TAFSIR AL-MARAGHI
Karya Ahmad Musthofa Al-Maraghi
- Biografi Ahmad Musthofa Al-Maraghi.
Nama lengkap Ahmad
Mustafa Al-Maraghi adalah Ahmad Mustafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im
Al-Maraghi, lahir di kota Maragah, sebuah kota yang terletak dipinggiran sungai
Nil, kira kira 70 Km arah selatan kota Kairo Mesir, Pada Tahun 1300 H/1883 M.
ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Maragi karena dinisbahkan pada kota
kelahirannya.
Al-Maragi dibesarkan
bersama delapan saudaranya dibawah naungan rumah tangga yang sarat pendidikan
agama. Dikeluarga inilah Al-Maragi mengenal dasar dasar agama islam sebelum
menempuh pendidikan dasar disebuah madrasah didesanya, ia sangat rajin membaca
Al-qur’an, baik untuk membenahi bacaan maupun menghafalnya, karena itulah
sebelum menginjak usia 13 Tahun ia telah hafal Al-qur’an.
Pada tahun 1314 H/1897
M, Al-Maragi menempuh kuliah di Universitas Al-Azhar dan Universitas Darul
‘Ulum di Kairo, karena kecerdasannya yang luar biasa, ia mampu menyelesaikan
pendidikannya di dua Universitas itu pada tahun yang sama, yaitu 1909 M.
Di dua Universitas
itu, ia menyerap ilmu dari beberapa ulama kenamaan seperti Muhammad Abduh,
Muhammad Bukhait al-Muthi’I, Ahmad Rifa’I al-Fayumi, Muhammad Rasyid Ridha dan
lain lain, mereka memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk
intelektualitas al-Maragi. Kegigihan menuntut ilmu telah membuahkan hasil,
al-Maragi sangat cakap pada semua bidang ilmu agama.
Al-Maraghi mengabdikan
diri sebagai guru di beberapa madrasah, tak lama kemudian ia diangkat sebagai
Direktur Madrasah Al-Mu’allimin di Fayum, sebuah kota yang terletak 300 Km arah
barat kota Kairo, kemudian pada tahun 1916-1920 M, ia diangkat menjadi dosen
tamu di Fakultas Filial Universitas Al-Azhar, di Khartoum Sudan.
Setelah itu, al-Maragi
diangkat sebagai dosen bahasa arab di Universitas Darul ‘Ulum serta dosen ilmu
Balaghahdan kebudayaan pada Fakultas bahasa arab di Universitas al-Azhar. Dalam
rentang waktu yang sama ia juga masih memberikan ilmunya dibeberapa madrasah,
antara lain Ma’had Tarbiyah Mu’allimin, ia pun dipercaya menakhodai Madrasaah
Usman Basya di Kairo.
Al-Maragi merupakan
potret ulama yang mengabdikan hampir seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu,
di sela sela mengajar, ia tetap menyisihkan waktunya untuk menulis, salah
satu karya monumentalnya adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim yang lebih
dikenal dengan nama Tafsir Al-Maragi. Tafsir ini ditulis selama kurang
lebih 10 tahun, sejak tahun 1940-1950 M, menurut sebuah sumber ketika al-Maragi
menulis tafsirnya, ia hanya beristirahat selama 4 jam sehari, dalam 20 jam yang
tersisa, ia menggunakannya untuk mengajar dan menulis.
Ketika malam telah
bergeser pada paruh terakhir kira kira 3.00 al-Maragi memulai aktivitasnya
dengan sholat tahajud dan hajat, memohon doa dan petunjuk Allah, kemudian
ia menulis tafsir, ayat demi ayat, pekerjaan itu diistirahatkan ketika
berangkat kerja, pulang kerja, ia tidak langsung melepas lelah sebagaimana
orang lain, aktivitas tulis menulisnya yang sempat terhenti, dilanjutkan
kembali, kadang kadang sampai jauh malam,
Dalam mukaddimah
tafsirnya al-Maragi menuturkan alasan menulis kitab tafsir, ia merasa ikut
bertanggung jawab untuk mencari solusi terhadap pelbagai masalah yang terjadi
di masyarakat berdasarkan Al-qur’an, di tangan al-Maragi Al-qur’an ditafsirkan
dengan gaya modern sesuai dengan tuntunan masyarakat. Pilihan bahasa yang
disuguhkan kepada pembacapun ringan dan mengalir lancar, pada beberapa bagian,
penjelasannya cukup global, tetapi dibagian lain uraiannya begitu mendetail,
tergantung kondisi.
Tafsir al-Maragi
pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 M, terbitan pertama ini terdiri
atas 30 juz, sesuai dengan jumlah juz al-Qur’an, pada penerbitan kedua terdiri
dari 10 jilid, dan tafsir ini juga pernah diterbitkan 15 jilid, dan yang
beredar di Indonesia adalah edisi Tafsir al-Maragi yang 10 jilid.
Al-Maragi menetap di
Hilwan, sebuah kota satelit yang terletak sekitar 25 Km sebelah selatan kota
Kairo, hingga meninggal dunia pada usia 69 tahun (1952 M). [1]
B- Latar
Belakang penulisan
Di dalam profil diatas
sedikit diulas tentang al-Maragi menulis kitab tafsir ini adalah karena beliau
merasa bertanggung jawab akan peristiwa dan problema yang terjadi di
masyarakat, ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan
dalil dalil qur’ani sebagai alternatif, maka dari itu tidak mengherankan
apabila tafsir yang lahir dari buah pikiranya dengan gaya modern, yaitu
disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti
dituturkan oleh al-Maragi sendiri dalam pembukaan tafsirnya.
Dari segi sumber yang
digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maragi juga menggunakan ra’yi
sebagai sumber dalam menafsirkan ayat ayat, namun perlu diketahui, penafsiran
yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah dan
susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti bukti secara ilmiah, dan ini
juga diungkapkan oleh beliau didalam muqaddimahnya :
“
maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat riwayat kecuali riwayat
tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan, dan kami tidak
melihat disana hal hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak
diperselisihkan lagi oleh para ahli, dan menurut kami, yang demikian itu lebih
selamat untuk menafsirkan kitabullah serta lebih menarik hati orang orang yang
berkebudayaan ilmiah yang tidak puas kecuali dengan bukti bukti dan dalil
dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar”
Ungkapan maragi diatas
menegaskan bahwa riwayat riwayat yang dijadikan sebagai penjelas terhadap ayat
ayat Al-qur’an adalah riwayat yang shahih, dalam arti yang dapat digunakan
sebagai hujah, disamping menggunakan kaidah bahasa arab, dengan analisis ilmiah
yang disokong oleh pengalaman pribadi sebagai insan akademis dan pandangan para
cendikiawan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, ini berarti dilihat dari
sumbernya al-Maragi menggunakan naql dan ‘aql secara berimbang dalam menyusun
tafsirnya.[2]
Dalam konteks modern
rasanya penulisan tafsir dengan melibatkan dua sumber penafsiran tersebut
merupakan sebuah keniscayaan, sebab sungguh tidak mungkin menyusun tafsir
dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat sangat
terbatas juga karena kasus kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang
semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika social, ilmu
pengetahuan, dan tehnologi yang sangat cepat, sebaliknya melakukan penafsiran
dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan
akan penyimpangan penyimpangan, sehingga justru tidak dapat diterima, mungkin
dengan alasan inilah, sejak memasuki masa muta’akhirin sampai sekarang banyak
penafsiran Al-qur’an yang mengkombinasikan rasio dan riwayat.
C- Karya karya
Mustafa Al-Maragi
Al-Maragi adalah ulama
kontemporer terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia islam, selama hidup, ia
telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan agama, banyak hal yang telah
ia lakukan, selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah
disebutkan, ia juga mewariskan kepada umat ini karya lainnya adalah sebagai
berikut;
v Al-Hisbat fi
al-islam
v Al-wajiz fi
Ushul al-fiqh
v ‘Ulumul
Balaghah
v Muqaddimat
at-tafsir
v Buhuts wa
‘Ara’ fi funun al-balaghah
v Ad-Diyanat wa
al-Akhlaq
D- Metode
dan Sistematika Penafsiran
Dari sisi metodologi
Al-Maragi bisa disebut mengembangkan metode baru, bagi sebagian pengamat
tafsir, al-Maragi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode
tafsir yang memisahkan antara “Uraian Global” dan “Uraian rincian” sehingga
penjelasan ayat ayat didalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na Ijmali
dan ma’na tahlili. Namun tidak dapat dipungkiri, tafsir Al-Maragi sangat
dipengaruhi oleh tafsir tafsir yang ada sebelumnya, terutama tafsir Al-Manar,
hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maragi di
bidang tafsir, bahkan sebagian orang berpendapat bahwa tafsir Al-Maragi adalah
penyempurnaan terhadap tafsir Al-Manar yang sudah ada sebelumnya, metode yang
digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun metode
penafsiran tafsir Al-Maragi antara lain sebagai berikut :
- Metode Tafsir Bil Iqtirani (Perpaduan antara bil ma’qul dan bil manqul)
- Metode Tafsir Muqarin / Komperasi (bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat ayat Al-qur’an) yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam masalah yang sama, ayat dengan hadits (isi dan matan), antara pendapat mufasir dengan mufasir yang lain dengan menonjolkan segi segi perbedaan.
- Metode Tafsir Ithnab (bila ditinjau dari segi keluasan penjelasan tafsirnya), ialah penafsiran dengan cara menafsirkan ayat Al-qur’an hanya secara mendetail/rinci, dengan uraian uraian yang panjang lebar, sehingga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh para cerdik pandai.
- Metode Tafsir Tahlili (bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat ayat yang ditafsirkan) adalah penefsirkan ayat ayat Al-qur’an dengan cara urut dan tertib dengan uraian ayat ayat dan surat surat dalam mushaf, dari awal surat al-Fatihah hingga akhir surat an-Nas
Sistematika dan
langkah langkah penulisan yang digunakan di dalam tafsir Al-Maragi adalah
sebagai berikut :
- Menghadirkan satu, dua atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan, ayat ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surat al-fatihah hingga an-nas (metode tahlili).
- Penjelasan kosa kata (Syarah al-mufradat), setelah menyebutkan satu, dua atau kelompok ayat, Al-Maragi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya, dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
- Makna ayat secara umum (Ma’na Ijmali), dalam hal ini Al-Maragi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut, kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh Al-Maragi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, dimana sebelumnya tidak ada mufasir yang melakukan hal serupa.
- Penjabaran (Al-Idhah), Pada langkah terakhir ini, Al-Maragi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan asbabun nuzul jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama, dalam memberikan penjelasan, kelihatannya Al-Maragi berusaha menghindari uraian yang bertele tele, serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahas yang sederhana, singkat, padat, dn mudah dipahami oleh akal.[3]
Namun demikian
dikalangan penganut tafsir salafi, Tafsir Al-Maragi dianggap kontroversial dan banyak
ditinggalkan, tafsir ini sangat digemari oleh para pelajar yang mengkaji tafsir
dibangku perguruan tinggi, gaya penafsirannya dianggap modern, yakni
berusaha menggabungkan berbagai mazhab penafsiran, terutama metode tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bir ra’yi, kelompok yang membela Al-Maragi mengatakan,
penafsiran sang Syech bersumber dari periwayatan yang relative terpelihara dari
riwayat yang lemah dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti bukti
secara ilmiah, pernyataan itu mengacu kepada ucapan Al-Maragi dalam muqadimah
kitab tafsir itu.
Bagian paling
kontroversi dalam tafsir Al-Maragi antara lain bahwa kisah maskh atau azab yang
merubah muka bani israil menjadi rupa monyet dalam Al-qur’an bukan kejadian
sungguhan, melainkan hanya simbol saja. Al-Maragi juga mengatakan bahwa adam
bukanlah bapak manusia ( juz 1/ hal 77) dan Hawwa tidak diciptakan dari tulang
rusuknya (juz 1/ hal 93), ia mengatakan , “sesungguhnya kajian ilmiah dan
historis tidak dapat menguatkan bahwa Adam adalah Abul Basyar/bapak manusia”
(juz IV/177 dan juz 1/95)
E- Aliran
atau Kecenderungan Penafsiran
Para mufasir yang
mempunyai kecenderungan tersendiri dalam menafsirkan ayat ayat Al-qur’an itu
akan menimbulkan aliran aliran tafsir Al-qur’an, diantaranya ialah tafsir lughawi/adabi,
tafsir al-fiqh, tafsir shufi, tafsir ‘Ilmi, tafsir falsafi.
Menurut Prof.Dr. H Abd
Djalal bahwa aliran tafsir Al-Qur’an ada tujuh yakni :
- Tafsir lughawi/adabi 5- Tafsir Syi’i/bathini
- Tafsir fiqh/ahkam 6- Tafsir Aqli/falsafi
- Tafsir shufi/’isyari 7- Tafsir ‘Ilmi/asri
- Tafsir ‘itizali
Menurut Prof.Dr.
Quraish Shihab aliran (corak) ada:
- Fiqhy 5- Falsafy
- Shufy 6- Adaby
- ‘Ilmy 7- ‘Ijtimaiy
- Bayan
Dari pengertian
tersebut maka tafsir Al-Maragi termasuk aliran atau kecenderungan tafsir
lughawi/adabi yang menitik beratkan kepada bahasa meliputi segi ‘Irab dan
harakat bacaannya, pembentukan kata, susunan kalimat, kesusastraan.[4]
F- Menghindari
Israiliyat
Al-Maragi sengaja mengelak
dari menyinggung masalah israiliyat, mengenai ahlul kitab, ia mengatakan. “ Sesungguhnya
mereka itu membawa kepada kaum muslimin pendapat pendapat didalam kitab mereka,
berupa tafsiran yang tidak diterima oleh akal, dinafikan oleh agama dan tidak dibenarkan
oleh realita serta sangat jauh dari hal yang dapat dibuktikan oleh ilmu pada
abad abad setelahnya.”
G- Contoh
Penafsiran
(diKutip dari tafsir
Al-Maragi Surat Al-Baqarah : 177)
Artinya : “Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Qs : Al-Baqarah:177)
Penafsiran kata kata sulit
Al-Birru
: secara bahasa artinya memperbanyak kebaikan, asal kata adalah al-barr
(daratan), dan lawan katanya adalah al-bahr (laut). Menurut istilah syariat
setiap sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah, yaini
Iman, amal shaleh, dan akhlak mulia.
Qibalal-Masyriqi
wal-Maghrib
:
Mengarah kepada dua arah tersebut
Wa-aatal-Maal
: Memberi harta benda
Al-Miskiin
: tetap diam, sebab kebutuhan telah menjeratnya
Ibnus-Sabiil
: orang yang sedang mengadakan perjalanan jauh, sehingga tidak dapat
menghubungi kerabatnya untuk memina bantuan.
As-Saail
: orang yang meminta minta kepada orang lain karena terdesak kebutuhan hidup.
Ar-Riqaab
: membebaskan budak (hamba sahaya)
‘Aqamas-Sholaah
: mendirikan sholat sebaik mungkin, atau seperti yang diperintahkan Allah
Al-ahdu
: janji atau suatu ikatan yang dipegang teguh oleh sesorang kepada orang lain
Al-ba’sa
: diambil dari kata kata (Al-busu’) artinya fakir atau sangat miskin
Ad-Darra’
: setiap sesuatu yang membahayakan manusia, seperti penakit atau kehilangan
yang dicintai
Shadaquu
: benar benar mengaku beriman
Pengertian Umum (ma’na Ijmali)
Ketika Allah
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memindahkan kiblat dari baitul Maqdis
ke Ka’bah, orang orang ahli kitab menentang perintah tersebut, akhirnya
terjadilah perdebatan sengit antara kaum muslimin dengan mereka, para ahli
kitab berpendapat bahwa sholat yang dilakukan dengan tidak menghadap kiblat
ahli ktab adalah tertolak di hadapan Allah, dan orang yang melakukannya tidak
mengikuti petunjuk para Nabi, sebaliknya kaum muslimin mengatakan bahwa yang
mendapat ridha Allah ialah yang menghadap Masjidil Haram, yakni kiblat Nabi
Ibrahim dan para nabi sesudahnya.
Memperhatikan masalah
tersebut, Allah menjelaskan bahwa menghadap kiblat secara tertentu itu bukanlah
merupakan kebajikan yang dimaksud agama, sebab di syari’atkannya Menghadap
kiblat itu hanya untuk mengingatkan orang yang sedang menjalankan sholat bahwa
dirinya dalam keadaan menghadap Tuhan, di samping itu berarti ia sedang meminta
kepada Tuhan, berpaling dari selain Allah, agar dijadikan sebagai lambang persatuan
umat yang mempunyai tujuan satu, dengan demikian ajaran ini mendidik umat islam
untuk terbiasa mengambil kesepakatan dalam selrusan urusan mereka, bersatu dan
melangkah secara bersama sama menuju cita cita.
Penjelasan (Al-Idhah)
(laisal- Birra- an- tuawwluu-wujuuhakum-qibalal-masyriqi-wal-maghrib)
Menghadap ke Timur
atau ke Barat itu tidak mengandung unsur kebajikan, pekerjaan itu pada
hakekatnya tidak merupakan suatu kebaikan.
(walakinnal-birra-man- aamana- billaahi-wal-yaumi
aakhiri-wal-malaaikati-wal-kitaabi-wan-nabiyyiin)
Tetapi yang dinamakan
kebaikan yang sesungguhnya adalah iman yang dibuktikan dengan amal perbuatan
dan tingkah laku yang mencerminkan keimanan tersebut.
Iman kepada Alah
adalah dasar semua kebaikan, dan kenyataan ini takkan pernah terbukti melainkan
jika iman telah meresap kedalam jiwa dan merayap keseluruh pembuluh nadi yang
disertai dengan sikap khusu’, tenang, taat, dan hatinya tidak akan meledak
ledak lantaran mendapatkan kenikmatan, dan tidak berputus asa ketika tertimpa
musibah, hal ini sesuai firman Allah ;
Artinya : “(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Iman kepada hari akhir
mengingatkan manusia bahwa ternyata terdapat alam lain – yang ghaib, kelak di
akhirat yang akan dihuni, karenanya hendaklah usahanya itu jamgan dipusatkan
untuk memenuhi kepentingan jasmani atau cita cita meraih duniawi saja atau
memuaskan hawa nafsu.
Iman kepada malaikat
adalah titik tolak iman kepada wahyu, kenabian dan hari akhir, siapapun yang
menolak keimanan terhadap malaikat berarti mengingkari seluruhnya, sebab
diantara malaikat itu ada yang bertugas sebagai penyampai wahyu kepada para
Nabi, dan memberikan ilham mengenai persoalan agama, seperti firman Allah
Artinya : “Pada malam
itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izinTuhannya untuk
mengatur segala urusan. (Al-qadar :4)
Iman kepada kitab
kitab samawi yang dibawa oleh para nabi mendorong seseorang untuk mengamalkan
kandungan kitab yang berupa perintah maupun larangan, sebab orang yang yakin
bahwa sesuatu itu benar, maka hatinya akan tergerak untuk mengamalkannya, dan
jika ia yakin bahwa sesuatu itu sangat mambahayakan dirinya tentu akan
menjauhkan dan tidak mengamalkannya.
Iman kepada Nabi
mendorong untuk mengikutinya, dan menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah dan
ketidaktahuan dalam menjalankan syariat sehingga menyimpang dari
sunahnya, Al-Maragi memberikan contoh dalam pembacaan Syi’ir – syi’ir
yang terdapat dalam kitab Dalalil-khairat dan Madaih Nabawiyah.
(Wa-atal-maala-‘alaa-hubbihii-dzawil-qurbaa-wal-yataamaa-wal-masaakiin-wabnis-sabiil-was-saai’ilin-wa-firriqaab)
Mengeluarkan harta
kepada orang orang yang membutuhkan karena belas kasihan terhadap mereka,
adalah ditujukan kepada orang orang sebagai berikut :
1-
Sanak famili yang membutuhkan, mereka adalah orang yang paling berhak
menerima uluran tangan, karena berdasarkan fitrahnya manusia akan merasa
lebih kasih saying terhadap sanak familinya yang hidup miskin disbanding orang
lain.
2-
Anak yatim, yakni anak anak kaum miskin yang tidak mempunyai ayah yang
memberikan nafkah kepada mereka.
3-
Kaum fakir miskin, mereka adalah orang orang yang tidak mampu berusaha
mencukupi hidupnya.
4-
Ibnu sabil (orang yang sedang perjalanan jauh) di dalam syari’at diperintahkan
untuk memberi pertolongan kepada merekauntuk bisa melanjutkan perjalanan.
5-
Orang yang meminta minta, yakni orang yang terpaksa melakukan pekerjaan meminta
kepada orang lain karena terdesak oleh kebutuhannya.
6-
Memerdekakan budak atau hamba sahaya, dalam pembicaraan ini termasuk didalamnya
adalah menebus tawanan perang dan memberikan bantuan kepada hamba yang telah
menandatangani perjanjian dengan majikannya untuk kemerdekaannya yang dibayar
dengan cara angsuran (kitabi).
(Wa-aqaamas-sholaata)
Artinya mendirikan
sholat sebaik mungkin, hal ini tentu saja tidak cukup dengan melaksanakan gerak
gerak sholat dan doa doa saja, tetapi harus disertai dengan memperhatikan
rahasia yang terkandung di dalam sholat. Pelakunya harus mempunyai akhlaq mulia
dan menjauhkan diri dari pelbagai perbuatan rendah. Karena orang yang melakukan
sholat tentu tidak akan berbuat keji dan mungkar.
Artinya : “Bacalah apa
yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan”
(Wa-aataz-zakaata)
Menunaikan zakat yang
diwajibkan, sedikit sekali penyebutan perintah sholat dalam Al-qur’an yang
tidak diiringi dengan penyebutan zakat, sebab sholat itu berfunsi pembersih
rohani, dan harta benda erat kaitannya dengan masalah ruhani, karenanya
menginfaqkan harta termasuk tiang pokok kebajikan, para sahabat Nabi telah
sepakat memerangi orang orang yang tidak mau membayar zakat setelah Nabi wafat,
yakni orang orang arab.
(Wal-muufuuna- bi’ahdihim-idza- ‘aahadu)
Orang orang yang
menepati janjinya jika mereka mereka mengadakan perjanjian mengenai sesuatu,
janji ini mencakup semua perjanjian yang biasanya dilakukan oleh seseorang
dengan orang lain, dan perjanjian yang dilakukan oleh kaum mu’min kepada Tuhan
mereka – yakni janji akan taat dan mengikuti seluruh perintahNya, dan apabila
ia berbuat maksiat berarti tidak menepati janjinya.
(Was-shobiriina-fil-ba’saai-wad-dharrai-wa-hiinal- ba’sa)
Orang orang yang
bersikap sabar ketika tertimpa kesengsaraan (miskin), atau terkena musibah
seperti kematian, kehilangan harta, atau tertimpa penyakit, dan ketika berada
di medan perang atau sedang berkecamuknya peperangan dengan musuh. Allah
mengkhususkan sabar dalam tiga hal tersebut, sedang bersikap sabar di dalam
masalah lain dan keadaan yang berbeda juga merupakan sikap terpuji.
(Ulaaikal-ladziina-shodaquu)
Mereka adalah orang
orang yang benar benar keimanannya, dan mereka bukan termasuk kelompok yang
mengaku beriman hanya dimulut, sedang hatinya tidak beriman.
(Wa-ulaaika-humul-muttaquuna)
Dan merekalah orang
orang yang membuat benteng antara diri mereka dengan murka Tuhan dengan
cara meninggalkan berbagai kemaksiatan yang mengakibatkan turunnya hukuman
Allah di dunia dan di akhirat.
Ada sebagian ulama
yang mengatakan bahwa siapapun yang menjalankan ayat ini, berate telah
mempunyai kesempurnaan iman, atau ia telah mencapai derajat tertinggi dalam
masalah iman.[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar