dengan
pengetahuan-pengetahuan asing yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Usaha ini
terus berlanjut dan terekspose pada abad ke-5 Hijriyah. Hanya saja, tafsir
‘Ilmy baru bisa berkembang pesat di akhir abad ke-19 hingga sekarang. Hal ini
dikarenakan ketertinggalam umat Islam di bidang sains dan teknologi
dibandingkan dengan orang Barat yang sudah mencapai tingkat kemapanan dalam
bidang sains dan teknologi.[8]
Mayoritas ulama tafsir sepakat memasukkan tafsir ‘Ilmy sebagai salah satu
corak penafsiran yang secara metodologis merupakan bagian dari metode tafsir
Tahlili. yang
dipergunakan sebagai perangkat untuk memahami pesan-pesan Tuhan. Kemunculannya
bertujuan untuk melihat seberapa jauh nilai kemu’jizatan al-Qur’an dari aspek
ilmu pengetahuan dan sains modern berdasarkan prinsip dasar al-Qur’an yang
menyatakan bahwa pada dasarnya al-Qur’an mencakup seluruh ilmu pengetahuan,
walaupun tidak secara deatil disebutkan didalamnya karena ia memang bukan kitab
pengetahuan.
Tafsir ilmy ialah penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan
istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam rangka mengungkapkan al-Qur’an. tafsir
ini berusaha keras untuk melahirkan berbagai cabang ilmu yang berbeda dan
melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.
Menurut pendukung tafsir ilmy, model penafsiran semacam ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang telah dan akan dibentuk dalam dan dari al-Qur’an. al-Qur’an tidak hanya sebagai sumber ilmu agama yang bersifat i’tiqadiyah (keyakinan) dan amaliyah (perbuatan). Ia juga tidak hanya disebut al-‘ulum al-diniyah wal I’tiqadiyah wal amaliyah, tetapi juga meliputi semua ilmu keduniaan (al- ulum al-dunya) yang beraneka ragam jenis dan bilangannya.
Menurut pendukung tafsir ilmy, model penafsiran semacam ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang telah dan akan dibentuk dalam dan dari al-Qur’an. al-Qur’an tidak hanya sebagai sumber ilmu agama yang bersifat i’tiqadiyah (keyakinan) dan amaliyah (perbuatan). Ia juga tidak hanya disebut al-‘ulum al-diniyah wal I’tiqadiyah wal amaliyah, tetapi juga meliputi semua ilmu keduniaan (al- ulum al-dunya) yang beraneka ragam jenis dan bilangannya.
Beberapa ulama yang memberi lampu hijau untuk mengembangkan tafsir ilmy
ialah al-Ghazali (450-505 H/1057-1111 M), Jalal al-Din al-Suyuti (w.911 H/1505
M), Thanthawi jauhari (1287-1385 H/1870-1939 M). Muhammad Abduh (1265-1323
H/1849-1905 M). namun, tidak sedikit mufassir yang merasa keberatan terhadap
penafsiran al-Qur’an yang bersifat ke-ilmu teknologian. Beberapa ulama yang
mengingkari kemungkinan pengembangan tafsir ilmy adalah al-Syathibi (w.790
H/1388 M), ibnu Taimiyah (661-728 H/1262-1327 M), M. Rasyid Ridha (1282-1354
H/1865-1935 M), dan Mahmud Syaltut (13``11-1355 H/1839-1936 M).
Adapun pengertian tafsir ‘ilmi atau yang dalam terminologi Jansen disebut
sebagai sejarah alam secara sederhana dapat didefinisikan sebagai usaha
memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menjadikan
penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Ayat al-Qur’an di
sini lebih diorientasikan kepada teks yang secara khusus membicarakan tentang
fenomena kealaman atau yang biasa dikenal sebagai al-ayat al-kauniyat. Jadi
yang dimaksud dengan tafsir ‘ilmi adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang
mufassir dalam mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an dengan
penemuan-penemuan sains modern, yang bertujuan untuk memperlihatkan
kemukjizatan al-Qur’an.[9]
Tafsir ‘ilmi adalah penafsiran al-Qur’an yang pembahasannya menggunakan
pendekatan istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam mengungkapkan al-Qur’an,
dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.[10]
Tafsir 'ilmy adalah التفسير
الذى يحكم الاصطلاحات العلمية فى عبارات القران, ويجتهد فى استخراج مختلف العلوم
والاراء الفلسفية منها suatu metode penafsiran yang mengukuhkan
keterangan atau istilah-istilah ilmiah yang terkandung di dalam
perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam al-Qur’an yang kemudian melahirkan
berbagai macam pengetahuan dan teori-teori filsafat.[11]
Tafsir 'ilmy sebagai penafsiran ayat-ayat kawniyyah yang terdapat di
dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul
saat sekarang.[12]
Dan ada juga sebagian ulama mengartikan Tafsir ilmy’ sebagai sebuah penafsiran
terhadap ayat-ayat kawniyyah yang sesuai dengan tuntutan dasar-dasar bahasa,
ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian alam.[13]
Tafsir ‘ilmi ialah
penafsiran al-Qur’an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Perintah untuk
menggali pengetahuan berkenaan dengan tanda-tanda Allah pada alam semesta
memang banyak dijumpai di dalam al-Qur’an. Inilah alasan yang mendorong para
mufasir corak ini untuk menulis tafsirnya.[14]
Secara sederhana tafsir ‘Ilmy
dapat didefinisikan sebagai upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan
menjadikan penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Sedangkan
objek kajiannya adalah dikonsentrasikan kepada ayat-ayat al-Qur’an yang secara
khusus ataupun umum membahas fenomena kealaman atau yang biasa dikenal sebagai
ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu yang dimaksud dengan tafsir ‘Ilmy adalah
upaya mufassir menganalisa dan menginterpretasikan ayat-ayat kauniah dengan
dibantu penemuan-penemuan sains modern yang bertujuan untuk mengetahui dan
memelihara kemu’jizatan al-Qur’an.Dari beberapa definisi tafsir 'ilmy di atas
pada intinya adalah merupakan sebuah
upaya untuk mengeksplorasi ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an khususnya
ayat-ayat kawniyyah dengan berbagai cara dan metode sehingga dengan penafsiran
ini akan dihasilkan teori-teori baru ilmu pengetahuan ataupun sesuatu yang
berkesesuaian dengan ilmu pengetahuan modern yang ada pada saat ini. Sehingga
penafsiran ini tidak dianggap sebagai sebuah “kelatahan” yang hanya berusaha
men”justifikasi” setiap temuan-temuan sains saat ini sebagai sesuatu yang sudah
terdapat al-Qur’an.
E. Latar Belakang Thanthawi Jauhari dalam menulis Tafsir
Al-Jawahir
Thanthawi juga dikenal sebagai penulis yang
produktif. Tidak kurang dari 30 buku hasil buah pemikirannya sudah dihasilkan
dan mewarnai khazanah ilmu pengetahuan dunia. Di antara beberapa karya yang
fenomenal adalah Al-Jawahir fii Tasir al-Qur’an, ini adalah buah karya tafsir
ilmiyah pertama yang pernah diselesaikan secara sempurna. Tafsir ini terdiri
dari dua puluh lima juz.
Di dalam pendahuluan tafsirnya, Thanthawi
membahas tentang motivasi yang melandasi penyusunan tafsir ini. Beliau
mengatakan, sesungguhnya dirinya amat sangat tertarik dengan keajaiban alam,
keindahan dan keunikannya sebagai salah satu tanda akan kekuasaan-Nya. Akan
tetapi sedikit sekali diantara mereka yang memikirkan dan merenunginya, oleh
karena itu muncul keinginan untuk mulai mencoba menyusun sebuah tafsir yang
selalu mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an dengan keajaiban-kejaiban alam
semesta.[15]
Lebih lanjut Thanthawi menjelaskan akan
pentingnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara ilmiah, karena sesungguhnya
al-Qur'an serat dengan informasi-informasi simbolik yang harus selalu dikaji
untuk mendapatkan berjuta mutiara hikmah yang dikandungnya. Beliau sangat
antusias dalam memberikan motivasi kepada umat Islam agar mereka mampu menjadi
umat yang terbaik dengan menguasai ilmu alam, medis, pertambangan, eksak,
arsitektur, astronomi serta ilmu pengetahuan yang lain. Betapa tidak, menurut
beliau di dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat sains lebih dari tujuh ratus lima
puluh ayat yang mampu membantu umat islam menemukan solusi untuk bisa keluar
dari ke-jumud-an yang dialami selama ini.[16]
Di dalam tafsirnya beliau banyak sekali menjelaskan tentang keajaiban-keajaiban
sains dan makhluk hidup seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, langit, bumi
dan sebagainya, dengan harapan bisa membantu menumbuhkan kecintaan untuk terus
menggali makna yang dikandung oleh al-Qur'an.[17]
Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan
membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetahuan.
Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya "mufasir
ilmu" lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam.[18]
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu dia sering
menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada
di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang
yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang
membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.[19]
Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat
islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para
pemikir (al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulama') tantang
makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang
masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang
mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang
melingkupinya". [20]
Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat
mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
F. Bentuk, Metode dan Corak Penafsiran Al-Jawahir
Untuk mengetahui bentuk, metode dan corak sebuah kirab tafsir, perlu
diadakan perbandingan kitab aslinya dengan kitab tafsir yang lain. Kali ini
akan diperbandingkan antara kitab Tafsir Jawahir, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir
al-Wadhih.
1. Bentuk
Dalam berbagai macam literatur, istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai
dalam kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam
bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang
menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal
al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an
karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun dalam buku Wawasan Ilmu Tafsir yang ditulis oleh Nashruddin Baidan,
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan olah para
mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua
macam, yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.[21]
Berangkat dari sini, tafsir Jawahir ini jika dilihat dengan apa yang telah
disimpulkan oleh Nasruddin Baidan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tafsir
ini menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat,
Thanthawi murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain
ahli sebagai seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal
ini dapat terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan
manusia dari 'alaq (علق), beliau murni
menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai
seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq
(علق).[22]
Ini berbeda dengan penafsiran dengan bentuk bi al-Ma'tsur. Tafsir yang
menggunakan bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini
akan tetap eksis selama masih ada riwayat. Kebalikannya jika riwayat habis,
tafsir bi al-ma'tsur juga akan hilang.
2. Metode
Munculnya beragam kitab tafsir tidak dapat dipisahkan dari perbedaan metode
penafsiran al-Qur'an. Metode di sini diartikan dengan cara kerja yang dilakukan
secara sistematis. Jadi metode tafsir adalah cara (langkah dan prosedur) yang
digunakan oleh mufasir untuk memahami al-Qur'an.
Jika diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi dalam
tafsir ini adalah metode tahlili (analitis). Metode ini berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Dengan metode ini, mufasir
menjelaskan al-Qur'an secara luas dan rinci. Segala hal yang bertautan dengan
al-Qur'an bisa dimasukkan dalam tafsir. Kata kunci penggunaan metode ini tidak
terletak pada banyak tidaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran
yang runtut dan rinci. Ruang lingkup yang luas memungkinkan tafsir dengan metode
ini memuat berbagai ide.
Demikian halnya dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi
dengan analisisnya sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai
ilmu-ilmu alam memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang
lingkup yang amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas,
bagaimana dia ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق). Dapat kita lihat betapa luasnya
penjabaran yang dia berikan mengenai 'alaq (علق).
Bahkan sampai mencakup tiga halaman sendiri, ini jelas berbeda dengan apa yang
ada dalam tafsir al-Maraghi maupun dalam tafsir al-Wadhih.
Meskipun keduanya menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai dalam tafsir Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق) tidak seluas dengan apa yang ada dalam tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang 'alaq saja membutuhkan tiga halaman, sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun al-Wadhih hanya berkisar dua sampai tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat mencolok. Karena seperti telah dijelaskan di atas meskipun sama-sama menggunakan metode tahlili, tetapi kata kuncinya bukan terletak pada banyaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang rinci dan runtut.
Meskipun keduanya menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai dalam tafsir Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق) tidak seluas dengan apa yang ada dalam tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang 'alaq saja membutuhkan tiga halaman, sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun al-Wadhih hanya berkisar dua sampai tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat mencolok. Karena seperti telah dijelaskan di atas meskipun sama-sama menggunakan metode tahlili, tetapi kata kuncinya bukan terletak pada banyaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang rinci dan runtut.
3. Corak
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau
ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah
terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Tetapi bila
ada satu yang dominan maka disebut corak khusus.
Sedangkan corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil
'ilmi. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang tafsir bil 'ilmi, ada yang
menolaknya dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi
(relatif) dan tidak pernah final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan
bahwa al-Qur'an justru menggalakkan penafsiran ilmiah.
Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق) terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق) terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Sebagai contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق). Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih)
seperti tafsir-tafsir lainnya mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم جامدة) yang tidak mempunyai
panca indra, tidak bergerak dan tidak mempunyai rambut.
Berbeda halnya ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق), dia memulai dengan perbandingan antara
telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada
pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama
dengan apa yang ada pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai
apa yang dinamakan putih dan kuning telur. Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة), di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar
pembentukan manusia.
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Thanthawi menafsirkan
kata tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai
oleh Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai
oleh Thanthawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan
teori-teori ilmu pengetahuan yang ada.
Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, qiasi dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.
Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, qiasi dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Thanthawi Jauhari adalah ulama moderat yang dikenal sebagai
seorang cendekiawan Muslim asal Mesir yang kesohor karena kegigihannya dalam
gerakan pembaruan untuk menumbuhkan motivasi umat Islam terhadap penguasaan ilmu
pengetahuan. Beliau dilahirkan pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, wafat tahun 1940.
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu ia sering
menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada
di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang
yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang
membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya. Selanjutnya ia menyatakan
:"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan
agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqala') dan sebagian
ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulama') tantang makna-makna alam yang sering
ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan
dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang mau berpikir tentang
kejadian alam dan keanehan-keanehan yang melingkupinya". Itulah yang
mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan
pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
Tafsir ilmy ialah penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan
istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam rangka mengungkapkan al-Qur’an. tafsir
ini berusaha keras untuk melahirkan berbagai cabang ilmu yang berbeda dan
melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.
Tafsir ini
menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Thanthawi
murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai
seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat
terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia
dari 'alaq (علق), beliau murni
menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai
seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq
(علق).
Jika diamati
secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi dalam tafsir ini adalah
metode tahlili (analitis). corak yang
digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Husein
Adz Dzahabi, at Tafsir wa al Mufassirun, (Maktabah Mus’ab bin Umair al
Islamiyah).t.th.
Baidan,
Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Hijazi,
Muhammad Mahmud, Tafsir al-Wadhih, jilid 3, Beirut, Dar al-Jil, 1993.
Jauhari,
Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, (dalam software Maktabah Syamilah
)
Al-Maraghi,
Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi Jilid 10, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.
http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html. (diakses pada tanggal 14 Oktober 2012)
http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html. (diakses pada tanggal 14 Oktober 2012)
Muhammad Nor
Ichwan. Tafsir ‘Ilmiy Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains
Modern. (Yogyakarta: Menara Kudus, 2004)
Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2.
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
Sayyid Agil Husin al-Munawwar.
Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Mursi Ibrahim al-Bayuni.
Dirasat fi Tafsir al-Mudhu’iy (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah Li al-Thaba’ah, 1970)
Quraisy Shihab, dkk. Sejarah dan Ulum
Al-Qur’an.(Jakarta: Pustaka Fi
[1] Jamal Mustafa Abdul Hamid
an-Najjar, Tabaqat wa Ittijahat ta-Tafsiriyah, (Cairo, t.p, t.th), hlm.
258
[2] Muhammad Hussain
ad-Dzahabi , At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Cairo: Maktabah Wahabah,
2003), Vol. II, hlm. 370.
[3] "Tantawy Jauhari:Motivator
Umat dalam Penguasaan Ilmu",
http://rezaervani.com/rezapedia/tampilkan.php?index=
tantawyjauhari&huruf=t, di akses 14 Oktober
[4] Ibid.
[5] Hendar Riyadi, Tafsir
Emansipatoris: Arah Baru Studi Tafsir Al-Qur'an, (Bandung: Pustaka Setia,
2005), hlm. 121-124.
[7] Manna’ al-Qattan, Mabahist
fii Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1996), hlm. 382.
[8] Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 2007), hlm.
101.
[9] Muhammad Nor
Ichwan. Tafsir ‘Ilmiy Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains
Modern. (Yogyakarta: Menara Kudus, 2004) hlm 127
[10] Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2.
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm. 135
[11] M. Husain al-Zahabiy. Opcit. hlm. 474
[12] Sayyid Agil Husin
al-Munawwar. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta:
Ciputat Press, 2002) hlm.72
[13] Mursi Ibrahim al-Bayuni. Dirasat
fi Tafsir al-Mudhu’iy (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah Li al-Thaba’ah, 1970)
hlm.20
[14] Quraisy Shihab, dkk. Sejarah
dan Ulum Al-Qur’an.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) hlm. 183
[15] Thanthawi Jauhari, Jawahir
fii Tafsir al-Qur'an al-Karim, (Beirut: dar el-Fikr, t.th), vol. 1,
Pendahuluan, hlm. 2
[16] Ibid., hlm. 3.
[17] Ibid., hlm. 3.
[18] M. Husain al-Zahabiy.
Opcit. hlm. 452
[19] Jauhari, Thanthawi, al-Jawahir
fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, hlm. (dalam software
Maktabah Syamilah )
[21] Baidan, Nashruddin, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005. hlm.
ABSTRAKSI
THANTHAWI JAUHARI DAN TAFSIR SAINSNYA
Oleh: Enjen Zaenal Mutaqin, Ikhsan Nasrullah, dan Darman
A.
Biografi Thanthawi Jauhari
Pada tahun 1870
M di wilayah al-Ghar, Thanthawi Jauhari dilahirkan. Ia berasal dari keluarga
petani yang sederhana. Namun orang tuanya menginginkannya tumbuh sebagai orang
berpredikat terpelajar. Karena itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan
formal di kota kelahirannya, ia dikirim ke universitas al-Azhar kairo untuk
mendalami ilmu-ilmu agama.
Di universitas
al-Azhar, ia bertemu dengan seorang pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh.
Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan
pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar pada pemikiran dan
keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi,
Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan. Caranya beragam,
mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga
menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia
tergila-gila pada ilmu tafsir.
Di samping itu,
Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus
dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam
adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.
B. Metode dan Pengertian Tafsir ‘Ilmy
Tafsir ilmy
ialah penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan istilah-istilah
(term-term) ilmiah dalam rangka mengungkapkan al-Qur’an. tafsir ini berusaha
keras untuk melahirkan berbagai cabang ilmu yang berbeda dan melibatkan
pemikiran-pemikiran filsafat.
Menurut pendukung tafsir ilmy, model penafsiran semacam ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang telah dan akan dibentuk dalam dan dari al-Qur’an. al-Qur’an tidak hanya sebagai sumber ilmu agama yang bersifat i’tiqadiyah (keyakinan) dan amaliyah (perbuatan). Ia juga tidak hanya disebut al-‘ulum al-diniyah wal I’tiqadiyah wal amaliyah, tetapi juga meliputi semua ilmu keduniaan (al- ulum al-dunya) yang beraneka ragam jenis dan bilangannya.
Menurut pendukung tafsir ilmy, model penafsiran semacam ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang telah dan akan dibentuk dalam dan dari al-Qur’an. al-Qur’an tidak hanya sebagai sumber ilmu agama yang bersifat i’tiqadiyah (keyakinan) dan amaliyah (perbuatan). Ia juga tidak hanya disebut al-‘ulum al-diniyah wal I’tiqadiyah wal amaliyah, tetapi juga meliputi semua ilmu keduniaan (al- ulum al-dunya) yang beraneka ragam jenis dan bilangannya.
Dari beberapa definisi tafsir 'ilmy pada
intinya adalah merupakan sebuah upaya
untuk mengeksplorasi ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an khususnya
ayat-ayat kawniyyah dengan berbagai cara dan metode sehingga dengan penafsiran
ini akan dihasilkan teori-teori baru ilmu pengetahuan ataupun sesuatu yang
berkesesuaian dengan ilmu pengetahuan modern yang ada pada saat ini.
C.
Latar Belakang Thanthawi Jauhari dalam menulis Tafsir
Al-Jawahir
Dalam
muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu dia sering menyaksikan
kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit
maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang
bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar
serta keajaiban-keajaiban lainnya.
Selanjutnya ia
menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat islam dan
pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir
(al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulama') tantang
makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang
masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang
mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang
melingkupinya".
Itulah yang
mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan
pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
D.
Bentuk, Metode dan Corak Penafsiran Al-Jawahir
Untuk
mengetahui bentuk, metode dan corak sebuah kirab tafsir, perlu diadakan
perbandingan kitab aslinya dengan kitab tafsir yang lain. Kali ini akan
diperbandingkan antara kitab Tafsir Jawahir, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir
al-Wadhih.
1.
Bentuk
Tafsir ini
menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Thanthawi
murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai
seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat
terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia
dari 'alaq (علق), beliau murni
menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai
seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq
(علق).
Ini berbeda
dengan penafsiran dengan bentuk bi al-Ma'tsur. Tafsir yang menggunakan bentuk
bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap eksis
selama masih ada riwayat. Kebalikannya jika riwayat habis, tafsir bi al-ma'tsur
juga akan hilang.
2.
Metode
Jika diamati
secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi dalam tafsir ini adalah
metode tahlili (analitis). Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat
al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Dengan metode ini, mufasir menjelaskan
al-Qur'an secara luas dan rinci. Segala hal yang bertautan dengan al-Qur'an
bisa dimasukkan dalam tafsir. Kata kunci penggunaan metode ini tidak terletak
pada banyak tidaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang runtut
dan rinci. Ruang lingkup yang luas memungkinkan tafsir dengan metode ini memuat
berbagai ide.
Demikian halnya
dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi dengan analisisnya
sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai ilmu-ilmu alam
memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang lingkup yang
amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas, bagaimana dia
ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق).
Dapat kita lihat betapa luasnya penjabaran yang dia berikan mengenai 'alaq (علق). Bahkan sampai mencakup tiga halaman
sendiri, ini jelas berbeda dengan apa yang ada dalam tafsir al-Maraghi maupun
dalam tafsir al-Wadhih. Meskipun keduanya menggunakan metode yang sama dengan
metode yang dipakai dalam tafsir Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق) tidak seluas dengan apa yang ada dalam
tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang
'alaq saja membutuhkan tiga halaman, sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun
al-Wadhih hanya berkisar dua sampai tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat
mencolok. Karena seperti telah dijelaskan di atas meskipun sama-sama
menggunakan metode tahlili, tetapi kata kuncinya bukan terletak pada banyaknya
materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang rinci dan runtut.
3.
Corak
Corak yang
digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi. Meskipun para ulama
berbeda pendapat tentang tafsir bil 'ilmi, ada yang menolaknya dengan alasan
bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak pernah final.
Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan bahwa al-Qur'an justru menggalakkan
penafsiran ilmiah. Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita
bandingkan dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara
tentang 'alaq (علق) terlihat dengan
jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Sebagai contoh
ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق).
Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih) seperti tafsir-tafsir lainnya
mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang
membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم
جامدة) yang tidak mempunyai panca indra, tidak bergerak dan tidak
mempunyai rambut.
Berbeda halnya
ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق),
dia memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves
(sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang
terjadi pada binatang tersebut sama dengan apa yang ada pada manusia. Telur
pada hewan jenis burung mempunyai apa yang dinamakan putih dan kuning telur.
Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة),
di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia.
Dari contoh
tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Thanthawi menafsirkan kata tersebut dia
menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai oleh Maraghi maupun
Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai oleh Thanthawi
adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan
ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan
yang ada. Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang
bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat
mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat
relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia.
Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, qiasi dan yang
tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai
hudan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar