DASAR
ONTOLOGI ILMU
MAKALAH
Diajukan untuk
memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Filsafat Ilmu yang dibina
oleh Bapak Didin
Komarudin, M.Ag
Disusun oleh:
Carim Fajarudin
Darman
Enjen Zaenal
Mutaqin
JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
1432 H/ 2011
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur
kita panjatkan kepada Allah SWT.
Shalawat dan salam kita panjatkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
karena atas hidayah-Nya-lah
makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah ini
penulis sampaikan kepada pembina mata kuliah Filsafat Ilmu, Bapak Didin
Komarudin, M.Ag.
sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah tersebut. Tidak lupa saya
ucapkan terima kasih kepada bapak dosen yang telah berjasa mencurahkan ilmu
kepada penulis dalam mengajar
mata kuliah ini.
Penulis memohon
kepada bapak khususnya, umumnya para pembaca
untuk memberikan saran perbaikan apabila menemukan kesalahan
atau kekurangan dalam sistematika
penulisan maupun dalam penyampaian isi. Selain itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada semua
pembaca demi lebih baiknya karya-karya tulis yang akan datang.
Bandung, 4 Maret 2011
Penulis
PENDAHULUAN
A.
Bidang Kajian Filsafat
Para filosof
berusaha memecahkan masalah-masalah yang penting bagi manusia, baik secara
langsung atau tidak langsung. Melalui pengujian yang kritis, filosof mencoba
untuk mengevaluasi informasi-informasi dan kepercayaan-kepercayaan yang kita
miliki tentang alam semesta serta kesibukan dunia manusia. Filosof mencoba
membuat generalisasi, sistematika, dan gambaran-gambaran yang konsisten tentang
semua hal yang kita ketahui dan kita pikirkan.
Dari latar
belakang kehidupan filosof, kita dapat melihat bahwa mereka berasal dari beraneka
ragam profesi, atau latar belakang sosial yang berbeda. Di antara filosof ada
yang memimpin agama seperti St.
Augustine, Berkeley, yang mencoba untuk memberikan penjelasan filsafatnya
dari sudut pandang agama. Beberapa filosof ada yang sebagai ilmuwan, seperti Rene Descartes, yang mencoba menafsirkan
arti pentingnya berbagai teori dan penemuan ilmiah. Kemudian John locke, Thomas Hobbes, Karl Marx dan
yang lainnya, di mana mereka berfilsafat dengan maksud untuk mempengaruhi
perubahan tertentu di dalam organisasi politik masyarakat.
Tanpa melihat
tujuan, pekerjaan, dan latar belakang sosialnya, para filosof telah
menyumbangkan suatu keyakinan mengenai pentingnya pengujian dan analisis yang
kritis terhadap pandangan-pandangan manusia, baik yang bersumber dari
pengalaman sehari-hari, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah, maupun yang
bersumber dari kepercayaan agama. Para filosof ingin menelusuri lebih mendalam,
apakah dapat dibuktikan kebenaran-kebenaran dari pandangan-pandangan dan
kepercayaan-kepercayaan manusia itu. Filosof ingin menemukan apa ide dasar atau konsep yang kita miliki, apa dasar pengetahuan kita,
dan standar (ukuran) apa yang dipakai untuk membuat pertimbangan yang baik.
Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaaan semacam ini, filosof merasa bahwa ia
dapat mencapai pemahaman yang lebih bermakna tentang alam semesta, dunia, dan
manusia.
Titus
mengemukakan ada tiga tugas utama dari
filsafat ialah:
1) Mendapatkan pandangan yang menyeluruh.
2) Menemukan makna dan nilai-nilai dari
segala sesuatu.
3) Menganalisis dan mengadakan kritik
terhadap konsep-konsep.[1]
Filsafat
tertarik terhadap aspek kualitatif daripada benda-benda atau segala sesuatu, terutama
dalam makna dan nilai-nilainya. Filsafat menolak, mengabaikan setiap aspek yang otentik
dari pengalaman manusia. Hidup mendorong kita untuk membuat pilihan dan
bertindak berdasarkan skala nilai-nilai. Filsafat berusaha memformulasikan
makna dan nilai-nilai dalam cara yang paling dapat diterima oleh akal. Filsafat
mencoba dan menentukan kebenaran dengan pengujian secara kritis asumsi-asumsi
serta konsep-konsep ilmu, semua lapangan ilmu.
B.
Apa yang Dibahas Filsafat
Filsafat adalah
berfikir secara radikal, sistematis, dan universal tentang segala sesuatu. Jadi
yang menjadi objek pemikiran filsafat ialah segala sesuatu yang ada. Semua yang
ada menjadi bahan pemikiran filsafat. Namun karena filsafat merupakan usaha
berfikir manusia secara sistematis, maka disini perlu mensistematisasi segala
sesuatu yang ada itu. Kita perlu mengklasifikasikan yang ada.
Immanuel
Kant mengajukan empat pokok pertanyaan yang
harus dijawab oleh filsafat, yaitu :
1) Was
darf ich hoffen :
Apakah yang boleh saya harapkan
2) Was
kann ich wissen :
Apakah yang dapat saya ketahui
3) Was
sol lich tun :
Apa yang harus saya perbuat
4) Was
is der mench :
Apakah manusia itu.
Menurut Kant,
pertanyaan
pertama dapat dijawab oleh metafisika; pertanyaan kedua dijawab oleh
epistemology; pertanyaan ketiga akan dijawab oleh etika; dan pertanyaan keempat
dapat dijawab oleh antropologi (antropologi filsafat). [2]
Butler
mengemukakan beberapa pokok masalah yang
dibahas dalam filsafat, dalam hal ini ia menyusun sistematika pembahasan
filsafat, yaitu :
1. Metafisika :
a. Theologi
b. Kosmologi
c. Antropologi
2. Epistemologi :
a. Hakikat pengetahuan
b. Sumber pengetahuan
c. Metode pengetahuan
3. Aksiologi :
a. Etika
b. Estetika[3]
Sidi
Gazalba mengemukakan bidang permasalahan
filsafat sebagai berikut :
1) Teori
pengetahuan :
Apa itu pengetahuan, dari mana asalnya atau sumbernya, apa hakikatnya,
bagaimana membentuk pengetahuan yang tepet dan benar, apa yang dikatakan
pengetahuan yang benar, mungkinkah manusia mencapai pengetahuan yang benar, dan
apa yang dapat diketahui manusia, dan sampai mana batasannya.
2) Metafisika
dengan pokok-pokok masalah : Filsafat hakikat atau ontologi, filsafat alam atau
kosmologi, filsafat manusia, dan filsafat ketuhanan atau thedycee.
3) Filsafat
Nilai yang membicarakan : Hakikat nilai, di
mana letak nilai (apakah pada bendanya atau pada perbuatannya atau pada orang
yang menilainya), kenapa terjadi perbedan nilai antara seseorang dengan orang
lain, siapakah yang menentukan nilai, mengapa perbedaan ruang dan waktu membawa
perbedaan penilaian.
Filsafat ini disebut Aksiologi.[4]
PEMBAHASAN
Metafisika
dan
Urgensi Teoritik dalam Filsafat Ilmu
A.
Pengertian
Secara
etimologis metafisika berasal dari kata “meta”
dan ”physika” (Yunani).
“meta” berarti sesudah, di belakang
atau melampaui, dan ”physika”, berarti
alam nyata. Kata fisik (physic) di
sini sama dengan “nature”, yaitu
alam. Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang mempersoalkan tentang
hakikat, yang tersimpul di belakang dunia fenomenal. Metafisika melampaui
pengalaman, objeknya di luar hal yang dapat di tangkap panca indra.[5]
Metafisika
mempelajari manusia, namun yang menjadi objek pemikirannya bukanlah manusia
dengan segala aspeknya, termasuk pengalamannya yang dapat ditangkap oleh indra.
Sosiologi mempelajari manusia dalam
bentuk kelompok sertya interaksinya yang dapat ditangkap indra serta yang
berada dalam pengalaman manusia; begitu juga psikologi, biologi, dan sebagainya.
Namun metafisika
mempelajari manusia melampaui atau di luar fisik manusia dan gejala-gejala yang
dialami manusia. Metafisika mempelajari siapa
manusia, apa tujuannya, dari mana asal manusia, dan untuk apa hidup di dunia
ini. Jadi metafisika mempelajari manusia jauh melampaui ruang dan waktu.
Begitu juga pembahasan tentanf kosmos maupun Tuhan, yang dipelajari adalah
hakikatnya, diluar dunia fenomenal (dunia gejala).
B.
Pembagian Filsafat Metafisika
Metafisika dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 1) ontologi, dan 2) metafisika khusus. Ontologi mempersoalkan tentang
esensi dari yang ada, hakikat adanya dari segala sesuatu wujud yang ada. Sedang
metafisika khusus, mempersoalkan theologi,
kosmologi, dan antropologi.
Theologi mempersoalkan
pertanyaan sekitar Tuhan, dan hubungan Tuhan dengan dunia realitas. Kosmologi mempersoalkan asal dan struktur dari
alam semesta. Sedangkan mempersoalkan siapakah sebenarnya manusia, bagaimana
hubungannya satu sama lainnya, bagaimana kedudukannya di dalam kosmos ini, dan
bagaimana hubungannya dengan Tuhan.[6]
1.
Ontologi
Ontologi terdiri dari dua suku
kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud
dan logos berarti ilmu, jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori
tentang wujud hakikat yang ada. Menyoal ontologi sebagai cabang filasafat yang
membicarakan tentang hakikat benda, bertugas untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan ”Apa sebenarnya realitas benda itu? Apakah sesuai dengan wujud
penampakannya atau tidak? Apakah kedudukan ilmu dalam ruang yang ada ini? Benarkah
ilmu itu ada?”[7]
Ontologi adalah salah satu di
antara tiga lapangan penyelidikan kefilsafatan. Cabang ini serinng disebut
sebagai cabang yang paling tua dan sekaligus paling utama. Thales adalah orang
Yunani poertama yang memikirkan persoalan ontologi. Ia adalah seorang filosof
bijaksana yang pertama kali merenungkan asal mula penciptaan alam. Atas
perenungannya terhadap air yang terdapat di mana-mana, ia sampai pada suatu
kesimpulan bahwa air merupakan subtansi terdalam yang menjadi asal mula dari
segala sesuatu. Hal terpenting dari pemikiran Thales ini, sebenarnya bukan pada
pendapatnya tentang air yang menjadi asal mula terjadinya segala sesuatu,
melainkan pada pendiriannya yang menyatakan bahwa mungkin segala sesuatu
berasal dari satu substansi yang sama, yang kemudian disebutnya bersumber dari
air.[8]
Bagi semua orang, segala
sesuatu dipandang apa adanya secara wajar. Apabila mereka menjumpai kayu,
daging, besi, air dan sebagainya, mereka memandangnya sebagai substansi yang
berdiri sendiri. Bagi kebanyakan orang pada waktu itu, tidak ada pemilahan
antara yang tampak (appearance) dengan yang nyata (reality).
Namun, Thales tidak demikian. Ia justru melihat sesuatu itu pada awal kejadian
atau awal penciptaannya. Ia tidak melihat realitas benda sebagaimana yang
terlihat dalam kasat mata. Perkembangan selanjutnya, para filosof kemudian
mengembangkan pemikirannya, khususnya pada sesuatu benda yang ada di balik
sesuatau yang nyata. Dengan demikian ontologi menjadi ilmu pengetahuan yang
paling universal, yakni membicarakan tentang hakikat sesuatu, baik tentang asal
mula penciptaan alam sebagaimana tergambar dalam perspektif pemikiran Thales,
dan sesuatau yang ada di balik performa yang terwujud sebagaimana yang
tergambar dalam pemikiran Plato.
Ontologi secara sederhana
dapat diartikan sebagai sesuatu tentang yang berada. Ia adalah pondasi
metafisika, meskipun Ontologi tidak secara otomatis disebut metafisika.
Ontologi mengajukan pertanyaan tentang yang berada, yakni sesuatau yang muncul
pada setiap orang dan pada setiap saat. Ontologi itu deskriptif, bukan
spekulatif. Ontologi berusaha mencari tahu struktur dasar yang dimiliki oleh yang
berada. Dari teori hakikat ontologi ini kemudian munculah beberapa aliran dalam
filsafat, antara lain: (i) filsafat idealisme; (ii) filsafat materialisme;
(iii) filsafat naturalisme.
a. Idealisme
Idealisme adalah suatu ajaran
kefilsafatan yang berusaha menunjukan agar manusia dapat memahami materi atau
tatanan kejadian-kejadian yang terdapat dalam ruang dan waktu sampai pada
hakekatnya yang terdalam. Aliran ini menyatakan bahwa yang sesungguhnya ada
dalam dunia, adalah idea. Segala sesuatu yang tampak dalam wujud nyata indrawi
hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya berada dari dunia
idea. Realitas yang sesungguhnya bukan pada sesuatu yang kelihatan, melainkan
pada sesuatu yang tidak kelihatan. Ada suatu transisi metafisik, berasal dari
India Kuno yang memandang bahwa dunia fisik adalah sesuatu ilusi. Pengalaman
adalah ilusi. Bahkan keanekaragaman itu adalah rupa belaka. Kelakuan dan jiwa
pribadi dianggap tidak mempunyai kepatutan pribadi.
Tokoh cukup penting dalam
aliran ini, menurut Lorens Bagus adalah George Barkeley (1685-1753). Menurut
George Barkeley, tidak ada substansi material dalam dunia ini. Segala substansi
terletak bukan pada aspek fisik melainkan pada substansi idea. Penyebutan kursi
atau meja misalnya, ia hanya merupakan koleksi idea yang ada dalam alam pikiran
sejauh yang dapat diserap. Pendapatnya ini kemudian dikembangkan oleh Fichte
(1762-1831) yang menyatakan bahwa: “yang mengadakan ialah “aku”. Aku sendiri
menghasilkan sesuatu yang bukan “Aku”. Dalam lawanan dialektis dengan bukan
“Aku” itu, “Aku” menjelmakan dirinya sendiri.
b. Materialisme
Aliran ini menolak hal-hal
yang tidak kelihatan. Menurut aliran ini, yang sesungguhnya ada adalah
keberadaannya yang bersifat material atau tergantung sama sekali terhadap
materi. Leukippos dan Demokritos (460-370 SM) dapat disebut sebagai cermin
filosof awal yang membangun teori ini. Leukippos dan Demokritos berpendapat
bahwa: “realitas yang sesungguhnya bukan Cuma satu, melainkan terdiri dari
banyak unsur. Unsur-unsur itu sendiri tidak terbagi yang kemudian disebutnya
sebagai “atom”. Thomas Hubbes (1588-1679) dapat disebut sebagai pelanjut
pemikiran leukippos dan Demokritos. Tokoh abad skolastik ini berpendapat bahwa:
“seluruh realitas adalah materi yang tidak bergantung pada gagasan dan pikiran
manusia”. Seluruh realitas yang tidak terwujud dalam bentuk materi berada di
dalam gerak. Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) berpendapat bahwa ”alam
material adalah realitas yang sesungguhnya”. Konsep materialisme inilah,
sesungguhnya yang paling dikhawatirkan oleh kaum agamawan. Sebab berkembangnya
aliran ini akan membawa konsekwensi pada pengingkaran wujud yang tidak
terjangkau oleh alat indera yang sangat terbatas itu, karena ia berwujud di
alam yang tidak terwujud dalam perspektif inderawi.
c. Naturalisme
Naturalisme adalah suatu
aliran yang mengajarkan bahwa apa yang dinamakan kenyataan adalah segala
sesuatu yang bersifat kealaman. William R. Dennes termasuk tokoh penting dalam
aliran ini. Ia berpagangan bahwa kategori pokok untuk memberikan keterangan
mengenai kenyataan adalah “kejadian”. Kejadian dalam ruang dan waktu merupakan
satuan-satuan yang menyusun kenyataan yang ada. Hanya satuan-satuan semacam
itulah yang menjadi satu-satunya penyusun dasar bagi segenap hal yang ada.
Dalam pandangan kaum naturalistik, terdapat tiga persoalan yang selalu hidup
dalam wacana pemikiran kefilsafatan, ketiga persoalan itu adalah: proses,
kualitas dan relasi.
Selain Idealisme,
Materialisme, dan Naturalisme, ada pula aliran lain dalam ontologi yaitu
Dualisme, Skeptisisme, dan Agnostisisme.[9]
2. Metafisika Khusus
Metafisika khusus adalah
cabang filsafat yang paling kuno yang ada dalam objek kefilsafatan. Cabang ini
membicarakan tentang alam, Tuhan dan manusia. Persoalan eksistensi ketiga
persoalan inilah yang telah menjadi dialektika menarik di awal kelahiran
filsafat awal di Yunani kuno yang berhasil melogoskan mitos.
a. Kosmologi
Kosmologi berasal dari bahasa
Yunani, cosmos yang berarti dunia atau ketertiban. Kata ini merupakan lawan
dari kata chaos (kacau balau dan tidak tertib). Sedangkan logy (logos) berarti
percakapan atau ilmu. Dengan demikian, kosmologi dapat diartikan sebagai ilmu
yang membahas tentang alam fisik atau jagat raya. Aliran filsafat ini
menjadikan jagat raya sebagai objek penyelidikan ilmu-ilmu alam, khususnya ilmu
fisika.
Kosmologi membagi alam pada
dua jenis penyelidikan. Pertama, alam, fisikdijadikan sebagai objek
penyelidikan kefilsafatan. Istilah-istilah pokok yang terdapat dalam fisika,
misalnya ruang dan waktu; Kedua, pra-anggapan yang terdapat dalam fisika
sebagai ilmu tentang jagat raya. Pembahasan ini entu saja melihat alam dalam
perspektif yang pertama. Sebab alam dalam perspektif yang kedua, masuk kedalam
wilayah kajian fisika sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan telah tercabut dari
filsafat sebagai induknya ilmu pengetahuan.
Kosmologi sebagai aliran
metafisika, dengan demikian dapat dipandang sebagai suatu aliaran yang
memandang bahwa alam adalah suatu totalitas dari fenomena dan berupaya
memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah dalam suatu kerangka yang
koheren. Persoalan yang sering dibahas dalam aliaran ini adalah mengenai ruang,
waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan dan keabadian. Metode yang
digunakannya bersifat rasional. Secara sederhana, kosmologi adalah cabang
filsafat yang membicarakan tentang hakekat atau asal usul alam semesta.
Berhubungan dengan konsep seperti itu, maka kosmologi merupakan tempat persemaian
bagi apa saja yang ada, karena ruang dan waktu merupakan keadaan yang nyata dan
paling dalam.
b. Teologi Metafisik
Aliran ini mempersoalkan
tentang eksistensi Tuhan yang bebas dari ikatan agama. Eksistensi atau
perwujudan Tuhan dibahas secara rasionsl dalam perspektif kefilsafatan.
Konsekwensi atas dibahasnya Tuhan, maka Ia telah menjadi objek sistem filsafat
yang perlu dianalisis dan dipecahkan melalui metode ilmiah. Tuhan dilepaskan
dari doktrin-doktrin agama.
Bagi penganut aliran
metafisik-teologis, Tuhan ada dan Ia dapat dibuktikan secara rasional. Seluruh
makhluk di muka bumi ini merupakan cerminan dari cahaya Tuhan yang maha kudus
dan maha kuasa atas segala yang ada. Pendapat ini dalam perkembangan
selanjutnya mengkristal dalam aliran filsafat yang disebut dengan monism.
Jika sistem kefilsafatan
monisme yang dimaksud, maka sejatinya aliran ini telah ada sejak jaman Yunani
Kuno. Aliran ini telah ada dan bahkan termasuk persoalan filsafat yang
kokoh dipertahankan masyarakat. Meski
rintangan terhadapnya demikian besar dan terkesan bertolak belakang dengan
aliran filsafat formal yang ada. Sejak jaman Parmenides (515-450SM) aliran ini
telah ada. Ia menyatakan bahwa: “yang mengada itu mengada; mustahil sekaligus
tidak mengada. Andaikan ada kejamakan, itu terjadi lebih disebabkan karena
terdapat perbedaan satu sama lain. Jadi, menurut Parmanides, mustahil ada
perbedaan dan kejamakan. Adanya kenyataan yang seolah seperti itu hanya
khayalan dan semu. Yang mengada hanya satu dan tidak terbagi; bersifat sempurna
dan komplet bagaikan bola bulat.
c. Filsafat Antropologi
Filsafat Antropologi adalah
cabang dari metafisika khusus yang membicarakan tentang manusia. Apakah hakekat
manusia? Bagaimana hubungan antara manusia dan alam? Bagaimana hubungan manusia
dan manusia? Filsafat antropologi berupaya menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut apa adanya, baik menyangkut esensi, eksistensi
maupun status relasinya.
“Kamu tidak dapat mengubah
watak manusia”. Pernyataan ini sering ditolak oleh kaum reformer sebagai satu
ucapan putus asa dan suatu alasan yang sangat mudah untuk bersikap masa bodoh
terhadap kekalutan dunia. Meski demikian, kata-kata itu memiliki aspek positif.
Mengatakan bahwa watak manusia tidak dapat diubah berarti bahwa watak manusia
itu merupakan suatu kenyataan dan begitu pula bahwa watak tersebut itu sangat
berharga.
Plato membagi manusia menjadi
dua bagian. Pertama bagian tubuh dan kedua bagian jiwa. Tubuh menurut Plato
adalah musuh jiwa. Berbagai kejahatan dilakukan oleh tubuh manusia. Jiwa yang
terdapat dalam tubuh yang demikian seperti penjara, jiwa sendiri menurut Plato
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: nous (akal), thumos (semangat) dan epithumia
(nafsu). Karena terpengaruh oleh nafsu, maka jiwa manusia terpenjara dalam
tubuh.[10]
C. Metafisika dan Filsafat Ilmu
Bembincangkan persoalan
metafisika dan hubungannya dengan filsafat ilmu, sepintas memang seperti
berjalan sendiri yang satu sama lain saling tidak terkait. Namun, jika ditelaah
lebih lanjut, hubungan antara keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang sulit
dipisahkan dan mungkin hanya dapat dibedakan. Filsafat ilmu berkepentingan
membicarakan masalah metafisika lebih disebabkan karena hampir tidak ada satu
ilmu pun yang terlepas dari persoalan metafisika. Di samping itu, ada beberapa
peran yang diperoleh ilmu pengetahuan melalui pengkajian metafisika. Di antara
peran-peran itu adalah:
1.
Metafisika mengajarkan cara berpikir yang cermat
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat enigmatik
(teka-teki).
2.
Metafisika menuntut originalitas berpikir yang
sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan.
3.
Metafisika memberikan bahan pertimbangan yang
matang bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama pada wilayah praanggapan-praanggapan, sehingga persoalan
memiliki landasan pijakan yang kuat.
4.
Metafisika membuka peluang bagi terjadinya perbedaan
visi di dalam melihat realitas, karena tidak ada kebenaran yang benar-benar
absolut.[11]
KESIMPULAN
Metafisika berasal dari bahasa Yunani, meta
dan physika. Meta berarti sesudah atau dibalik, sedangkan physika
berarti nyata. Jadi metafisika adalah sesudah fisika atau sesuatu dibalik yang
nyata. Metafisika dibagi kedalam dua bagian yakni metafisika umum (ontologi)
dan metafisika khusus. Ontologi adalah
cabang filsafat yang membahas tentang hakikat wujud yang ada. Ontologi bergerak
di antara dua kutub, yaitu antara pengalaman akan kenyataan konkrit dan
pengertian “pengada” yang paling umum. Dalam pengertian ini kedua kutub saling
menjelaskan. Ontologi sering juga disebut sebagai metafisika umum, dalam pembahasannya
ontologi melahirkan berbagai alairan filsafat diantaranya:
1.
Idealisme: adalah suatu ajaran kefilsafatan yang
berusaha menunjukan agar manusia dapat memahami materi atau tatanan
kejadian-kejadian yang terdapat dalam ruang dan waktu sampai pada hakekatnya
yang terdalam. Aliran ini menyatakan bahwa yang sesungguhnya ada dalam dunia
adalah idea.
2.
Materialisme: aliran ini menolak hal-hal yang
tidak kelihatan, menurut aliran ini hakikat sesuatu adalah materi atau hakikat
benda adalah materi benda itu sendiri.
3.
Naturalisme: adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa apoa yang dinamakan kenyataan adalah segala sesuatu yang
bersifat kealaman.
Bagian kedua dalam metafisika adalah metafisika
khusus. Ini adalah cabang filsafat yang paling kuno yang terdapat dalam objek
kefilsafatan. Cabang ini membicarakan tentang alam, Tuhan, dan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abid,
Mohammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010
Salam,
Burhanuddin, Logika Material Filsafat
Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997
Sumarna,
Cecep, Filsafat Ilmu, Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar