A. Pendahuluan
Satu hal yang sangat nampak dalam perannya sebagai Nabi
akhir zaman adalah perubahan sosial yang tidak hanya berubah namun juga kokoh
dengan landasan Ilahiah yang ini sangat berbeda dengan landasan sosial pada
masa pra Islam. Perubahan di sini tentu tidak serta-merta dikarenakan Muhammad
adalah seorang Nabi, tetapi secara logis sejarah perjalanan[1]
Nabi Muhammad mulai dalam kandungan hingga pada saat menerima wahyu pertama,
sunnatullah juga berlaku baginya.[2]
Suatu peristiwa yang sangat istimewa dan diakui oleh
seluruh manusia di permukaan bumi ini jika sejak kelahirannya Islam yang
diemban oleh Nabi Muhammad telah mampu memberikan warna baru kehidupan umat
manusia yang lebih baik dan berkeadilan. Sampai-sampai pada era modern ini jika
saja umat Islam tidak berupaya untuk mempertahankan nilai-nilai luhur ajarannya
tentu kejahiliahan umat manusia di muka bumi ini akan terulang kedua kalinya
dengan daya hancur yang lebih dahsyat.
Jika Nabi Muhammad mampu melakukan transformasi sosial
pada masanya maka suatu hal yang sangat mungkin untuk kita wujudkan saat ini
adalah melakukan hal yang serupa. Meskipun dalam realitanya hal itu tidak akan
pernah bisa sama atau bahkan melampaui apa yag telah diraih oleh Nabi Muhammad
Saw beserta para sahabatnya. Untuk itulah kajian mengenai Nabi Muhammad dan
perubahan sosial menjadi penting saat ini utamanya dalam rangka merekayasa masa
depan Islam yang lebih baik lagi. Apalagi kini umat Islam sedang berada dalam
kebingungan dan keterbelakangan yang sangat memprihatinkan. Guna mencapai
tujuan dengan lebih cepat dan lebih tepat maka upaya memahami secara
komprehensif perubahan sosial yang terjadi pada masa ke-Nabi-an perlu untuk
dikaji kembali. Terlebih umat Islam hingga saat ini masih banyak yang terjebak
pada masalah-masalah furu’ yang merugikan mereka sendiri.
Dalam makalah ini akan disajikan bagaimana kondisi
Jazirah dan masyarakat Arab pra Islam, Makkah sebelum kenabian, nasab Nabi
Muhammad Saw, Makkah pada masa kenabian dan Hijrah Nabi Muhammad Saw dari
Makkah ke Madinah serta perjanjian Hudaibiyah sampai terakhir Madinah yang
menjadi cikal bakal peradaban Islam, yang semua itu ditujukan untuk memberikan
gambaran konkrit bagaimanakah Nabi Muhammad Saw berupaya membangun peradaban
Islam yang agung itu?.
B. Pra
Peradaban Islam di Jazirah Arab
Sebelum kelahiran Islam dunia dikuasai oleh dua
peradaban besar yakni Romawi di Barat dan Persia di Timur. Peradaban Romawi
yang dikendalikan oleh seorang raja kala itu telah berdiri sejak tahun 750
Sebelum Masehi dengan ibukotanya Roma yang mampu bertahan selama 10 abad
lamanya. Kerajaan ini mengalami masa kejayaannya pada masa maha raja Yustianus
I (527 – 565 M).[3]
Selama bercokolnya peradaban Romawi di dunia saat itu
tradisi agama, filsafat dan bahasa telah mantap saat itu juga. Mayoritas
penduduk yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Romawi Timur pada umumnya
beragama Nasrani.[4]
Namun demikian budaya filsafat juga berlangsung subur di sana. Berbicara filsafat pada masa Romawi
maka tidak bisa mengabaikan peran “kebudayaan Yunani” sebelumnya. Karena
keunggulan Romawi atas bangsa yang lain sejatinya adalah lanjutan dari
kebudayaan Yunani.[5]
Sementara itu di sisi lain Persia dengan peradabannya
cenderung menjadikan alam nyata sebagai Tuhan. Langit biru, cahaya, api, udara,
air dan sebagainya adalah sembahan-sembahan yang populer kala itu. Mereka
mengklasifikasi tuhan dua bagian ada “tuhan baik” dan ada “tuhan jahat”, yang
di antara keduanya selalu terjadi permusuhan dan perkelahian. Tuhan baik
dilambangkan dengan simbol api, karenanya api selalu dinyalakan di setiap rumah
ibadah mereka.[6]
Pada abad ketujuh Sebelum Masehi muncul seorang pemimpin
yang bernama Zoroaster, yang selanjutnya dikenal sebagai “Nabi orang Persia”.
Ajaran yang dibawanya berprinsip pada prinsip agama lama yang telah diperbaiki.
Terdapat dua prinsip dalam ajaran yang dibawanya :
1. Alam
berjalan sesuai dengan “qonun” yang tertentu. Dalam alam selalu ada
pertentangan antara berbagai kekuatan : antara cahaya dengan gelap, antara
subur dengan tandus dan lain-lain.
2. Ajaran
Zoroaster memiliki kitab suci yang syarahnya bernama Zamdavesta.[7]
Kedua peradaban besar tersebut sedikit banyak telah
memberikan pengaruh cukup besar terhadap kebudayaan Arab pra Islam. Jika Romawi
menganut Nasrani sebagai keyakinan kemudian Persia menjadikan Zoroaster sebagai
Nabi yang menguatkan keyakinan mereka maka bangsa Arab dapat dikatakan cukup
“kreatif” karena di tengah-tengah kesibukan mereka sebagai pengembara dan
pedagang, mereka menciptakan tuhan sendiri dan memberikan nama sesuka hatinya.
Inilah yang pada kemudian hari mendorong bangsa Arab terjebak pada paganisme.
Secara bahasa Arab berarti padang pasir, tanah gundul dan gersang yang
tiada air dan tanaman di dalamnya. Jazirah Arab dibatasi oleh laut Merah dan
gurun Sinai di Barat, Teluk Arab sebelah Timur dan Iraq Selatan, kemudian di
sebelah Selatan dibatasi oleh laut Arab yang bersambung dengan lautan India, di
sebelah utara dibatasi negeri Syam dan sebagian kecil dari negara Iraq.
Sekalipun masih terdapat perbedaan luas Jazirah Arab membentang antara satu
juta mil kali satu juta tiga ratus ribu mil.[8]
Di kalangan mereka (bangsa Arab) terdapat beberapa kelas
masyarakat, yang kondisinya berbeda antara satu dengan lainnya. Kelas inilah
sejatinya yang menyebabkan kerusakan menjadi suatu hal yang dimaklumi. Kaum
ningrat mengeksplorasi rakyat jelata menjadi budak yang hasil jerih payah
mereka dipergunakan untuk berfoya-foya. Di sisi lain bangsa Arab memiliki
kepercayaan bahwa wanita adalah aib yang harus dikurangi jumlahnya, sehingga
jika seorang ibu melahirkan seorang bayi perempuan, maka bayi tersebut akan
dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Selain itu jika mereka berhasil menaklukkan
suatu kaum maka kaum wanitanya akan diperkosa beramai-ramai di depan
keluarganya. Setidaknya dua hal tersebut menjadi alasan mengapa bangsa Arab
mengharuskan membunuh anak-anak perempuannya.
Secara garis besarnya, kondisi sosial mereka bisa
dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat
tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang, wanita diperjualbelikan
dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan di tengah umat
sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang
berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat diperlukan untuk menghadang serangan
musuh. Selain itu bangsa Arab juga tidak mengenal perindustrian dan kerajinan.
Kalaupun di sana
terdapat hasil kerajinan semua itu berasal dari rakyat Yaman, Hirah dan
pinggiran Syam. Peperangan, kemiskinan, kelaparan dan orang-orang yang
telanjang merupakan pemandangan yang biasa di tengah masyarakat Arab saat itu.[9]
Dengan seting sosial seperti ini, maka segala hal yang
berkaitan langsung dengan kehidupan mereka, akhlak misalnya adalah sesuatu yang
sangat susah diterima akal sehat dan logika orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir. Segala hal yang dilarang dalam ajaran Islam adalah suatu
hal yang harus dikerjakan dan sesuatu yang menyebabkan mereka memiliki wibawa
jika mampu melakukannya.[10]
Meskipun demikian tidak berarti semua yang ada kala itu
adalah jelek dan tidak ada baiknya sama sekali. Setia kepada kawan dan setia
kepada janji, menghormati tamu, tolong-menolong antara anggota-anggota kabilah
adalah segi sosial yang baik. Sementara itu merendahkan derajat wanita,
bermusuhan lantaran soal sepele adalah segi buruk yang perlu dijauhi.
C. Makkah
Sebelum Kenabian
Setting sosial budaya, ekonomi, politik dan keagamaan
secara umum tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan di atas.
Kerusakan moral, kemiskinan, kelaparan dan perpecahan adalah satu hal yang
dianggap lumrah dan tidak lagi dianggap sebagai sebuah problem. Oleh karenanya
hal demikian berlangsung cukup lama di seantero jagad Arab tidak terkecuali
Makkah di dalamnya. Makkah artinya tempat suci. Sehingga bisa dikatakan bahwa
sejak dulu – jauh sebelum kelahiran Nabi – Makkah telah menjadi pusat
keagamaan. Kota Makkah teletak di Tihamah, sebelah selatan Hijaz, sekitar 48
mil dari Laut Merah, di sebuah lembah gersang dan berbukit yang digambarkan
dalam al-Qur’an (QS. 14 : 37) sebagai tanah yang “tidak bisa ditanami”.
Ini berarti bahwa bangsa Arab telah hidup dengan
peradabannya, hal ini bisa kita temui dalam berbagai aspek, diantaranya adalah
politik, ekonomi dan agama serta seni budaya yang berlangsung ketika itu.[11]
Perlu diketahui bahwa kota Makkah adalah kota suci yang setiap
tahunnya tidak pernah sepi dari pengunjung baik dari dalam negeri maupun
mancanegara, ini terjadi karena di Makkah berdiri tegak bangunan suci Ka’bah.
Di samping itu Makkah juga merupakan jalur persilangan ekonomi internasional,
yang menghubungkan jalur-jalur dari dan ke mancanegara.
Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa tradisi
perdagangan di Arab telah ada jauh sebelum kehadiran Islam. Namun demikian,
harus diakui bahwa tradisi perdagangan yang ada tidak memiliki ruh atau semangat
kemanusiaan seperti keadilan dan persamaan. Hal ini dapat dilihat dari
bagaimana permodalan dikuasai oleh elit-elit pemodal. sebagai contoh misalnya,
para pedagang meminjam modal pada konglomerat, akan tetapi pada saat jatuh
tempo mereka harus membayar utang tersebut dengan bayaran yang jauh lebih
tinggi. Inilah yang kemudian menyebabkan sebagian besar di antara para pedagang
mengalami kebangkrutan dan melarikan diri ke gurun-gurun.[12]
Dalam hal keyakinan di Makkah dapat ditemukan berbagai
macam agama di antaranya paganisme, Kristen, Yahudi dan Majusi. Pada saat yang
sama juga dapat ditemukan beberapa masyarakat Arab yang mengenal agama Nabi
Ibrahim yang itu dapat dilihat dari masih adanya penyebutan Allah sebagai Tuhan
mereka. Akan tetapi pada umumnya mereka lebih akrab dengan berhala. Inilah kaum
paganisme. Mereka membuat patung dari batu yang diambil dari Ka’bah kemudian
dikelilingi untuk dipuja dan disembah.[13]
Secara singkat dapat dipahami bahwa Makkah ketika itu
berada dalam suatu kondisi yang sangat memprihatinkan. Kemerosotan merembet ke
hampir seluruh aspek kehidupan mulai dari moral, sosial, ekonomi, politik dan
bahkan agama. Contoh populer yang telah banyak diketahui oleh umat Islam adalah
tradisi membunuh bayi perempuan yang lahir, dimana untuk hal itu mereka tidak
segan-segan membunuh atau menguburnya hidup-hidup.
D. Nasab
Nabi Muhammad Saw
Masyarakat Arab pada umumnya membanggakan keturunan dan
kekayaan, namun berbeda dengan sosok Muhammad bin Abdullah yang hidupnya penuh
dengan kesederhanaan, yang ditakdirkan sebagai anak yatim piatu dalam usia 6
tahun. Dia tergolong kaum Quraisy dengan garis keturunan dari bani Hasyim
(Hasyimiyah)[14]
yang merupakan salah satu keluarga pedagang dari sekian banyak pedagang di
tanah Makkah.
Dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Syaikh Syafiyurrahman
Al Mubarakfury menjelaskan tentang nasab Nabi Muhammad Saw. dan membaginya
dalam tiga bagian. Bagian pertama merupakan nasab yang disepakati kebenarannya
oleh pakar biografi, yaitu sampai pada Adnan. Bagian kedua merupakan nasab yang
tidak diketahui secara pasti, yaitu Adnan ke atas hingga Ibrahim As. Bagian
ketiga juga merupakan nasab yang tidak diragukan bahwa di dalamnya ada
kesalahan. Namun, dalam makalah ini penulis lebih cendrung kepada nasab Nabi
yang bagian pertama yang telah disepakati oleh ahli biografi yang hanya sampai
kepada Adnan.
Nasabnya ialah Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Muththalib (namanya Syaibatul Hamd) bin Hisyam bin Abdi Manaf (namanya
al-Mughirah) bin Qushayyi (namanya Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin
Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nazzar bin Mu’iddu bin Adnan.[15]
Selanjutnya diyakini bahwa Adnan termasuk anak dari Nabi
Isma’il As bin Nabi Ibrahim As. Allah telah memilihnya (Nabi Muhammad) dari
kabilah yang paling bersih, keturunan yang paling suci dan utama. Tak sedikit
pun dari “karat-karat” jahiliyah menyusup ke dalam nasabnya.[16]
E. Makkah
Masa Kenabian
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling
pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Yang mengajar manusia apa yang mereka
tidak ketahui. (Q.S Al-‘Alaq ayat 1-5).
Surat ini adalah surat
pertama yang diwahyukan Allah kepada Nabi terakhirnya Muhammad Saw. Telah
diketahui bahwa ketika Nabi muncul sebagai rahmatan lil’alamin dua super power
telah lama eksis ketika itu, yakni Romawi dan Persia. Keduanya senantiasa
berperang antara satu dan yang lain. Keyakinan dari kedua super power tersebut
tidak mampu memberikan solusi perdamaian di antara mereka. Abdul karim
menyebutkan pendapat Hamka dalam bukunya bahwa di kedua super power tersebut
telah terjadi penyimpangan terhadap keyakinan agama mereka. Mazdaisme yang
berubah menjadi Majusi dan Nasrani yang telah tercemar oleh pelajaran syirik
dan menjadi agama olok-olok. Lebih dari itu adalah perilaku penguasa yang
menjadikan agama sebagai alat untuk mempermainkan rakyat demi kepentingan
politik dan ekonomi mereka. Sementara itu di Mesir, Afrika Utara, Andalusia, dan Italia terjadi pertentangan hebat di
antara aliran-aliran agama (Nasrani). Mereka saling sesat-menyesatkan karena
persoalan-persoalan yang kecil yang selanjutnya pertentangan itu kian melebar
setelah adanya campur tangan dari pihak penguasa.[17]
Diturunkannya wahyu pertama belum mengharuskan Nabi
untuk melakukan dakwah. Sehingga pendukung awal risalah kenabiannya hanyalah
dari kalangan keluarga sendiri. Mereka adalah Khadijah istri tercinta, Ali bin
Abi Thalib sang sepupu, dan Zaid bin Harits hamba sahayanya. Dengan kata lain
tradisi jahiliah masih terjadi saat itu.
Sebagai ajaran yang asing bagi kaum Quraisy kala itu
seruan Nabi Muhammad tidak banyak menarik perhatian para penguasa dan
konglomerat[18]
saat itu. Dari alumni hasil pembinaan di rumah al-Arqam bin Abil Arqam yang
berjumlah sekitar empat puluh lelaki dan wanita penganut Islam kebanyakan
mereka adalah orang-orang fakir, kaum budak, dan orang-orang Quraisy yang tidak
memiliki kedudukan. Tidak hanya itu jika mereka ingin melaksanakan salah satu
ibadah, mereka harus pergi ke lorong-lorong Makkah seraya bersembunyi dari pandangan
orang-orang Quraisy.[19]
Wahyu pertama telah membawa perubahan cepat dalam “alam
pikiran Arab” pada khususnya dan dalam “alam pikiran dunia” pada umumnya. Ini
berarti telah terjadi revolusi dalam segala bidang kehidupan manusia : bidang
agama, politik, ekonomi dan bidang sosial budaya, bahkan dalam bidang bahasa
dan ilmu pengetahuan.[20]
Perubahan yang sangat besar terlihat dari perubahan para pengikut Nabi yang
kebanyakan dari kalangan miskin dan kaum budak. Bilal misalnya, dia yang
merupakan budak Umayyah bin Khalaf. Bilal tetap teguh dengan keyakinannya
meskipun berbagai macam siksaan yang begitu berat ia terima dari sang majikan.
Sampai pada suatu waktu Abu Bakar menebus Bilal dari majikannya kemudian
memerdekakannya. Inilah awal terbangunnya suatu kebudayaan baru di atas
puing-puing kejahiliyahan.
Fenomena tersebut adalah cermin nyata bahwa dalam diri
para pengikut Islam telah terjadi perubahan besar dan mendasar yang menjadikan
mereka tampil dengan performan yang lebih meyakinkan dan jauh berbeda dengan
masa sebelum mereka mengenal Islam. Dalam hal ini setidaknya terjadi dua segi
perubahan[21];
1. Segi langsung, bahwa ajaran-ajara Islam, baik aqidah
ataupun syari’ah langsung mempengaruhi dan merubah kepercayaan dan tata hidup
orang Arab.
2. Segi tak langsung, bahwa Islam telah memberi
kemungkinan kepada orang-orang Arab Muslim untuk menaklukkan kerajaan Romawi
dan Persia, dua bangsa besar yang telah bertamadun tinggi. Akibat dari
penaklukan ini orang-orang Arab Muslim telah dapat menyelami buah tamadun dari
kedua bangsa itu, yang kemudian dikembangkan ke tengah-tengah Muslim Arab,
sehingga menyebabkan terjadi perubahan dalam alam pikiran mereka.
F. Hijrah Nabi Muhammad Saw
Berbagai tekanan yang dilancarkan orang-orang Quraisy
telah berlangsung sejak pertengahan atau akhir tahun keempat dari Nubuwah yang
banyak ditimpakan kepada mereka yang lemah. Akhirnya umat Islam yang tidak
seberapa itu mulai berpikir untuk mencari jalan keluar dari siksaan yang pedih
itu. Untuk mengukuhkan hati dan keyakinan mereka Allah menurunkan wahyunya
(al-Kahfi) sebagai sanggahan terhadap berbagai pertanyaan yang disampaikan
orang-orang musyrik kepada Nabi Muhammad. Surat
ini meliputi tiga kisah[22];
1. Kisah
Ashabul Kahfi yang diberi petunjuk untuk hijrah dari pusat kekufuran dan
permusuhan, karena dikhawatirkan mendatangkan cobaan terhadap agama, dengan
memasrahkan diri kepada Allah.[23]
2. Kisah
tentang Nabi Khidir dan Nabi Musa, yang memberikan suatu pengertian bahwa
berbagai faktor tidak selamanya bisa berjalan dan berhasil dengan bergantung
kepada yang riil semata, tapi permasalahannya bisa berbalik total tidak seperti
yang tampak. Di sini terdapat isyarat yang lembut bahwa usaha memerangi
orang-orang Muslim bisa membalikkan kenyataan secara total, dan orang-orang
musyrik yang berbuat semena-mena terhadap orang-orang Muslim yang lemah itu
bisa dibalik keadaannya.
3. Kisah
tentang Dzil-Qarnain, yang memberikan suatu pengertian bahwa bumi ini adalah
milik Allah, yang diwariskan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya dari
hamba-hamba-Nya, bahwa keberuntungan hanya diperoleh di jalan iman, bukan di
jalan kekufuran, bahwa dari waktu ke waktu Allah senantiasa akan menurunkan
orang yang siap membela dan menyelamatkan orang-orang yang lemah, seperti
Ya’juj dan Ma’juj pada zaman itu, bahwa yang layak mewarisi bumi ini adalah
hamba-hamba Allah yang shalih.
Demikianlah Islam memberikan pengarahan kepada umat Nabi
Muhammad sehingga mereka memiliki kekuatan mental yang hebat. Siksaan dan
cemoohan kaum kafir Quraisy bukanlah suatu hal yang perlu untuk diperhatikan.
Hijrah ini merupakan awal penolakan Islam terhadap budaya bangsa Arab saat itu.
Semuanya terangkum dalam gerakan-gerakan yang meninggalkan jejak berakar dan
pengaruh yang jauh tikamannya dalam bidang politik dan agama, tidak saja dalam
masa ini sendiri, bahkan melompat jauh ke masa Amawiyah dan masa Abbasiyah.[24]
Lebih dari itu kehadiran al-Qur’an yang mengiringi gerak
dakwah Nabi beserta sahabatnya telah mampu merubah akhlak dan sikap hidup umat
Islam. Dalam hal ini, pengaruhnya sangat terasa, karena orang Islam sejak kecil
dibebankan untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an yang di dalamnya terkandung
ajaran-ajaran keagamaan dan keduniaan, asas perundang-undangan dalam segala
bidang kehidupan, dasar-dasar hukum yang mengatur pergaulan sehari-hari
termasuk pergaulan kekeluargaan, bakan sampai-sampai kepada urusan makanan,
minuman, pakaian, tidur dan mandi yang mana semua itu dapat digali dalam
al-Qur’an. Semua itu mewujud dalam tulisan-tulisa, karangan-karangan,
syair-syair mereka; filsafat, at-thib (kedokteran), aljabar, atau pun ilmu-ilmu
eksakta serta bahasa lainnya.[25]
G. Perjanjian
Hudaibiyah
Setelah cukup lama melancarkan dakwah dan membela diri
dari berbagai bentuk penindasan dan tindakan semena-mena orang-orang kafir
Quraisy kini mulai tampak sinyal-sinyal kemenangan dakwah dan keberhasilan
perjuangan sebelumnya. Berbagai upaya pun mulai disusun utamanya dalam rangka
mendapatkan pengakuan hak terhadap orang-orang Muslim dalam melaksanakan ibadah
di Masjid al-Haram, yang selama ini selalu mendapat rintangan dari orang-orang
musyrik.
Perjanjian Hudaibiyah ini merupakan jalur alternatif
yang ditempuh oleh pihak Quraisy setelah merasa lelah dan ragu akan kemenangan
jika mereka memerangi Nabi Muhammad Saw. Padahal kedatangan Nabi beserta para
sahabatnya saat itu tidak lain adalah dalam rangka menunaikan ibadah ihram.
Sampai-sampai untuk mengantisipasi hal terburuk yang akan terjadi pada kaum
Muslim Nabipun meminta bai’at dari para sahabatnya. Tidak terkecuali Usman bin
Affan yang baru muncul setelah agak lama di tahan pihak Quraisy. Inilah bai’at
Ridhwan yang karenanya Allah menurunkan ayatnya.[26]
Menyadari posisinya yang cukup rawan Qurasiy pun
mengutus Suhail bin Amr untuk mengadakan perundingan. Suhail ini adalah orang
yang selalu di utus untuk melakukan perundingan dan jika Quraisy menghendaki
perjanjian. Pada akhirnya kedua belah pihak menyepakati klaususl-klausul perjanjian
sebagai berikut[27] :
1. Rasulullah
Saw harus pulang pada tahun ini, dan tidak boleh memasuki Makkah kecuali tahun
depan bersama orang-orang Muslim. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari
berada di Makkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa musafir,
yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi
dengan cara apapun.
2. Gencatan
senjata di antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, sehingga semua orang
merasa aman dan sebagaian tidak boleh memerangi sebagian yang lain.
3. Barangsiapa
yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya, maka dia boleh
melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung dengan pihak Qurasiy dan
perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya. Kabilah mana pun yang bergabung
dengan salah satu pihak, maka kabilah itu menjadi bagian dari pihak tersebut.
Sehingga penyerasngan yang ditujukan kepada kabilah tertentu, dianggap sebagai
penyerangan terhadap pihak yang bersangkutan dengannya.
4. Siapa
pun orang Quraisy yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya (melarikan diri
darinya), maka dia tidak boleh dikembalikan kepadanya.
Inilah gencatan senjata yang dikukuhkan di Hudaibiyah.
Dengan mencermati butir-butir perjanjian yang termaktub itu tidak dapat
diragukan bahwa langkah ini merupakan kemenangan yang amat besar bagi kaum
Muslimin. Sebab sudah sekian lama pihak Quraisy tidak mau mengakui sedikit pun
keberadaan orang-orang Muslim, dan bahkan mereka hendak memberantas hingga ke
akar-akarnya. Mereka menantikan babak akhir dari perjalanan orang-orang Muslim.
Sekalipun hanya mengukuhkan perjanjian, namun ini sudah bisa dianggap sebagai
pengakuan terhadap kekuatan orang-orang Muslim, di samping orang-orang Quraisy
merasa tidak sanggup lagi mengahadapi kaum Muslimin.
Kandungan klausul ketiga menunjukkan bahwa pihak Quraisy
lupa terhadap kedudukannya sebagai pemegang roda kehidupan dunia dan
kepemimpinan agama. Mereka tidak lagi mempedulikan hal ini. Yang mereka
pikirkan kini adalah keselamatan diri mereka sendiri. Kalau pun semua manusia
dan orang-orang selain Arab mau masuk Islam, maka mereka tidak lagi mempedulikannya
dan mereka tidak akan ikut campur, dalam bentuk apa pun. Bukankah sebenarnya
hal ini merupakan kegagalan yang telak bagi pihak Quraisy, dan sebaliknya
merupakan kemenangan yang nyata bagi pihak orang-orang Muslim.
Perjanjian Hudaibiyah mengundang para tokoh Quraisy
untuk bersyahadat. Mereka adalah Amr bin al-Ash, Khalid bin al-Walid dan Utsman
bin Thalhah. Setelah mereka menemui Nabi Saw, mereka menuturkan bahwa “Makkah
telah menyerahkan jantung hatinya kepada kita.”[28]
H. Madinah
Cikal Bakal Peradaban Islam
Secara geografis Madinah adalah kota
ketiga yang termasuk pada kawasan tandus yang populer dengan sebutan Hijaz
setelah Thaif dan Makkah yang di sana
telah lama berdomisili bangsa Arab dan Yahudi. Di mana Yahudi memang lebih
banyak dijumpai di Madinah dan sekitarnya. Sebenarnya kedua bangsa ini berasal
dari satu rumpun bangsa, yaitu ras Semit yang berpangkal dari Nabi Ibrahim
melalui dua putranya, Ishaq dan Ismail. Bangsa Arab melalui Ismail dan Yahudi
dari Ishaq.[29]
Secara sosiologis berarti Madinah bersifat heterogen
dimana di dalamnya terdapat dua kebudayaan dan tradisi yang pasti berbeda.
Sekalipun terdapat orang-orang Arab yang memeluk agama Yahudi dan ada di antara
mereka yang terikat hubungan perkawinan, tapi sikap dan pola hidup suku-suku Yahudi
yang terdiri dari lebih duapuluh suku itu secara umum berbeda dari orang-orang
Arab.[30]
Islam mulai dikenal oleh penduduk Yastrib kala itu
dipelopori oleh salah seorang penduduknya yakni Ilyas bin Mu’adz (dari suku
Aus) yang waktu itu mengunjungi Makkah pada musim haji. Kemudian dilanjutkan
tahun-tahun berikutnya oleh beberapa orang Arab Madinah dari suku Khazraj
datang ke Makkah pada musim haji juga. Rombongan kedua ini telah memberikan
titik terang bagi dakwah Islam. Mereka yang sebelumnya tidak mengenal Nabi
langsung menyatakan keimanannya seraya berkata bahwa “Kami telah meninggalkan
golongan kami, tidak ada lagi suku yang saling membunuh dan saling mengancam.
Mudah-mudahan Tuhan akan menyatukan mereka melaluimu. Biarkan kami pergi kepada
mereka untuk mengajak mereka masuk ke dalam agamamu ini, dan jika Tuhan
menyatukan mereka di dalamnya, maka tidak ada orang yang lebih baik
daripadamu.” Sejak saat itulah Islam ramai dibicarakan masyarakat Arab Yastrib.[31]
Selanjutnya kaum Aus dan Khazraj mengirim delegasi pada
dua musim haji berturut-turut untuk menjumpai Nabi. Delegasi terakhir berjumlah
sekitar 72 orang, yang disusul dengan sebuah pertemuan rahasia di malam hari di
bukit Aqabah yang terletak di luar kota
Makkah. Pertemuan itu melahirkan sebuah ikrar yang dikenal dengan ikrar Aqabah,
yang berbunyi[32]:
Demi Allah, kami akan membela Engkau ya Rasul, seperti
halnya kami membela istri dan anak kami sendiri. Sesungguhnya kami adalah
putra-putra pahlawan yang selalu siap mempergunakan senjata. Demikianlah ikrar
kami ya Junjungan.
Paska ikrar tersebut akhirnya Nabi dan Abu Bakar pun
bergegas untuk hijrah menuju Yastrib yang pada saat itu kemudian dinyatakan
berdirinya Daulah Islamiyah. Yastrib pun mengalami perubahan drastis. Kota yang dulu disebut
Yastrib kini berubah menjadi Madinah (tempat din diamalkan). Permusuhan dan
pertikaian yang terjadi sepanjang sejarah Yastrib kini diganti dengan semangat
ukhuwah Islamiyah. Nabi mempersaudarakan semua umat Islam yang berbeda-beda
suku tersebut. Sejak saat itulah konsep kesetaraan mulai dikenal dan mewujud
dalam kota
Madinah. Standar kemuliaan seseorang bukan lagi berdasar pada keturunan dan
fisik tetapi pada seberapa besar ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.
Sebagaimana yang dicatat oleh A. Hasjmy bahwa pada
tanggal 12 Rabi’ul Awal, tahun pertama Hijriyah, Rasul tiba di Quba dan terus
mendirikan masjid yang pertama dalam Islam. Tanggal 16 Agustus, awal tahun
pertama Hijriyah, Rasul dan para sahabatnya yang berjumlah lebih kurang seratus
orang menuju Yatsrib, kebetulan harinya hari jum’at. Di tengah jalan pada suatu
tempat yang bernama perkampungan Lembah Bani Salim, Rasu mendapat perintah
untuk mendirikan shalat Jum’at, sebagai suatu isyarat sudah waktunya
memproklamirkan berdirinya Daulah Islamiyah. Dalam khutbah Jum’at pertamanya
itu, sebagai proklamasi berdirinya Negara Islam, Rasul telah menetapkan dasar
negara yaitu Takwa. Yang artinya harus berjalan di atas garis Allah, yang
antaranya politik negara berdasarkan atas al Adalah al Insaniyah
(perikemanusiaan), asy Syura (demokrasi), al Wahdah al Islamiyah (persatuan
Islam), al Ukhuwah al Islamiyah (persaudaraan Islam).[33]
Setelah Nabi hijrah ke Yatsrib, maka kota tersebut
dijadikan pusat jamaah kaum Muslimin, dan selanjutnya menjadi ibukota Negara
Islam yang segera didirikan oleh Nabi, dengan dirubah namanya menjadi Madinah
al Munawwarah. Di tengah kota Nabi mendirikan sebuah masjid sebagai pusat
ibadah dan kebudayaan, bahkan dijadikan markas besar Negara Islam yang mana
Nabi telah meletakkan dasar-dasarnya yang kuat, antaranya yaitu Ukhuwah
Islamiyah, persaudaraan Islam. Nabi mempersaudarakan antara semua kaum Muslimin
yang berbeda-beda suku dan bangsa, yang berlainan-lainan warna kulit dan rupa,
al Wahdatu al Islamiyah menggantikan al Wahdah al Qoumiyah, sehingga dengan
demikian semua mereka menjadi bersaudara sederajat. Demikianlah, bahwa
sesungguhnya “Agama Islam” menjadi pengikat satu-satunya antara pemerintah
dengan rakyat, dan antara pribadi-pribadi rakyat.[34]
I. Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas tentang Sirah Nabi Muhammad
Saw. serta perubahan sosial yang dilakukan secara evolutif dan revolusioner
telah memberikan sebuah transformasi nilai terhadap makna-makna kehidupan
sosial pada saat itu. Yang mana makna tersebut terproyeksikan dalam sebuah
tatanan masyarakat yang dahulunya jahiliyah, terbelakang, bahkan beberapa ahli
sejarah mengatakan masyarakat yang tidak pernah diperhitungkan akan
progresivitasnya dalam konteks kompetisi peradaban dengan perdaban lain saat
itu, peradaban Persia
dan Romawi.
Namun sebaliknya, sejarah berbicara berbeda bahwa bangsa
Arab yang berada di antara dua imperium besar tersebut dalam waktu relatif
singkat telah mampu memainkan serta menentukan arah kebijakan kehidupan dengan
hadirnya seorang sosok agung yakni Rasulullah Muhammad Saw. sebagai utusan
dengan membawa risalah langit untuk memperbaki kebijakan-kebijakan yang
menyangkut hajat hidup manusia sebagai agama rahmatan lil alamin. Dalam waktu ±
23 tahun Rasulullah dengan berbekal kesalehan, keta’atan sebagai wujud
keyakinan dan keimanan yang kokoh kepada dzat pencipta Allah Swt. serta
bimbingan ilahiyah langsung dari Allah, telah mampu menghantarkan umat manusia
ke martabat yang paling mulya sebagai manusia yang berakal.
Untuk itu perlu kiranya generasi masa kini dan akan
datang haruslah mampu memaknai sejarah perjalanana Rasul dalam melakukan
rekyasa sosial sebagai format baru dalam transformasi nilai ke arah peradaban
yang lebih baik. Sejarah tidak boleh dilupakan begitu saja, karena sejarah
adalah merupakan dialektika nilai, siapa yang memaknai maka seperti itu pulalah
sejarah dimaknai. Dengan harapan munculnya generasi baru untuk mewujudkan suatu
tatanan dunia yang berperadaban dan berkeadaban Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang 1995.
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur
Rahman, Sirah Nabawiyah, alih bahasa Kathur Suhardi, Jakarta : Pustaka al-Kautsar 2007.
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka
Book Publisher, 2007.
K. Hitti, Philip, History of The
Arabs, Jakarta
: Serambi, cet.II, 2006.
Sa’id Ramadhan al-Buthy, Muhammad, Sirah
Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rsulullah
SAW , Alih bahasa Aunur Rofiq, Shaleh Tamdidi, Jakarta : Robbani Press 1999.
Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1996.
[1]
Bdwd;
[2] Kronologi kehidupan
Nabi Muhammad dari sejak lahir hingga proses penerimaan wahyu dari wahyu pertama
hingga wahyu yang ke lima
yakni surat
al-Fatihah menjadi manhaj dakwah Hidayatullah dalam menjalankan misi dakwahya. Ini yang
selanjutnya dikenal dengan istilah Sistimatika Nuzulnya Wahyu. Lihat Manshur Salbu dalam bukunya Ustadz Abdullah Said Pokok-pokok pikiran, kiprah dan perjuangannya.
[4] Nashrani saat itu
setidaknya terbagi pada tiga mazhab, 1) Mazhab Yaaqibah, yang meyakini
bahwa Isa Al-Masih adalah Allah yang berarti Allah dan manusia bersatu dalam
diri Al-Masih. 2) Mazhab Nasathirah, berkeyakinan bahwa dalam diri
Al-Masih terdapat dua tabiat, pertama tabiat ketuhanan dan kedua tabiat
kemanusiaan. 3) Mazhab Mulkaniyah. Lihat A. Hasjmy dalam Sejarah
Kebudayaan Islam: hal. 11
[8] Syaikh Shafiyyur
Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah alih bahasa Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar 2007, hal. 25
[11] M.
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam , Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher 2007, hal. 50
[14] Bani
Hasyim (Hasyimiyah) dinisbatkan kepada kakeknya, Hasyim bin Abdu Manaf yang
nama aslinya adalah Amru. Dipanggil Hasyim karena suka meremukkan roti. Dia
juga yang membuka jalur perjalanan dagang bagi orang-orang Quraisy. Hasyim memiliki anak yang bernama
Abdul Muththalib (dengan nama syaibah, karena ada rambut putih/uban di
kepalanya) dari istrinya yang bernama Salma. Lebih lanjutnya lihat Syaikh
Shafiyyur Rahman Al Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Jakarta:
Pustaka Kautsar, 2007, hal.68
[15] Muhammad
Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah
Pergerakan Islam di Masa Rsulullah SAW Alih bahasa Aunur Rofiq, Shaleh
Tamdidi, Jakarta: Robbani Press 1999, hal. 31
[18] Berbagai
cara mereka lakukan untuk menghentikan dakwah Nabi dan salah satunya adalah
menghasud Abu Thalib sang paman agar berkenan menghentikan perilaku
kemenakannya yang banyak menghina tuhan-tuhan mereka. Dan masih banyak lagi
cara-cara licik yang mereka gencarkan untuk menghentikan dakwah. Lihat karya
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfury dalam Sirah Nabawiyah, hal 114 - 125
[23] Q.S. 18 : 16
[29] Suyuthi
Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur’an, Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada 1996, hal. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar