Senin, 31 Desember 2012

Metode Syarah Hadits


SYARAH
A.    Pengertian Syarah
            Kata syarah )syarh) diambil dari kata “syaraha, yashrahu, syarh” yang secara bahasa berarti menguaraikan dan memisahkan bagian sesuatu dari bagian lainnya.[1] Dalam tradisi para penulis kitab berbahasa Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matn (matan) suatu kitab.[2]
Dengan demikian istilah syarah tidak hanya uraian dan penjelasan atas naskah kitab dalam batas eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi (disertai penafsiran), sebagaimana dapat dilihat pada keumuman kitab-kitab syarah, baik syarah terhadap pada kitab haits maupun kitab lainnya. Selain itu, syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan terhadap suatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan terhadap sebagian dari kitab, bahkan uraian terhadap satu kalimat atau suatu hadits, juga disebut dengan syarah.
Maka dari itu apabila dikatakan syarah suatu kitab tertentu, seperti Syarah Shahih al-Bukhari, Syarah Alfiyyah al-‘Iraqi, dan Syarah Qurrat al-‘Ayn, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap kitab tersebut secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah hadits” secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap suatuhadits tertentu, yaitu ucapan, tindakan, atau ketetapan Rasulullah r beserta sanadnya.
Di samping itu, syarah tidak harus secara tertulis atau berbentuk kitab dan karya tulis lainnya, melainkan bisa juga secara lisan. Oleh karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan makna dan maksud suatu hadits, seperti dalam makalah dan artikel, dapat disebut syarah. Demikian juga uraian dan penjelasan had its secara lisan dalam proses belajar, pengajian, khutbah, ceramah, dan sejenisnya bisa juga disebut sebagai kegiatan mensyarah hadits.[3]

B.     Sejarang Singkat Syarah
Sejarah perkembangan syarah hadis, tentu sangat mengikuti perkembangan hadis. artinya, perkembangan syarah muncul setelah perkembangan hadis sudah mengalami beberapa dekade perjalanan. Dengan dasar ini sehingga para ulama terkadang berbeda dalam menentukan lahirnya syarah hadits. Di antaranya TM Hasbi al-Shiddieqy yang memposisikan perkembangan syarah hadits pada periode ketujuh, periode terakhir dari periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits yang dibuatnya.
Ketujuh periode yang dibuat TM Hasbi al-Shiddieqy adalah sebagai berikut: 1) Kelahiran hadits hingga Rasulullah r wafat; 2) Pembatasan riwayat; 3) Perkembangan periwayatan dan perlawatan mencari hadits, sejak 41 H sampai akhir abad ke-1 H; 4) Pembukuan hadits, selama abad ke-2 H; 5) Penyaringan dan seleksi hadits, selama abad ke-3 H; 6)Penghimpunan hadits-hadits yang terlewatkan, sejak  awal abad ke-4 H, sampai tahun 656 H; 7) Penulisan kitab-kitab syarah, kitab-kitab takhrij, dan sebagainya, sejak pertengahan abad ketujuh Hijriah.[4]
Selain TM Hasbi al-Shiddieqy, terdapat ulama lain yang relatif obyektif dalam memposisikan syarah hadits hadits dalam preodisasi perkembangan hadits dan ilmu hadits, yaitu Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli. Ia membaginya menjadi lima periode, dan periode terakhir adalah sistematisasi, penggabungan, dan penulisan kitab syarah sejak abad ke-4 Hijriah.[5]
Sedangkan penulis yang melakukan periodisasi sejarah perkembangan ilmu hadits adalah Nuruddin ‘Itr. Ia membagi sejarah perkembangan ilmu hadits menjadi tujuh tahap, yaitu: 1) kelahiran ilmu hadits, sejak masa sahabat hingga tahun 100 H; 2) Penyempurnaan, sejak awal abad kedua hingga awal abad ketiga Hijriah; 3) pembukuan ilmu hadits secara terpisah, sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah; 4) penyusunan kitab-kitab induk ilmu hadits, sejak pertengahan abad keempat sampai abad ketujuh Hijriah; 5) Pematangan dan penyempurnaan pembukuan ilmu hadits, sejak akhir abad ketujuh sampai abad kesepuluh Hijriah; 6) Kebekuan dan kejumudan, abad kesepuluh sampai abad keempat belas Hijriah; 7) kebangkitan kedua, abad keempat belas dan seterusnya.[6]
Akan tetapi karena kegiatan mensyarah hadits sebenarnya secara praktis telah terjadi pada saat kelahiran hadits itu sendiri, yaitu oleh Rasulullah r secara lisan dan dilanjutkan pada masa sahabat oleh para ulama mereka, maka periodisasi sejarah perkembangan syarah hadits tampaknya perlu dibedakan dengan periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa syarah hadits secara lisan sering dilakukan Rasulullah r dan para sahabat. Bila demikian, periode sejarah perkembangan syarah hadits secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga , yaitu syarah hadits pada masa kelahiran hadits (fi ‘ashr al-risalah), syarah hadits pada masa periwayatan dan pembukuan hadits (fi ‘ashr al-riwayah wa al-tadwin), dan syarah hadits setelah pembukuan hadits (ba’da al-tadwin).
a.       Syarah Hadits pada Masa Kelahirannnya (Fi ‘Ashr al-Risalah)
Masa kelahiran hadits sama dengan masa turunnya al-Qur’an, atau selama Nabi Muhammad r mengemban risalah yaitu sejak diangkat mnjadi nabi dan rasul hingga ia wafat. Segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi merupakan bayan kepada umatnya. Akan tetapi tidak semua sahabat mampu memahami setiap ucapan Nabi dengan baik, sehingga mereka menanyakan makna kata-kata tertentu secara langsung kepada Nabi atau kepada sahabat yang lain. Hal ini menunjukkan syarah hadits telah terjadi pada masa kelahiran hadits itu sendiri, dan penysyarahnya adlah Rasulullah r.[7]
b.      Syarah Hadits pada Masa Periwayatan dan Pembukuan Hadits (Fi ‘Ashr Al-Riwayah wa al-Tadwin)
Yang dimaksud dengan hadits pada masa periwayatan dan pembukuan hadits adalah kegiatan syarah hadits yang dilakukan secara lisan atau tulisan sejak masa sahabat hingga memasuki masa penulisan kitab-kitab syarah, yaitu dari dasawarsa kedua abad pertama Hijriah hingga akhir abad ketiga Hijriah. Periode ini dinamai masa periwayatan dan pembukuan hadits karena kedua kegiatan tersebut tidak pernah dapat dipisahkan, setidaknya selama batas waktu tersebut periwayatan dan pembukuan hadits berjalan seiring, karena periwayatan hadits juga berlangsung bedasarkan hafalan dan tulisan. Apabila periode ini diakhiri dengan munculnya kitab syarah, maka periode ini dapat berakhir pada akhir pertengahan abad keempat Hijriah, yaitu dengan lahirnya kitab syarah shahih al-Bukhari yang tertua berjudul A’lam al-Sunan karya al-Khaththabi (w. 388 H).[8]
c.       Syarah Hadits Pasca Pembukuan Hadits (Ba’da al-Tadwin)
Yang dimaksud dengan periode pasca pembukuan adalah berakhirnya penulisan-penulisan kitab-kitab hadits yang termasuk kategori al-Mashadir al-Ashliyyah, yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan hasil pencarian dan penelusuran hadits oleh penulisnya dengan sanad-nya sendiri, bukan kumpulan kutipan-kutipan hadits dari berbagai kitab, bukan himpunan di antara dua kitab atau lebih, dan bukan pula ringkasan dari kitab-kitab yang lain. Dasar pemikiran dari pembatasan awal periode ini adalah karena berakhirnya pembukuan hadits, maka penulisan syarah terhadap hadits tidak lagi tercakup dan menyatu dengan matan hadits seperti pada masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu, apabila dilihat dari kitab hadits yang terakhir disusun, maka periode ini berawal pada pertengahan –bahkan mungkin awal− abad kelima Hijriah, yaitu dengan disusunnya al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqiy (w. 458 H). Namun, apabila dilihat dari munculnya kitab syarah, boleh jadi periode ini berawal sejak pertama kali munculnya kitab syarah yang dikenal dengan sebagai kitab syarah tertua yaitu A’lam  al-Sunan karya al-Khaththabi (w. 388 H), yaitu syarah terhadap shahih al-Bukhari. Hal ini sesuai dengan periodisasi menurut al-Khuli di atas.[9]
C.     Metode Syarah Hadits
1.      Metode syarah matan hadits qawli
2.      Metode syarah matan hadits fi’li
Sebagaimana halnya dengan syarah matan hadits qawli, syarah matan hadits fi’li bertuuan untuk memberikan pemahaman kepada umat tentang maksud yang tersirat dalam tindakan yang bersangkutan, sehingga mereka dapat memahami dengan benar dan menjadikannya sebagai hujjah secara proposional serta terhindar dari kesalahpahaman. Maka dari itu mensyarah matan hadits fi’li harus ditempuh melalui langkah-langkah berikut:
a.       Menghimpun seluruh riwayat mengenai suatu tindakan yang sama atau serupa (takhrij al-hadits)
Dengan langkah ini akan ditemukan gambaran yang relatif lebih lengkap dibandingkan apabila berpegang kepada satu riwayat saja, karena sering sekali riwayat-riwayat tersebut saling melengkapi.
b.      Menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan kebahasaan untuk dipahami makna leksikal dan makan gramatikal riwayatnya.
Bagaimanapun wujud dari hadits-hadits fi’li itu adalah teks-teks berbahasa Arab yang berisikan laporan-laporan hasil pengamatan para sahabat atas tindakan Rasulullah r dalam berbagai konteks dan kesempatan.
c.       Mengkalsifikasikan

KRITERIA METODE SYARAH
CONTOH KITAB YANG MENGGUNAKAN METODE SYARAH


[1] Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, hlm. 381; lihat juga Muhammad bin Mukarram bin al-Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, t.t, jilid II, hlm. 497-498
[2] Ibid.
[3] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah
[4] Lihat misalnya TM Hasbi al-Shiddieqy, sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang , 1980, hlm. 46-47. Akan tetapi berdaskan fakta yang ada kitab syarah sudah ditulis sejak abad ke-4 dengan tersusunnya kitab Ma’alim al-Sunan Syarah Sunan Abi Dawud yang ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi al-Busti (319-388 H).
[5] Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khulli, Tarikh Funun al-Hadits, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.t, hlm. 12
[6] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, ,,,,: Dar al-Fikr, 1979, hlm. 36-72
[7] Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadits, 35-36
[8] Oibid., hlm. 40
[9] Ibid., hlm. 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar