TAFSIR LUGHAWY
Oleh:
EnjenZaenalMutaqin
IhatMuslihat
1.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Lughawi dan Sejarah Perkembangannya
Al-Qur’an dengan bahasa arabnya yang indah dan kandungan setiap katanya
yang luas dan universal, menuntut untuk dikaji dan ditelaah melalui pendekatan
linguistik. Namun sebelum mengkaji lebih jauh tentang tafsir lughawi, penulis
akan memaparkan terlebih dahulu apa sebenarnya tafsir lughawi itu dan bagaimana
sejarah perkembangannya.
B.
Pengertian Tafsir
Lughawi
Tafsir lughawi terdiri dua kata yaitu tafsir dan lughawi. Tafsir yang
akar katanya berasal dariفسر
bermakna keterangan atau penjelasan. Kemudian lafal tersebut diikutkan wazan فعل yang berarti
menjelaskan atau menampakkan sesuatu. Dengan demikian, tafsir adalah membuka
dan menjelaskan pemahaman kata-kata dalam al-Qur’an. Sedangkan lughawi berasal
dari akar kata لغي yang berarti gemar
atau menetapi sesuatu. Manusia yang gemar dan menetapi atau menekuni kata-kata
yang digunakannya, maka kata-kata itu disebut lughah. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan lughawi adalah kata-kata yang digunakan, baik secara lisan
maupun tulisan.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa yang
dimaksud dengan tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan
makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. atau lebih
simpelnya tafsir lughawi adalah menjelaskan al-Qur’an al-karim melalui
interpretasi semiotik dan semantik yang
meliputi etimologis, morfologis, leksikal, gramatikal dan retorikal.
Oleh karena itu, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan
pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa
arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan
sastranya. Dengan mengetahui bahasa al-Qur’an, seorang mufassir akan mudah
untuk melacak dan mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an
sehingga akan mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut. Bahkan Ahmad
Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi,
balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di sinilah,
urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.
Sejarah
Perkembangan Tafsir Lughawi
Umat Islam sejak Rasulullah hingga sekarang, berusaha sekuat tenaga
mencurahkan kemampuannya untuk memahami dan menafsirkan al-Quran. Orang pertama
yang memahami dan menafsirkan al-Qur’an adalah Rasulullah, di samping karena ada perintah Allah untuk menjelaskan wahyu
tersebut, kapasitas Rasulullah juga sebagai pembawa dan penyampai wahyu.
Penafsiran Rasulullah tentu tidak mencakup seluruh ayat-ayat al-Qur’an akan
tetapi hanya berkisar pada apa yang tidak dimengerti atau kurang jelas kepada
para sahabatnya atau ayat-ayat yang dipertanyakan oleh mereka atau dianggap
penting untuk dijelaskan. Dan salah satu cara Rasulullah menjelaskan dan
menafsirkan al-Qur’an adalah melalui pendekatan bahasa dengan mencarikan makna
muradif (sinonim)nya atau menjelaskan makna kosa kata dalam ayat-ayat
al-Qur’an.
Setelah penafsiran Rasulullah, orang yang paling memperhatikan,
mempelajari, menghafal dan merealisasikan al-Qur’an adalah para sahabat. Akan
tetapi sebelum mengamalkan al-Qur’an, mereka mancari tahu tentang makna setiap
lafal atau kata yang tidak termasuk dalam bahasa mereka, atau kata yang jarang
digunakan atau kata yang tidak menggunakan makna aslinya. Dan hal itu marak
terjadi setelah Rasulullah telah tiada. Sahabat yang paling banyak ditanya
tentang makna dan sinonim kalimat al-Qur’an dan paling banyak menafsirkan
al-Qur’an melalui pendekatan bahasa atau syair-syair arab klasik adalah
Abdullah bin Abbas.
Penafsiran Abdullah bin Abbas yang cenderung menjadikan syair sebagai
salah satu sumber penafsirannya merupakan cikal bakal munculnya madrasah
lughah. Hal itu terjadi ketika menjadi pengajar dan pembimbing di madrasah
tafsir di Makkah yaitu pada abad pertama Hijriyah dan diteruskan oleh para
murid-muridnya seperti Said bin Jabir, Mujahid bin Jabar, Ikrimah, Thawus bin
Kaisan dan Atha’ bin Abi Rabah hingga abad ke-2 Hijriyah.
Pada abad ke-3 Hijiriyah, muncullah tiga madrasah, yaitu Madrasah
al-Lughah yang diprakarsai oleh Abu Zakariya al-Farra’ (w. 207 H) yang
menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan bahasa dengan kitabnya “Ma’an
al-Qur’an”, Abu Ubaidah (lahir 110 H) dengan tafsrinya “Majaz al-Qur’an” dan
Abu Ishaq al-Zajjaj (w. 311 H) dengan kitabnya “Ma’an al-Qur’an”, kemudian
Madrasah al-‘Aqliyah yang dipelopori Imam al-jahizh dan Madrasah al-Tafsir bi
al-Ma’tsur oleh Ibn Jarir al-Thabary (w. 224 – 310 H). Tafsir al-Thabari juga
dikenal sebagai tafsir yang mencoba memadukan elemen riwayat dan bahasa. Sejak
itulah, penafsiran melalui pendekatan bahasa berkembang dan senantiasa
digunakan dan dibutuhkan hingga dewasa ini.
C.
Jenis-jenis Tafsir
Lughawi dan Metode yang digunakan
Sebelum menjelaskan jenis-jenis dan metode tafsir lughawi, perlu
diketahui bahwa tafsir lughawi dengan berbagai macam penyajian dan
pembahasannya tidak akan keluar dari dua kelompok besar yaitu:
1.
Tafsir lughawi yang murni
atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait dengan aspek bahasa saja,
seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya
al-Suyuthi dan al-Mahally. Dll.
2.
Tafsir lughawi yang
pembahasannya campur-baur dengan pembahasan lain seperti hukum, theology dan
sejenisnya, seperti Tafsir al-Thabary li Ibn Jarir al-Thabary, Mafatih al-Ghaib
li al-Fakhruddin al-Razy, dan sebagian besar tafsir dari awal hingga sekarang,
termasuk Tafsir al-Mishbah yang disusun oleh Quraish Shihab.
D.
Jenis-jenis Tafsir
Lughawi
Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki beberapa macam
bentuk dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu, munasabah dan balaghah
saja dan ada pula yang membahas linguistik dengan mengkalaborasikan bersama
corak-corak yang lain.
Untuk lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan
dijelaskan sebagai berikut:
a.
Tafsir nahwu atau i’rab
al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya pokus
membahas i’rab (kedudukan) setiap lafal al-Qur’an, seperti kitab al-Tibyan fi
I’rab al-Qur’an karya Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616 H)
b.
Tafsir Sharaf atau
morpologi (semiotik, dan semantik) yaitu tafsir lughawi yang pokus membahas
aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata seperti Tafsir al-Qur’an
Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr dalam al-Qur’an karya Harifuddin
Cawidu.
c.
Tafsir Munasabah yaitu
tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek korelasi antarayat atau surah,
seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya Burhanuddin
al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 606), Tafsir
al-Mishbah karya Quraish Shihab, dll.
d.
Tafsir al-amtsal (alegori)
yaitu tafsir yang cenderung mengekspos perumpamaan-perumpamaan dan majaz dalam
al-Qur’an seperti kitab al-Amtsal min al-Kitab wa al-Sunnah karya Abdullah
Muhammad bin Ali al-Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya
al-Mawardi (w. 450 H), Majaz al-Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660 H)
e.
Tafsir Balaghah yang
meliputi tiga aspek yaitu:
1)
Tafsir Ma’an al-Qur’an
yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata al-Qur’an atau terkdang
disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an al-Qur’an karya Abd Rahim
Fu’dah.
2)
Tafsir Bayan al-Qur’an
yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari akar kata kemudian
dikaitkan antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir al-Bayani
al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
3)
Tafsir badi’ al-Qur’an
yaitu tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan
gaya bahasanya, seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w.
654 H)
f.
Tafsir qir’ah yaitu tafsir
yang membahas macam-macam qira’ah seperti kitab Tahbir al-Taisir fi Qir’aat
al-Aimmah al-‘Asyrah karya Muhammad bin Muhammad al-Jazry (w. 843 H).
g.
Tafsir klasifikasi bahasa
yaitu tafsir yang mengkaji lafal-lafal yang murni bahasa arab dan yang tidak
seperti kitab al-Muhadzzab fi Waqa’a fi al-Qur’an min al-Mu’arrab karya
Jalaluddin al-Suyuthi.
h.
Dan tafsir-tafsir lughawi
yang lain semisal tafsir Fawatih al-Hijaiyyah dll.
E.
Metode Tafsir
Lughawi
Metode yang digunakan tafsir lughawi tidak jauh beda dengan metode
tafsir-tafsir yang lain. Di samping menggunakan metode penyajian atau
penulisan, juga menggunakan metode pembahasan.[17] Untuk lebih jelasnya, akan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Metode penyajian/penulisan
Metode penyajian atau penulisan dalam tafsir lughawi dengan berbagai
jenisnya, secara garis besarnya akan bertumpu pada dua metode yaitu:
a)
Metode tahlily (analisis).
Metode tahlily merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh
tafsir-tafsir klasik dan sebagian tafsir kontemporer seperti Tafsir al-Jalalain
karya al-Mahally dan al-Suyuthi, al-Kasyyaf karya al-Zamakhsyari (w. 538 H/
1143 M), Tafsir al-Mishbah karya Qurish Shihab.
b)
Metode maudhu’i (tematik)
Tafsir lughawi yang menggunakan metode tematik, biasanya tafsir yang
muncul dibelakangan yang mencoba membahas aspek-aspek tertentu saja semisal
salah satu aspek balaghah (ma’any, bayan dan badi’), amtsal dan surah-surah
tertentu seperti Tafsir al-Bayan al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint
al-Syathi’ dan tafsir-tafsir yang telah dijelaskan dalam jenis tafsir balaghah.
c)
Metode Muqaran
Tafsir lughawi yang menggunakan metode muqaran (komparatif) adalah
tafsir yang biasanya ingin mengungkapkan segi-segi keindahan sistematika atau
gaya bahasa al-Qur’an. Metode ini erat kaitannya dengan tafsir maudhu’i dimana
seorang mufassir mengumpulkan ayat-ayat yang sama redaksinya atau berlawanan.
2.
Metode Pembahasan
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh al-Farmawi bahwa metodologi
penafsiran al-Qur’an akan mengacu pada empat metodolodi yaitu al-ijmaly, al-tahlily,
al-muqaran dan al-maudhu’i. Dalam metode pembahasan ini, penulis juga cenderung
menggunakan empat metodologi tersebut dengan melihat kitab-kitab tafsir yang
menggunakan pendekatan bahasa.
a)
Metode Tahlily
Tafsir lughawi yang membahas dan mengkaji secara mendalam aspek bahasa,
akan menggunakan metode tahlily seperti tafsir al-Kassyaf karya al-Zamakhsyari
(w. 538 H/ 1143 M).
b)
Metode Ijmaly
Metode ijmaly dalam tafsir lughawi lebih banyak digunakan oleh tafsir
yang tidak pokus menganalisa teks al-Qur’an, akan tetapi hanya dijadikan
sebagai alat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an seperti tafsir al-Tahrir wa
al-Tanwir karya Ibn ‘Asyur, Tafsir Ibn Katsir karya ‘Imaduddin Ibn Katsir
al-Qurasyi (Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi dan al-mahally. Dll.
c)
Metode Muqarin
Metode muqaran adalah metode yang paling jarang dijumpai dalam
tafsir-tafsir lughawi, padahal di satu sisi, hal ini sangat dibutuhkan untuk
mengetahui hadaf (tujuan) dan penekanan setiap ayat atau surah. Di antara
tafsir yang muncul dengan metode ini antara lain; Burhan fi Taujih Mutasyabah
al-Qur’an karya al-Karmani (w. 505 H), Tafsir al-manar karya Muhammad Abduh (w.
1905 M) dan Rasyid Ridha (1935 M).
d)
Metode Maudhu’i
Sedangkan metode tematik dengan pendekatan bahasa banyak dijumpai pada
tafsir-tafsir mutaakhir atau kontemporer yang mencoba menganalisa satu topik
pembahasan melalui pendekatan bahasa seperti al-Insan fi al-Qur’an, al-Mar’ah
fi al-Qur’an al-Karim, keduanya karya Abbas Mahmud al-Aqqad, Konsep Kufr dalam
al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu dll.
Pergaruh
Tafsir Lughawi dan Keistimewaan serta Limitasinya
F.
Peran dan Pengaruh
Tafsir Lughawi
Analisis Penafsiran dan pemikiran terhadap al-Qur’an tidak akan bisa
dilakukan tanpa bahasa karena bahasalah yang mengantarkan dan menghubungkan
antara kandungan makna lafal dengan lafal yang lain. Tanpa bahasa, analisis
pemikiran tidak akan berarti apa-apa.[20] Oleh karena itu, peran dan pengaruh
dari tafsr lughawi tentu akan mencakup sekian banyak aspek atau corak
penafsiran. Di antaranya:
1)
Aspek hukum (fiqh) seperti
ketika menafsirkan kalimat وأرجلكم
dalam masalah wudhu’ surah al-Maidah ayat 6, jika dibaca manshub (harkat
fathah) maka yang wajib dilakukan pada kaki ketika berwudhu’ adalah membasuh
bukan mengusap, tetapi jika majrur (harkat kasrah) maka yang wajib hanya
mengusap. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain.
2)
Aspek theology seperti pada
saat menafsirkan إياك نعبد وإياك نستعين
dengan didahulukannya lafalإياك
dari lafal نعبد, berarti dalam
beribadah tidak boleh terjadi kesyirikan karena lafal tersebut bermakna hashar
(terbatas, khusus).
3)
Aspek filsafat misalnya
ketika menafsirkan lafal شياطين الجن
dalam surah al-An’am ayat 112 dengan melakukan pendekatan makna akar kata dari
kata شطن (jauh) dan جنن (yang tersembunyi)
maka sekelompok filosof menafsirkan lafal tersebut dengan “Nafsu yang jauh
berpisah lagi jelek yang berlindung dari panca indra”.
4)
Aspek sufistik semisal
ketika Ibnu Araby mengatakan bahwa lafal عند
ربه menjadi zharaf dari lafal ومن
يعظم dalam surah al-Hajj ayat 30, sehingga maksud ayat ini bisa
mengarah kepada ajaran tasawwuf yaitu “Barang siapa yang mengagungkan kemulyaan
Allah di sisi Tuhannya pada suatu tempat, maka hendaklah dia cari pada tempat
yang lain yang ada di sisi Tuhanmu.
5)
Aspek ilmy (saintifik)
yaitu ketika menafsirkan lafal سلطان
dalam surah al-Rahman ayat 33, sebagian pakar mengatakan bahwa seseorang mampu
mencapai luar angkasa denganسلطان.]
Begitu juga saat menafsirkan surah al-Furqan ayat 53 yang menunjukkan adanya
pemisah antara air tawar dan asin melalui pendekatan bahasa. Dan aspek-aspek
lain yang belum sempet penulis telaah lebih jauh.
G.
Kelebihan dan
Limitasi Tafsir Lughawi
Tafsir al-Qur’an melalui pendeketan bahasa tentu tidak akan lepas dari
nilai positif atau negatif. Di antara nilai positifnya adalah:
a.
Mengukuhkan signifikansi
linguistik sebagai pengantar dalam memahami al-Qur’an karena al-Qur’an merupakan bahasa yang penuh
dengan makna.
b.
Menyajikan kecermatan
redaksi teks dan mengetahui makna berbagai ekspresi teks sehingga tidak
terjebak dalam kekakuan berekspresi pendapat.
c.
Memberikan gambaran tentang
bahasa arab, baik dari aspek penyusunannya,
indikasi huruf, berbagai kata benda dan kata kerja dan semua hal yang
terkait dengan linguistik.
d.
Mengikat mufassir dalam
bingkai teks ayat-ayat al-Qur’an sehingga membatasinya dari terjerumus ke dalam
subjektivitas yang berlebihan.
e.
Mengetahui makna-makna
sulit dengan pengatahuan uslub (gaya) bahasa arab.
f.
Melestarikan keselamatan,
kehidupan dan kontinuitas bahasa arab dalam sejarah, melestarikan bahasa
al-Qur’an dengan bahasa arab yang jelas, bukan dengan bahasa pasaran.
g.
Mengungkap berbagai konsep
seperti etika, seni dan imajinasi al-Qur’an sehingga akan melahirkan dimensi
psikologis dan signifikansi interaksi dalam jiwa.
Namun demikian, sebagai salah satu metode penafsiran yang bersifat
ijtihadi, tafsir lughawi juga memiliki beberapa nilai negatif, antara lain:
a.
Terjebak dalam tafsir
harfiyah yang bertele-tele sehingga terkadang melupakan makna dan tujuan utama
al-Qur’an.
b.
Mengabaikan realitas sosial
dan asbab al-Nuzul serta nasikh mansukh sehingga akan mengantarkan kepada
kehampaan ruang dan waktu yang akibatnya pengabaian ayat Makkiyah dan Madaniyah
c.
Menjadikan bahasa sebagai
objek dan tujuan dengan melupakan manusia sebagai objeknya.
d.
Peniruan lafzhiah (kata),
otoritas historis yang berseberangan dan keragaman pendapat pakar bahasa arab
akan menguras pikiran sehingga melupakan tujuan utama tafsir yaitu pemahaman
al-Quran.
H. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan-pemaparan
yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan beberapa point penting tentang tafsir
lughawi, antara lain sebagai berikut:
1) Tafsir lughawi adalah
tafsir yang menjelaskan al-Qur’an melalui interpretasi semiotik,
semantikdansemuahal yang terkaitdenganlinguistik. Keberadaan tafsir lughawi sudah
ada sejak masa Rasulullah, sahabat, khususnya Abdullah bin Abbas, tabi’in dan terus
berlanjut dari generasi ke genera sehingga sekarang.
2) Jenis-jenis tafsir
lughawi antara lain tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an, sharaf atau morpologi,
munasabah, al-amtsal (alegori), balaghah (ma’any, bayandanbadi’), qir’ah,
klasifikasibahasa, dll. Sedangkan metode yang digunakan dalam penyajiannya hanya
terpokus pada dua metode yaitu tahlily dan maudhu’i. Untuk pembahasannya,
tafsir lughawi menggunakan empat metodologi yaitu tahlily, ijmaly, muqaran dan maudhu’i.
3) Perandan pengaruh
tafsir lughawi meliputi berbagai aspek, antara lain aspek hukum (fiqh),
theology, filsafat, sufistikdanilmy (saintifik). Disampingitu, tafsir lughawi memiliki
beberapa keistimewaan di antaranya linguistik sebagai pengantar dalam memahami
al-Qur’an, mengungkap berbagai konsep seperti etika, seni dan imajinasi
al-Qur’an, dll. Akan tetapi tafsir lughawi juga tidak lepas dari limitasi antara
lain terjebak dalam tafsir harfiyah yang bertele-tele, mengabaikan realitas sosial
dan asbab al-nuzul serta nasikh-mansukh, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar