JADAL DALAM AL-QUR’AN SERTA SIGNIFIKANSI TERHADAP PENDIDIKAN (KAJIAN
ULUMUL QUR’AN)[1]
OLEH : SITI ZULFASARI[2]
A.
PENDAHULUAN
Jadal adalah salah satu tema tertentu dalam
pembahasan ilmu al-qur’an dimana ada salah seorang Ulama’ Mutaakhkhirin yang
menulis secara khusus tentang topik ini, beliau adalah al-‘Allamah Sulaiman bin
Abdul qawi bin Abdul Karim, yang dikenal dengan Ibnu Abul ‘Abbas al- Hanbali
Najmuddin at-Tufi wafat pada 715 H. Secara naluri memang setiap seseorang
mempunyai akal dan pemikiran yang berbeda-beda, sehingga menjadikan antara
mereka saling mengutarakan dan mengungkapkan pemahaman mereka tentang sesuatu.
Maka jika apa yang disampaikannya berbeda dengan yang lain maka terjadilah
perdebatan. Begitu juga pada zaman Rasulullah SAW yang mana beliau menghadapi
orang-orang Arab yang mempunyai karakter yang keras, sehingga jika Nabi
menyampaikan wahyunya sering ditentang oleh masyarakat Arab bahkan
mendustakannya.
Akan tetapi karena Nabi Muhammad memang seorang
Rasul yang sangat sabar yang diutus Allah untuk menyampaikan risalahNya, beliau
sampaikan dengan cara yang lembut. Orang Arab terkenal dengan ahli bahasa dan
syair yang bagus, tapi ketika menghadapi Al-Qur’an yang lebih tinggi dan indah
bahasanya sehingga mereka tidak dapat menandinginya sedikitpun.
Tetapi diera saat ini tidak sedikit juga yang berupaya menjauhi bahkan membantah apa yang
dikandung al-Qur`ân. Seperti dijelaskan sendiri dalam Q.,s. al Kahfi/18: 54
yamg terjemahnya “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”.
Mengapa manusia bisa dan
suka/banyak membantah? Menurut analisis Fazlur Rahman dalam Major Themes of
the Qur’an bahwa :
Karena setiap sesuatu di alam semesta ini
bertingkah laku sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditentukan kepadanya –
secara otomatis mentaati perintah
Allah – maka keseluruhan alam semesta ini adalah muslim atau tunduk kepada kehendak Allah. Manusia adalah satu-satunya ciptaan
Allah yang memiliki kebebasan
untuk mentaati atau mengingkari (membantah perintah-Nya). (Q.,s.al Syams/91:
7-10).[3]
Berbagai upaya dalam membantah
kebenaran al-Qur`ân, dilakukan manusia
sejak masa turunnya, namun selalu kandas. Sebab bantahan al-Qur`ân
selalu lebih kuat. Kekuatan
bantahan al-Qur`ân ini, antara lain
adalah dalam kedudukan uslub bahasa nya
yang juga bermuatan mu’jizat. Menurut al Zarqani bahwa di antara
kemukjizatan al-Qur`ân terdapat pada “kefasihan lafadznya serta keindahan
uslubnya yang tidak bisa ditandingi.”[4]
Pembicaraan di sekitar bantah membantah dalam al-Qur`ân itulah yang
kemudian dalam disiplin ‘Ulum al-Qur`ân dikenal dengan istilah Jadal
al-Qur`ân.
Jadal, ada yang mamduh dan ada pula yang
mazdmum. Dilihat dari pelaku dan hal yang dipersoalkan, pernah terjadi antara
Allah dengan Malaikat, dengan para Nabi, Nabi dengan kaumnya atau penentangnya,
orang perorang di kalangan Bani Adam, dari dulu sampai dengan masa al-Qur`ân
diturunkan. Bahkan model jadal yang digambarkan al-Qur`ân, di antaranya
masihada yang belangsung sampai sekarang. Hal yang dipersoalkan hampir
menyangkut keseluruhan dimensi kehidupan manusia, bahkan setelah
kehidupannya yang sekarang.
Tujuan Jadal al-Qur`ân diantaranya
menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan yang memang
sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Serta untuk mematahkan pembangkangan
para penentang dengan pembuktian yang lebih kuat dan akurat, dengan berbagai
pola pendekatan seperti: al-Ta’rifat, al-Istifham al-Taqriri, al-Tajzi’at,
Qiyas al-Khalf, al-Tamsil dan al-Muqabalat dan lainnya.
Signifikansi Jadal al-Qur`ân dapat membantu
menghampiri kebenaran kandungan, khususnya ayat-ayat yang bermuatan jadal, yang
pernah terjadi di antara berbagai kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân.
Akan lebih memudahkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan,
jadal memiliki pengaruh kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang
thabi’iyah, juga rational dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal
manusia akan lebih mudah dapat memahami dan kemudian diarahkan untuk mencapai
tujuan Pendidikan, mengembangkan manusia menjadi cerdas secara
rasio-emosi-spiritual, dan anggun dalam iman, ilmu dan perilaku.
Makalah ini, akan mencoba
melihat permasalahan di sekitar Jadal al-Qur`ân tersebut, meliputi:
pengertian Jadal, macam dan topiknya, tujuan dan metodenya, refleksisasi atau perannya dalam penafsiran al-Qur`ân serta signifikansi/pengaruhnya terhadap pendidikan saat ini
A. PEMBAHASAN
I.
Definisi Jadal dalam Al-Qur’an
Jadal dan Jidal adalah bertukar pikiran dengan
cara bersaing dan berlomba untuk saling mengalahkan lawan. Pengertian ini
berasal dari kata-kata Hadaltu Al-Habla , yakni Ahkamtu
Fatlahu ( aku kokohkan jalinan tali itu)[5],
mengingat kedua belah pihak yang berdebat itu mengokohkan pendapatnya
masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dipeganginya. Allah
menyatakan dalam Al-qur’an bahwa berdebat merupakan salah satu tabiat manusia: “
dan
manusia adalah makhluk yang paling banyak debatnya” (al-kahfi
18/54), yakni paling banyak bermusuhan dan bersaing.
Rasulullah juga diperintahkan agar berdebat
dengan kaum musyrik dengan cara yang baik yang dapat meredakan keberingasan
mereka. Firmannya: “serulah
manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah
mereka dengan cara yang paling baik.” (an-nahl 16/125)
Al-Qur`ân menyebut kata Jadal dalam berbagai bentuknya sebanyak 29 kali.
Lokus pemuatannya tersebar pada 16 Surat
dalam 27 ayat yakni pada surah:
al-Nisaa/4: 109 dan Huud/11: 32
masing-masing dua kali; al-Baqarah/2:
197; kemuadian pada al-Nisaa/4:
107; al-An’aam/6: 121, 125; al-A’raf/7: 71; al-Anfaal/8: 6; Huud/11: 74;
al-Ra’d/13: 13; al-Nahl/16: 111,
125; al-Kahfi/18: 54, 56; al-Hajj/22: 3, 8, 68; al-Anka buut/29: 46;
Luqmaan/31: 20; Ghaafir/40: 5, 4, 25,
56, 69; al-Syuura/42: 35; al-Zukhruf/43: 58; al-Mujaadalah/58: 1 masing-masing satu kali.[6]
Dalam bahasa Indonesia, Jadal dapat
dipadankan dengan debat. Debat adalah pembahasan dan pertukaran
pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan
pendapat masing-masing.[7] Jadal atau Jidal dalam bahasa Arab dapat dipahami sebagai
”perbantahan dalam suatu permusuhan yang sengit dan berusaha memenangkannya.”[8]
Sebagai suatu istilah,
Jadal adalah saling bertukar pikiran atau pendapat dengan jalan masing-masing
berusaha berargumen dalam rangka untuk memenangkan pikiran atau pendapatnya
dalam suatu perdebatan yang sengit.[9]
Berbagai batasan pengertian tentang Jadal dirumuskan para ulama, namun pada
dasarnya mengacu pada perdebatan serta usaha menunjukkan kebenaran atau membela
kebenaran yang ditujunya dengan berbagai macam argumentasi. Dari
definisi-definisi yang ada bila hendak dibuatkan rambu-rambu, maka itu
antara lain adalah (1) Hendaknya dengan jalan yang dapat diterima atau terpuji,
(2) Diniati untuk mendapat dalil/argumen yang lebih kuat, (3) Untuk menunjukkan
aliran/mazhab serta kebenarannya.
Dengan rambu yang
demikian itu, para pihak yang terlibat dalam jadal memang tidak harus saling
membenci, walaupun pada dasarnya sulit menghidari suasana saling bermusuhan.
Sebab, sebagian dari watak dasar manusia adalah memang suka membantah atau
berbantah-bantahan, bahkan Tuhannya pun dibantah. (Q.,s. al Kahfi/18 : 54).
Kenapa demikian? Sebab manusia memang memiliki potensi/kebebasan untuk itu,
yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya. Untungnya kita punya pedoman
yaitu al-Qur`ân yang menganjurkan jika hendak berbantahan, maka
berbantahanlah dengan cara yang terbaik.[10]
Istilah yang dapat
dipandang sebagai padanan daripada istilah Jadal adalah al
Munazharah, al Muhawarah, al Munaqasyah dan al Mubahatsah.
Istilah-istilah tersebut dapat dipandang sepadan, sebab pada dasarnya
mengacu pada tujuan yang sama yakni untuk menjelaskan dan kejelasan sesuatu
permasalahan. Hanya saja Jadal lebih menekankan kemenangan, dan pada
saat yang sama kekalahan bagi pihak lawan debat. Munazharah merupakan
kegiatan dimana dua orang saling mengemukakan pemikiran, masing-masing
bertujuan membenarkan pemikirannya serta menyalahkan pemikiran lawan (debat)nya
dengan jalan saling mencoba menguji pembuktian dalam upaya mencari/menampakkan
kebenaran. Adapun muhawarah mengacu pada pembicaraan dimana di dalamnya
ada dialog/tanya jawab dengan sopan yang bertujuan hampir sama saja dengan Jadal.
Tentang munaqasyah dan mubahatsah hampir sama saja. Khususnya tentang Jadal
dan muhawarah, di dalam al-Qur`ân terdapat ayat yang di dalamnya
digunakan kedua istilah tersebut, yaitu pada surah Q.,s. al Mujadalah ayat
pertama.[11]
Adapun al-Qur`ân secara
etimologis berarti “bacaan”, dan secara terminologis adalah Kalam Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang
diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhamad SAW. dan diriwayatkan secara
mutawatir serta membacanya adalah ‘ibadah.[12], Sedangkan yang dimaksud Jadal
al-Qur`ân adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan dalil-dalil yang
terkandung di dalamnya, untuk dihadapkan pada orang-orang kafir dan mematahkan
argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud mereka, sehingga
kebenaran ajaran-Nya dapat diterima dan melekat di hati manusia.[13]
2. Macam dan topik Jadal
dalam Al-Qur’an
Secara umum, Jadal al-Qur`ân dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama : Jadal yang terpuji (al Jadal al Mamduh) adalah
suatu debat yang dilandasi niat yang ikhlash dan murni dengan cara-cara yang
damai untuk mencari dan menemukan kebaikan dan kebenaran. Ulama membolehkan
debat dengan maksud untuk menjelaskan syari’at dan membuktikan kesahalan lawan
dengan alasan-alasan dan pembuktian yang benar, tentunya dengan cara yang baik.
Hal tersebut dapat didasarkan pada firman Allah yang terjemahnya sebagai
berikut :
(1) Serulah
(manusia) kejalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka (wajaadilhum) dengan cara yang lebih baik (Q.,s. al Nahl/16 :
125).
(2)Dan jangan kamu
berdebat (walaa tujaadil) dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang
paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka (Q.,s. al
‘Ankabuut/29 : 46).
Sebagai contoh dari Jadal jenis
ini dapat dilihat pada ayat yang terjemahnya sebagai berikut :
Maka tatkala datang
kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata “mengapakah tidak
diberikan kepadanya (Muhammad) seperti yang telah diberikan kepada Musa
dahulu?” dan bukanlah mereka itu telah ingkar (juga) kepada apa yang diberikan
kepada Musa dahulu? Mereka dahulu telah berkata : Musa dan Harun adalah dua
orang ahli sihir yang bantu-membantu”. Dan mereka (juga) berkata :
“Sesungguhnya kami tidak mempercayai masing-masing mereka itu”. Katakanlah :
“Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat)
memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan al-Qur`ân) niscaya aku
mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Maka jika mereka tidak
menjawab (tantanganmu), ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa
nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.”
(Q.,s. al Qashash/28 : 48-50).
Kedua: Jadal yang tercela (al Jadal al Mazdmum), adalah setiap debat yang menonjolkan
kebathilan atau dukungan atas kebathilan itu. Tentang tercelanya debat yang
bathil ini banyak dasarnya dari Al Kitab maupun al Sunnah dan pendapat kaum Salaf.
Di antara dasarnya dari al Kitab adalah ayat yang terjemahnya sebagai berikut:
(1)Dan tidaklah Kami
mengutus rosul-rosul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang bathil
agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak dan mereka menganggap
ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olok
(Q.,s. al Kahfi/18 : 56).
(2)Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil
lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu
lenyap (Q.,s. al Anbiya’/21 : 18).
Jadal al Mazdmum itu
ada yang dilakukan dalam bentuk debat tanpa landasan keilmuan seperti
disinyalir dalam Q.,s. al Hajj/22: 3,
yang terjemahnya “di antara manusia ada orang yang membantah tentang
Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaithan yang sangat jahat”,
dan ayat 8 yang tertejamhnya “Dan diatnara manusia ada orang-orang yang
membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab
(wahyu) yang bercahaya”. Juga dapat
dilhat contoh Jadal model tersebut pada Q.s., al Mu’minun: 71 dan Q., s. Lukman: 20. Ada
pula Jadal al Mazdmum dalam
bentuk dukungan atas kebathilan setelah
tampak kebenaran seperti dalam Q.,s. al Mukmin/40: 5 yang terjemahnya
“dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran
dengan yang batil itu.”
Adapun mengenai terma (maudlu’)
dalam Jadal al-Qur`ân, cukup banyak tersebar dalam berbagai surah dan
ayah al-Qur`ân. Al Almaa’iy mengkategorikannya ke dalam enam kelompok terma
(nama dan nomor surat dan ayat di dalam kurung adalah di antara contoh
jadal dalam terma bersangkutan), yakni : (1) Jadal dalam penetapan wujud
Allah (Q.,s. al Jaatsiyah/45 : 24-28), (2) Jadal tentang penetapan
Keesaan Allah (Q.,s. al Anbiya’/21 : 22), (3) Jadal tentang Penetapan
Risalah (Q.,s. Nuh/71 : 1-3), (4) Jadal tentang Kebangkitan dan
Pembalasan (Q.,s. al Mu’minun/23 : 81-83 dan Q.,s. Qaaf/50 : 12-15), (5) Jadal
tentang Tasyri’at (Q.,s. al Nahl/16 : 36 & Q.,s. al Anbiya’/21 : 25),
(6) Jadal tentang aneka tema lainnya, seperti: (a) Jadal Bani Adam
(Q.,s. al Maidah/5 : 27-31), (b) Jadal Ibrahim a.s. tentang kaum Luth (Q.,s.
Hud/11 : 74-76), © Jadal antara Musa dan Hidlir a.s (Q.,s. alKahfi/18 : 60-72),
(d) Jadal antar orang shabar yang miskin dan orang kafir yang kaya (Q.,s. al
Kahfi/18 : 32-43), (e) Jadal Keluarga Fir’aun yang beiman dengan kaumnya (Q.,s.
al Mu’minun/23 : 27-40), (f) Jadal Yahudi dan Nasrani tentang Ibrahim a.s.
(Q.,s. Ali Imran/3 : 65-68), (g) Jadal Munfiqin dengan Mu’minin (Q.,s. al
Baqarah/2 : 11-14). Di antara sekian maudlu’ Jadal dalam al-Qur`ân– menurut
analisis Al Almaa’iy – terma yang pertama dan kedua yakni tentang Wujud dan
Keesaan Allah yang paling banyak mendapat sorotan.[14]
Dengan menggunakan kerangka
jenis/macam Jadal yang
dikemukakan ter dahulu, bila dicermati secara baik, tentunya dapat diduga dari
contoh-contoh tersebut di atas, mana yang tergolong Jadal yang mamduh
dan mana yang mazdmum.
3.
Bentuk-bentuk Jadal dalam Al-Qur’an
Didalam kitab Al-Itqon fii Ulumil Qur'an, lmam
syuyuti menyebutkan beberapa hal yang termasuk dalam bentuk Jadal
diantaranya:
1.Al-Isyjal
yaitu meletakkan kata yang menunjuk kepada lawan bicara dan juga apa yang
dibicarakan. Contohnya dalam firman Allah dalam Surat Ali Imron ayat 194.
2.Al-Intiqol
yaitu memindahkan argumen yang dijadikan dalil kearah argumen yang tidak dapat
diikuti sehingga didalam perdebatan kadang argumen tidak dimengerti maksudnya oleh lawan. contoh
dalam surat Al-Baqoroh ayat 258, memaknai istilah menghidupkan dengan membebaskannya
disinilah kekeliruan tersebut sehingga Allah SWT merubah argument dengan yang
lainnya yaitu menerbitkan matahari dari barat.
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آَتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي
وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ
الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
3.Munaqodhoh, yaitu menggantungkan sesuatu dengan hal yang
mustahil, yang mengisyaratkan kemungkinan terjadi. Contoh dalam Al-qur'an Surat
Al-A'raf ayat 40.
Artinya: "Dan mereka tidak akan masuk kedalam surga hingga unta masuk
keIobang jarum " .
Sedangkan menurut Manna' al-Qathan
dalam bukunya "Mabahits fii
Ulumi al-Qur'an", beliau menyebutkan pembagian argumentasi dalam
dua bentuk yaitu :
1. Penyebutan
Alam semesta untuk memperkuat dalil-dalil yang mengarah kepada Aqidah yang
benar dalam kepercayaan, Iman kepada Allah SWT, Malaikatnya Kitab-kitab Suci,
Rasul-rasulnya, dan Hari Akhir.Contoh Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqoroh
ayat 21-22:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَالَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً
وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا
لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: "Wahai Munusia Sembahlah Tuhqnmu ycng telah menciptahan
kamu dan oftmg-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa. Diolah yang telah
merrciptakan Bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebadai atap, dan Dia
menurunkan air hujan dari langil, lalu Dia menjadikan dengan hujan itu segala
buah-buahan sebagai karunia untukmu, karena itu janganlah kamu mengadaknn
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui".
2. Menolak
argumen-argumen yang salah dari para penyeleweng. Dalam hal ini terbagi atas
beberapa bagian yaitu:
a.
Menyebutkan orang yang diajak berbicara itu dengan kata-kata pertanyaan,
sehingga terbebas dari permusuhan dan terselamatkan dari permainan akal,
sehingga mereka mengakui kesalahan yang mereka perbuat. Dalam hal ini Allah SWT
berfrman dalam Surat At-Tur ayat 35:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ
الْخَالِقُونَ
Artinya :
"Apakah mereka yang menciptakan segala sesuatu atau mereka yang
diciptakan".
Menurut Imam Syuyuti, untuk menyelamatkan dari
perselisihan tidak harus memakai kata-kata pertanyaan saja namun bisa dengan
manfu ( kata peniadaan ), atau syarat denga huruf-huruf Imtina
(larangan).Disebutkan Allah SWT dalam Surat Al-Mu'minun ayat 91 yaitu:
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ
مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى
بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
Artinya : "Allah seknli-knlli tidak mempunyai dnah dan seknli-kali
tidak ada tuhan yang menyertainya, kalau ada tuhan yang menyertairrya,
masing-masing tuhan akan membowa mahluq yang diciptakanrrya, dan sebagian dari
tuhon-tuhan itu akan mengolahksn sebagian yang lain. Maha suci Allah SW dari
apa yang mereka sifatkan itu".
b.Menunjukkan dalil-dalil yang berkenaan dengan permulaan dan tempat kembali.
Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an Surat Qaf ayat l5:
أَفَعَيِينَا
بِالْخَلْقِ الْأَوَّلِ بَلْ هُمْ فِي لَبْسٍ مِنْ خَلْقٍ جَدِيدٍ
Artinya : "Apakah kami letih dengan penciptaan yang pertama?.
Sebenarrrya mereka ragu tentang penciptaanyang baru".
Surat Fusshilat
ayat 39:
وَمِنْ
آَيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا
الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى
إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya : "Dan sebagian dari tanda-tanda-Nya, bahwa kamu melihat bumi
itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air diatasnya, niscaya ia akan
bergerak dan subur. Sesunggguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat
menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Begitu juga dalam Surat Al-Qiyamah ayat36-40, At-Thoriq ayat 5-8, dimana
ayat-ayat ini menunjukkan kehidupan awal didunia dengan segala isinya yang
takkan habis, danjuga kehidupan setelah mati.
c. Memutus langsung perdebatan dengan menyebut
kesalahan- kesalahan lawan. contoh dalam Surat Al-An'am ayat 91, di.unu dalam
ayat tersebut Allah swr menolak pengaduan orang-orang yahudi dengan
perkataannya :
وَمَا
قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى بَشَرٍ
مِنْ شَيْءٍ
Artinya : "Demi Allah SW tidak menetapkan sesuatu itu bukan atas
keemompuannya, ketika mereka berkata “Allah SWT tidak menciptakon sesuatupun
untuk manusia ".
d. Membatasi dan membagi sesuai dengan sifat dan menolak untuk membagi salah
satunya sebagai dasar hukum seperti dalam Surat Al- An'am ayat 143 :
ثَمَانِيَةَ
أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ
Artinya " yaitu delapan binatang yang berpasangan sepasang dari domba
dan sepasang dari kambing"
Kemudian Allah berfirman dalam ayat yang ke 144 :
وَمِنَ
الْإِبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ قُلْ آَلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ
الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ أَمْ
كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ وَصَّاكُمُ اللَّهُ بِهَذَا
Artinya: "Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah
" Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah
yang ada dalam kandungan dua betinanya. Apakah kamu menyaksikan diwaktu Allah
menetapkan ini bagimu?
e. Mengunci lawan dengan penjelasan lebih banyak, dimana seolah- olah
perselisihan tersebut tidak akan diakui oleh siapapun. Seperti dalam firman
Allah Surat Al-An'am ayat 100 :
وَجَعَلُوا
لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُوا لَهُ بَنِينَ وَبَنَاتٍ
بِغَيْرِ عِلْمٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ
disini Allah
SWT menafikan dirinya dari tawallud (beranak-pinak) disebabkan keesaan-Nya,
karena beranak-pinak itu menurut kita adalah harus melalui dua mahluq, dan
Allah SWT tiada sekutu bagi-Nya. Contoh lainnya adalah pengakuan atas Risalah
kenabian yang mana Nabi merupakan orang-orang pilihan, hal ini dicontohkan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Ibrahim ayat 11.
قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلَّا بَشَرٌ
مِثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَمُنُّ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ
B.
Signifikansi Jadal dalam penafsiran Al-Qur’an terhadap
Pendidikan
Al-Qur`ân adalah mukjizat al Kubra yang abadi
bagi Rasul Saw, yang bersifat ruhiyah, rasional, dan spiritual sekaligus. Untuk
dapat masuk ke dalam “nuansa” al-Qur`ân dalam kerangka pemahaman atas
kandungannya, tentunya bukanlah hal yang mudah. Harus tahu caranya. Di
antara yang dapat dipandang sebagai “cara” masuk itu, adalah memahami celah
dari sisi kemukjizatannya, yaitu keindahan dan ketinggian gaya bahasa
(uslubnya). Di sinilah (boleh jadi) letak signifikansi pemahaman tentang Jadal
al-Qur`ân, dimana Jadal merupakan satu dari tanda ketinggian
uslub al-Qur`ân.
Memahami Jadal al-Qur`ân, dapat berarti mempermudah
jalan dalam menghampiri dan menangkap pemahaman yang benar atas dialog
(jadal, munazharah, muhawarah) yang pernah terjadi dan tertera dalam Al-Qur`ân,
baik di antara Allah dengan Malaikat atau dengan Nabi, atau di kalangan para
Nabi dengan kaumnya, di kalangan orang-orang shalih yang mulia, atau antar
perorangan di kalangan Bani Adam dalam berbagai suasana dan kondisi. Bila
demikian, maka dapat berarti Jadal al-Qur`ân
berperan kuat dalam penafsiran al-Qur`ân.
Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, dapat juga dipahami
bahwa al-Qur`ân sungguh-sungguh tidak menghendaki adanya “debat kusir”, debat
yang kosong dari nilai manfaat dan kebenaran. Al-Qur`ân hanya menghendaki Jadal
yang “mamduh” (wajaadilhum bi allati hiya ahsan dan atau wa laa
tujadiluu bi al bathil)). Dengan memahami Jadal al-Qur`ân dengan lebih
mudah pula dapat dipahami hakekat kebenaran yang lebih haqiqi dari hal atau
hal-hal yang menjadi objek jadal dalam al-Qur`ân. Lagi pula Jadal al-Qur`ân
tidak sama dengan manthiq Yunani (Logica Hellenica).
Adapun konteks kependidikan, pengaruh Jadal dapat
dipahami dalam kerangka pendidikan sebagai proses pemanusian
manusia. Atau dalam kerangka membuat
manusia menjadi makhluk yang memiliki budaya yang tinggi, yang selaras dengan
citra penciptaannya yang paling bagus (fi ahsani takwim Q.,s. al Tin/95
: 4), dan dalam kapasitas yang multi dimensi, yakni secara thabiiyah merupakan
“psycho and physical entity”, yang punya nurani, ratio, raga dan rasa secara
bersamaan, pendidikan, memerlukan berbagai macam kiat dan metode
untuk dapat mencapai tujuannya.
Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia
dirumuskan sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Masa Esa, berkahlak mulia, sehat, berilmu,
cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.[15]
Dalam pendidikan Islam, pendidikan akhlak
merupakan “Ruh” pendidikan secara keseluruhan. Mencapai akhlak yang mulia
adalah obsesi haqiqiyah dari pada tujuan pendidikan Islam. Untuk maksud itu,
upaya/proses pembinaan akhlak dan pendidikan kejiwaan adalah dasar yang paling
asasi daripada tujuan yang harus dicapai dalam Pendidikan Islam. Untuk dapat
mencapai tujuan seperti itu, tentunya tidak mudah. Diperlukan berbagai sarana,
fasilitas, dukungan kebijakan politik dan dana yang tidak kecil, waktu yang
tidak pendek, dan kualitas SDM yang baik serta metode yang handal.
Dari sekian banyak metode yang dikenal selama ini,
khususnya dalam melayani sisi manusia yang rational dan emossional, kiat
diskusi, tanya jawab, bantah membantah, dialog, seminar, polemik dan
semacamnya, yang dalam kerangka al-Qur`ân dapat dipahami sebagai Jadal,
masih menempati posisi strategis, dan karenanya masih tetap relevan dan
efektif, khususnya Jadal yang mamduh.
Jadal dalam al-Qur`ân, seperti yang terjadi antara
Ibrahim dengan Allah (Q.,s. al Baqarah/2: 560 atau antara Ibrahim dengan
kaumnya seperti dalam Q.,s. al Anbiya’/21 : 51-71; Q.,s. al Syu’ara’/26: 69-82,
adalah merupakan contoh yang baik sekali dalam peristiwa dialogis yang
dimaksudkan sebagai metode mencari dan membawa peserta didik kepada pencapaian
kebenaran. Bahkan secara lebih rinci dapat dipahami bahwa dialog-dialog
(jadal) dalam al-Qur`ân banyak sekali di antaranya yang bersifat dan mengarah
pada model dialog deduktif, di mana deduksi merupakan suatu
metoda pemikiran logis yang amat bermanfaat dalam dunia pendidikan. Demikian
pula halnya dengan tamsil dan ibarat yang banyak digunakan dalam
Jadal al-Qur`ân, memberi peluang bagi pendidik untuk dapat menjelaskan
konsep-konsep abstrak dengan makna-makna kongkrit, yang dapat ditangkap oleh
persepsi manusia, yang pada gilirannya membawanya pada pemahaman tentang
sesuatu secara benar dan tentang kebenaran itu sendiri.[16]
Jadal, munadharah ataupun muhawarah dapat berfungsi sebagai
arena pengujian kemampuan – dalam skalanya yang lebih tehnis. Di sini
keilmiahan dan keilmuan peserta yang
terlibat akan bisa terlihat dan bisa dibandingkan dengan yang lainnya.
Seseorang akan diakui sebagai ilmuwan yang terdidik bila ia mampu melakukan
dialog atau debat (yang mamduh ) dalam bidangnya dengan ilmuwan terdidik yang
lainnya.[17]
Ibnu Khaldun memandang munadharah – sesuai kutipan Al
Abrosyi – sebagai sesuatu yang sangat membantu dalam hal pengajaran dan
pendidikan, terutama untuk dapat memahami aspek ilmiah dari tamsil dan ibarat.
Sementara Al Abrosyi juga memandang munadharah, muhawarah dan sejenisnya dalam
mendekati setiap permasalahan, akan dapat mempengaruhi jiwa pihak si terdidik
untuk menjadi lebih matang, dan sangat berpengaruh dalam membina kebebasan dan
kekuatan berfikir.
Hal mana pada gilirannya, secara akumulatif, akan
dapat membawa dan mengantarkan manusia untuk selalu mampu berproses ke arah peningkatan
diri menjadi manusia-manusia yang cerdas, beriman dan bertaqwa serta berakhlaq
dengan akhlaq yang mulia
C. KESIMPULAN
Jadal al-Qur`ân ialah pengungkapan bukti-bukti dan dalil-dalil dengan
tujuan untuk mengalahkan orang kafir dan para penantang sekaligus untuk
menegakkan aqidah dan syari’ah, melalui pembuktian atas kebenaran yang dapat
diterima oleh nurani manusia.
Jadal, ada yang mamduh dan
ada pula yang mazdmum, dengan landasan dan contohnya masing-masing di
dalam al-Qur`ân. Jadal dalam al-Qur`ân, dilihat dari pelaku dan hal yang
dipersoalkan, menyangkut space and time yang sangat luas. Pernah terjadi
antara Allah dengan Malaikat, dengan para Nabi, Nabi dengan kaumnya atau
penentangnya, orang perorang di kalangan Bani Adam, dari dulu sampai dengan
masa al-Qur`ân diturunkan. Bahkan model-model jadal yang tergambar dalam
al-Qur`ân, di antaranya masih belangsung sampai sekarang. Demikian pula hal
yang dipersoalkan dalam Jadal hampir menyangkut keseluruhan dimensi
kehidupan manusia, bahkan setelah kehidupan yang sekarang.
Urgensi dari Jadal al-Qur`ân antara lain untuk menetapkan
aqidah tentang wujud dan wahdaniyah Allah serta petunjuk dan syari’ah bagi yang membutuhkan.
Menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan yang memang
sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Serta untuk mematahkan pembangkangan
para penentang dengan pembuktian yang lebih kuat dan akurat, dengan berbagai
tehnis pendekatan seperti : al Ta’rifat, al Istifham al Taqriri, al
Tajzi’at, Qiyas al Khalf, al Tamsil dan al Muqabalat.
Jadal al-Qur`ân, dengan memahaminya dapat membantu menghampiri
kebenaran kandungan, khususnya ayat-ayat yang bermuatan Jadal, yang
pernah terjadi di antara berbagai kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân.
Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, akan lebih memudahkan dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan, jelas Jadal memiliki pengaruh
kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga rational
dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih mudah
dapat diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan; mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia seutuhnya,
membina manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.
Wallahu ‘alam bishowab
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Al-Qur`ân dan
Terjemahnya, Mujamma’ al Khadim al Haramain
asy Syarifain al Malik Fahd li Thiba’at al Mushhaf asy Syarif, Medinah al
Munawwarah, 1412
2.
Al-Almâ’iy, Zahir
‘Iwad, Manahij al Jadal fi Al-Qur`ân al Karim, t.tp.: tp., t.th.
3.
Abdullah, Abdurrahman
Shaleh, Cet. I; Educational Theory : a Qur’anic Outlook, terjemahan H.
M. Arifin dan Zainuddin dengan judul “Teori Pendidikan Menurut al Qur’an”,
Jakarta : Rineka Cipta, 1990.
4.
Abduh, Syekh
Muhammad, Risalatut Tauhid, terjemahan H. Firdaus A. N. dengan judul
“Risalah Tauhid”, Cet. VI; Jakarta : Bulan Bintang, 1976.
5.
Asari, Hasan, Yang
Hilang dari Pendidikan Islam; Seni Munadharah, Jurnal “Ulumul Qur’an”,
Nomor 1 Vol. V Jakarta, 1994.
6.
Avery, Jon dan Hasan
Askari, Towards a Spiritual Humanism, terjemahan Arif Hutono dengan
judul “Menuju Humanisme Spiritual”, Cet. I; Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
7.
Depdikbud, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
8.
Dirjen Binbaga Islam,
Himpunan Peraturan Perundangan tentang Pendidikan Tinggi, 1991.
9.
Nasr, S.H., Ideals
and Realita of Islam, terjemahan Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid dengan
judul “Islam Dalam Cita dan Fakta”, Cet. I; Jakarta: LEPPENAS, 1981.
10.
Al-Qaththan, Manna’
Khalil, Mabâhits fi ‘Ulum al-Qur`ân, Beirut : Mansyurat al Ashri, 1977.
11.
Rahman, Fazlur, Major
Themes of the Qur’an, terjemahan Anas Mahyuddin dengan judul “Tema Pokok al
Qur’an”, Cet. I; Bandung: Pustaka, 1983.
12.
Al-Shabuny, Muhammad
‘Aly, Al Tibyân Fi ‘Ulum al-Qur`ân, terjamahan H. Moh. Chudlori Umar dan
Moh. Matsna dengan judul “Pengantar Study Al Qur’an”, Bandung : Al Ma’arif,
1987.
[1] Makalah ini diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah : ULUMUL QUR’AN II, Dosen Pengampu : Dr. H. Hasan Ridwan, M.Ag
[2] Mahasiswi pada
prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Program Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati
Bandung. NIM 2.212.1.1.014
[3]
Fazlur Rahman, “Major Themes Of The
Qur’an”, terj. Anas Mahyuddin, Tema
Pokok Al-Qur’an. Cet 1 (Bandung Pustaka, 1983) h.36
[4] Lihat,
Muhammad Abdul ‘Azhim al-Zarqani, Manâhil
al-Irfân fi Ulum al-Qur`ân, Jilid I (Beirut: Dâr al Fikr,
t.th) h. 309
[5] Manna Khalil al-Qattan, terj.
Drs. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Jakarta, Litera AntarNusa, 2013) h. 426
[6]
Muhammad Fu’âd Abd. Al Bâqy, Al-Mu’jam
al-Mufahrâs Li al-Fâz al-Qur`ân al-Karîm, (t.tp.:
Angkasa, t.th.), h. 165
[7] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Cet. III, h. 214
[8] Lihat, Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradât al-Fâz al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 87;
[10] Q.s.,al-Nahl/16: 125 terjemahnya
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
[11] al-Almâ’iy,
Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 25.
Terjemahan Q.s. al Mujadalah/58 : 1. “Dan sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan wanita yang menujukan gugatan kepada kamu (tujaadiluka)
tentang suaminya, dan mengajukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar soal
jawab antara kamu berdua (tahaawurakuma). Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” Secara tehnis ada yang memandang bahwa dalam Jadal
selalu ada rasa saling bermusuhan di
antara yang terlibat, sedangkan dalam munazharah tidak.
[12] Lihat, bagian Pendahuluan Al
Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, h.16
[14] al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 125, 461-2. Tentang hal ini,
dalam kaitannya dengan kondisi para penentang kebenaran, hingga masa
modern ini, mungkin dapat direnungkan
apa yang diungkapkan Hasan Askari mengenai
apa yang dianggapnya sebagai model Jadal di masa modern. Katanya,
“Ketika Muhammad (SAW -pen) memulai
dakwahnya di Mekkah, penduduak Mekkah sungguh terkejut bahwa ternyata ia lebih
menekankan masalah eskatologi dan kebangkitan daripada ‘Keesaan’ Tuhan. Tentu
saja penduduk Mekkah bagaimanapun primitif dan bodohnya mereka, tetap
memberikan argumentasi, dan al Qur’an mendokumentasikannya sebagaimana
dilakukan oleh orang-orang humanis maupun materialis modern. Hal itu hampir
merupakan situasi yang asli, bahawa argumentasi yang menolak kebangkitan selalu
di ulang sepanjang sejarah, berbagai daerah dan, di masa kita sekarang,
terbungkus dalam format yang canggih. Dan bagaimana contoh-contoh argumentasi
orang-orang Humanis sekarang yang menolak kebangkitan , dapat dilihat
pada Jon Avery dan Hasan Askari, “Towards a Spiritual Humanism: A
Muslim-Humanis Dialogue”, (Leeds: Seven Mirrors, 1991), terj. Arif Hutoro, Menuju
Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis, Cet. I;
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995) h. 43, 41-48
[15] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Semarang: Aneka Ilmu, 2003), h. 7
[16] Abdurrahman Shaleh Abdullah, “Educational Theory a Qur’anic Outlook”,
terj. H.M. Arifin MEd. & Zainuddin, Teori-teori
Pendidikan Berdasarkan al-Qur`ân, (Jakarta : Rineka Cipta,
1990), h. 212-219
[17] Hasan Asari, “Yang Hilang dari Pendidikan Islam; Seni Munadharah”, dalam Jurnal
‘Ulum al Qur’an, No: I Vol. V, 1994, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar