Kamis, 13 Februari 2014

JADAL DALAM AL-QUR’AN SERTA SIGNIFIKANSI TERHADAP PENDIDIKAN (KAJIAN ULUMUL QUR’AN)



JADAL DALAM AL-QUR’AN SERTA SIGNIFIKANSI TERHADAP PENDIDIKAN (KAJIAN ULUMUL QUR’AN)[1]
OLEH : SITI ZULFASARI[2]
A.   PENDAHULUAN
Jadal adalah salah satu tema tertentu dalam pembahasan ilmu al-qur’an dimana ada salah seorang Ulama’ Mutaakhkhirin yang menulis secara khusus tentang topik ini, beliau adalah al-‘Allamah Sulaiman bin Abdul qawi bin Abdul Karim, yang dikenal dengan Ibnu Abul ‘Abbas al- Hanbali Najmuddin at-Tufi wafat pada 715 H. Secara naluri memang setiap seseorang mempunyai akal dan pemikiran yang berbeda-beda, sehingga menjadikan antara mereka saling mengutarakan dan mengungkapkan pemahaman mereka tentang sesuatu. Maka jika apa yang disampaikannya berbeda dengan yang lain maka terjadilah perdebatan. Begitu juga pada zaman Rasulullah SAW yang mana beliau menghadapi orang-orang Arab yang mempunyai karakter yang keras, sehingga jika Nabi menyampaikan wahyunya sering ditentang oleh masyarakat Arab bahkan mendustakannya.
Akan tetapi karena Nabi Muhammad memang seorang Rasul yang sangat sabar yang diutus Allah untuk menyampaikan risalahNya, beliau sampaikan dengan cara yang lembut. Orang Arab terkenal dengan ahli bahasa dan syair yang bagus, tapi ketika menghadapi Al-Qur’an yang lebih tinggi dan indah bahasanya sehingga mereka tidak dapat menandinginya sedikitpun.
Tetapi diera saat ini tidak sedikit juga yang berupaya menjauhi bahkan membantah apa yang dikandung al-Qur`ân. Seperti dijelaskan sendiri dalam Q.,s. al Kahfi/18: 54 yamg terjemahnya “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”.
Mengapa manusia bisa dan suka/banyak membantah? Menurut analisis Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an bahwa :
         Karena setiap sesuatu di alam semesta ini bertingkah laku sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditentukan kepadanya – secara otomatis mentaati perintah Allah – maka keseluruhan alam semesta ini adalah muslim atau tunduk kepada kehendak Allah. Manusia adalah satu-satunya ciptaan Allah yang memiliki kebebasan untuk mentaati atau mengingkari (membantah perintah-Nya). (Q.,s.al Syams/91: 7-10).[3]

Berbagai upaya dalam membantah kebenaran al-Qur`ân,  dilakukan manusia sejak masa turunnya, namun selalu kandas. Sebab bantahan al-Qur`ân selalu  lebih kuat. Kekuatan bantahan al-Qur`ân ini,  antara lain adalah dalam kedudukan uslub bahasa nya  yang juga bermuatan mu’jizat. Menurut al Zarqani bahwa di antara kemukjizatan al-Qur`ân terdapat pada “kefasihan lafadznya serta keindahan uslubnya yang tidak bisa ditandingi.”[4] Pembicaraan di sekitar bantah membantah dalam al-Qur`ân itulah yang kemudian dalam disiplin ‘Ulum al-Qur`ân dikenal dengan istilah Jadal al-Qur`ân.
Jadal, ada yang mamduh dan ada pula yang mazdmum. Dilihat dari pelaku dan hal yang dipersoalkan, pernah terjadi antara Allah dengan Malaikat, dengan para Nabi, Nabi dengan kaumnya atau penentangnya, orang perorang di kalangan Bani Adam, dari dulu sampai dengan masa al-Qur`ân diturunkan. Bahkan model jadal yang digambarkan al-Qur`ân, di antaranya masihada yang belangsung sampai sekarang. Hal yang dipersoalkan hampir menyangkut keseluruhan dimensi kehidupan manusia, bahkan setelah kehidupannya  yang sekarang.
Tujuan Jadal al-Qur`ân diantaranya menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan yang memang sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Serta untuk mematahkan pembangkangan para penentang dengan pembuktian yang lebih kuat dan akurat, dengan berbagai pola pendekatan seperti: al-Ta’rifat, al-Istifham al-Taqriri, al-Tajzi’at, Qiyas al-Khalf, al-Tamsil dan al-Muqabalat dan lainnya.
Signifikansi Jadal al-Qur`ân dapat membantu menghampiri kebenaran kandungan, khususnya ayat-ayat yang bermuatan jadal, yang pernah terjadi di antara berbagai kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân. Akan lebih memudahkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan, jadal memiliki pengaruh kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga rational dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih mudah dapat memahami dan kemudian diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan, mengembangkan manusia menjadi cerdas secara rasio-emosi-spiritual, dan anggun dalam iman, ilmu dan perilaku.
Makalah ini, akan mencoba melihat permasalahan di sekitar Jadal al-Qur`ân tersebut, meliputi: pengertian Jadal, macam dan topiknya, tujuan dan metodenya, refleksisasi atau perannya dalam penafsiran al-Qur`ân serta signifikansi/pengaruhnya terhadap pendidikan saat ini
A.   PEMBAHASAN
I.                  Definisi Jadal dalam Al-Qur’an
Jadal dan Jidal adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk saling mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari kata-kata Hadaltu Al-Habla , yakni Ahkamtu Fatlahu ( aku kokohkan jalinan tali itu)[5], mengingat kedua belah pihak yang berdebat itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dipeganginya. Allah menyatakan dalam Al-qur’an bahwa berdebat merupakan salah satu tabiat manusia: “ dan manusia adalah makhluk yang paling banyak debatnya” (al-kahfi 18/54), yakni paling banyak bermusuhan dan bersaing.
Rasulullah juga diperintahkan agar berdebat dengan kaum musyrik dengan cara yang baik yang dapat meredakan keberingasan mereka. Firmannya: “serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.” (an-nahl 16/125)
Al-Qur`ân  menyebut kata Jadal  dalam berbagai bentuknya sebanyak 29 kali. Lokus pemuatannya  tersebar pada 16 Surat dalam 27 ayat yakni pada surah:  al-Nisaa/4: 109 dan   Huud/11: 32 masing-masing dua kali;  al-Baqarah/2: 197; kemuadian pada  al-Nisaa/4: 107;  al-An’aam/6: 121, 125;  al-A’raf/7: 71;  al-Anfaal/8: 6;  Huud/11: 74;  al-Ra’d/13: 13;  al-Nahl/16: 111, 125;  al-Kahfi/18: 54, 56;  al-Hajj/22: 3, 8, 68; al-Anka buut/29: 46; Luqmaan/31: 20;  Ghaafir/40: 5, 4, 25, 56, 69;  al-Syuura/42: 35;  al-Zukhruf/43: 58;  al-Mujaadalah/58: 1 masing-masing satu kali.[6] Dalam bahasa Indonesia,  Jadal dapat dipadankan dengan debat. Debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.[7]   Jadal atau Jidal  dalam bahasa Arab dapat dipahami sebagai ”perbantahan dalam suatu permusuhan yang sengit dan berusaha memenangkannya.”[8] 
Sebagai suatu istilah, Jadal adalah saling bertukar pikiran atau pendapat dengan jalan masing-masing berusaha berargumen dalam rangka untuk memenangkan pikiran atau pendapatnya dalam suatu perdebatan yang sengit.[9] Berbagai batasan pengertian tentang Jadal dirumuskan para ulama, namun pada dasarnya mengacu pada perdebatan serta usaha menunjukkan kebenaran atau membela kebenaran yang ditujunya dengan berbagai macam argumentasi. Dari definisi-definisi yang ada bila hendak dibuatkan rambu-rambu, maka itu antara lain adalah (1) Hendaknya dengan jalan yang dapat diterima atau terpuji, (2) Diniati untuk mendapat dalil/argumen yang lebih kuat, (3) Untuk menunjukkan aliran/mazhab serta kebenarannya.
Dengan rambu yang demikian itu, para pihak yang terlibat dalam jadal memang tidak harus saling membenci, walaupun pada dasarnya sulit menghidari suasana saling bermusuhan. Sebab, sebagian dari watak dasar manusia adalah memang suka membantah atau berbantah-bantahan, bahkan Tuhannya pun dibantah. (Q.,s. al Kahfi/18 : 54). Kenapa demikian? Sebab manusia memang memiliki potensi/kebebasan untuk itu, yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya. Untungnya kita punya pedoman yaitu al-Qur`ân yang menganjurkan jika hendak berbantahan, maka berbantahanlah dengan cara yang terbaik.[10]
Istilah yang dapat dipandang sebagai padanan daripada istilah Jadal adalah al Munazharah, al Muhawarah, al Munaqasyah dan al Mubahatsah. Istilah-istilah tersebut dapat dipandang sepadan, sebab pada dasarnya mengacu pada tujuan yang sama yakni untuk menjelaskan dan kejelasan sesuatu permasalahan. Hanya saja Jadal lebih menekankan kemenangan, dan pada saat yang sama kekalahan bagi pihak lawan debat. Munazharah merupakan kegiatan dimana dua orang saling mengemukakan pemikiran, masing-masing bertujuan membenarkan pemikirannya serta menyalahkan pemikiran lawan (debat)nya dengan jalan saling mencoba menguji pembuktian dalam upaya mencari/menampakkan kebenaran. Adapun muhawarah mengacu pada pembicaraan dimana di dalamnya ada dialog/tanya jawab dengan sopan yang bertujuan hampir sama saja dengan Jadal. Tentang munaqasyah dan mubahatsah hampir sama saja. Khususnya tentang Jadal dan muhawarah, di dalam al-Qur`ân terdapat ayat yang di dalamnya digunakan kedua istilah tersebut, yaitu pada surah Q.,s. al Mujadalah ayat pertama.[11]
Adapun al-Qur`ân secara etimologis berarti “bacaan”, dan secara terminologis adalah  Kalam Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhamad SAW. dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ‘ibadah.[12], Sedangkan yang dimaksud Jadal al-Qur`ân adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya, untuk dihadapkan pada orang-orang kafir dan mematahkan argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud mereka, sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima dan melekat di hati manusia.[13]
2. Macam dan topik Jadal dalam Al-Qur’an
Secara umum, Jadal al-Qur`ân dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama : Jadal yang terpuji (al Jadal al Mamduh) adalah suatu debat yang dilandasi niat yang ikhlash dan murni dengan cara-cara yang damai untuk mencari dan menemukan kebaikan dan kebenaran. Ulama membolehkan debat dengan maksud untuk menjelaskan syari’at dan membuktikan kesahalan lawan dengan alasan-alasan dan pembuktian yang benar, tentunya dengan cara yang baik. Hal tersebut dapat didasarkan pada firman Allah yang terjemahnya sebagai berikut :
(1) Serulah (manusia) kejalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka (wajaadilhum) dengan cara yang lebih baik (Q.,s. al Nahl/16 : 125).
(2)Dan jangan kamu berdebat (walaa tujaadil) dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka (Q.,s. al ‘Ankabuut/29 : 46).
          Sebagai contoh dari Jadal jenis ini dapat dilihat pada ayat yang terjemahnya sebagai berikut :
Maka tatkala datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata “mengapakah tidak diberikan kepadanya (Muhammad) seperti yang telah diberikan kepada Musa dahulu?” dan bukanlah mereka itu telah ingkar (juga) kepada apa yang diberikan kepada Musa dahulu? Mereka dahulu telah berkata : Musa dan Harun adalah dua orang ahli sihir yang bantu-membantu”. Dan mereka (juga) berkata : “Sesungguhnya kami tidak mempercayai masing-masing mereka itu”. Katakanlah : “Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan al-Qur`ân) niscaya aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (Q.,s. al Qashash/28 :  48-50).
Kedua: Jadal yang tercela (al Jadal al Mazdmum), adalah setiap debat yang menonjolkan kebathilan atau dukungan atas kebathilan itu. Tentang tercelanya debat yang bathil ini banyak dasarnya dari Al Kitab maupun al Sunnah dan pendapat kaum Salaf. Di antara dasarnya dari al Kitab adalah ayat yang terjemahnya sebagai berikut:
(1)Dan tidaklah Kami mengutus rosul-rosul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang bathil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olok (Q.,s. al Kahfi/18 : 56).
(2)Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap (Q.,s. al Anbiya’/21 : 18).

Jadal al Mazdmum itu ada yang dilakukan dalam bentuk debat tanpa landasan keilmuan seperti disinyalir dalam Q.,s. al Hajj/22: 3,   yang terjemahnya “di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaithan yang sangat jahat”, dan ayat 8 yang tertejamhnya “Dan diatnara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya”.  Juga dapat dilhat contoh Jadal model tersebut pada Q.s.,  al Mu’minun: 71 dan Q., s. Lukman: 20. Ada pula Jadal al Mazdmum  dalam bentuk dukungan atas kebathilan setelah  tampak kebenaran seperti dalam Q.,s. al Mukmin/40: 5 yang terjemahnya “dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu.”
          Adapun mengenai terma (maudlu’) dalam Jadal al-Qur`ân, cukup banyak tersebar dalam berbagai surah dan ayah al-Qur`ân. Al Almaa’iy mengkategorikannya ke dalam enam kelompok terma (nama dan nomor surat dan ayat di dalam kurung adalah di antara contoh jadal dalam terma bersangkutan), yakni : (1) Jadal dalam penetapan wujud Allah (Q.,s. al Jaatsiyah/45 : 24-28), (2) Jadal tentang penetapan Keesaan Allah (Q.,s. al Anbiya’/21 : 22), (3) Jadal tentang Penetapan Risalah (Q.,s. Nuh/71 : 1-3), (4) Jadal tentang Kebangkitan dan Pembalasan (Q.,s. al Mu’minun/23 : 81-83 dan Q.,s. Qaaf/50 : 12-15), (5) Jadal tentang Tasyri’at (Q.,s. al Nahl/16 : 36 & Q.,s. al Anbiya’/21 : 25), (6) Jadal tentang aneka tema lainnya, seperti: (a) Jadal Bani Adam (Q.,s. al Maidah/5 : 27-31), (b) Jadal Ibrahim a.s. tentang kaum Luth (Q.,s. Hud/11 : 74-76), © Jadal antara Musa dan Hidlir a.s (Q.,s. alKahfi/18 : 60-72), (d) Jadal antar orang shabar yang miskin dan orang kafir yang kaya (Q.,s. al Kahfi/18 : 32-43), (e) Jadal Keluarga Fir’aun yang beiman dengan kaumnya (Q.,s. al Mu’minun/23 : 27-40), (f) Jadal Yahudi dan Nasrani tentang Ibrahim a.s. (Q.,s. Ali Imran/3 : 65-68), (g) Jadal Munfiqin dengan Mu’minin (Q.,s. al Baqarah/2 : 11-14). Di antara sekian maudlu’ Jadal dalam al-Qur`ân– menurut analisis Al Almaa’iy – terma yang pertama dan kedua yakni tentang Wujud dan Keesaan Allah yang paling banyak mendapat sorotan.[14]
          Dengan menggunakan kerangka jenis/macam Jadal yang dikemukakan ter dahulu, bila dicermati secara baik, tentunya dapat diduga dari contoh-contoh tersebut di atas, mana yang tergolong Jadal yang mamduh dan mana yang mazdmum.
3. Bentuk-bentuk Jadal dalam Al-Qur’an
Didalam kitab Al-Itqon fii Ulumil Qur'an, lmam syuyuti menyebutkan beberapa hal yang termasuk dalam bentuk Jadal diantaranya:
1.Al-Isyjal yaitu meletakkan kata yang menunjuk kepada lawan bicara dan juga apa yang dibicarakan. Contohnya dalam firman Allah dalam Surat Ali Imron ayat 194.
2.Al-Intiqol yaitu memindahkan argumen yang dijadikan dalil kearah argumen yang tidak dapat diikuti sehingga didalam perdebatan kadang argumen  tidak dimengerti maksudnya oleh lawan. contoh dalam surat Al-Baqoroh ayat 258, memaknai istilah menghidupkan dengan membebaskannya disinilah kekeliruan tersebut sehingga Allah SWT merubah argument dengan yang lainnya yaitu menerbitkan matahari dari barat.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آَتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
3.Munaqodhoh, yaitu menggantungkan sesuatu dengan hal yang mustahil, yang mengisyaratkan kemungkinan terjadi. Contoh dalam Al-qur'an Surat Al-A'raf ayat 40.
Artinya: "Dan mereka tidak akan masuk kedalam surga hingga unta masuk keIobang  jarum " .
Sedangkan menurut  Manna' al-Qathan dalam bukunya "Mabahits fii Ulumi al-Qur'an", beliau menyebutkan pembagian argumentasi dalam dua bentuk yaitu :
1. Penyebutan Alam semesta untuk memperkuat dalil-dalil yang mengarah kepada Aqidah yang benar dalam kepercayaan, Iman kepada Allah SWT, Malaikatnya Kitab-kitab Suci, Rasul-rasulnya, dan Hari Akhir.Contoh Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqoroh ayat 21-22:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَالَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: "Wahai Munusia Sembahlah Tuhqnmu ycng telah menciptahan kamu dan oftmg-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa. Diolah yang telah merrciptakan Bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebadai atap, dan Dia menurunkan air hujan dari langil, lalu Dia menjadikan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai karunia untukmu, karena itu janganlah kamu mengadaknn  sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui".
2. Menolak argumen-argumen yang salah dari para penyeleweng. Dalam hal ini terbagi atas beberapa bagian yaitu:
 a. Menyebutkan orang yang diajak berbicara itu dengan kata-kata pertanyaan, sehingga terbebas dari permusuhan dan terselamatkan dari permainan akal, sehingga mereka mengakui kesalahan yang mereka perbuat. Dalam hal ini Allah SWT berfrman dalam Surat At-Tur ayat 35:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
Artinya : "Apakah mereka yang menciptakan segala sesuatu atau mereka yang diciptakan".
Menurut Imam Syuyuti, untuk menyelamatkan dari perselisihan tidak harus memakai kata-kata pertanyaan saja namun bisa dengan manfu ( kata peniadaan ), atau syarat denga huruf-huruf Imtina (larangan).Disebutkan Allah SWT dalam Surat Al-Mu'minun ayat 91 yaitu:
مَا اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ
Artinya : "Allah seknli-knlli tidak mempunyai dnah dan seknli-kali tidak ada tuhan yang menyertainya, kalau ada tuhan yang menyertairrya, masing-masing tuhan akan membowa mahluq yang diciptakanrrya, dan sebagian dari tuhon-tuhan itu akan mengolahksn sebagian yang lain. Maha suci Allah SW dari apa yang mereka sifatkan itu".
b.Menunjukkan dalil-dalil yang berkenaan dengan permulaan dan tempat kembali. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an Surat Qaf ayat l5:
أَفَعَيِينَا بِالْخَلْقِ الْأَوَّلِ بَلْ هُمْ فِي لَبْسٍ مِنْ خَلْقٍ جَدِيدٍ
Artinya : "Apakah kami letih dengan penciptaan yang pertama?. Sebenarrrya mereka ragu tentang penciptaanyang baru".
Surat Fusshilat ayat 39:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya : "Dan sebagian dari tanda-tanda-Nya, bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air diatasnya, niscaya ia akan bergerak dan subur. Sesunggguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu".
Begitu juga dalam Surat Al-Qiyamah ayat36-40, At-Thoriq ayat 5-8, dimana ayat-ayat ini menunjukkan kehidupan awal didunia dengan segala isinya yang takkan habis, danjuga kehidupan setelah mati.
c. Memutus langsung perdebatan dengan menyebut kesalahan- kesalahan lawan. contoh dalam Surat Al-An'am ayat 91, di.unu dalam ayat tersebut Allah swr menolak pengaduan orang-orang yahudi dengan perkataannya :
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ
Artinya : "Demi Allah SW tidak menetapkan sesuatu itu bukan atas keemompuannya, ketika mereka berkata “Allah SWT tidak menciptakon sesuatupun untuk manusia ".
d. Membatasi dan membagi sesuai dengan sifat dan menolak untuk membagi salah satunya sebagai dasar hukum seperti dalam Surat Al- An'am ayat 143 :
ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ
Artinya " yaitu delapan binatang yang berpasangan sepasang dari domba dan sepasang dari kambing"
Kemudian Allah berfirman dalam ayat yang ke 144 :
وَمِنَ الْإِبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ قُلْ آَلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ وَصَّاكُمُ اللَّهُ بِهَذَا
Artinya: "Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah " Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya. Apakah kamu menyaksikan diwaktu Allah menetapkan ini bagimu?
e. Mengunci lawan dengan penjelasan lebih banyak, dimana seolah- olah perselisihan tersebut tidak akan diakui oleh siapapun. Seperti dalam firman Allah Surat Al-An'am ayat 100 :
وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ وَخَلَقَهُمْ وَخَرَقُوا لَهُ بَنِينَ وَبَنَاتٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ
disini Allah SWT menafikan dirinya dari tawallud (beranak-pinak) disebabkan keesaan-Nya, karena beranak-pinak itu menurut kita adalah harus melalui dua mahluq, dan Allah SWT tiada sekutu bagi-Nya. Contoh lainnya adalah pengakuan atas Risalah kenabian yang mana Nabi merupakan orang-orang pilihan, hal ini dicontohkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Ibrahim ayat 11.
قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَمُنُّ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ
B.   Signifikansi Jadal dalam penafsiran Al-Qur’an terhadap Pendidikan
Al-Qur`ân adalah mukjizat al Kubra yang abadi bagi Rasul Saw, yang bersifat ruhiyah, rasional, dan spiritual sekaligus. Untuk dapat masuk ke dalam “nuansa” al-Qur`ân dalam kerangka pemahaman atas kandungannya, tentunya bukanlah hal yang mudah. Harus tahu caranya. Di antara yang dapat dipandang sebagai “cara” masuk itu, adalah memahami celah dari sisi kemukjizatannya, yaitu keindahan dan ketinggian gaya bahasa (uslubnya). Di sinilah (boleh jadi) letak signifikansi pemahaman tentang Jadal al-Qur`ân, dimana Jadal merupakan satu dari tanda ketinggian uslub al-Qur`ân.
Memahami Jadal al-Qur`ân, dapat berarti mempermudah jalan dalam menghampiri dan menangkap pemahaman yang benar atas dialog (jadal, munazharah, muhawarah) yang pernah terjadi dan tertera dalam Al-Qur`ân, baik di antara Allah dengan Malaikat atau dengan Nabi, atau di kalangan para Nabi dengan kaumnya, di kalangan orang-orang shalih yang mulia, atau antar perorangan di kalangan Bani Adam dalam berbagai suasana dan kondisi. Bila demikian, maka dapat berarti Jadal al-Qur`ân  berperan kuat dalam penafsiran al-Qur`ân.
Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, dapat juga dipahami bahwa al-Qur`ân sungguh-sungguh tidak menghendaki adanya “debat kusir”, debat yang kosong dari nilai manfaat dan kebenaran. Al-Qur`ân hanya menghendaki Jadal yang “mamduh” (wajaadilhum bi allati hiya ahsan dan atau wa laa tujadiluu bi al bathil)). Dengan memahami Jadal al-Qur`ân dengan lebih mudah pula dapat dipahami hakekat kebenaran yang lebih haqiqi dari hal atau hal-hal yang menjadi objek jadal dalam al-Qur`ân. Lagi pula Jadal al-Qur`ân tidak sama dengan manthiq Yunani (Logica Hellenica).
Adapun konteks kependidikan, pengaruh Jadal dapat dipahami dalam kerangka pendidikan sebagai proses pemanusian manusia.  Atau dalam kerangka membuat manusia menjadi makhluk yang memiliki budaya yang tinggi, yang selaras dengan citra penciptaannya yang paling bagus (fi ahsani takwim Q.,s. al Tin/95 : 4), dan dalam kapasitas yang multi dimensi, yakni secara thabiiyah merupakan “psycho and physical entity”, yang punya nurani, ratio, raga dan rasa secara bersamaan, pendidikan, memerlukan berbagai macam kiat dan metode untuk dapat mencapai tujuannya.
Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dirumuskan sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang  Masa Esa, berkahlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[15]
Dalam pendidikan Islam, pendidikan akhlak merupakan “Ruh” pendidikan secara keseluruhan. Mencapai akhlak yang mulia adalah obsesi haqiqiyah dari pada tujuan pendidikan Islam. Untuk maksud itu, upaya/proses pembinaan akhlak dan pendidikan kejiwaan adalah dasar yang paling asasi daripada tujuan yang harus dicapai dalam Pendidikan Islam. Untuk dapat mencapai tujuan seperti itu, tentunya tidak mudah. Diperlukan berbagai sarana, fasilitas, dukungan kebijakan politik dan dana yang tidak kecil, waktu yang tidak pendek, dan kualitas SDM yang baik serta metode yang handal.
Dari sekian banyak metode yang dikenal selama ini, khususnya dalam melayani sisi manusia yang rational dan emossional, kiat diskusi, tanya jawab, bantah membantah, dialog, seminar, polemik dan semacamnya, yang dalam kerangka al-Qur`ân dapat dipahami sebagai Jadal, masih menempati posisi strategis, dan karenanya masih tetap relevan dan efektif, khususnya Jadal yang mamduh.
Jadal dalam al-Qur`ân, seperti yang terjadi antara Ibrahim dengan Allah (Q.,s. al Baqarah/2: 560 atau antara Ibrahim dengan kaumnya seperti dalam Q.,s. al Anbiya’/21 : 51-71; Q.,s. al Syu’ara’/26: 69-82, adalah merupakan contoh yang baik sekali dalam peristiwa dialogis yang dimaksudkan sebagai metode mencari dan membawa peserta didik kepada pencapaian kebenaran. Bahkan secara lebih rinci dapat dipahami bahwa dialog-dialog (jadal) dalam al-Qur`ân banyak sekali di antaranya yang bersifat dan mengarah pada model dialog deduktif, di mana deduksi merupakan suatu metoda pemikiran logis yang amat bermanfaat dalam dunia pendidikan. Demikian pula halnya dengan tamsil dan ibarat yang banyak digunakan dalam Jadal al-Qur`ân, memberi peluang bagi pendidik untuk dapat menjelaskan konsep-konsep abstrak dengan makna-makna kongkrit, yang dapat ditangkap oleh persepsi manusia, yang pada gilirannya membawanya pada pemahaman tentang sesuatu secara benar dan tentang kebenaran itu sendiri.[16]
Jadal, munadharah ataupun muhawarah dapat berfungsi sebagai arena pengujian kemampuan – dalam skalanya yang lebih tehnis. Di sini keilmiahan dan  keilmuan peserta yang terlibat akan bisa terlihat dan bisa dibandingkan dengan yang lainnya. Seseorang akan diakui sebagai ilmuwan yang terdidik bila ia mampu melakukan dialog atau debat (yang mamduh ) dalam bidangnya dengan ilmuwan terdidik yang lainnya.[17]
Ibnu Khaldun memandang munadharah – sesuai kutipan Al Abrosyi – sebagai sesuatu yang sangat membantu dalam hal pengajaran dan pendidikan, terutama untuk dapat memahami aspek ilmiah dari tamsil dan ibarat. Sementara Al Abrosyi juga memandang munadharah, muhawarah dan sejenisnya dalam mendekati setiap permasalahan, akan dapat mempengaruhi jiwa pihak si terdidik untuk menjadi lebih matang, dan sangat berpengaruh dalam membina kebebasan dan kekuatan berfikir.
Hal mana pada gilirannya, secara akumulatif, akan dapat membawa dan mengantarkan manusia untuk selalu mampu berproses ke arah peningkatan diri menjadi manusia-manusia yang cerdas, beriman dan bertaqwa serta berakhlaq dengan akhlaq yang mulia
C.  KESIMPULAN
Jadal al-Qur`ân ialah pengungkapan bukti-bukti dan dalil-dalil dengan tujuan untuk mengalahkan orang kafir dan para penantang sekaligus untuk menegakkan aqidah dan syari’ah, melalui pembuktian atas kebenaran yang dapat diterima oleh nurani manusia.
Jadal, ada yang mamduh dan ada pula yang mazdmum, dengan landasan dan contohnya masing-masing di dalam al-Qur`ân. Jadal dalam al-Qur`ân, dilihat dari pelaku dan hal yang dipersoalkan, menyangkut space and time yang sangat luas. Pernah terjadi antara Allah dengan Malaikat, dengan para Nabi, Nabi dengan kaumnya atau penentangnya, orang perorang di kalangan Bani Adam, dari dulu sampai dengan masa al-Qur`ân diturunkan. Bahkan model-model jadal yang tergambar dalam al-Qur`ân, di antaranya masih belangsung sampai sekarang. Demikian pula hal yang dipersoalkan dalam Jadal hampir menyangkut keseluruhan dimensi kehidupan manusia, bahkan setelah kehidupan yang sekarang.
Urgensi dari Jadal al-Qur`ân antara lain untuk menetapkan aqidah tentang wujud dan wahdaniyah Allah serta petunjuk  dan syari’ah bagi yang membutuhkan. Menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan yang memang sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Serta untuk mematahkan pembangkangan para penentang dengan pembuktian yang lebih kuat dan akurat, dengan berbagai tehnis pendekatan seperti : al Ta’rifat, al Istifham al Taqriri, al Tajzi’at, Qiyas al Khalf, al Tamsil dan al Muqabalat.  
Jadal al-Qur`ân, dengan memahaminya dapat membantu menghampiri kebenaran kandungan, khususnya ayat-ayat yang bermuatan Jadal, yang pernah terjadi di antara berbagai kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân. Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, akan lebih memudahkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan, jelas Jadal memiliki pengaruh kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga rational dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih mudah dapat diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan; mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya,  membina manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.
Wallahu ‘alam bishowab

DAFTAR PUSTAKA
1.       Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Mujamma’ al Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li Thiba’at al Mushhaf asy Syarif, Medinah al Munawwarah, 1412
2.     Al-Almâ’iy, Zahir ‘Iwad, Manahij al Jadal fi Al-Qur`ân al Karim,  t.tp.: tp., t.th.
3.     Abdullah, Abdurrahman Shaleh, Cet. I; Educational Theory : a Qur’anic Outlook, terjemahan H. M. Arifin dan Zainuddin dengan judul “Teori Pendidikan Menurut al Qur’an”, Jakarta : Rineka Cipta, 1990.
4.     Abduh, Syekh Muhammad, Risalatut Tauhid, terjemahan H. Firdaus A. N. dengan judul “Risalah Tauhid”, Cet. VI; Jakarta : Bulan Bintang, 1976.
5.     Asari, Hasan, Yang Hilang dari Pendidikan Islam; Seni Munadharah, Jurnal “Ulumul Qur’an”, Nomor 1 Vol. V Jakarta, 1994.
6.     Avery, Jon dan Hasan Askari, Towards a Spiritual Humanism, terjemahan Arif Hutono dengan judul “Menuju Humanisme Spiritual”, Cet. I; Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
7.     Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
8.     Dirjen Binbaga Islam, Himpunan Peraturan Perundangan tentang Pendidikan Tinggi, 1991.
9.     Nasr, S.H., Ideals and Realita of Islam, terjemahan Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid dengan judul “Islam Dalam Cita dan Fakta”, Cet. I; Jakarta: LEPPENAS, 1981.
10.  Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabâhits fi ‘Ulum al-Qur`ân, Beirut : Mansyurat al Ashri, 1977.
11.    Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, terjemahan Anas Mahyuddin dengan judul “Tema Pokok al Qur’an”, Cet. I; Bandung: Pustaka, 1983.
12.  Al-Shabuny, Muhammad ‘Aly, Al Tibyân Fi ‘Ulum al-Qur`ân, terjamahan H. Moh. Chudlori Umar dan Moh. Matsna dengan judul “Pengantar Study Al Qur’an”, Bandung : Al Ma’arif, 1987.

 





[1] Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah : ULUMUL QUR’AN II,  Dosen Pengampu : Dr. H. Hasan Ridwan, M.Ag
[2] Mahasiswi pada prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Program Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. NIM 2.212.1.1.014

[3] Fazlur Rahman, “Major Themes Of The Qur’an”, terj. Anas Mahyuddin, Tema Pokok Al-Qur’an. Cet 1 (Bandung Pustaka, 1983) h.36
[4] Lihat, Muhammad Abdul ‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi Ulum al-Qur`ân, Jilid I (Beirut: Dâr al Fikr, t.th) h. 309
[5] Manna Khalil al-Qattan, terj. Drs. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Jakarta, Litera AntarNusa, 2013) h. 426
[6]  Muhammad Fu’âd Abd. Al Bâqy, Al-Mu’jam al-Mufahrâs Li al-Fâz al-Qur`ân al-Karîm, (t.tp.: Angkasa, t.th.), h. 165
[7] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Cet. III, h. 214
[8] Lihat, Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradât al-Fâz al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.),     h. 87;
[9] Manna’  Khalil al-Qaththân, ibid, h. 428
[10] Q.s.,al-Nahl/16: 125 terjemahnya “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
[11] al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 25. Terjemahan Q.s. al Mujadalah/58 : 1. “Dan sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang menujukan gugatan kepada kamu (tujaadiluka) tentang suaminya, dan mengajukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua (tahaawurakuma). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Secara tehnis ada yang memandang bahwa dalam Jadal selalu ada rasa saling bermusuhan  di antara yang terlibat, sedangkan dalam munazharah tidak.
[12] Lihat, bagian Pendahuluan  Al Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, h.16   
[13]  al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 21
[14] al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 125, 461-2. Tentang hal ini, dalam kaitannya dengan kondisi para penentang kebenaran, hingga masa modern ini, mungkin dapat  direnungkan apa yang diungkapkan Hasan Askari mengenai  apa yang dianggapnya sebagai model Jadal di masa modern. Katanya, “Ketika Muhammad (SAW  -pen) memulai dakwahnya di Mekkah, penduduak Mekkah sungguh terkejut bahwa ternyata ia lebih menekankan masalah eskatologi dan kebangkitan daripada ‘Keesaan’ Tuhan. Tentu saja penduduk Mekkah bagaimanapun primitif dan bodohnya mereka, tetap memberikan argumentasi, dan al Qur’an mendokumentasikannya sebagaimana dilakukan oleh orang-orang humanis maupun materialis modern. Hal itu hampir merupakan situasi yang asli, bahawa argumentasi yang menolak kebangkitan selalu di ulang sepanjang sejarah, berbagai daerah dan, di masa kita sekarang, terbungkus dalam format yang canggih. Dan bagaimana contoh-contoh argumentasi orang-orang Humanis sekarang yang menolak kebangkitan , dapat dilihat pada Jon Avery dan Hasan Askari, “Towards a Spiritual Humanism: A Muslim-Humanis Dialogue”, (Leeds: Seven Mirrors, 1991), terj. Arif Hutoro, Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis, Cet. I; (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) h. 43, 41-48

[15] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), h. 7
[16] Abdurrahman Shaleh Abdullah, “Educational Theory a Qur’anic Outlook”, terj. H.M. Arifin MEd. & Zainuddin, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur`ân, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990),   h. 212-219
[17] Hasan Asari, “Yang Hilang dari Pendidikan Islam; Seni Munadharah”, dalam Jurnal ‘Ulum al Qur’an, No: I Vol. V, 1994, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar