SYARAH
A. Pengertian Syarah
Kata
syarah )syarh) diambil dari kata “syaraha, yashrahu, syarh” yang secara bahasa
berarti menguaraikan dan memisahkan bagian sesuatu dari bagian lainnya.[1]
Dalam tradisi para penulis kitab berbahasa Arab, istilah syarah berarti memberi
catatan dan komentar kepada naskah atau matn (matan) suatu kitab.[2]
Dengan demikian istilah syarah tidak hanya uraian dan
penjelasan atas naskah kitab dalam batas eksplanasi, melainkan juga uraian dan
penjelasan dalam arti interpretasi (disertai penafsiran), sebagaimana dapat
dilihat pada keumuman kitab-kitab syarah, baik syarah terhadap pada kitab haits
maupun kitab lainnya. Selain itu, syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan
terhadap suatu kitab secara keseluruhan, melainkan uraian dan penjelasan
terhadap sebagian dari kitab, bahkan uraian terhadap satu kalimat atau suatu
hadits, juga disebut dengan syarah.
Maka dari itu apabila dikatakan syarah suatu kitab
tertentu, seperti Syarah Shahih al-Bukhari, Syarah Alfiyyah al-‘Iraqi, dan
Syarah Qurrat al-‘Ayn, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap kitab tersebut
secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah hadits” secara mutlak,
maka yang dimaksud adalah syarah terhadap suatuhadits tertentu, yaitu ucapan,
tindakan, atau ketetapan Rasulullah r beserta sanadnya.
Di samping itu, syarah tidak harus secara tertulis atau
berbentuk kitab dan karya tulis lainnya, melainkan bisa juga secara lisan. Oleh
karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan makna dan maksud suatu
hadits, seperti dalam makalah dan artikel, dapat disebut syarah. Demikian juga
uraian dan penjelasan had its secara lisan dalam proses belajar, pengajian,
khutbah, ceramah, dan sejenisnya bisa juga disebut sebagai kegiatan mensyarah
hadits.[3]
B. Sejarang Singkat Syarah
Sejarah
perkembangan syarah hadis, tentu sangat mengikuti perkembangan hadis. artinya,
perkembangan syarah muncul setelah perkembangan hadis sudah mengalami beberapa
dekade perjalanan. Dengan dasar ini sehingga para ulama terkadang berbeda dalam
menentukan lahirnya syarah hadits. Di antaranya TM Hasbi al-Shiddieqy yang
memposisikan perkembangan syarah hadits pada periode ketujuh, periode terakhir
dari periodisasi sejarah perkembangan hadits dan ilmu hadits yang dibuatnya.
Ketujuh periode
yang dibuat TM Hasbi al-Shiddieqy adalah sebagai berikut: 1) Kelahiran hadits
hingga Rasulullah r wafat; 2) Pembatasan riwayat; 3) Perkembangan
periwayatan dan perlawatan mencari hadits, sejak 41 H sampai akhir abad ke-1 H;
4) Pembukuan hadits, selama abad ke-2 H; 5) Penyaringan dan seleksi hadits,
selama abad ke-3 H; 6)Penghimpunan hadits-hadits yang terlewatkan, sejak awal abad ke-4 H, sampai tahun 656 H; 7)
Penulisan kitab-kitab syarah, kitab-kitab takhrij, dan sebagainya, sejak
pertengahan abad ketujuh Hijriah.[4]
Selain TM Hasbi
al-Shiddieqy, terdapat ulama lain yang relatif obyektif dalam memposisikan
syarah hadits hadits dalam preodisasi perkembangan hadits dan ilmu hadits, yaitu
Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli. Ia membaginya menjadi lima periode, dan
periode terakhir adalah sistematisasi, penggabungan, dan penulisan kitab syarah
sejak abad ke-4 Hijriah.[5]
Sedangkan
penulis yang melakukan periodisasi sejarah perkembangan ilmu hadits adalah
Nuruddin ‘Itr. Ia membagi sejarah perkembangan ilmu hadits menjadi tujuh tahap,
yaitu: 1) kelahiran ilmu hadits, sejak masa sahabat hingga tahun 100 H; 2)
Penyempurnaan, sejak awal abad kedua hingga awal abad ketiga Hijriah; 3) pembukuan
ilmu hadits secara terpisah, sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat
Hijriah; 4) penyusunan kitab-kitab induk ilmu hadits, sejak pertengahan abad
keempat sampai abad ketujuh Hijriah; 5) Pematangan dan penyempurnaan pembukuan
ilmu hadits, sejak akhir abad ketujuh sampai abad kesepuluh Hijriah; 6)
Kebekuan dan kejumudan, abad kesepuluh sampai abad keempat belas Hijriah; 7)
kebangkitan kedua, abad keempat belas dan seterusnya.[6]
Akan tetapi
karena kegiatan mensyarah hadits sebenarnya secara praktis telah terjadi pada
saat kelahiran hadits itu sendiri, yaitu oleh Rasulullah r secara lisan dan dilanjutkan pada masa
sahabat oleh para ulama mereka, maka periodisasi sejarah perkembangan syarah
hadits tampaknya perlu dibedakan dengan periodisasi sejarah perkembangan hadits
dan ilmu hadits. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa syarah hadits secara lisan
sering dilakukan Rasulullah r dan para sahabat. Bila demikian, periode sejarah
perkembangan syarah hadits secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga , yaitu
syarah hadits pada masa kelahiran hadits (fi ‘ashr al-risalah), syarah hadits
pada masa periwayatan dan pembukuan hadits (fi ‘ashr al-riwayah wa al-tadwin),
dan syarah hadits setelah pembukuan hadits (ba’da al-tadwin).
a. Syarah Hadits pada Masa Kelahirannnya (Fi ‘Ashr
al-Risalah)
Masa kelahiran hadits sama dengan masa
turunnya al-Qur’an, atau selama Nabi Muhammad r mengemban risalah yaitu sejak diangkat mnjadi nabi dan
rasul hingga ia wafat. Segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi merupakan
bayan kepada umatnya. Akan tetapi tidak semua sahabat mampu memahami setiap
ucapan Nabi dengan baik, sehingga mereka menanyakan makna kata-kata tertentu
secara langsung kepada Nabi atau kepada sahabat yang lain. Hal ini menunjukkan
syarah hadits telah terjadi pada masa kelahiran hadits itu sendiri, dan
penysyarahnya adlah Rasulullah r.[7]
b. Syarah Hadits pada Masa Periwayatan dan
Pembukuan Hadits (Fi ‘Ashr Al-Riwayah wa al-Tadwin)
Yang dimaksud dengan hadits pada masa
periwayatan dan pembukuan hadits adalah kegiatan syarah hadits yang dilakukan secara
lisan atau tulisan sejak masa sahabat hingga memasuki masa penulisan
kitab-kitab syarah, yaitu dari dasawarsa kedua abad pertama Hijriah hingga
akhir abad ketiga Hijriah. Periode ini dinamai masa periwayatan dan pembukuan
hadits karena kedua kegiatan tersebut tidak pernah dapat dipisahkan, setidaknya
selama batas waktu tersebut periwayatan dan pembukuan hadits berjalan seiring,
karena periwayatan hadits juga berlangsung bedasarkan hafalan dan tulisan. Apabila
periode ini diakhiri dengan munculnya kitab syarah, maka periode ini dapat berakhir
pada akhir pertengahan abad keempat Hijriah, yaitu dengan lahirnya kitab syarah
shahih al-Bukhari yang tertua berjudul A’lam al-Sunan karya al-Khaththabi (w.
388 H).[8]
c. Syarah Hadits Pasca Pembukuan Hadits (Ba’da
al-Tadwin)
Yang dimaksud dengan periode pasca pembukuan
adalah berakhirnya penulisan-penulisan kitab-kitab hadits yang termasuk
kategori al-Mashadir al-Ashliyyah, yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan hasil
pencarian dan penelusuran hadits oleh penulisnya dengan sanad-nya sendiri,
bukan kumpulan kutipan-kutipan hadits dari berbagai kitab, bukan himpunan di
antara dua kitab atau lebih, dan bukan pula ringkasan dari kitab-kitab yang
lain. Dasar pemikiran dari pembatasan awal periode ini adalah karena
berakhirnya pembukuan hadits, maka penulisan syarah terhadap hadits tidak lagi
tercakup dan menyatu dengan matan hadits seperti pada masa-masa sebelumnya.
Oleh karena itu, apabila dilihat dari kitab hadits yang terakhir disusun, maka
periode ini berawal pada pertengahan –bahkan mungkin awal− abad kelima Hijriah,
yaitu dengan disusunnya al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqiy (w. 458 H). Namun,
apabila dilihat dari munculnya kitab syarah, boleh jadi periode ini berawal
sejak pertama kali munculnya kitab syarah yang dikenal dengan sebagai kitab
syarah tertua yaitu A’lam al-Sunan karya
al-Khaththabi (w. 388 H), yaitu syarah terhadap shahih al-Bukhari. Hal ini
sesuai dengan periodisasi menurut al-Khuli di atas.[9]
C. Metode Syarah Hadits
1. Metode syarah matan hadits qawli
2. Metode syarah matan hadits fi’li
Sebagaimana
halnya dengan syarah matan hadits qawli, syarah matan hadits fi’li bertuuan
untuk memberikan pemahaman kepada umat tentang maksud yang tersirat dalam
tindakan yang bersangkutan, sehingga mereka dapat memahami dengan benar dan
menjadikannya sebagai hujjah secara proposional serta terhindar dari kesalahpahaman.
Maka dari itu mensyarah matan hadits fi’li harus ditempuh melalui
langkah-langkah berikut:
a. Menghimpun seluruh riwayat mengenai suatu
tindakan yang sama atau serupa (takhrij al-hadits)
Dengan langkah ini akan ditemukan gambaran yang relatif lebih lengkap
dibandingkan apabila berpegang kepada satu riwayat saja, karena sering sekali
riwayat-riwayat tersebut saling melengkapi.
b. Menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan
kebahasaan untuk dipahami makna leksikal dan makan gramatikal riwayatnya.
Bagaimanapun wujud dari hadits-hadits fi’li itu adalah teks-teks berbahasa
Arab yang berisikan laporan-laporan hasil pengamatan para sahabat atas tindakan
Rasulullah r dalam berbagai konteks dan kesempatan.
c. Mengkalsifikasikan
KRITERIA METODE SYARAH
CONTOH KITAB YANG MENGGUNAKAN METODE SYARAH
[1] Al-Munjid fi al-Lughah,
Beirut: Dar al-Masyriq, hlm. 381; lihat juga Muhammad bin Mukarram bin
al-Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, t.t, jilid
II, hlm. 497-498
[4] Lihat misalnya TM Hasbi
al-Shiddieqy, sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang , 1980,
hlm. 46-47. Akan tetapi berdaskan fakta yang ada kitab syarah sudah ditulis
sejak abad ke-4 dengan tersusunnya kitab Ma’alim al-Sunan Syarah Sunan Abi
Dawud yang ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi
al-Busti (319-388 H).
[5] Muhammad ‘Abd al-‘Aziz
al-Khulli, Tarikh Funun al-Hadits, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.t, hlm. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar