REVIEW TAFSIR AL-QURAN BACAAN MULIA
KARYA HB JASSIN
Oleh: Darman, Enjen Zaenal Mutaqin, Fahmi Muhammad
Tosin
A. Pendahuluan
Al
Qur’an yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam
Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi manusia” dan memberikan
“penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun
yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa
kandungan al Qur’an bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada
tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks
waktu. Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai
dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan
tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al
Qur’an.
Perkembangan penafsiran al Qur’an di Indonesia agak
berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat
turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan
tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa.
Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan
berarti untuk memahami bahasa al Qur’an sehingga proses penafsiran juga cepat dan pesat. Hal ini berbeda dengan
bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu proses
pemahaman al Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al Qur’an ke
dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang
lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran
al Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan
yang berlaku di tempat asalnya.
Dari
segi pembabakan, Howard M.
Federspiel pernah melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al
Qur’an di Indonesia ke dalam tiga generasi. Generasi pertama dimulai sekitar
awal abad XX sampai dengan tahun 1960-an. Era ini ditandai dengan penerjemahan
dan penafsiran yang didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung
pada surat-surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua, yang muncul
pada pertengahan 1960-an, merupakan penyempurnaan dari generasi pertama yang
ditandai dengan adanya penambahan penafsiran berupa catatan kaki, terjemahan
kata per kata dan kadang disertai dengan indeks sederhana. Tafsir generasi
ketiga, mulai tahun 1970-an, merupakan penafsiran yang lengkap, dengan
komentar-komentar yang luas terhadap teks yang juga disertai dengan terjemahnya.
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Federspiel
ini tidak sepenuhnya benar. Fakta menunjukkan bahwa pada periode pertama sudah
ada karya tafsir yang sudah merupakan penafsiran lengkap seperti Tarjuman al
Mustafid karya Abdul Rauf al Singkili dan Marah Labid karya Syekh
Muhammad Nawawi. Demikian juga pada periode kedua sudah terdapat tafsir lengkap
30 juz dengan komentar yang luas seperti tafsir al Azhar karya Hamka,
hanya saja secara umum karya yang ada memang cenderung seperti yang dikemukakan
oleh Federspiel.
Perkembangan
terakhir dari kajian tafsir di Indonesia menunjukkan karya tafsir yang mengarah
pada kajian tafsir maudhu’i. Hal ini banyak dipelopori oleh Quraish Shihab,
yang banyak menghasilkan beberapa buku tafsir tematik seperti Lentera Hati,
Membumikan al Qur’an dan Wawasan al Qur’an. Kecenderungan ini
kemudian diikuti oleh para penulis yang lain dan makin disemarakkan dengan
berbagai kajian tematik dari tesis dan disertasi di berbagai perguruan tinggi
Islam.
Dalam konteks perkembangan tafsir di Indonesia, terjemah al Qur’an juga dimasukkan ke dalam bagian karya tafsir
karena pada dasarnya terjemah juga merupakan upaya untuk mengungkapkan makna al
Qur’an ke dalam bahasa lain. Artinya di dalamnya terdapat unsur interpretasi
manusia terhadap ayat-ayat al Qur’an meskipun dalam bentuk yang sederhana,
terlebih di dalamnya juga disertai dengan catatan kaki tentang makna satu ayat.
Terjemah al Qur’an juga dimasukkan ke dalam bagian karya tafsir karena pada
dasarnya terjemah juga merupakan upaya untuk mengungkapkan makna al Qur’an ke
dalam bahasa lain. Artinya di dalamnya terdapat unsur interpretasi manusia
terhadap ayat-ayat al Qur’an meskipun dalam bentuk yang sederhana, terlebih di
dalamnya juga disertai dengan catatan kaki tentang makna satu ayat.
Dalam tulisan ini, penulis akan menyuguhkan review
atas tafsir Bacaan Mulia karya HB Jassin yang meliputi biografi penulis,
latar belakang penulisan, metode, contoh penafsiran, dan gagasan revolusioner
penulis dalam tafsirnya.
B. Biografi Penulis
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin
selalu dihubungkan dengan dokumentasi sastra Indonesia dan H.B Jassin adalah
orang yang secara penuh mencurahkan perhatiannya kepasda kerja dokumentasi.
Itulah sebabnya, orang yang bermaksud mencari informasi tentang sastra
Indonesia tidak dapat melepaskan dirinya dengan hasil pengumpulan bahan
dokumentasi yang disusun oleh H.B Jassin.Kerja dokumentasi bagi H.B Jassin
adalah kerja yang sudah dimulainya sejak mudanya dengan penuh kecintaan.
Ia berasal dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Bague Mantu Jassin,
pegawai BPM (Bataafsche Petroleum Maat-schappij), pernah bertugas di
Balikpapan, sehingga kota itu meninggalkan kenang-kenang yang manis baginya.
Ibunya Habiba Jau, sangat mencintainya. Di kota Medan ia banyak berkenalan
dengan seniman dan para calon seniman, diantaranya Chairil Anwar. Dalam
perjalanannya pulang ke Gorontalo tahun 1939, ia mampir untuk bertemu dengan
Sutan Takdir Alisjahbana di Jakarta. Takdir sengat terkesan dengan Jassin dan
mengirim surat ke Gorontalo, menyatakan ada lowongan di Balai Pustaka. Rupanya
surat itu berlayar bersama-sama dengan Jassin ke Gorontalo. Untuk menyenangkan
orang tuanya, ia bekerja di kantor Asisten Rsiden Gorontalo antara bulan
Agustus sampai Desember 1939, sebagai tenaga magang.
Pada bulan Januari 1940, Jassin mendapat izin dari orang tuanya untuk
memenuhi permintaan Sutan Takdir Alisjahbana.Pada bulan Februari 1940, H.B
Jassin mulai bekerja di Balai Pustaka.Ia mula-mula duduk dalam sidang pengarang
redaksi buku di bawah bimbingan Armijn Pane pada tahun 1940-1942 dan kemudian
menjadi redaktur majalah Panji Pustaka tahun 1942-1945. Setelah Panji Pustaka
diganti menjadi Panca Raya, ia menjabat wakil pemimpin redaksi di tahun 1943
sampai dengan 21 Juli 1947.Tanggal 21 Juli 1947 itulah akhir kariernya di Balai
Pustaka.
Setelah keluar dari Balai Pustaka, H.B Jassin secara terus-menerus
bekerja dalam lingkungan majalah sastra-budaya. Ia menjadi redaktur majalah
Mimbar Indonesia ditahun 1947-1966, majalah Zenith ditahun 1951-1954, majalah
Bahasa dan Budaya ditahun 1952-1963, majalah Kisah tahun 1953-1956, majalah
Seni tahun 1955 dan majalah Sastra ditahun 1961-1964 dan tahun 1967-1969.
Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai
Pustaka (1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan Pemberian Anugerah Seni
Bidang Sastra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975), anggota juri
Sayembara Kincir Emas oleh radio Wereld Omroep Nederland (1975), anggota
Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang disumpah (1979-1980), Extrernal
assessor Pengajian Melayu, Universiti Malaya (1980-1992), anggota Komisi Ujian
Tok-Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29 tahun International Congress of
Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli 1973, penasehat Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa ditahun 1973-1982, anggota dewan juri Sayembara Mengarang
Novel Kompas-Gramedia tahun 1978, ketua dewan juri Sayembara Novel Sarinah di
tahun 1983, anggota dewan juri Pegasus Oil Indonesia pada tahun 1984 dan ketua
dewan juri Sayembara Cerpen Suara Pembaruan ditahun 1991.
Pada tahun 1964, ia dipecat dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia
karena keterlibatannya dalam Manifes Kebudayaan. Pemecatan itu berlangsung ejak
dilarangnya Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno 8 Mei 1964 sampai
meletusnya G30S/PKI tahun 1965.
Cerpen Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, yang dimuat HB Jassin
dalam Sastra, 1971, sempat dianggap ''menghina Tuhan''. Di pengadilan, ia
diminta mengungkapkan nama Ki Panji Kusmin sebenarnya. Permintaan ditolaknya.
Pada tanggal 28 Oktober 1970 ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara
dengan masa percobaan dua tahun.
Sejak tahun 1940, H.B Jassin telah mulai membina sebuah perpustakaan
pribadi. Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di kantor Asisten Residen
di Gorontalo sangat berguna bagi pendokumentasian buku.
Pada tanngal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin
yang menggantikan Dokumenrasi Sastra, Sejak akhir September 1982 s/d sekarang
bangunan itu berdiri dan menempati areal seluas 90 meter persegi dalam komplek
Taman Ismail Marzuki, jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat.
Sejarah mencatat, sepanjang hidupnya HB Jassin menumpahkan perhatiannya
mendorong kemajuan sastra-budaya di Indonesia. Berkat ketekunan, ketelitian dan
ketelatenannya, ia dikenal sebagai kritisi sastra terkemuka sekaligus
dokumentator sastra terlengkap. Kini, kurang lebih 30 ribu buku dan majalah
sastra, guntingan surat kabar, dan catatan-catatan pribadi pengarang yang
dihimpunnya tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Begitu besarnya pengaruh H.B. Jassin di antara kalangan sastrawan, Gajus
Siagian (almarhum) menjulukinya “Paus Sastra Indonesia”. Saat itu berkembang
suatu ‘keadaan’ dimana seseorang dianggap sastrawan yang sah dan masuk dalam
‘kalangan dalam’ bila H.B. Jassin sudah ‘membabtisnya’. Meski kedengarannya
berlebihan namun begitulah adanya.
Saat itu, ada beberapa pengarang yang lama berada di ‘kalangan luar’
sebelum akhirnya diakui masuk dalam ‘kalangan dalam’ seperti Motinggo Busye,
Marga T yang aktif produktif mengarang, dan penulis novel pop lainnya. Padahal
karya-karya mereka cukup baik, berseni dan bernilai tinggi.Mereka bergabung
menjadi ‘kalangan dalam’ karena "pengaruh besar kepausan" H.B.
Jassin.H.B. Jassin jugalah yang menobatkan Chairil Anwar sebagai pelopor
Angkatan '45.Lebih dari 30 tahun, julukan itu disandangnya.
Jassin rajin dan tekun mendokumentasikan karya sastra, dan segala yang
berkaitan dengannya.Dari tangannya lahir sekitar 20 karangan asli, dan 10
terjemahan. Yang paling terkenal adalah Gema Tanah Air, Tifa Penyair dan
Daerahnya, Kesusasteraan Indonesia Baru Masa Jepang, Kesusasteraan Indonesia
Modern dalam Kritik dan Esai (empat jilid, 1954-1967) dan tafsir Alquran dalam
buku Qur'an Bacaan Mulia. Pada saat ulang tahunnya ke-67, PT Gramedia
menyerahkan ''kado'' buku Surat-Surat 1943-1983 yang saat itu baru saja terbit.
Di dalamnya terhimpun surat Jassin kepada sekitar 100 sastrawan dan seniman
Indonesia.
H.B. Jassin mempunyai prinsip kuat dan jujur.Mengomentari buku Pramudya
Ananta Toer, Bumi Manusia, ia menilainya tidak mengandung hal-hal yang
melanggar hukum.Pelarangan terhadap buku itu lebih banyak karena dikarang oleh
bekas tokoh lekra.
Wafat
Pria gemuk pendek ini menikah tiga kali.Istri pertama, Tientje van
Buren, wanita Indo yang suaminya orang Belanda yang disekap Jepang, pisah
cerai. Lalu Arsiti, ibu dua anaknya, meninggal pada 1962. Sekitar 10 bulan
kemudian ia menikahi gadis kerabatnya sendiri, Yuliko Willem, yang terpaut usia
26 tahun. Yuliko juga memberinya dua anak. Dari kedua istri ini, ia memiliki
empat anak, yakni Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Yulius Firdaus Jassin,
Helena Magdalena Jassin, 10 orang cucu, dan seorang cicit.
Ia meninggal pada usia 83 tahun, Sabtu dini hari, 11 Maret 2000 saat
dirawat akibat penyakit stroke yang sudah dideritanya selama bertahun-tahun di
Paviliun stroke Soepardjo Rustam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Sebagai penghormatan, ia dimakamkan dalam upacara kehormatan militer "Apel
Persada" di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.
RIWAYAT
SINGKAT
Nama :Hans
Bague Jassin
Lahir : Gorontalo, 31 Juli 1917
Wafat :11
Maret 2000
Pendidikan
:SD, Gorontalo (1932),HBS Medan (1939),Fakultas Sastra Universitas Indonesia
(1957),pernah kuliah di Universitas Yale, Amerika Serikat (1959),Doctor Honoris
Causa dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1975),menguasai bahasa
Inggris, Belanda, perancis dan Jerman.
Profesi
:Sekretaris redaksi Pujanggan Baru (1940-1942), Penasehat Balai Pustaka
(1940-1952), Gapura (1949-1951), Gunung Agung (1953-1970), Nusantara
(1963-1967), Pustaka Jaya (1971-1972), dan Yayasan Idayu (1974-1992), Redaksi
penyusun Daftar Pustaka Bahasa dan Kesusastran Indonesia (1969-1972).Redaksi penyusun buku dr. Irene
Hilgers-Hesse (editor), Perlenim Reisfeld (1972).Redaksi penyusun Almanak
sastra Indonesia I Daftar Pustaka (1972).Penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa (1973-1982).
Prestasi :Tokoh
Pembukuan Nasional (2 Mei 1996), Penghargaan dari pengurus pusat IKAPI atas
jasa-jasanya kepada perbukuan di Indonesia (17 Oktober 2000)
Karya Tulis :Tifa Penyair dan Daerahnya (1952),Kesusastraan Indonesia
Modern Dalam Kritik dan Esei I-IV (1954),Heboh Sastra 1968 (1970),Sastra
Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983),Pengarang Indonesia dan Dunianya
(1983),Surat-Surat 1943-1983 (1984),Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa
(1993),Koran dan Sastra Indonesia (1994),
Darah Laut :
Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997),Omong-Omong HB. Jassin (1997).
C. Latar Belakang Penulisan
Ketika
istri HB Jassin meninggal dunia pada 12 Maret 1962, peristiwa ini cukup
menggugah beliau. Dalam pengajian selama tujuh malam, dia mengaji terus sampai
selesai 30 juz dalam tujuh hari. Pada malam kedelapan, ketika rumah sepi, dia
meneruskan mengaji seorang diri. Tidak puas dengan sekedar membaca saja, dia
mulai mempergunakan beberapa buku terjemahan untuk mendalami dan meresapi isi
kitab suci itu.
Berikut ini adalah kutipan
tulisan HB Jassin pada pendahuluannyadalam tafsir Bacaan Mulia:
Saya merasa tumbuh jiwa dan pengetahuan saya karena menyelami
hikmah-hikmah yang terkandung dalam al-Quran, ayat-ayat yang mustahil adalah
bikinan manusia tapi firman-firman Tuhan sendiri. Keyakinan ini saya resapi
kebenarannya, karena ayat-ayat itu meliputi masalah-masalah kehidupan yang amat
luas serta tinggi dan dalam maknanya.
Saya merasa mengisi jiwa saya dengan firman-firman Tuhan sehingga
firman-firman itu menjadi nafas saya, menjadi darah yang beredar ditubuh saya,
menjadi daging saya. Hari demi hari saya menyelami dan meresapi isi al-Quran,
keyakinan bertambah mantap dan padat. Saya menghadapi hidup dengan hati yang
aman dan tenteram.
Sepuluh tahun lebih saya menyelami ayat demi ayat, tidak satupun
hari yang lewat tanpa menghirup firman Tuhan, sekalipun hanya seayat dalam
sehari. Ujian demi ujian menimpa pula bahkan pernah saya dituduh murtad dan
berhadapan dengan hakim pengadilan atas tuduhan telah menghina Tuhan, menghina
agama Islam, Rasul dan Nabi-nabi, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45. Tapi
semua itu saya terima sebagai cambuk untuk lebih dalam menyelam kedalam inti
hakikat dan saya anggap sebagai karunia dari Tuhan Yang Mahaesa.
Sampai tibalah suatu hari hati saya terbuka untuk mulai menterjemahkan
al-Quran, setelah tanggal 7 Oktober 1972, di negeri dingin yang jauh dari
katulistiwa yakni di negeri Belanda. Pikiran untuk menterjemahkan al-Quran
secara puitis timbul pada saya oleh membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The
Holy Quran yang saya peroleh dari kawan saya, Haji Kasim Mansur tahun 1969.
Itulah terjemahan yang saya rasa paling indah disertai keterangan-keterangan
yang luas dan universal sifatnya.
Untuk menimbulkan kesan yang estetis penyair mempergunakan irama
dan bunyi. Bukan saja irama yang membuai beralun-alun, tapi juga- jika perlu-
irama singkat melompat-lompat arau tiba-tiba berhenti mengejut untuk kemudian
melompat lagi penuh tenaga hidup. Bunyi yang merdu didengar, ulangan-ulangan
bunyi bukan saja diujung baris, tapi juga diantara baris, mempertinggi kesan
keindahan pada pendengar atau pembaca.
Didalam persajakan Indonesia bunyi bergaung am, an
dan ang dan bunyi sukukata-sukukata yang terbuka menuimbulkan kesan yang
merdu. Bahasa Indonesia ternyata kaya akan aneka ragam bunyi sehingga tidak
sukar untuk mencari kata-kata yang bagus kedengarannya demi persajakan diujung
baris, diantara baris ataupun ditengah baris.
Dibawah ini sebuah contoh mengatur irama dengan mengobah letak
perkataan sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya. Didalam surah (26) asy-Syu’ara
dikisahkan Firaun meminta
pertimbangan kepada para pembesarnya apa yang harus dilakukan untuk melawan
Musa.
Mereka menjawab: “Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya, dan kirim ke kota-kota para
bentara.” (26:36)
Pada hemat saya lebih bertenaga dan penuh ancaman rasanya jika
baris terakhir disusun demikian:
Dan kirim para bentara ke kota-kota.
Dibawah ini sebuah contoh perbedaan pilihan kata yang menimbulkan
perbedaan penghayatan estetis secara audiovisual. Surah (61) ash-Shaf ayat 2 kita
lihat diterjemahkan:
Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
Dapat
dipuitisasikan demikian:
Mengapa kamu katakan
Apa yang tiada kamu lakukan?
D. Gagasan Revolusioner
H.B. JASSIN bangkit dari kursinya, menuju mimbar dan
mengucapkan salam. "Saudara-saudara", katanya."Saya bukanlah
seorang ahli dan sayapun tidak ahli bahasa Arab.Karena itu saya minta
saudara-saudara membantu saya dan janganlah Mengganyang saya".Hadirin yang
telah berkumpul untuk salah-satu acara dalam keramaian Musabaqah Tilawatil
Quran Nasional ke VIIl di Palembang yang lalu (TEMPO 6 September), tertawa
penuh mengerti. Mereka juga mengikuti dengan simpati ketika Jassin membacakan
ceramahnya sepanjang 11 halaman menuturkan pengalaman pribadinya mengapa ia
sampai tertarik kepada Quran dan kemudian berusaha menterjemahkannya secara
puitis (lihat box). Begitulah pelan-pelan pembicaraan lantas memasuki
masalah-masalah teknis penterjemahan -- dan hadirin hening sebagian kening
mulai berkerut.Tak ayal lagi masalah teknis penterjemahan bukanlah masalah
kecil.
Beberapa perbedaan pemahaman ayat sendiri sebagaimana
biasanya sudah cukup menimbulkan debat ilmiah. Ditambah lagi dengan kenyataan
bahwa yang melakukan penterjemahan justru seorang doktor sastra Indonesia.
Tokoh ini sama sekali tidak dikenal dalam bidang ilmu-ilmu Qur'an juga mengaku
bukan ahli dalam bahasa Arab. Tak heran bila pembanding ceramah Drs H. Husin
Abdul Mu'in yang sehari-harinya Kepala Perwakilan Departemen Agama Sumatera
Selatan di samping dengan sangat simpatik menyatakan penghargaannya kepada niat
yang ikhlas dari penterjemah juga memberi semacam usul yang halus untuk
berhati-hati.Tidak Beragama Islam Hadirin setidak-tidaknya para ustaz yang
banyak pengetahuan memang kelihatan berusaha untuk tetap berlapang fikiran.
Namun agaknya ada persoalan: sebagian sumber-sumber
bandingan Jassin di samping kitab-kitab tafsir bahasa Indonesia dan bahasa
Inggeris dari dunia Islam juga buah tangan para penterjemah Barat yang
sebagiannya diketahui tidak beragama Islam. Lagi pula difikir-fikir apa sih
perlunya puitisasi itu dalam penterjemahan Qur'an? Alasan Jassin diberikan
secara sederhana. Terjemahan yang sudah dikerjakan orang dalam bahasa Indonesia
(menurut Jassin sudah berjumlah kira-kira 10) semuanya ditulis dalam bahasa
prosa. Dan hal itu tiada mengherankan karena yang dipentingkan oleh para
penterjemah yang pada umumnya adalah guru-guru agama ialah kandungan kitab suci
itu.
Padahal sebenarnya bahasa Qur'an sangat puitis dan
ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra -- walaupun
dalam setiap mushaf (buku Qur'an) ayat-ayat itu secara visuil disusun sebagai
prosa .Maka tampaklah Jassin memandang prosa dan puisi pertama kali dari segi
visuil dari segi tata-muka.Ia sendiri menyatakan bahwa perbedaan sebuah puisi
dari prosa biasanya lantaran puisi disusun tidak baris demi baris yang
panjangnya memenuhi muka halaman, akan tetapi baris demi baris yang panjangnya
memenuhi sebagian muka halaman saja. Ia memberi contoh. Surah Yusuf ayat 3
biasanya diterjemahkan begini: Kami ceritakan kepadamu kisah yang paling indah
dengan mewahyukan kepadamu (bagian) Quran ini, meskipun kamu sebelumnya orang
yang tiada sadar (akan kebenaran). Dan dengan susunan berikut ia menjadi puisi:
Kami ceritakan kepdamu kisah yang paling Indah Dengan mewahyukan kepadamu.
(bagian) Quran ini, Meskipun kamu sebelumnya orang yang tiada sadar (akan kebenaran).
Sudah tentu sebagaimana dikatakan Jassin tidak semua baris prosa bisa dirobah
menjadi puisi dengan hanya merobah susunan.
Namun dengan cara pendekatan itu apakah puisi seperti
dimaksud Jassin? Sementara Jassin menyaakan bahwa bahasa Qur'an sangat puitis
puisi Qur'an itu justru tidak diungkapkan dalam kalimat terpotong-potong.
Dengan kata lain puisi Quran tidak sekedar kalimat terpotong-potong. Tapi
pengertian puisi sebagai bentuk Susunan kalimat itulah yang sering dipakai para
penterjemah puitis yang sudah lebih dulu mencoba seperti Mohamad Diponegoro
atau Djamil Suherman. Lebih-lebih Abdullah Yusuf Ali Beirut--yang menurut
Jassin merupakan penterjemah puitis yang paling indah dan yang mendorong dia
melakukan hal serupa dalam bahasa Indonesia. Sudah tentu perasaan enak dan
tidak enak terhadap sesuatu terjemahan hampir selalu bersifat relatif.Tapi
justru sebagian orang mengatakan bahwa diukur dengan citarasa puisi terjemahan
Yusuf Ali justru kalah indah dibanding terjemahan Mohamad Marmaduke pikcthall yang
disusun secara ayat aslinya.Sebab mungkin saja lebih dari Yusuf Ali Pickthall
berangkat dari penguasaan terhadap citarasa bahasa aslinya lantas menuangkan ke
dalam terjemahan berdasar penguasaan citarasa bahasa Inggeris tanpa bertolak
dari pola bentuk yang lazim disebut syair atau sajak.Karena bertolak dari
bentuk itulah agaknya salah-satu alasan mengapa Mohamad Diponegoro menyebut
hasil karyanya (terjemahan juz XXX dan belum diterbitkan) sebagai puitisasi
terjemah Qur'an dan bukan terjemah puitis Qur'an. Tetapi barangkali menarik
bahwa dengan berpijak pada citarasa dan suasana asli, 'dalam arti menghadapi
Quran sebagai karya puisi', akan melahirkan hasil yang bisa jauh berbeda dari
terjemahan lazim. Antara lain: terjemahan tidak lagi akan mengguru-gurui atau
lebih mementingkan kandungan makna semata-mata menurut istilah Jassin.
Sudah diketahui bahwa yang selama ini galib disebut
terjemahan Quran (bukan tafsir) sebenarnya toh bukan hanya terjemah - melainkan
plus keterangan--yang hampir selalu diletakkan dalam kurung.Sebuah kalimat
dalam Qur'an kadang-kadang mungkin memang tidak jalan menurut logika tatabahasa
sehari-hari.Tetapi betulkah keadaan tidak jalan tersebut bukan merupakan satu
bagian tak terpisahkan dari puisi--dan karenanya orang haruslah mengangkat
seperti aslinya dan kalau perlu memberinya catatan kaki seperti dalam tafsir?
Maka barangsiapa melihat konsep terjemahan Jassin - yang sekarang sudah ada di
penerbit -- maupun terjemahan Yusuf Ali orang akan tahu bahwa sesungguhnya
puisinya hanya bentuk bukan semangat tenaga atau dorongan puitik. "Tangan
Allah" Tetapi untunglah Jassin juga menggarap puisi Quran dengan
mempertahankan suasana puitiknya. Berbeda dari terjemah-terjemah yang laim
Jassin misalnya tidak menterjemahkan 'Wajah Allah' dengan 'Kebesaran/Pengetahuan
Allah' tidak pula 'Tangan Allah' dengan 'Kekuasaan Allah'. Dalam terjemahan
Departemen Agama awal ayat 35 Surah Nur yang berbunyi Allahu nuurussumawati
wal-ardh diterjemahkan dengan: "Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan
bumi". Dalam hal ini Jassin berbeda: ia menterjemahkannya persis seperti
ayat aslinya: "Allah Cahaya langit dan bumi - dan menyerahkan pengertian
"cahaya" itu kepada Quran sendiri atau kepada tafsir. Begitu pula
tidak menterjemahkan an la taziru waziratun wizra ukhra dengan: "bahwa
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain" -- seperti
terjemah Departemen Agama maupun Mahmud Yunus. Melainkan: Bahwa tiada pemikul
beban Akan memikul beban orang lain dan hal itu sama dengan yang diperbuat Yusuf
Ali maupun Hashim Amir Ali - secara lebih langsung kepada kata aslinya. Lebih
lagi ayat yang sangat populer - tentang penciptaan semesta.Semesta dalam
terjemahan Jassin diciptakan Tuhan tidak dalam enam masa - seperti umumnya
ditulis para penterjemah Indonesia.Melainkan enam hari sesuai dengan bunyi
ayatnya. Tentu saja kata Jassin orang bisa menafsirkan hari dengan 'masa' atau
'abad' tapi itu soal lain.
Di sinilah tiba-tiba kelihatan peranan -- yang mungkin
kedengaran agak asing - dari para penterjemah puitis .Bahwa mereka selayaknya
membiarkan pembaca menerima bagian-hagian Quran yang masih utuh - yang
sebenarnya menimbulkan kenikmatan religius tersendiri.Tidak justru
membuyarkannya semata-mata dengan semangat mau rasionil yang tak jarang merobah
pengertian ayat yang dalam dan penuh rahasia menjadi sesuatu yang datar.Tetapi
Jassin melihat contoh-contoh terjemahannya yang digelarkan di Palembang itu,
tidak sepenuhnya mengambil peranan itu.
Ia misalnya menganggap kalimat Quran yaqbidluna
aidiahum tidak dapat diterjemahkan secara persis sebab akan berbunyi: mereka
mengepalkan tangan. Orang bisa salah faham dan karena itu ia menterjemahkannya
menurut maksud: mereka berlaku bakhil. Di sinilah orang boleh setuju pada
kritik pembanding Husin Abd. Muin: bahwa Jassin (yang sudah berniat untuk
kembali ke pokok pangkal itu) justru suka menggunakan kata-kata Indonesia yang
dalam bahasa Arab sebetulnya sudah ada yang lain. Berlaku bakhil misalnya dalam
bahasa Arab adalah yabkhalun. Jadi mengapa ia tidak menterjemahkan -- misalnya
-menggenggamkan (bukan mengepalkan) tangan? Maka ramailah orang di Palembang
itu. Contoh-contoh yang dikemukakan Jassin rupanya menggerakkan para peserta
diskusi tersebut sebagiannya dengan semangat ilmiah yang ikhlas untuk akhirnya
tidak memenuhi harapan Jassin agar jangan "mengganyang" dia. Cobalah:
Jassin mengganti terjemahan "yang memelihara sembahyang" dengan
"yang setia menjalankan sembahyang". Jatuh pada dagu (muka) mereka
dalam sujud dengan jatuh sujud dengan kerendahan hati. Surga yang mengalir sungai-sungai
di bawahnya dengan" ....di dalamnya". Orang seakan-akan meminta
pertanggungjawaban Jassin pada pengetahuannya dalam berbagai cabang ilmu bahasa
Arab.Meyembah Matahari Padahal tanpa menuntut demikian tak ada seorang yang
tidak tahu bahwa perbedaan dalam terjemah terdapat justru dalam karya para
ulama sendiri. Misalnya: dalam diskusi tersebut Husin Abd. Mu'in mengkritik
Jassin karena menterjemahkan yasjuduna lisy-syamsi min dunil-Lah dengan:
"Mereka menyembah matahari dan bukan Allah" - sebagai ganti selain
Allah seperti dalam terjemah-terjemah lain. Alasan Jssin: karena mereka itu
tidak menyembah Allah sama-sekali. Padahal menurut Husin: mereka itu menyembah
Allah juga dan menyembah matahari sebagai perantaraan Allah atau perwujudan
Allah atau di samping Allah. Husin jelas kuat. Tapi yang sama dengan Jassin
bukan tidak ada: A. Hassan, Pickthall Maulana Muhammad Ali! Sedang yang sejalan
dengan Husin rupanya adalah terjemahan Departemen Agama.Begit pula
sungai-sungai di dalam surga (Jassin) atau di bawah surga (Husin). Pickthall
sama dengan Husin underneathl. Sedang A. Hassan sama dengan Jassin (padanya).
Jassin sendiri menyebut contoh sukarnya penterjemahan yang justru mengantarkan
setiap penterjemah pada kontroversi. Misalnya Surah 24 :19: Innalladzina
yuhibbuna an tasyi'al fahisyatu fil-ladzina amanu lahum 'adza bun alim.
Terjemah Yusuf Ali: * Those who love (to see) scandal published broadcast A
mong the believers, will have A grievous penalty * Sedang terjemah AJ Arberry:
Those who love that indecency should be spread about concerning them that
believe - there awaits them a painful chastisement * Perbedaan itu mungkin
karena kata filladzina amanu dalam bahasa Arab bisa berarti 'di kalangan orang
mukmin' tapi juga 'mengenai orang mukmin'. Maka Jassin lantas melihat asbabun
nuzul (sebab-sebab turun ayat).Ketahuan ayat itu berkenaan dengan peristiwa
Ifk, di mana Aisyah isteri Nabi kena fitnah dan fitnah itu disebarkan di
kalangan orang mukmin.Jassin lantas menganggap terjemah Yusuf Ali lebih
tepat.Menarik bahwa Pickthall (yang buku terjemahannya -- tanpa teks Quran! --
disahkan oleh Senat Dewan Universitas Al-Azhar) justru sama penterjemahannya
dengan Arberry (yang bukan Islam itu). Maka tampaklah di sini bahwa doktor
sastra ini bukan tidak berhati-hati dengan mempelajari latar-belakang dan
seluk-beluk. Setelah ia menyatakan dalam forum Palembang itu bahwa saya
bertolak dari Kitab induk Al-Quranul Karim sendiri..jadi terjemahan saya
bukanlah terjemahan dari terjemahan...". ia dalam pekerjaannya mempergunakan
sebagai perbandingan 19 terjemah Qur-an (9 bahasa Inggeris 1 Perancis, 1
Belanda, 2 Jerman, 6 Indonesia) 7 kitab sejarah Quran dan Tafsir (2 Indonesia,
4 Inggeris, 1 Jerman) 4 kamus dan konkordansi (1 Arab-Jerman dan 3
Arab-lnggeris). Adapun kitab-langsung dari bahasa Arab?Sudah tentu tak ada.Dan
itulah yang bagi rakyat muslimin betapapun juga dirasa kurang layak.Orang
memang lazim mengharapkan sesuatu yang resmi.Itu ada baiknya. Tapi kenyataan
toh menunjukkan bahwa Quran adalah begitu populer hingga hampir tak seorang
muslim tidak mengenalnya apa lagi bila ia telah sungguh-sungguh mempelajarinya
walaupun lewat sarana yang tidak resmi. Maka seorang muslim - yang perhatiannya
maupun kebiasaannya tidak terpisahkan dari Quran - mempelajari dengan tekun hanya
satu tafsir yang bonafid saja sedang ia sendiri mengerti bahasa Arab secara
pasif meskipun tidak mendalam sudah bisa dijamin bahwa ia bukan lagi orang
luar. Dan Jassin termasuk orang seperti itu. Ia 10 tahun lamanya--seperti
dinyatakannya - mempersiapkan diri dengan segala terjemah dan tafsir sedang ia
sendiri tidak pula asing dari bahasa Arab. Jassin barangkali hanyalah seorang
yang tidak suka memamerkan kepandaian (jarang sekali misalnya orang tahu bahwa
iamenguasai bahasa-bahasa Inggeris, Jerman, Perancis, dan Belanda - sebab bila
Jassin berbahasa Indonesia tidak akan terdengar satu patah kata asing).
Begitupun Jassin ada tiga tahun mempelajari bahasa Arab dari AS Alatas dosen
Fakultas Sastra UI dan penterjemah Majdulin Al-Manfaluthi--selain pelajaran ilmu-ilmu
Islam dari islamolog terkenal Prof. Pangeran Arjo Hoesin Djajadiningrat.Jassin
juga menterjemahkan buku pelajaran theologi elementer Jawahirul Kalamiyah
sebagai latihan dahulu. Hanya ia memang tidak secara langsung mempelajari
ilmu-ilmu seperti Ma ani-Bayan-Badi yang merupakan gerbang bagi penguasaan
ilmu-ilmu alat untuk seorang pentafsir (bukan sekedar penterjemah) Quran. Namun
di atas segala-galanya tidak percayakah anda bahwa menterjemahkan Quran dilihat
dari segi teknis sebenarnya jauh lebih mudah dibanding menterjemahkan sebuah
syair atau karya sastra Arab? Sebab bandingan sudah demikian banyak.Orang toh
pada akhirnya lebih cenderung melihat hasilnya.Yakni apakah terjemahan Jassin
memang bisa dipertanggung jawabkan.Dan di rumah kontraknya yang kecil di Tanah
Tinggi Jakarta Jassin menyatakan bahwa kritik seperti yang diterimanya di
Palembang itu adalah kritik-kritik yang bisa dihadapkan dengan kitab terjemah
yang mana juga sebab tidak ada satu terjemahan yang disepakati semua orang.
Quran itu katanya demikian besar sehingga tidak akan habis diterjemahkan. Toh
ia menyatakan beberapa hal yang diterimanya di Palembang itu ada mempengaruhi
dia. Ia sendiri kalau perlu akan meminta pendapat orang dalam koreksi terakhir
naskah yang kini contohnya sudah ada di penerbit itu. Yang jelas kelihatan
adalah manfaat dengan lahirnya terjemah puitis itu. Pertama segi perhatian yang
lebih besar terhadap bahasa Indonesia dalam dunia penterjemahan Quran. Sebab
problim ini memang cukup mengganggu.Terjemahan Departemen Agama sendiri tidak
bisa dikatakan bagus dari segi itu.Lebih-lebih terjemahan Ustadz Mahmud Junus
maupun juga Prof. Hasbi Ash Shiddieqy.Dan lebih parah -- maaf-- adalah
terjemahan Ustadz Hassan dari Persis yang masyhur itu.Di sinilah bisa dilihat
bahwa ilmu-ilmu bahasa Arab dan seluk beluk Quran saja tidak cukup. Perlu juga
kemampuan menyatakannya dalam bahasa Indonesia yang tidak kaku, misalnya
kalimat "Allah memberi petunjuk" pada Hassan kadang diterjemahkan
dengan "Allah memberi petunjukan" (lihat misalnya Al-Baqarah 70).
Jassin sendiri dalam ceramahnya mengatakan bahwa "kekakuan dalam
terjemahan mungkin timbul karena terlalu mengikuti konstruksi kalimat Arab
dengan tidak memperhatikan rasa bahasa Indonesia". Jassin memberi contoh
terjemahan S. Yusuf 29: "Sungguh jika kau menyembah Tuhan selain aku pasti
aku akan menjadikan kau salah-seorang yang dipenjarakan". Lantas ia
mengganti kalimat terakhir itu dengan "pasti kumasukkan kau ke dalam
penjara" (sebab orang yang dimasukkan ke penjara menjadi salah-seorang
yang dipenjarakan bukan?). Selain itu Jassin menterjemahkan ungkapan-ungkapan
menurut jalan bahasa Arab ke dalam ungkapan Indonesia. Misalnya: bainana wa
bainakum (secara harfiah berarti: antara kami dan antara kamu) diganti dengan:
"antara kami dan kamu" atau "antara kita". Ungkapan bahasa
Arab "mati dan hidup" atau "malam dan siang" tentu saja ia
pulangkan ke dalam ungkapan kita menjadi "hidup dan mati" siang dan
malam. Kata sambung wa tidak selalu berarti dan. Tapi juga 'karena', 'sedang',
sementara.Bisa juga dianggap hanya berfungsi sebagai koma atau titik. Fa
sebaliknya bisa diterjemahkan dengan 'maka', 'karena itu' atau bahkan tidak ia
terjemahkan sama sekali. Syahdan dalam khazanah terjemah Quran Indonesia
sekarang sudah lahir pula Tafsir Al-Azhar dari Hamka yang sampai sekarang belum
terbit komplit.Tafsir ini harus dibilang karya yang paling bagus bahasanya -
dengan catatan Hamka sebagai ulama terpandang lebih menitik beratkan pada
kandungan ilmiah ayat daripada puisi Quran sendiri.Sebaliknya dengan terjemah
Jassin. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya ia akan merupakan satu
kenyataan yang penting dari dua jurusan: dari jurusan pemakaian bahasa yang
baik dan pengenalan sastra Indonesia luas ke tengah rakyat dan dari segi
artinya sebagai satu monumen dalam dunia sastra Indonesia. Toh bagi Jassin arti
pekerjaannya itu tampak sederhana saja: sebuah persembahan yang dikerjakan
dengan susah-payah. Sebuah bukti ibadah.
E. Contoh Penafsiran
Berikut ini adalah terjemahan HB
Jassin untuk suratan-Naml (27) ayat
59-66:
Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,
Dan
selamat sejahtera atas hamba-hamba-Nya yang telah dipilih-Nya.
Apakah
Allah yang lebih baik,
Atau
apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya)?”
Atau
siapakah yang menciptakan langit dan bumi,
Dan
yang menurunkan bagimu hujan dari langit?
Ya,
dengannya Kami tumbuhkan
Kebun-kebun
buah-buahan yang indah.
Tiadalah
kamu mampu menumbuhkan pohon-pohon didalamnya.
(Mungkinkah)
ada sembahan (lain) disamping Allah?
Tidak,
tapi mereka adalah kamu yang menyimpang (dari Kebenaran).
Atau
siapakah yang menjadikan bumi,
Tempat
kediaman yang kukuh kuat?
Yang
menempatkan sungai-sungai ditengah-tengahnya,
Yang
memancangkan gunung-gunung diatasnya,
Dan
menaruh sekatan antara kedua lautan?
(Mungkinlah)
ada sembahan (lain) disamping Allah?
Tidak,
tapi kebanyakan mereka tiada tahu.
Atau
siapakah yang memperkenankan (permohonan) orang dalam kesulitan,
Jika
ia menyeru (Tuhan),
Yang
menghilangkan keburukan,
Dan
menjadikan kamu khalifah dimuka bumi?
(Mungkinkah)
ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Alangkah
sedikit kamu mengambil peringatan!
Atau
siapakah yang membimbing kamu
Dalam
kegelapan di daratan dan di lautan,
Dan
siapakah yang mengirimkan angin
Sebagai
pembawa kabar gembira,
Mendahului
rahmat-Nya?
(Mungkinkah)
ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Mahatinggi
Allah diatas apa yang mereka persekutukan Ia!
Atau
siapakah yang pertama kali memulai ciptaan,
Kemudian
mengulanginya?
Dan
siapakah yang memberi kamu rezeki dari langit dan bumi?
(Mungkinkah)
ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Katakanlah,
“Bawalah bukti yang nyata,
Jika
kamu berkata benar!”
Katakanlah,
“Tiada yang tahu di langit dan di bumi apa yang gaib,
Kecuali
Allah.
Dan
tiada mereka tahu apabila mereka dibangkitkan.
Tiada
pula ilmu mereka sampai kepada (ilmu) akhirat,
Bahkan
mereka dalam keraguan mengenai hal itu
Tidak,
mereka buta untuk itu.
Bandingkan dengan
terjemahan penerbit Algesindo seperti dibawah ini:
Katakanlah
(Muhammad), “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera atas hamba-hambanya
yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang
lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)?”
Bukankah Dia
(Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air dari langit
untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan
indah? Kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya. Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?
Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).
Bukankah Dia
(Allah) yang memberi petunjuk kepada kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan
dan yang
mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmatNya? Apakah
disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Mahatinggi Allah terhadap apa yang
mereka persekutukan.
Bukankah Dia
(Allah) yang menciptakan (mahluk) dari permulaannya kemudian mengulanginya
(lagi) dan yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah
disamping Allah ada tuhan(yang lain)?
Katakanlah,
“Kemukakanlah bukti kebenaranmu, jika kamu orang yang benar.”
Katakanlah
(Muhammad), “Tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara
yang gaib, kecuali Allah. Dan mereka
tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.”
Bahkan
pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana). Bahkan mereka ragu ragu tentangnya (akhirat
itu). Bahkan mereka buta tentang itu.
F. Metode
Secara format, buku Jassin ini tidak ada bedanya
dengan Al-Qur'an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen
Agama.Disisi kanan halaman ada teks al-Qur'an dalam tulisan Arab tentunya dan
di sisi kiri, terjemahannya. Yang berbeda adalah gaya terjemahannya. Terjemahan
terbitan Depag dikerjakan oleh para pakar tafsir dan sastra Arab terkemuka di
Indonesia. Hasilnya: sebuah terjemahan yang biasa, layaknya terjemahan buku
Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia.
HB Jassin tidak mempunyai basis kemampuan bahasa Arab
apalagi tafsir.Beliau hanya seorang Paus Sastra Indonesia (menurut Gauis
Siagian) atau Wali Penjaga Sastra Indonesia (menurut Prof AA Teeuw).Dalam usaha
penulisan buku ini, HB Jassin amat terbantu dengan adanya terjemahan al-Qur'an
ke dalam bahasa Inggris, bahasa yang cukup dikuasainya.Diantaranya, terjemahan
karya seorang muallaf, Sir Marmaduke Pitchall dan seorang Pakistan Muhammad
Jusuf Ali.Terjemahan Jusuf Ali adalah terjemahan al-Qur'an ke Bahasa Inggris
terbaik dan paling populer hingga saat ini.
KONTROVERSI
Kontroversi timbul dilatari 3 sebab.Pertama, HB Jassin
tidak menguasai bahasa serta sastra Arab dan bukan seorang pakar tafsir.Bahkan
terjemahan sekalipun (apalagi buku tafsir) membutuhkan 3 hal diatas. Kedua, apa
yang dilakukan HB Jassin mungkin adalah yang pertama di dunia. Bagi sebagian
orang itu adalah ide jenius.Sebuah invention. Bagi sebagian lain, itu adalah
bid'ah yang tidak punya rujukan atau basis dalil/hujjah/reason dari
sumber-sumber hukum Islam. Ketiga, al-Qur'an secara jelas "membela dirinya
sendiri" lewat ayat-ayatnya bahwa ia bukan kitab sastra. Meletakkan
al-Qur'an sebagai hanya karya sastra semata berarti merendahkan al-Qur'an itu
sendiri.Fungsi utama al-Quran adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Para diskusan setuju bahwa karya Jassin ini bermaksud
menyampaikan ketinggian sastrawi al-Qur'an kepada bangsa Indonesia yang tidak
menguasai sastra Arab.Dari keseluruhan polemik yang kemudian mencuat, semuanya
mengerucut pada keberatan utama: Jassin bukan pakar tafsir karena itu ia tidak
pantas menulis sebuah terjemahan al-Qur'an sekalipun. Apa yang dilakukan Jassin
sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Sayyid Qutb pernah menerbitkan
Tafsir Fi Dzilaalil Qur'an.Latar belakang pengetahuan sastra Arab SQ membuat
tafsir tersebut cendrung sastrawi. Di abad keemasan Islam, dikenal juga
tafsir-tafsir yang indah, semacam Tafsir Ibn Araby, Tafsir al-Ma'ani dst. Juga
tafsir yang membahas satu demi satu kosa kata al-Quran.
KESIMPULAN
Agaknya kita harus merespon positif karya HB Jassin
ini.Bila segala sesuatu dinilai dari niat, maka karya Jassin ini lahir dari
kecintaan pada al-Qur'an, bukan maksud buruk. Dan akhirnya, paska polemik,
sejarah memenangkan Jassin: terjemahan itu mengalami cetak ulang terus menerus hingga
saat ini. Hmmm, bila suatu saat menikah, saya mungkin menggunakan karya Jassin
ini sebagai bagian dari mahar. Apalagi jika ia yang saya persunting tidak bisa
memahami keindahan sastrawi al-Qur'an langsung dari bahasa aslinya.
kakak nulis ini punya referens lengkapnya ga? soalnya saya skripsi ngebahas ini ,, mohon di bantu ya ka hubungi ke no ini 085320991714
BalasHapusafwan baru kebuka koment nya, kalo referensi lengkapnya saya ga punya, ini tulisan dari berbagai sumber
BalasHapuskak klo kitab hb jassin y di perpus sana ada gak? atau kakak punya link untuk download pdf y?
BalasHapus