TAFSîR AL-MUNîR FI AL-‘AQîDAH WA
ASY-SYARî’AH
WA AL-MANHAJ
I. PENDAHULUAN
Al-Qur’an
dengan isinya yang simpel dan kandungan makna yang sangat luas memerlukan
penafsiran untuk memahami kandungannya, oleh karenanya pasca Rasul wafat muncul
beberapa penafsiran dari para sahabat dan generasi sesudahnya.
Model
penafsiran seorang mufassir lazimnya dilatarbelakangi keilmuan yang
dikuasainya, walaupun ada sebagian mufassir yang menulis tafsir dari latar
belakang yang berbeda dari basic keilmuan yang dimilikinya. Wahbah al-Zuhayli
merupakan seorang tokoh ulama fiqh abad ke-20 yang terkenal dari Syria. Namanya
sebaris dengan tokoh-tokoh Tafsir dan Fuqaha yang telah berjasa dalam dunia
keilmuan Islam abad ke-20 seperti Tahir Ashur yang mengarang tafsir al-Tahrir
wa al-Tanwir, Said Hawwa dalam Asas fi al-Tafsir, Sayyid Qutb dalam Fi
Zilal al-Quran. Sementara dari segi fuqaha, namanya sebaris dengan Muhammad
Abu Zahrah, Mahmud Shaltut, Ali Muhammad al-Khafif, Abdul Ghani,
Abdul Khaliq dan Muhammad Salam Madkur[1].
Sebagian
besar tafsir kontemporer di warnai dengan berbagai latar belakang keilmuan
mufassir, Wahbah az-Zuhaili seorang ahli Fiqh yang berusaha menguraikan
ayat-ayat al-Qur’an, dengan sumber, metode, corak, dan karakteristik yang khas.
II. BIOGRAFI PENGARANG
a. Pendidikan
Wahbah
az-Zuhayli dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syria
pada 6 Maret 1932 M/1351 H. Bapaknya bernama Musthafa az-Zuhyli yang
merupakan seorang yang terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz
al-Qur’an, beliau bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong putranya
untuk menuntut ilmu.
Beliau
mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat menengah
beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun hingga pada tahun
1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia masuk pada
Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di Azhar dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain
Syam dalam waktu yang bersamaan[2]. Ketika itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah
antara lain :
1.
Ijazah B.A
dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
2.
Ijazah Takhasus
Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957
3.
Ijazah B.A
dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957
Dalam
masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke
tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan
memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as-Siyasah
as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas dengan
pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada
tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi”
di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di
fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut – turut menjadi
Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di
fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim
dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyyah[3].
Adapun guru-gurunya adalah sebagai berikut :
Antara guru-gurunya ialah Muhammad
Hashim al-Khatib al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau
belajar darinya fiqh al-Syafie; mempelajari ilmu Fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasi
(w. 1969M); ilmu Hadits dari Mahmud Yassin (w.1948M); ilmu faraid dan
wakaf dari Judat al-Mardini (w. 1957M), Hassan al-Shati (w. 1962M), ilmu Tafsir
dari Hassan Habnakah al-Midani (w. 1978M); ilmu bahasa Arab dari Muhammad
Shaleh Farfur (w. 1986M); ilmu usul fiqh dan Mustalah Hadits dari
Muhammad Lutfi al-Fayumi (w. 1990M); ilmu akidah dan kalam dari Mahmud
al-Rankusi.
Sementara
selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah, (w. 1395H), Mahmud
Shaltut (w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun (1376H), Ali Muhammad Khafif (w.
1978M), Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M), Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan
Muhammad Hafiz Ghanim. Di samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku
tulisan Abdul Rahman Azam seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku
karangan Abu Hassan al-Nadwi berjudul Ma dza Khasira al-‘alam bi Inkhitat
al-Muslimin[4].
b. Karya-Karya Wahbah az-Zuhaili
Wahbah
al-Zuhayli menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam berbagai ilmu Islam.
Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika dicampur dengan risalah-risalah
kecil melebihi lebih 500 makalah. Satu usaha yang jarang dapat dilakukan oleh
ulama kini seolah-olah ia merupakan as-Suyuti kedua (as-Sayuti
al-Thani) pada zaman ini, mengambil sampel seorang Imam Shafi’iyyah yaitu
Imam al-Sayuti. diantara buku-bukunya adalah sebagai berikut :
1. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami –
Dirasat Muqaranah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1963.
2. Al-Wasit fi Usul al-Fiqh, Universiti Damsyiq, 1966.
3. Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid, Maktabah al-Hadithah, Damsyiq,
1967.
4. Nazariat al-Darurat al-Syar’iyyah, Maktabah al-Farabi, Damsiq, 1969.
5. Nazariat al-Daman, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1970.
6. Al-Usul al-Ammah li Wahdah al-Din
al-Haq,
Maktabah al-Abassiyah, Damsyiq, 1972.
7. Al-Alaqat al-Dawliah fi al-Islam, Muassasah al-Riisalah, Beirut,
1981.
8. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (8 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq,
1984.
9. Usul al-Fiqh al-Islami (dua Jilid), Dar al-Fikr
al-Fikr, Damsyiq, 1986.
10. Juhud Taqnin al-Fiqh al-Islami, (Muassasah al-Risalah, Beirut,
1987.
11. Fiqh al-Mawaris fi al-Shari’at
al-Islamiah,
Dar al-Fikr, Damsyiq, 1987.
12. Al-Wasaya wa al-Waqf fi al-Fiqh
al-Islami,
Dar al-Fikr, Damsyiq, 1987.
13. Al-Islam Din al-Jihad La al-Udwan, Persatuan Dakwah Islam
Antarabangsa, Tripoli, Libya, 1990.
14. al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa
al-Syari’at wa al-Manhaj, (16 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1991.
15. al-Qisah al-Qur’aniyyah Hidayah wa
Bayan,Dar
Khair, Damsyiq, 1992.
16. Al-Qur’an al-Karim al-bunyatuh
al-Tasyri’iyyah aw Khasa’isuh al-Hadariah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1993.
17. al-Rukhsah al-Syari’at – Ahkamuha wa
Dawabituha,
Dar al-Khair, Damsyiq, 1994.
18. Khasa’is al-Kubra li Huquq al-Insan
fi al-Islam,
Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1995.
19. Al-Ulum al-Syari’at Bayn al-Wahdah
wa al-Istiqlal,
Dar al-Maktab, Damsyiq, 1996.
20. Al-Asas wa al-Masadir al-Ijtihad
al-Musytarikat bayn al-Sunnah wa al-Syiah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996.
21. Al-Islam wa Tahadiyyat al-‘Asr, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996.
22. Muwajahat al-Ghazu al-Thaqafi
al-Sahyuni wa al-Ajnabi, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996.
23. al-Taqlid fi al-Madhahib al-Islamiah
inda al-Sunnah wa al-Syiah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996
24. Al-Ijtihad al-Fiqhi al-Hadith, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997.
25. Al-Uruf wa al-Adat, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997.
26. Bay al-Asham, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1997.
27. Al-Sunnah al-Nabawiyyah, Dar al-Maktabi Damsyiq, 1997.
28. Idarat al-Waqaf al-Khairi, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1998.
29. al-Mujadid Jamaluddin al-Afghani, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1998.
30. Taghyir al-Ijtihad, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
31. Tatbiq al-Syari’at al-Islamiah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
32. Al-Zira’i fi al-Siyasah
al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1999.
33. Tajdid al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Damsyiq, 2000.
34. Al-Thaqafah wa al-Fikr, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
35. Manhaj al-Da’wah fi al-Sirah
al-Nabawiyah,
Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
36. Al-Qayyim al-Insaniah fi al-Qur’an
al-Karim,
Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2000.
37. Haq al-Hurriah fi al-‘Alam, Dar al-Fikr, Damsyiq, 2000.
38. Al-Insan fi al-Qur’an, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001.
39. Al-Islam wa Usul al-Hadarah
al-Insaniah,
Dar al-Maktabi, Damsyiq, 2001.
III. MENGENAL TAFSIR MUNIR
a. Penulisan dan Penerbitan
Penulisan
tafsir Munir dilatarbelakangi oleh pengabdian Wahbah az-Zuhaili pada ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu keislaman, dengan tujuan menghubungkan orang
muslim dengan al-Qur’an berdasarkan hubungan logis dan erat.
Tafsir ini
ditulis setelah beliau selama rentang waktu 16 tahun setelah selesai menulis
dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Sebelum memulai penafsiran terhadap
surat pertama (al-Fatihah), Wahbah az-Zuhaili terlebih dahulu
menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an. Dan disajikan
dengan bahasa yang simple dan mudah dicerna.
Tafsir al_Munir diterbitkan pertama
kali oleh Dar al_Fikri Beirut-Libanon dan Dar al-Fikri Damsyiq
Suriya dalam 16 jilid pada tahun 1991 M/1411 H.
b. Motivasi dan Tujuan
Dalam Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini
adalah menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu’ran
secara ilmiah[6].
Dalam hal ini,
Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan Tafsir al-Munir ini adalah
memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena
menurut Wahbah az-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik
tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika kontemporer, sedangkan para
mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat
al-Quran dengan dalih pembaharuan[7]. Seperti penafsiran al-Qur’an yang
dilakukan oleh beberapa mufassir yang basic keilmuannya sains, oleh karena itu,
menurutnya, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan
metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada
penyimpangan interpretasi[8].
IV.
KAJIAN
TENTANG TAFSIR MUNIR
a.
Sumber-Sumber
(mashadir) Tafsir Munir
Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manahijuhum, mengatakan
bahwa pembahasan kitab tafsir ini menggunakan gabungan antara tafsîr bi
al-Ma’tsûr[9] dengan tafsîr bi ar-ra’yi[10], serta menggunakan gaya bahasa dan
ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi
generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, beliau membagi ayat-ayat berdasarkan
topik untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya[11].
Sedangkan
referensi-referensi yang digunakan Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir al-Munir
adalah sebagai berikut :
1.
Bidang
Tafsir
-
Ahkam
al-Qur’an
karya Ibn al-‘Arabi
-
Ahkam
al-Qur’an
karya al-Jashshas
-
Al-Kasyaf karya Imam Zamakhsyari
-
Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridho
-
Al-Jami’
fi Ahkam al-Qur’an karya Al-Qurtubi
-
Tafsir
Ath-thabary
karya Muhammad bin Jarir Abu Ja’far ath-Thabari
-
At-Tafsir
al-Kabir
karya Imam Fakhruddin ar- Razi
-
Majma’
al-Fatawa
karya Ibn Taymiyah
-
Fath
al-Qadir
karya Imam Asy-Sy aukani
-
Mahasin
at-Ta’wil
karya al-Qasimi
-
Mashahif karya Sajistani
-
Raudlat
an-Nadhir
karya
-
Ta’wil
Musykil al-Qur’an karya Ibn Qutaibah
-
Tafsir
al-Alusi
karya Syihab ad-Din Mahmud bin Abdillah
-
Tafsir
Al-Bahr al-Muhith karya Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf
-
Tafsir
al-Maraghi
karya Mushthafa al-Maraghi
-
Tafsir
Ayat al-Ahkam karya
Syaikh Muhammad ‘Ali as-Sayis
-
Tafsir Ibn
Kastir
Ismail bin Umar bin Katsir
-
Talkhis
al-Fawaid
karya Ibn al-Qash
-
Tafsir
al-Kkhazin
karya Abu Hasan Ali bin Muhammad
-
Tafsir
Baidhawi
karya Al-Baidhawi
2.
Bidang
Ulum al-qur’an
-
Asbab
an-Nuzul karya
al-Wahidi an-Naisaburi
-
Al-Itqan karya Imam suyuti
-
Dalail
al-I’jaz fi ‘ilm al-Ma’ani karya Imam Abd Qadir al-Jurjani
-
Mabahist
fi ‘Ulum al-qur’an karya Shubhi Shalih
-
Lubab
an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul karya Imam Suyuthi
-
Asbab
an-Nuzul
karya al-Wahidi
-
I’jaz
al-Qur’an
karya Imam al-Baqilani
-
I’jaz
al-qur’an
karya Imam Rafi’i
-
Gharaib
al-Qur’an wa Raghaib al-Furqon karya Hasan al-Qammi an-Naisburi
-
Al-Burhan
fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Zarkasyi
-
Tanasuq
ad-durar fi Tanasub as-Suwar karya Imam Suyuthi
3.
Bidang
Hadist
-
Al-Mustadrak karya Imam Hakim
-
Ad-dalail
an-Nubuwwah karya Imam Baihaqi
-
Al-kabir karya ath-Thabrani
-
Shahih
al-Bukhari
karya Muahammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari
-
Sunan
Tirmidzi
karyaMuhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa at-Tirmidzi
-
Musnad
Ahmad
bin Hambal
-
Nail
al-Authar
-
Subul
as-Salam
-
‘Umdat
al_Qari Sarh Al-Bukhari karya al-‘Aini
-
Musnad
Al-Fidaus
karya Ad-Dailami
-
Sunan Ibn
Majah
karya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yazid al-Qazwaini
-
Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj Abu
al-Husain
-
Sunan Abi
Dawud karya
Sulaiman bin Asy’ast bin Syadad
-
Sunan
Nasai
karya Ahmad bin Syu’aib Abu Abd ar-Rahman an-Nasai
4.
Bidang
Ushul Fiqh dan Fiqh
-
Bidayat
al-Mujtahid
karya Ibn Rusyd al-Hafidz
-
Al-Fiqh
al-Islami wa Adilatuh karya Wahbah az-Zuhaili
-
Usul
al-Fiqh al-Islami karya Wahbah az-Zuhaili
-
Ar-Risalah karya Imam Syafi’i
-
Al-Mushtafa karya Imam al-Ghazali
-
Mughn al-Muhtaj karya
5.
Bidang
Teologi
-
Al-Kafi karya Muhammad bin Ya’qub
-
Asy-Syafi
Syarh Ushul al-Kafi karya ‘Abdullah Mudhhaffar
-
Ihya ‘Ulum
ad-Din
karya Imam al-Ghazali
6.
Bidang
Tarikh
-
Sirah Ibn
Hisyam Abu
Muhammad bin Malik bin Hisyam
-
Muqaddimah karya Ibn Khaldun
-
Qashash
al-Anbiya
karya Abd al-Wahhab an-Najjar
-
Tarikh
al-Fiqh al-Islami karya Sayis
7.
Bidang
Luhgat
-
Mufradat
ar-Raghib
karya al-Ashfihani
-
Al-Furuq karya al-Qirafi
-
Lisan
al-‘Arab
karya Ibn al-Mandhur
8.
Bidang
Umum
-
Majallah
ar-Risalah
b.
Metode
(manhaj)
Dengan
mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa kitab ‘Ulum al-Qur’an
Secara metodis
sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap awal surat selalu
mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan
sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang
diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa, dengan menjelaskan
beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi
balaghah dan gramatika bahasanya[13].
Sehingga dengan
demikian maka metode penafsiran yang dipakai adalah metode tahlili[14] dan semi
tematik, karena beliau menafsirkan al-Qur’an dari surat al-Fatihah
sampai dengan surat an-Nas dan memberi tema pada setiap kajian ayat yang
sesuai dengan kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah
ayat satu sampai lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan
balasan bagi orang-orang yang bertaqwa[15]. Dan seterusnya sampai surat an-Nas
selalu memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan.
c.
Corak
(laun)
Ada
tujuh corak penafsiran seperti pendapat yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy
al-Farmawi dalam bukunya muqaddimah fi al-tafsir al-maudhu’i di
antaranya adalah: al-tafsir bi al-ma’tsur, al-tafsir bi al-ra’yi, altafsir
al-shufi, al-tafsir fiqh, al-tafsir falsafi, tafsir al-‘ilm, dan tafsir adabi
‘ijtima’i[16], maka corak tafsir al-Munir,
dengan melihat kriteria-kriteria yang ada penulis dapat simpulkan bahwa tafsir
tersebut bercorak ‘addabi ‘ijtima’i dan fiqhi, karena
memang Wahbah az-Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh namun dalam
tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti,
penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan
dalam di tengah-tengah masyarakat[17]. Sedikit sekali dia menggunakan tafsir bi
al-‘ilmi, karena memang sudah disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya
bahwa dia akan meng-counter beberapa penyimpangan tafsir kontemporer.
d.
Karakteristik
Karakteristik
Wahbah dalam penulisan tafsirnya adalah sebagai berikut:
·
Pengelompokan
tema.
·
Menyajikan
al-I’rab, al-balaghah, al-mufradat al-lughawiyah, asbab an-nuzul, at-tafsir
wa al-bayan, dan fiqh al-hayat aw al-ahkam pada tiap-tiap tema atau
ayat-ayat yang dikelompokan.
·
Mencantumkan
materi-materi yang dimuat dalam ushul al-Fiqh
·
Mengakomodir
perdebatan yang terjadi antar ulama madzhab pada tafsir ayat-ayat ahkam
·
Mencantumkan
catatan kaki (footnote) dalam pengutipan karya orang lain.
e.
Madzhab
Wahbah
dibesarkan di kalangan ulama-ulama madzhab Hanafi, yang membentuk pemikirannya
dalam madzhab fiqh, walaupun bermadzhab Hanafi[18], namun dia tidak fanatik dan menghargai
pendapat-pendapat madzhab lain, hal ini dapat dilihat dari bentuk penafsirannya
ketika mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan Fiqh.
Terlihat
dalam membangun argumennya selain menggunakan analisis yang lazim dipakai dalam
fiqh juga terkadang menggunakan alasan medis[19], dan juga dengan memberikan informasi
yang seimbang dari masing-masing madzhab, kenetralannya juga terlihat dalam
penggunaan referensi, seperti mengutip dari Ahkam al-Qur’an karya
al-Jashshas untuk pendapat mazhab Hanafi, dan Ahkam al-Qur’an
karya al-Qurtubi untuk pendapat mazhab Maliki.
Sedangkan dalam
masalah teologis, beliau cenderung mengikuti faham ahl al-Sunnah, tetapi tidak
terjebak pada sikap fanatis dan menghujat madzhab lain. Ini terlihat dalam
pembahasannya tentang masalah “Melihat Tuhan” di dunia dan akhirat, yang
terdapat pada surat al-An’am ayat 103[20].
f. Sistematika
Secara sistematika sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada
setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan
surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar.
Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu: Pertama,
aspek bahasa, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah
ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.
Kedua, tafsir dan bayan[21], yaitu deskripsi yang komprehensif
terhadap ayat-ayat, sehingga mendapatkan kejelasan tentang makna-makna yang terkandung
di dalamnya dan keshahihan hadis-hadis yang terkait dengannya. Dalam kolom ini,
beliau mempersingkat penjelasannya jika dalam ayat tersebut tidak terdapat
masalah, seperti terlihat dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat
97-98[22]. Namun, jika ada permasalahan diulasnya
secara rinci, seperti permasalahan nasakh dalam ayat 106 dari surat
al-Baqarah[23].
Ketiga, fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa
kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan
realitas kehidupan manusia[24]. Dan ketika terdapat masalah-masalah
baru dia berusaha untuk menguraikannya sesuai dengan hasil ijtihadnya.
Az-Zuhaili sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir al-Qur’an
yang didasarkan pada al-Qur’an sendiri dan hadis-hadis shahih, mengungkapkan asbab
an-nuzul dan takhrij al-hadis, menghindari cerita-cerita Isra’iliyat,
riwayat yang buruk, dan polemik, serta bersikap moderat[25].
Dengan melihat fakta data-data di atas, maka Wahbah Zuhaili memenuhi
sebagian besar kriteria yang diajukan oleh Khalid Abd ar-Rahman bagi
seorang mufassir, diantara kriterianya adalah sebagai berikut:
·
Muthabaqat tafsir dan
mufassir, dengan tidak mengurangi penjelasan makna yang diperlukan , tidak ada
tambahan yang tidak sesuai dengan tujuan dan makam serta menjaga dari
penimpangan makna dan yang dikehendaki al-Qur’an;
·
Menjaga makna haqiqi
dan makna majazi, yang dimaksud makna haqiqi tapi di bawa kedalam
makna majazi atau sebaliknya;
· Muraat
ta’lif antara makna dan tujuan yang sesuai dengan
pembicaraan dan kedekatan antar kata;
· Menjaga tanasub
antar ayat;
· Memperhatikan
asbab an-nuzul;
· Memulai
dengan bahasa, sharf dan isytiqaq (derivasi) yang berhubungan
dengan lafadz disertai dengan pembahasan dengan tarakib;
g.
Contoh
penafsiran Wahbah az-Zuahaili dalam Ayat Ahkam tentang Ibadah dan Muamalat
Dalam
menafsirkan ayat-ayat Ahkam Wahbah mengambil langkah-langkah, diantaranya:
Ø Menentukan dilalah nash yang
terdapat dalam ayat tersebut.
Ø Menentukan jenis ayat tersebut, apa mutasyabihat
atau muhkamat.
Ø Memperhatikan kaidah-kaidah yang
berlaku dalam isthinbat ayat ahkam.
Ø Memperhatikan kaidah umum yang
berhubungan dengan al-Qur’an.
Ada
dua aspek ayat ahkam yang ditafsirkan oleh Wahbah, yaitu, yang pertama,
aspek ibadah, diantara yang dikaji dalam aspek ini adalah permasalahan haid,
menghadap kiblat, dan shalat qashr. Wahbah hanya mengemukakan beberapa
pendapat yang berhubungan dengan shalat qashr, seperti pendapat ulama
Hanafi ulama Syafi`i mengenai hukum shalat qashr. Jika kalangan Hanafi
berpendapat bahwa shalat qashr bagi musafir adalah suatu keharusan `azimah
berdasarkan hadits Umar, maka kalangan Syafi`i menganggapnya rukhsah
atau takhyir berdasarkan Hadits ‘Aisyah,[27] dalam masalah ini Wahbah tidak
menentukan pendapat pribadinya dan tidak melakukan tarjih terhadap perbedaan
tersebut.
Kedua, aspek muamalat, diantara aspek
yang dikaji dalam masalah muamalat adalah kawin lintas agama, adil dalam
menetapkan hukum, etika memasuki rumah, dan ayat-ayat tentang gender.
Penulis
mengambil sampel penafsiran Wahbah tentang ayat ahkam dengan pertimbangan bahwa
beliau adalah seorang fuqaha, adapun sampel yang akan diambil adalah
tema “al-Haidh wa Ahkâmuhu” yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat
222-223[28], adapun lengkapnya terdapat dalam
lampiran makalah ini.
V.
PENUTUP
Tafsir
Al-Munir merupakan Tafsir kontemporer, yang disusun oleh seorang ahli Fiqh, dengan
gaya bahasa yang mudah dicerna dan difahami serta analisis-analisis yang
relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada masa sekarang dan
menjawab kegelisahan pengarang tentang keadaan jaman di mana kecenderungan pada
gaya hidup hedonisme masyarakat, semakin menjauhkannya dari al-Qur’an.
Tafsir
al-Munir hadir di tengah-tengah kegelisahan dan kehausan umat dalam memahami
al-Qur’an dan kandungan-kandungan yang ada di dalamnya. Wahbah cukup
mengakomodir perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, beliau nyaris tidak melihat
pendapat pribadi terhadap perbedaan pendapat ini tapi dengan menyajikan
pendapat dan kemungkinan mengambil semuanya dengan argumentasi masing-masing.
Referensi
____________________,Musnad
Al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, , (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.), Juz V.
Adz-Dzahabi,
Muhammad Husain, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah,
2000M) cet, 7
Al-Ak, Khalid Abd Rahman usul
at-tafsir wa qawa’iduh, (Dimasyq: dar an-nafais, 1986), Cet II.
al-Farmawi,
Abd al-Hayy, Muqaddimah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (tt, 1409H/1988M),
cet.III
Al-Qazwiny,
Muhammad ibn Yazid, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz
II.
Al-Turmudzi,
Abu Isa Muhammad Ibn ‘Isa Sunah Sunan At-Turmudzi, (Beirut: Dar al-Kutub
al ‘Ilmiyyah, t.th
Ash-Shabuni,
Muhammad ‘Ali, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Dimasyq : Maktbah
al-Ghazali, 1401 H/1981M)
Ayazi,
Sayyid Muhammad Ali, Al-Mufassirun Hayatun wa Manhajuhum, (Teheran:
Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al-Islam, th. 1993), cet. I., h. 684-685
Az-Zuhaili,
Wahbah, Al-Qur’an Al-Karim Bunyatul At-tasri’iyyah wa Khasha’ishuh al
Hadlariyyah, (Dimasyq : Dar al-Fikr, 1993) Cet. I
________________, Tafsir munir
fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Dimasyq : Dar al-Fikri,
1998), cet. I,
Hawwa, Sa’id, Tarbiyyatuna
ar-Ruhiyyah, (Dar al-salam, Cet. III, 1994).
http://www.abim.org.my/minda_madani/userinfo.php?uid=4, diakkses pada tgl 2 April 2008.
Shalih,Abd
Qadir, At-Tafsir wa al-Mufassirun fi ‘Ashr al-Hadis, Beirut : Dar
al-Fikr, 2003, cet. I
M. Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,
Bandung: Tafakkur, 2007.
[1] Mohd Rumaizuddin Ghazali, Wahbah Al-Zuhayli : Mufassir dan
Ahli Fiqh Terkenal Abad ini, http://www.abim.org.my/minda_madani/userinfo.php?uid=4, diakkses pada tgl 2 April 2008.
[2]
Sayyid
Muhammad Ali Ayazi, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum, (Teheran:
Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al-Islam, th. 1993), cet. I., h. 684-685,
lihat juga http://www.abim.org.my/minda_madani/modules/news/index.php?storytopic=5
[3] http://suryaningsih.wordpress.com/2007/10/03/tafsir-al-munir-fi-al-aqidah/ diakses
pada jam 09.48 WIB tanggal 2 April 2008.
[7] Seperti penafsiran yang dilakukan oleh mufassir yang
yang basic keilmuannya sains dan teknologi semisal Musthafa Mahmud yang
merupakan seorang teknokrat, dan Nasr Hamid Abu
Zayd.
Zayd.
[9] Yang dimaksud tafsir bi
al-ma’tsur adalah
tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an atau as-Sunnah atau
pendapat para sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt
tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan as-Sunnah
an-Nabawiyah, dengan demikian tafsir ini adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan
al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah an-Nabawiyah atau
menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat yang yang dikutip dari
para sahabat., lihat Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, at-Tibyan fi
‘Ulum al-Qur’an, (Dimasyq : Maktbah al-Ghazali, 1401 H/1981M), hlm. 63.
[10] Yang dimaksud tafsir bi
ar-ra’y adalah
penafsiran al-Qur’an yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah
mengenali terlebih dahulu Bahasa Arab sebagi aspeknya serta mengaenali
lafal-lafal Bahasa Arab dan segi-segi argumentasinya yang dibantu menggunakan sya’ir-sya’ir jahili
serta mempertimbangkan asbab an-nuzul dan
sarana-sarana lain yang dibutuhkan oleh mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an,
lihat Muhammad Husain adz-Dzahabi, At-Tafsir wa
al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000M) cet, 7, j. I, h. 183.
[12] Dalam melacak referensi yang
digunakan Wahbah az-Zuhaili penulis melakukan penulusuran perhalaman dari kitab
tersebut, karena di bagian akhir kitabnya beliau tidak mencantumkan daftar
pustaka, sehingga mungkin karena kelemahan saya ada beberapa refensi yang tidak
terdeteksi, untuk lebih akuratnya lihat catatan kaki Wahbah Az-Zuhaili, Tafsîr Al-Munîr Fi Al-‘Aqîdah wa Asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, j. I-j. XVI.
[14] Penafsiran ayat-ayat ak-Qur’an melalui
pendiskripsian makna yang terkandung di dalamnya dengan mengikuti urutan surat,
metode ini merupakan yang paling tua usianya. Lihat M. Izzan, Metodologi Ilmu
Tafsir, (Bandung: Tafakkur,2007), h. 104.
[15] Wahbah menafsirkan ayat-ayat ini dengan jelas dan
bahasa yang simpel dan mudah dipahami Lihat Wahbah, Tafsir al-Munir, h. 81-86.
[16]Lihat Abd al-Hayy al-Farmawi, mqaddimah fi al-Tafsir
al-Maudhu’i, (tt, 1409H/1988M), cet.III, h. 327.
[17]lihat Abd Qadir Shalih, At-Tafsir wa
al-Mufassirun fi ‘Ashr al-Hadis,(Beirut : Dar al-Fikr, 2003), cet. I, h. 325.
[19] Dalam menafsirkan adza bagi wanita yang menstruasi
dengan mengungkapkan beberapa alasan medis, lihat wahbah, Tafsir Munir, h.
[20] Menurutnya
abshar tidak bisa melihat hakekat Allah
yang dikaitkan dengan QS. Al-Baqarah 255,dan pendapat Ibnu Abbas bahwa abshar tidak bisa melihatNya di dunia Tetapi orang yang beriman
akan melihatNya di Akhirat dikaitkan dengan QS. Al-Qiyamat 22-23 dan hadist shahihain انكم سترون
ربكم يوم القيامة كما ترون القمر ليلة البدر,
lihat Wahbah az-Zuhaili, Tafsir munir,
(Dimasyq : Dar
al-Fikri, 1998), cet. I, h.315-316.
[21] Bayan, dapat dilihat di setiap tema penafsirannya,
yang dimaksud di sini adalah penjelasan dan penafsiran ayat sesuai dengan
argumen beliau dengan dukungan beberapa sumber dari bidang kajian yang
berhubungan, seperti kajian fiqh dia akan mengambil pendapat beberapa imam
mazhab dan dianalisis sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, di mana ketika ada
argument dari imam madzhab yang kurang cocok dengan kondisi zaman sekarang maka
beliau memasukan pendapatnya dengan argument yang logis, berbeda dengan bayan
yang dimaksud dalam tafsir Bintu Syati’ yang merupakan bayan dalam kajian
sastra Arab.
[22] Wahbah mengupas secara singkat dalam menafsiri ayat
ini, yang isinya tentang sikap Yahudi terhadap Jibril, para Malaikat dan para
Rasul. Lihat penafsiran Wahbah, Tafsir
Munir....,
h.232-237.
[23] Ayat ini membahas tentang penetapan naskh
al-ahkam asy-syar’iyyah, di mana Wahbah menafsiri ayat ini secara rinci dari
terjadinya naskh dalam al-Qur’an sampai macam-macam bentuk naskh yang ada
dalam al-Qur’an dan hukum syar’i. Lihat Wahbah, Tafsir munir…, h.257-267.
[25] Wahbah
Az-Zuhaili, Tafsîr Al-Munîr Fi Al-‘Aqîdah wa Asy-Syarî’ah wa al-Manhaj, Jilid I, h. 5-6.
[26] Khalid
Abd Rahman al-Ak, usul at-tafsir wa qawa’iduh, (Dimasyq: dar an-nafais, 1986), Cet II, h.81-82.
[28] Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam lampiran di bagian akhir makalah
ini, dimana ia maenafsirkan ayat ini dengan mengemukakan pendapat ulama-ulama
madzhab dan menganalisisnya dengan bahasa yang sederhana dan mudah
difahami, serta mengemukakan pendapatnya yang rasional dengan pendekatan medis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar