Senin, 31 Desember 2012

Membahas kitab tafsir al-Qasimi (Mahasinut Ta'wil)


Biografi Pengarang
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhD5L1vf0u8IfhSXcLBNBR-V2-5AKZUoFELOhHFwzEqDW3WK-S8LY7bo1E82IUlHDED32QLuuFtruuW7ve0WX7McRyTKRIs9m3QUR0E4MHfRIOWibz_xduXBkeGp_01_l8j7yPsubo7qg/s320/jamaluddin+al-qasimi.jpg
Beliau adalah Al-Allamah al-Muhaddis Syria, Syeikh Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Said bin Qasim bin Soleh bin Ismail bin Abu Bakar yang lebih dikenal dengan al-Qasimi. Beliau di nasabkan kepada kakek beliau yang bernama Syeikh Qasim seorang ulama terkemuka di Syam. Beliau lahir pada hari senin bulan Jumadil U’la  tahun 1283 H/1866 M di Damaskus[1] wafat pada hari sabtu bulan Jumadil U’la tahun 1332 H/1914 M.
Beliau tumbuh di tengah keluarga yang dikenal takwa dan berilmu. Ayah al-Qasimi adalah seorang ahli fikih dan juga seorang sastrawan bernama Abu ‘Abdillah Muhammad Sa’id Abi al-Khair. Ayahnya  mewarisi perpustakaan yang berisi banyak literatur keilmuan dari kakeknya. Dan, ayahnyalah yang mewariskan dan mengalirkan berbagai ilmu kepada al-Qasimi, langsung dari sumbernya, yaitu buku-buku. Perlu diketahui, perpustakaan pribadi ayah al-Qasimi memuat berbagai buku mengenai tafsir, hadis, fikih, bahasa, tasawuf, sastra, sejarah, usul fikih, sosial-kemasyarakatan, olah raga, hukum perbandingan, filsafat, dan sejarah perbandingan agama.[2]
Muhammad Abduh merupakan salah satu ulama yang banyak mempengaruhi perkembangan intelektual beliau. Sejak perkenalan beliau dengan Muhammad Abduh pada tahun 1904, beliau mengganti gaya bahasa sajak yang sejak lama digelutinya dengan gaya bahasa prosa dalam banyak karya tulisnya. Beliau juga termasuk orang yang anti taklid dan menyerukan dibukanya pintu ijtihad. Beliau berkata;
“Sesungguhnya dalam Pemikiran itu terdapat kebebasan, dan janganlah kamu menjadi orang yang taqlid dan jangan menjadi orang yang berkelompok-kelompok”[3].
a.       Pujian Ulama kepada Imam al-Qasimi:
 Syeikh Rasyid Ridha berkata tentang beliau;
“Beliau adalah Allaamatu Syam, yang langka pada hari ini, Mujaddid Ilmu-ilmu islam, penghidup sunnah dengan ilmu,amal dan pengajaran”[4]
Syeikh al-Muhaddis Ahmad Syakir ialah salah satu muridnya, dia pernah berkata tentang gurunya itu, “Pada saat kami menginjak dewasa, kami yang sangat ingin berhias dengan ilmu yang benar, iaitu ilmu al-Quran dan as-Sunnah. Kami sangat gemar dengan kitab-kitab para salafus soleh serta kitab-kitab yang sesuai dengan manhaj mereka dan orang-orang yang datang setelah mereka yang berpegang teguh dengan petunjuk kenabian. Dan mereka mengikuti dalil yang sahih tanpa disertai taksub terhadap suatu pendapat dan hawa nafsu. Serta tidak pula hanya taqlid buta. Guru kami al-Qasimi rahimahullah ialah orang yang pertama yang berjalan dengan manhaj yang lurus ini…”[5]


b.       guru-guru Imam al-Qasimi ;
1.      Syeikh Abdurahman al-Mishri, Imam al-Qasimi belajar membaca al-Qur’an kepada beliau.
2.      Syeikh Rasyid , dari beliau Imam al-Qasimi belajar Tauhid , Shorof, Nahwu, Mantiq, Arudh di Madrasah Dhahiriyah.
3.      Syeikh Ahmad al-Haulaniy, dari beliau Imam al-Qasimi belajar ilmu Qira’at
4.      Syeikh Salim al-Athar, dari beliau Imam al-Qasimi belajar Tafsir al-Baidhawiy, Jamul Jawami, Muwattha, Mashabihu Sunnah, Jami’ as-Shagir dan lain-lain
5.      Dan masih banyak lagi.[6]
Di antara karya-karya imam  al-Qasimi yaitu[7]:
1. Dalaail at-Tauhiid.
2. Diiwaan Khithab.
3. Al-Fatawaa fii al-Islaam.
4. Irsyaad al-Khalqi ilaa al-’Amalii bi al-Barqi.
5. Mahasinu Ta’wil
6. Qawaa’id at-Tahdiits min Funuuni Mushthalaah al-Hadiits.Naqd an-Nashaaih al-Kaafiyah.
7. dan lain-lain




Kitab Tafsir Mahaasin at-Ta’wiil
1. Sejarah Penulisan
Kitab tafsir Mahaasin at-Ta’wiil muncul di tengah zaman, di mana terjadi benturan di antara dua peradaban yang berbeda. Benturan yang terus-menerus antara Islam dengan gerakan internasional orientalisme dan misionarisme pada pertengahan kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20, di mana serangan kolonialis kafir terhadap dunia Islam mencapai puncaknya[8].
Adapun alasan Imam al-Qasimi mengarang kitab tafsir adalah karena beliau merasa bahwa ilmu tafsir adalah ilmu yang paling tinggi dari seluruh cabang ilmu agama, sebagaimana beliau katakan dalam Muqaddimah tafsir beliau;

            Amma ba’du, sesunguhnya sesuatu yang lebih mulia dari luas pokoknya tujuan, dan sesuatu yang paling agung  yang dicari oleh orang-orang, yaitu ilmu yang bisa menghidupkan hati,  menyehatkan pikiran , dan ilmu yang lebih agung dan tinggi macam-macamnya,  lebih sempurna pengajarnya dan lebih bermanfaat,  yaitu ilmu syariat dan ilmu agama. Karena keeduanya merupakan kemaslahatan bagi hamba, dan merupakan keuntungan pada masa yang akan datang. Adapun ilmu tafsir diatara ilmu-ilmu itu merupakan yang paling tinggi keadaannya , paling kuat dalilnya, paling kokoh bangunannya, dan paling jelas penjelasannya.[9] 
Selanjutnya, tafsir karya al-Qasimi ini dipublikasikan pertama kali oleh penerbit Daar Ihyaa’ al-Kutub al-’Arabiyah Kairo sebanyak tujuh belas juz. Usaha penerbitan kitab ini melibatkan Muhammad Bahjat al-Baithar, salah seorang anggota Majma’ al-’Ilmii al-’Arabii, untuk menelitinya[10]. Atas usaha inilah kitab tafsir Mahaasin at-Ta’wiil ini bisa sampai ke hadapan kita. Adapun kitab yang dimiliki oleh pemakalah adalah kitab tafsir Mahaasin at-Ta’wiil yang diberi komentar dan takhrij hadits oleh Syeikh Muhammad Fuad bin Abdul Baqi.
2. Sumber Penafsiran
a. Sebagai rujukan utama, beliau mengambil dari empat sumber;
 Pertama, kekuatan ra’yu dalam menangkap makna Al-Qur’an. Imam al-Qasimi dalam menafsirkan ayat al-Qur’an selalu menafsirkannya berdasarkan beberapa potongan kalimat atau kata, sebagai contoh ;
 “ (( Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap )) diatas bumi seperti ada kubah diatasnya ((terpelihara)) maksudnya Tinggi dan terjaga agar terpelihara dari perubahan yang disebabkan oleh pengaruh lain, seperti lamanya waktu”.[11]
Kedua, perkataan dan pendapat para sahabat.
Ketiga,hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini, al-Qasimi banyak mengambil hadis dari kitab-kitab hadis tulisan al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Ibnu Hibban, dan lain-lain. Beliau tidak akan mengambil hadits , kecuali hadits itu berderajat Shahih atau hasan sebagaimana beliau berkata dalam muqaddimah;
  
“Dan aku akan mengemukakan penafsiran dari hadits-hadits shahih dan hasan”[12]
c.       Sumber penafsiran pendukung

Di samping keempat sumber di atas, al-Qasimi juga sering mengutip beberapa penafsiran Ulama sebelum beliau, seperti ; Imam at-Thabari dalam Jami’ al-Bayan Fi Ayyi Ta’wil al-Qur’an, al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim, az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf. Seperti pengutipan al-Qasimi terhadap Ibnu Jarir dalam menafsirkan surat al-Fatihah;
Imam Ibnu Jarir berkata; “sesunguhnya Allah yang Maha Tinggi telah menyebutkan Nama-nama beliau Yang Maha Suci, Allah telah mengajarkan adab kepada Nabi untuk memulai segala kegiatan dengan menyebut Nama Allah Yang Baik , dan memulai dengan mendahulukan menyebut nama Allah dalam mensifatinya  sebelum memulai semua yang dikehendakinya. Dan Allah  menjadikan ini sebagai adab, dan mengajarkannya kepada Nabi  dan beliau mengajarkan hal ini kepada seluruh mahluknya ; dengan Sunnah pada pelaksanaannya, sebagai jalan yang diikuti oleh mereka, dengan memulai segala perbuatan dengan mengucapkan dengan mengucapkannya, dan memulai semua risalah, kitab dan keinginannya, sehingga cukuplah petunjuk yang jelas, dari seseorang yang berkata; “Dengan menyebut nama Allah” terhadap apa yang tidak terlihat dari keingina yang telah dihapus”.[13]

 Kemudian beliau sering mengutip para pendapat Ulama terdahulu untuk mendukung penafsiran ataupun untuk memperluas pembahasan. Di antara para ulama yang sering dijadikan rujukan oleh al-Qasimi adalah Ibnu Taimiyah, Izzudin bin Abd as-Salam, asy-Syaikh Waliyullah ad-Dahlawi, Abu Amru ad-Dani, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, asy-Syafi’i, Ibnu Sa’ad, al-Farra’, al-Qadi Abd al-Jabbar, asy-Syahrastani, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Qayim, as-Suyuti, dan Ibnu Hazm dan lain-lain.
Selanjutnya, Imam al-Qasimi juga mengutif penafsiran dari tafsir Muhammad Abduh yang merupakan tafsir yang bercorak modern, seperti penafsiran beliau tentang surat al-Fatihah;
“Al-alamah Syeikh Muhammad Abduh al-Mishri dalam sebagian pembahasan tafsirnya berkata; “Sesungguhnya ini merupakan kesalahan, kami memohon kepada Allah untuk memberikan ampunan kepada pengarangnya- kemudian berkata; dan aku tidak membolehkan kepada seorang muslim untuk mengatakan dengan batin atau lisannya ; “Sesungguhnya dalam al-Qur’an terdapat kalimat yang menta’kid (menguatkan) kalimat lainnya yang  tidak mempunyai arti di dalamnya, bahkan tidak ada dalam al-Qur’an sebuah huruf yang tidak mempunyai arti yang dimaksud”.[14]
Di samping itu, untuk memperkuat argumentasi pandangan-pandangan ilmiah dalam kitab tafsirnya, al-Qasimi sering mengutip pandangan dan pendapat para ilmuwan modern yang sezaman dengannya[15]. Beberapa sumber inilah yang menjadikan kitab tafsir karya al-Qasimi menjadi sebuah kitab tafsir yang sangat kaya dengan khazanah keilmuan. Walaupun memang harus diperhatikan bahwa tidak semua sumber yang dijadikan rujukan oleh beliau bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah-akademik.


3. Corak dan Karakteristik Penafsiran
Corak penafsiran adalah warna ilmiah yang dibawa mufasir ke dalam kitab tafsirnya. Al-Farmawi membagi corak tafsir ke dalam tujuh macam, yaitu corak tafsir al-ma’tsuur, al-ra’yu, shuufii, fiqhii, falsafii, ‘ilmii, dan adabii ijtimaa’ii
Jika melihat pembagian corak penafsiran di atas, tafsir Mahaasin at-Ta’wiil ini bisa dimasukkan dalam kategori tafsir bil-ra’yu  dan ‘ilmii.  Kenapa bil-ra’yi karena Imam Qasimi banyak menafsirkan ayat berdasarkan aqal , meskipun beliau banyak mengutip hadits dan pendapat para sahabat. Sebab menurut kami  al-ra’yu lebih dominan dalam Tafsir ini dibandingkan al-ma’tsur. Kedua kenapa ilmi , sebab al-Qasimi banyak terpengaruh oleh tendensi ilmiah. Sehingga dalam kitab tafsirnya ini, beliau sengaja menjelaskan secara detail masalah-masalah ilmu astronomi yang terdapat dalam Al-Qur’an. Beliau juga menjelaskan bahwa beliau banyak mengutip pendapat-pendapat pakar astronomi untuk memperkuat penjelasannya.[16]
4. Sistematika Penafsiran
Dalam menulis kitab tafsirnya, al-Qasimi memakai sistematika mushhafii, yaitu berdasarkan urutan mushaf Al-Qur’an. Beliau menafsirkan Al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas. Sistematika inilah yang banyak dipakai oleh para mufasir dalam menulis kitab tafsirnya.
Pada jilid 1, al-Qasimi memfokuskan bahasannya untuk menjelaskan beberapa visi dan sistematika tafsirnya. Kemudian dari jild 2 sampai jilid 17 baru Imam al-Qasimi memulai dengan menafsirkan surat al-Fatihah hingga surat an-Nas.
5. Metode Penafsiran
Kesimpulannya, dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Qasimi menggunakan langkah-langkah sebagai berikut.
  1. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
  2. Mengungkapkan argumentasi untuk mendukung penafsiran yang bersumber dari hadis Nabi, pendapat sahabat, dan pendapat beberapa ulama.
  3. Memberikan elaborasi ilmiah terhadap ayat-ayat kauniyah.
  4. Imam al-Qasimi sering memberikan Tanbih, Fawaid, Fashl diakhiri penafsiran sebagai penambah penjelasan.
  5. Dalam awal penafsiran sebuah  surat , imam al-Qasimi memberikan keterangan nama-nama surat , tempat turun, dan fadhilah surat tersebut.

6.      Contoh Penafsiran                                                                                                                                                              

Kami akan mengutif penafsiran al-Qasimi tentang ayat yang berhubungan dengan ilmu astronomi. Hal ini karena disinilah keunikan Imam al-Qasimi yang menafsirkan ayat-ayat kauniyah dengan emngutip para pendapat Ulama Falaq pada masanya.
u
uqèdur Ï%©!$# t,n=y{ Ÿ@ø©9$# u$pk¨]9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( @@ä. Îû ;7n=sù tbqßst7ó¡o ÇÌÌÈ    
dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”
(( Dan Dialah yang telah menciptakan malam )) supaya mereka bisa beristirahat di waktu malam ((dan siang )) agar mereka bergerak untuk mencari penghidupan dan giat dalam usahanya (( matahari dan bulan )) menerangi dan menyinari ((masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya )) setiap mereka mempunyai jalan yang berjalan dalam jalurnya, seperti berenang dalam air. ( ;7n=sù ) secara bahasa segala sesutau yang berputar .
Berkata sebagian Ulama Falaq ; ayat ini mengisyaratkan kepada berubahnya  planet seperti ayat;
 Ixsù ãNÅ¡ø%é& ħ¨Zèƒø:$$Î/ ÇÊÎÈ   Í#uqpgø:$# ħ¨Yä3ø9$# ÇÊÏÈ     
“sungguh, aku bersumpah dengan bintang-bintang,  yang beredar dan terbenam”
Kedua ayat ini menunjukan bahwasanya bergeerak  planet adalah dzatnya. Bukan sebagaiamana pendapat Ulama mutaqadimin bahwasanya planet bergerak dalam jalan (jalurnya) yang berputar jalannya , dengan berputarnya jalan maka bergeraklah planet.[17]






[1] ) lihat dalam pengantar  Tahqiq   Syeikh Abdul Qadir  al-Arnauth terhadap kitab “Qawaidu Tahdits min Fununi Ulumul Hadits”, karya ; Imam al-Qasimi (Muasasah al-Risalah; Beirut, cetakan 1, tahun 2004 )  hal ; 24
[2] ) ‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, “Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer”, terj. Moh. Maghfur Wachid, (Bangil: Al-Izzah, 1997) hal; 35-36
[3] ) ibid,. Hal ; 31
[4] )  ibid.,  hal; 13, dan lihat dalam “al-Manar “ edisi ke  18 , hal 505
[5] )  Lihat dalam pengatar kitab “al-Mashu’ala al-Jaubarain” , karya Imam al-Qasimi
[6] )  Imam al-Qasimi, op.cit, hal; 24
[7] )  ‘Abd al-Hayyi bin ‘Abd al-Kabir al-Kittani, “Fahras al-Fahaaris wa al-Itsbaat”, (Daar al-Garb al-Islami,t.tp , 1982)   Juz I hal; 477
[8] )  ‘Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, “Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer”, terj. Moh. Maghfur Wachid, (Bangil: Al-Izzah, 1997) hal; 50
[9] ) Jamaludin al-Qasimi, “Mahasinu Ta’wil”,  tahqiq dan takhrij; Fuad Abdul Baqi (  Darul Kutub Ilmiyah;ttp.1957, Cet ke-1) Jilid I hal; 4
[10] ) ibid., hal; 36
[11] ) lihat penafsiran Imam al-Qasimi terhadap QS.al-Anbiya ayat  32, “Mahasinu Ta’wil”,   Jilid XII , hal;4268-4269 ,
[12] ) Jamaludin al-Qasimi, op.cit., Jilid I hal; 5
[13] ) Jamaludin al-Qasimiop.cit., jilid 2 hal; 4
[14] ) Jamaludin al-Qasimi, op.cit., jilid II , hal; 5
[15] ) lihat coantoh penafsiran beliau terhadap ayat yang berhubungan dengan Astronomi dalam Makalah ini pada bagian Contoh penafsiran
[16] ) Abd al-Majid ‘Abd as-Salam al-Muhtasib, op.cit., hlm. 37.
[17] ) Jamaludin al-Qasimi,op.cit., Jilid 12, hal; 4269

2 komentar: