Tafsir Al-wadhih
pendahuluan
Al-Qur’an Al-Karim adalah mu’jizat islam yang kekal dan
kemu’jizatannya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan.[1]
Tujuan pokok diturunkan Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan sebagai
pembeda antara yang haq dan yang batil. Al-Qur’an memuat apa yang di butuhkan
oleh manusia , baik dalam urusan agama maupun dunia meraka.. untuk memahami
pesan Al-Qur’an tersebut diperlukan suatu upaya yang disebut dengan tafsir. Menafsirkan
Al-Qur’an bukan upaya mudah. Hal ini karena sejarah mencatat bahwa didalam
Al-Qur’an terdapat banyak kosa kata yang tidak atau belum dipahami oleh sahabat
nabi. Padahal mereka adalah orang Arab asli yang langsung menerima Al-Qur’an
yang berbahasa Arab dari Nabi Muhammad saw, dan menyaksikan situasi serta
kondisi yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.[2]
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufassir dituntut menguasai beberapa
cabang ilmu untuk dapat menafsirkan sesuai kaidah tafsir Al-Qur’an. Ia tidak
memiliki kewenangan untuk menafsirkan, bila ia tidak memiliki kapasitas
yang cukup untuk menjadi seorang mufassir. Metodologi tafsir yang digunakan pun
harus sesuai tuntunan Rasulullah saw, para sahabat, tabi’in serta para ulama
yang mumpuni. Dengan kata lain, merekalah rujukan utama kita. Karena itulah,
Rasulullah mengancam dengan siksa neraka bagi siapa saja yang berani
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa penguasaan ilmunya. Agar fungsi-fungsi
Al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna-makna firman
Allah saat menafsirkan Al-Qur’an.Tidak semua orang boleh menafsirkan Al-Qur’an.
Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an mestilah terlebih dahulu menguasai ’ulum
Al-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an). Salah satu ilmu yang harus dikuasai
diantaranya adalah kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para
mufassir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Al-Qur’an dengan isinya yang simpel dan kandungan makna yang
sangat luas memerlukan penafsiran untuk memahami kandungannya, oleh karenanya
pasca Rasul wafat muncul beberapa penafsiran dari para sahabat dan generasi
sesudahnya. Model penafsiran seorang mufassir lazimnya dilatarbelakangi
keilmuan yang dikuasainya, walaupun ada sebagian mufassir yang menulis tafsir
dari latar belakang yang berbeda dari basic keilmuan yang dimilikinya. Disini
penulis akan sedikit membahas kitab tafsir sebagai salah satu sarana untuk
memahami isi kandungan al-Quran. Kitab tafsir yang akan kami bahas tersebut
adalah “ tafsir al-Wadhih” karya
Mahmud Hijazi.
- Biografi penulis
Mahmud Hijazi
dilahirkan pada tahun 1914 di wilayah bagian timur mesir. Pada masa mudanya ia
menempuh study di lembaga Zaqaziq, ia adalah seorang murid yang teladan sehingga
disegani oleh teman-temannya. Setelah menyelesaikan studinya di Zaqaziq ia
melanjutkan studinya ke Kairo di Fakultas Bahasa Arab dan mendapat gelar
keserjanaan dengan cepat karena ia termasuk mahasiswa yang pintar. Kemudian ia
ditetapkan menjadi dosen di lembaga Zaqaziq yang merupakan almamaternya.[3]
Beberapa tahun kemudian
dia diangkat menjadi guru besar dan banyak membantu lembaga tersebut dengan
ilmunya. Di sana ia selalu mengadakan diskusi intensif dengan para mahasiswa
yang berasal dari daerahnya. Mahmud Hijazi berhasil menyelesaikan gelar
doktornya di lembaga Zaqaziq dengan disertasi yang berjudul “al-Wihdah
al-Maudhuiyyah li al-Quran al-Karim” (kesatuan tema dalam al-Quran) karena ia
memfokuskan studinya dibidang tafsir.[4]
- Latar Belakang Penulisan Kitab
Dalam pendahuluan buku
tafsir ini beliau menuliskan kenapa beliau berkeinginan untuk menulis buku
tafsir yang diberi judul dengan “Al-Tafsir al-Wadhih”, beliau mengatakan karena
di dalam al-Qur’an terdapat banyak makna-makana dan rahasia-rahasia al-Qur’an
yang belum terkuak dan sudah dijelaskan tetapi secara global saja.
Pada dasa warsa
sekarang ini telah banyak kegiatan belajar-mengajar, maka dari itu muncullah
pembelajaran yang berpokok pada dua permasalahan yaitu: Pertama,
banyaknya penilitian dari kalangan peneliti tentang hubungan manusia dengan
lainnya, sehingga terjadilah perbedaan-perbedaan pemahaman tehadap hukum atau
peraturan-peraturan yang telah dibuat, begitu pula masih terlihat dan terdengar
mereka terus memperbaharui bahkan mengganti peraturan-peraturan yang ada,
setelah tahun berganti dengan tahun berikutnya mereka mengulangi pekerjaan
sebelumnya dengan mengganti dan memperbaharuinya. Kedua adalah bahwa
banyak dari orang-orang kembali berwajah kepada al-Qur’an, seakan-akan mereka
telah bosan terhadap realita yang ada, yang mana mereka berkesimpulan bahwa
hukum yang dibuat belum berhasil dalam penanggulangan permasalahan-permasalahan
kriminal dan belum bisa memberikan hak-hak mereka, tetapi justru sebaliknya
membuat kehidupan mereka sangat buruk dan menprihatinkan, lalu mereka berwajah
kembali kepada al-Qur’an dengan berkeyakinan al-Qur’an adalah sebagai jalan
keluar atas segala permasalahan yang ada, yang bisa membawa mereka ke kehidupan
yang bahagia dan lebih baik.[5] Maka
dari itu, Dr. Muhammad Mahmud Hijazi berhasrat untuk membantu mereka dengan
menulis kitab “Al-Tafsir al-Wadhih” yang bertujuan bisa menjadi alat dalam
mewujudkan kehidupan yang berlandaskan terhadap al-Qur’an.
- Sistematika Penulisan Kitab
Al-Tafsir al-Wadhih
karya Dr. Muhammad Mahmud Hijazi juga tidak terlepas dari tafsir-tafsir
terdahulu seperti yang dikatakan beliau “tafsir ini tidak terlepas jauh dari
tafsir sebelumya, seperti al-Fajr, asy-Syihab, al-Ulusi, ath-Thabari dan
al-Qurthubi”. Mahmud Hijazi menafsirkan seluruh
ayat al-Quran dengan berurutan ayat demi ayat, surat demi surat sesuai dengan
urutan Mushaf Utsmani.
Kitab
tafsir ini terdiri dari 10 juz, setiap mengawali penafsirannya Mahmud Hijazi
menulis nama surat dalam al-Quran, menerangkan Makiyah dan Madaniyah serta
menerangkan secara global kandungan surat. Contoh surat al-Anfal termasuk dalam
kelompok surat Madaniyah, surat tersebut menceritakan tentang harta rampasan
perang, kemudian mengelompokan ayat secara berurutan yang dipandang berhubungan
satu sama lain dalam tema-tema kecil. secara deskriptif dan
langkah-langkah yang digunakannya adalah sebagai berikut:
- Menjelaskan arti dari nama surat dan konten dan pokok-pokok apa saja yang ada didalamnya. Contoh: Surat al-Ikhlash dinamakan Surat al-Ikhlash karena termasuk surat tauhid dan pensucian nama Allah Ta’ala. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar utama Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat ini disejajarkan dengan sepertiga Al-Qur’an. Karena ada tiga prinsip umum: tauhid, penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari kiamat. Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk membacanya dengan tadabbur dan pemahaman, sampai pahalanya disamakan dengan orang membaca sepertiga Al-Qur’an.[6]
- Penjelasan kosa kata (Syarhu al-Mufradat) yang terdapat dalam ayat yang dirasa sulit menurut ukurannya. Dengan demikian tidak dijelaskan seluruh kosakata yang ada tetapi sebagiannya saja yang dianggap sulit. Contoh kata Ahad pada Surat al-Ikhlash diartikan sebagai: satu dalam DzatNya, SifatNya dan Af’alNya.
- Penjelasan (al-Idhah), pada langkah ini, beliau memberikan penjelasan yang luas dengan dibarengi asbab an-Nuzul jika ada. Terkadang beliau menjelaskan tafsir ayat dengan ayat lain dan bahkan penjelasan para ulama terdahulu yang dianggapnya baik atau shahih. Contoh pada surat al-Baqarah ayat 26-27 setelah memberikan penjelasan yang panjang lebar beliau menyebutkan sebab turunnya ayat tersebut yaitu dengan menyebut riwayat, dengan kata Ruwiya: yaitu ayat tersebut turun karena orang kafir menertawakan pemisalan dalam al-Qur’an yang berupa laba-laba.[7] Beliau juga menjelaskan ayat satu dengan ayat lain seperti surat al-Ra’du ayat 35, beliau menjelaskan dengan surat Muhammad ayat 15.
- Pada langkah terakhir biasanya beliau memberikan penjelasan pada surat yang dianggap penting atau yang bersangkutan dengan ilmu tafsir seperti apa macam surat ini Makkiyah atau madaniyyah. Contoh seperti surat al-Ikhlash di atas disebutkan bahwa syrat tersebut termasuk surat Makkiyah.
- Sumber, Metode, dan Corak Penafsiran
a. Sumber penafsiran
Secara definitif yang
dimaksud dengan sumber tafsir adalah rujukan yang digunakan mufasir dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Secara rinci sumber penafsiran tafsir al-Wadhih
berasal dari dua sumber. Pertama, sumber Ma’tsur (naql), kedua, sumber Ra’yu
(aql). Dari kedua sumber tersebut diuraikan lagi menjadi empat sumber secara
parsial yaitu:
1). Al-Quran
Al-Quran merupakan
sumber utama yang digunakan Mahmud Hijazi dalam tafsirnya, cotohnya dalam menafsirkan
surat al-Baqarah ayat 34:
øÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§Î=ö/Î) 4n1r& uy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB úïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
34. Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada
para malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka
kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir.
[36] sujud di sini berarti menghormati dan
memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, Karena sujud
memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.
Mahmud Hijazi menafsirkan
ayat ini dengan ayat 50 pada surat al-Kahfi, lafazh iblis dalam ayat ini
diartikan sebagai salah satu golongan jin, dapat juga disebut bapaknya jin.
øÎ)ur $uZù=è% Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 (#rßßÚó$# tPyKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§Î=ö/Î) tb%x. z`ÏB Çd`Éfø9$# t,|¡xÿsù ô`tã ÌøBr& ÿ¾ÏmÎn/u 3 ¼çmtRräÏGtFsùr& ÿ¼çmtFÍhèur uä!$uÏ9÷rr& `ÏB ÎTrß öNèdur öNä3s9 Brßtã 4 }§ø©Î/ tûüÏJÎ=»©à=Ï9 Zwyt/ ÇÎÉÈ
50. Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada
para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam[884], Maka sujudlah mereka
kecuali iblis. dia adalah dari golongan jin, Maka ia mendurhakai perintah
Tuhannya. patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin
selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? amat buruklah Iblis itu
sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.
[884] sujud di sini berarti menghormati dan
memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, Karena sujud
memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.
Contoh lain seperti dalam
menjelaskan sifat-sifat surga yang dijanjikan Allah pada surat ar-Ra'du ayat 35
beliau menjelaskan dengan surat Muhammad ayat 15.[8]
Kalau kita melihat lebih dalam dan kritis
tentang metode yang digunakannya, beliau banyak menggunakan ilmu-ilmu yang ada
pada sekarang, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, historis, ekonomi
budaya dan segala yang dapat membantu beliau dalam penafsirannya yang bisa
diterima akal. Sebagimana beliau menyatakan bahwa surga yang dijanjikan Allah
itu tidaklah seperti yang termaktub pada teks al-Qur'an, karena seandainya
surga seperti itu maka kitapun pernah merasakan keenakannya didunia ini
walaupun diakhirat lebih enak. Jika ditinjau dengan pendekatan psikologi ,
budaya dan histories lahirnya ayat itu, maka pendapat beliau bisa diterima,
beliau menyatakan ayat ini lahir atau turun di Arab, yang mana di dataran tanah
Arab itu sangatlah gersang dan jarang sekali pohon-pohon yang tumbuh dan tidak
adanya sungai yang mengalir, maka dari tiu Allah menggambarkan surga itu dengan
sebuah perkebunan yang rindang terdapat buah-buahan yang enak ditambah
sungai-sungai yang mengalir didalamnya. Hal ini supaya teks al-Qur'an itu pas
dengan bangsa itu, tetapi kalau di Indonesia itu sudahlah sangat biasa dengan
perkebunan dan sungai. Oleh karena itu beliau berpendapat surga yang dijanjikan
Allah tidaklah sperti yang digambarkan dalam teks tetapi surga yang dijanjikan
Allah lebih dari itu.
2). Al-Hadits
Sumber ke dua yang digunakan Mahmud Hijazi adalah
didasarkan pada hadits sebagaimana tugas seorang rasul adalah sebagai penjelas
dari risalah yang dibawanya. Contoh pada surat al-Baqarah ayat 8 yang bertema
tentang orang-orang munafik dan sifat-sifatnya, Mahmud Hijazi menafsirkannya
dengan mengambil hadits-hadits yang berbicara tentang sifat-sifat orang
munafik.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa di antara manusia
ada yang beriman kepada Allah dan hari akhir secara lisan saja, padahal hatinya
dipenuhi dengan rasa kufur dan aniaya, oleh karena itu Allah menolak segala
pengakuan mereka sebab mereka tidak beriman meskipun mereka mengaku beriman.
Tidak diragukan lagi bahwa mereka menampakan keimanan dan menyembunyikan
kekufuran dalam bentuk tipu daya, dan mereka termasuk orang-orang yang munafik.
3). Riwayat
Sahabat
Selain al-Quran dan hadits yang dijadikan sumber
penafsiran Mahmud Hijazi pun menggunakan riwayat para sahabat untuk menafsirkan
ayat-ayat al-Quran. Hal ini disebabkan mereka (sahabat) adalah orang-orang yang
hatinya terbebas dari nifak, luas pengetahuannya, adil dalam sifat dan sikap
serta pemahamannya terhadap ajaran yang dibawa nabi sangat mendekati kebenaran
karena mereka hidup semasa dengan nabi. Hal ini senada dengan ucapan nabi bahwa
orang-orang yang pling baik pemahamannya terhadap al-Quran adalah orang-orang
yang sezaman dengan nabi.
4). Ijtihad
Yang terakhir cara yang ditempuh oleh Mahmud Hijazi untuk
menafsirkan al-Quran selain dengan ke tiga sumber di atas adalah dengan
menggunakan ijtihad. Tentunya dalam hal ini Mahmud Hijazi menggunakan akal yang
sehat dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan untuk menafsirkan al-Quran,
tidak mengikuti hawa nafsu menafsirkan al-Quran sesuai dengan kebutuhan dan
kehendaknya.
b. Metode penafsiran
Metode tafsir al-Quran
secara definitif adalah seperangkat kaidah atau aturan yang digunakan dalam
menafsirkan al-Quran. Dalam disertasinya yang berjudul “al-Wihdah
al-Maudhuiyyah” Mahmud Hijazi menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran yaitu:
1). Mengelompokan
ayat-ayat yang memiliki tema yang sama
2). Menyusun ayat-ayat
tersebut sesuai dengan sebab turunnya
3). Membahas ayat
tersebut pada surahnya serta menjelaskan kaitannya dengan ayat sebelum dan
sesudahnya.
4). Membahas rangkaian
tema yang sama tersebut yang terdapat pada surat lain sehingga sampai pada
tujuan pembacanya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tafsir
al-Wadhih cenderung menggunakan metode “maudhu’i” yaitu mengklasifikasikan
ayat-ayat dalam satu surat dengan memberikan tema sentral, mencantumkan sebab
nuzul dan melakukan munasabah ayat.
c. Corak penafsiran
biasanya corak
penafsiran selelu dikaitkan dengan tsaqofah mufasirnya, namun tidak mesti
demikian karena banyak kitab-kitab tafsir yang coraknya tidak sesuai dengan
tsaqofah mufasirnya. Jika melihar tsaqofah mufasirnya diketahui bahwa Mahmud
Hijazi adalah seorang yang mahir dalam kaidah bahasa Arab, akan tetapi dalam
menyusun tafsir ini beliau lebih cenderung dengan corak adabul ijtima’i.
5. Contoh penafsiran
Tafsir Qur’an Surat
Al-Ikhlash
Makkiyah, terdiri dari
4 ayat, surat tauhid dan pensucian nama Allah Ta’ala. Ia merupakan prinsip
pertama dan pilar utama Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat ini
disejajarkan dengan sepertiga Al-Qur’an. Karena ada tiga prinsip umum: tauhid,
penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari kiamat.
Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk membacanya
dengan tadabbur dan pemahaman, sampai pahalanya disamakan dengan orang membaca
sepertiga Al-Qur’an.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ
يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
1. Katakanlah: “Dia-lah
Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tidak beranak
dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia.”
Syarah:
Inilah prinsip pertama
dan tugas utama yang diemban Nabi saw. beliau pun menyingsingkan lengan baju
dan mulai mengajak manusia kepada tahuhid dan beribadah kepada Allah yang Esa.
Oleh karena itu di dalam surat ini Allah memerintahkan beliau agar mengatakan,
“Katakan, ‘Dialah Allah yang Esa.” Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Berita
ini benar karena didukung oleh kejujuran dan bukti yang jelas. Dialah Allah
yang Esa. Dzat Allah satu dan tidak beragam. Sifat-Nya satu dan selain-Nya
tidak memiliki sifat yang sama dengan sifat-Nya. Satu perbuatan dan selain-Nya
tidak memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.
Barangkali pengertian
kata ganti ‘dia’ pada awal ayat adalah penegasan di awal tentang beratnya
ungkapan berikutnya dan penjelasan tentang suatu bahaya yang membuatmu harus
mencari dan menoleh kepadanya. Sebab kata ganti tersebut memaksamu untuk
memperhatikan ungkapan berikutnya. Jika kemudian ada tafsir dan penjelasannya
jiwa pun merasa tenang. Barangkali Anda bertanya, tidakkah sebaiknya dikatakan,
“Allah yang Esa” sebagai pengganti dari kata, “Allah itu Esa.” Jawabannya,
bahwa ungkapan seperti ini adalah untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa dan
tiada berbilang Dzat-Nya.
Kalau dikatakan, “Allah
yang Maha Esa,” tentu implikasinya mereka akan meyakini keesaan-Nya namun
meragukan eksistensi keesaan itu. Padahal maksudnya adalah meniadakan
pembilangan sebagaimana yang mereka yakini. Oleh karena itu Allah berfirman,
“Dia-lah Allah, Dia itu Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu.” Artinya tidak sesuatu pun pada-Nya dan Dia tidak butuh kepada
sesuatu pun. Bahkan selain-Nya butuh kepada-Nya. Semua makhluk perlu berlindung
kepada-Nya di saat sulit dan krisis mendera. Maha Agung Allah dan penuh berkah
semua nikmat-Nya. “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.”
Ini merupakan pensucian
Allah dari memiliki anak laki-laki, anak perempuan, ayah, atau ibu. Allah tidak
memiliki anak adalah bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengatakan
bahwa malaikat itu anak-anak perempuan Allah, terhadap orang-orang Nashrani dan
Yahudi yang mengatakan ‘Uzair dan Isa anak Allah. Dia juga bukan anak
sebagaimana orang-orang Nashrani mengatakan Al-Masih itu anak Allah lalu mereka
menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya. Ketidak-mungkinan Allah memiliki
anak karena seorang anak biasanya bagian yang terpisah dari ayahnya. Tentu ini
menuntut adanya pembilangan dan munculnya sesuatu yang baru serta serupa dengan
makhluk. Allah tidak membutuhkan anak karena Dialah yang menciptakan alam semesta,
menciptakan langit dan bumi serta mewarisinya. Sedangkan ketidak-mungkinan
Allah sebagai anak, karena sebuah aksioma bahwa anak membutuhkan ayah dan ibu,
membutuhkan susu dan yang menyusuinya. Maha Tinggi Allah dari semua itu
setinggi-tingginya. “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” Selama
satu Dzat-Nya dan tidak beberapa, bukan ayah seseorang dan bukan anaknya, maka
Dia tidak menyerupai makhuk-Nya. Tidak ada yang menyerupai-Nya atau sekutu-Nya.
Maha Suci Allah dari apa yang mereka mempersekutukan.
Meskipun singkat, surat
ini membantah orang-orang musyrik Arab, Nashrani, dan Yahudi. Menggagalkan
pemahaman Manaisme (Al-Manawiyah) yang mempercayai tuhan cahaya dan kegelapan,
juga terhadap Nashrani yang berpaham trinitas, terhadap agama Shabi’ah yang
menyembah bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang musyrik Arab yang
mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau bahwa Allah
memiliki sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.
Surat ini dinamakan
Al-Ikhlas, karena ia memperkuat keesaan Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia
sendiri yang dituju untuk memenuhi semua kebutuhan, yang tidak melahirkan dan
tidak dilahirkan, tidak yang menyerupai dan tandingan-Nya. Konsekuensi dari
semua itu adalah ikhlas beribadah kepada Allah dan ikhlas menghadap kepada-Nya
saja.
Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa al-Tafsir
al-wadhih karya Dr. Muhammad Mahmud Hijazi memiliki dua sumber utama yaitu
sumber Ma’tsur dan Ra’yu dengan menggunakan metode maudhu’i dan bercorak adabul
ijtima’i.
Penjelasan dan bahasa
yang beliau pakai dalam menafsirkan juga tidak begitu sulit sehingga dapat
dengan mudah untuk dipahami, penjelasan yang rinci dan ringkas memudah untuk
pembaca mencerna apa yang terkandung dalam satu ayat. Dengan analisis yang selalu
mengedepankan akal apapun yang ditefsirkan beliau dapat diterima terutama bagi
mereka yang sering menggunakan akal dalam memahami teks al-Qur’an.
Dilihat dari cara
penafsiran beliau, kemungkinan besar beliau termasuk pada ulama tafsir yang
berada pada zaman modern, terbukti dengan cara penafsiran beliau yang selalu
menggunakan akal walaupun terkadang dijelaskan dengan nas yang ada dalam
al-Qur’an. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya manusia modern lebih banyak
menggunakan akal dalam menerima perihal yang hendak mereka ketahui, maka dengan
adanya tafsir ini, diharapakan dapat membantu mereka untuk memahami agama
mereka secara kaffah.
Kemudian dengan
menafsirkan kosa kata yang sulit sangat membantu dan dapat mengurangi keasalah
pahaman dalam memahami agama, sehingga mengurangi kerancuan dan kekerasan yang
sering di atas namakan agama hanya karena keliru dalam menginterpretasi suatu
teks ayat dalam al-Qur’an. Mungkin ini juga suatu pembaharuan dalam keilmuan
tafsir sehingga menjadi penting rasanya untuk lebih dalam mengkaji
metode-metode baru dengan metode yang sudah ada sebelumnya, sehingga dapat
menjawab tantangan zaman yang terkadang mencoba menjerumuskan agama pada lembah
yang paling asing dalam keberadaannya di suatu masyarakat bahkan negara.
Dapat dikatakan pula
Dr. Muhammad Mahmud Hijazi adalah orang yang jenius, karena beliau dapat
mengkolaborasikan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, sehingga al-qur’an
yang dijadikan pijakan utama dalam islam tidak menjadi teks mati dan stagnan
tanpa ada pengimplementasian yang pas dan memuaskan bagi umat islam dalam suatu
negara misalnya. Namun juga di sayangkan kurangnya perhatian umat islam dalam
mengkaji para tokoh yang menjadikan islam bisa lebih maju dan bermartabat lagi
dalam keberadaannya di berbagai negara di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Mahmud, Manhaj al-Mufasirin, Kairo, Dar al-Kutub 1979
Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (
Pekan Baru : Amzah, 2005 )
Manna Khalil Al-Qattan,
Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Mesir:
Maktabah Wahbah, 2002).
Muhammad
Mahmud Hijazy, Al-Tafsir al-Wadhih Jilid 1 (Bairut : Darul-Jail, tt)
………………………………, Al-Tafsir al-Wadhih Jilid 9 (Bairut :
Darul-Jail, tt)
[1] Manna Khalil
Al-Qattan, Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an,
(Mesir: Maktabah Wahbah, 2002) h.2.
[2] Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, (
Pekan Baru : Amzah, 2005 ) h.20
[3] Abdurrahman
Mahmud, Manhaj al-Mufasirin, Kairo, Dar al-Kutub 1979, hal. 377
[4] Ibid, hal.
377-378
[5] Muhammad Mahmud Hijazy,
Al-Tafsir al-Wadhih Jilid 1 (Bairut : Darul-Jail, tt), hal. 5
[6] Muhammad Mahmud Hijazy, Al-Tafsir al-Wadhih Jilid
9 (Bairut : Darul-Jail, tt), hal. 129
[7]
Muhammad Mahmud Hijazy, Al-Tafsir
al-Wadhih Jilid 1 (Bairut : Darul-Jail, tt), hal. 17
[8] Muhammad Mahmud Hijazy,
Al-Tafsir al-Wadhih Jilid 9 (Bairut : Darul-Jail, tt), hal. 129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar