BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial, manusia
tidak dapat hidup sendirian, karena ada sekian banyak kebutuhan yang tidak
dapat dipenuhinya sendiri. Petani memerlukan baju yang tidak dapat dibuatnya
sendiri, karena keterbatasan waktu dan pengetahuannya. Disisi lain, penenun
juga demikian, karena untuk makan ia membutuhkan ikan, garam, lauk pauk, dan
sebagainya. Bila sakit ia membutuhkan dokter dan obat serta masih banyak lagi
kebutuhan manusia yang kesemuanya baru dapat dipenuhi apabila mereka bekerja.[1]
Hidup manusia bagaikan lalu lintas,
masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus cepat sampai tujuan.
Namun, karena kepentingan mereka berlainan, maka apabila tidak ada peraturan
lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi benturan dan tabrakan.
Dengan demikan, ia membutuhkan peraturan demi
lancarnya lalu lintas kehidupannya. Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas
yang memberinya petunjuk seperti kapan harus berhenti (lampu merah) harus
hati-hati (lampu kuning) dan silahkan jalan (lampu hijau), dan sebagainya.[2]
Nah pertanyaannya, siapa yang
mengatur lalu lintas kehidupan itu? Manusiakah? Paling tidak dalam persoalan
pengaturan di atas, manusia mempunyai dua kelemahan: pertama keterbatasan pengetahuannya dan kedua
sifat egoism (ingin mendahulukan kepentingan diri sendiri). Kalau demikian,
yang seharusnya mengatur lalu lintas kehidupan adalah Dia yang paling
mengetahui sekaligus yang tidak mempunyai kepentingan sedikitpun. Yang dimaksud
adalah Allah SWT.[3]
Allah yang menetapkan peraturan
tersebut, baik secara umum, berupa nilai-nilai, maupun secara rinci – khususnya
bila perincian tersebut tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia.
Peraturan-peraturan itulah yang kemudian dinamai agama.[4]
Salah satu fungsi agama, bahkan fungsinya yang
terpenting, adalah menciptakan rasa aman dan sejahtera bagi pemeluknya. Dari
sini terlihat kaitan yang sangat erat antara “iman” dan “aman”. Rasa aman
tersebut diperoleh melalui keyakinan tentang sesuainya sikap manusia dengan
kehendak dan petunjuk Tuhan.[5]
Dengan melakukan penelitian atau
tanpa penelitian, pemeluk masing-masing agama telah memiliki
kebenaran-kebenaran yang dinilainya sebagai kebenaran mutlak. Mustahil akan
tercipta rasa aman itu, bila keyakinan yang demikian itu sifatnya mengusik.[6]
Ajaran agama diterima oleh pemeluknya secara
estafet, yang bila ditelusuri kebelakang akan ditemukan bahwa sumbernya adalah
Tuhan yang diyakini oleh pemeluk agama tersebut. Secara pasti, setalah
pembawaan agama yang menjadi Tuhan tidak lagi berada di tengah-tengah umatnya,
maka pastilah petunjuk-petunjuk yang dibawanya dapat mengalami perubahan
interpretasi, bahkan memerlukan petunjuk-petumjuk praktis baru, yang tadinya
belum dikenal pada masa utusan tersebut berada ditengah masyarakatnya.[7]
Biasanya yang paling berharga bagi
sesuatu adalah dirinya sendiri. Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan
apapun dari pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya. Namun demikian,
Islam datang tidak hanya bertujuan mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi
juga mengakui eksistensi agam-agama lain, dan memberinya hak untuk hidup
berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama lain.[8]
wur (#q7Ý¡n@
úïÏ%©!$#
tbqããôt
`ÏB
Èbrß
«!$#
“Jangan
mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut agama lain) …”(QS
Al-An’am [6]: 108)
Iw
on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# (
“Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam)” (QS
Al-Baqarah [2]: 256)
ö/ä3s9
ö/ä3ãYÏ
uÍ<ur
ÈûïÏ
ÇÏÈ
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS
Al-Kafirun [109]: 6)
3
wöqs9ur
ßìøùy
«!$#
}¨$¨Z9$#
Nåk|Õ÷èt/
<Ù÷èt7Î/
ôMtBÏdçl°;
ßìÏBºuq|¹
ÓìuÎ/ur
ÔNºuqn=|¹ur
ßÉf»|¡tBur
ã2õã
$pkÏù
ãNó$#
«!$#
#ZÏV2
“Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian
orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja sama antar manusia),
niscaya rubuhlah biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi
dan masjid-masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Allah.” (QS
Al-Hajj [22]: 40)
Ayat-ayat ini dijadikan oleh
sebagian ulam, seperti Al-Qurthubi, sebagai argumentasi keharusan umat islam
memelihara tempat-tempat ibadah umat non-Muslim. Al-Quran sendiri tegas
menyatakan bahwa,
öqs9ur uä!$x©
ª!$#
öNà6n=yèyfs9
Zp¨Bé&
ZoyÏnºur
“Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia
menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat saja” (QS Al-Nahl [16]: 93).
Tetapi Allah tidak menghendaki yang
demikian, karena itu Dia memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih
sendiri jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan
bertanggung jawab. Disini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat,
termasuk kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada
setiap insan.[9]
Perbedaan manusia telah menjadi
kehendak Tuhan, agar tejalin kerjasama antarmereka serta berlomba-lomba dalam
mencapai kebajikan dan keridhaan-Nya.
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$#
$¯RÎ)
/ä3»oYø)n=yz
`ÏiB
9x.s
4Ós\Ré&ur
öNä3»oYù=yèy_ur
$\/qãèä©
@ͬ!$t7s%ur
(#þqèùu$yètGÏ9
4
¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
yYÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4
¨bÎ)
©!$#
îLìÎ=tã
×Î7yz
ÇÊÌÈ
“Wahai seluruh
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu terdiri (dan
bersumber) dari pria dan wanita, dan kami jadikan kamu sekalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu semua saling mengenal (bekerja
sama). Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Tuhan adalah yang
paling bertaqwa. Sesungguhnya Tuhan Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS
49 : 13)
Kelemahan manusia, antara lain,
karena semangatnya yang menggebu-gebu, sehingga diantara mereka ada yang
bersikap melebihi sikap Tuhan, menginginkan agar seluruh manusia satu pendapat
menjadi satu aliran atau agama. Semangat yang menggebugebu ini pulalah yang
mengantarnya memaksakan pandangannya yang absolute untuk dianut orang lain.
Padahal, Tuhan sendiri memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih
jalannya sendiri.[10]
Dalam makalah ini kami mencoba
memaparkan sedikit tentang definisi agama dan lebih menonjolkan pada pembahasan
utama kami ialah ayat-ayat Al-qur’an yang berkenaan dengan hubungan antar
agama, yang mudah-mudahan dapat bermanfaat kami pembaca semua. Amin
B.
Rumusan
Masalah
Makalah ini berusaha menjawab pertanyaan
faktor-faktor manusia dalam hubungan antar agama, apakah yang perlu dilakukan
agar tercipta kerukunan antar agama menurut Al-Quran? Atau lebih jelasnya, harus
bagaimanakah manusia menciptakan kerukunan anatar agama dapat tercapai menurut
al-Quran? pertanyaan tersebut akan penulis jawab melalui uraian-uraian analisis
yang didasarkan pada sumber-sumber yang penulis pergunakan.
Penulis membatasi objek kajian pada penafsiran 4
ayat yang berhubungan dengan manusia dan hubungan antar agama, yaitu dalam
surah Al-Kafirun ayat 1-6, surah Al-Baqarah ayat 256, surah Al-Imran ayat 64
dan 103. Sedangkan ayat-ayat yang lain yang berhubungan dengan pembahasan ini
tidak menjadi bagian yang di bahas dalam makalah ini.
Ayat-ayat yang
berkenaan dengan hubungan antar agama
1.
Surah Al-kafiruun ayat 1-6
a. Lafal ayat
b. Tafsiran ayat
2.
Surah
Al-baqarah ayat 256
a. Lafal Ayat
b. Tafsiran ayat Surah
3.
Ali-imran ayat 64 dan 103)
a. Lafal ayat
b. Tafsiran ayat
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Agama
Sebelum
meranjak kepada pembahasan ayat-ayat yang berkenaaan dengan hubungan antar
Agama, terlebih dahulu kita kilas balik apa itu pengertian agama.
Pada
hakikatnya, semua manusia memiliki kesadaran tentang adanya kekuatan mutlak
yanga ada dijagatraya ini, baik kekuatan itu menguasai diri ataupun menguasai
jagatraya. Keasadaran untuk meyakini adanya kekuatan itu memang merupakan
karunia Allah sebagai suatu fitrah yang tak dapat dielakkan darinya.
Adapun
arti Agama, menurut sementara orang bahwa Agama berasal dari bahasa sangsekerta
yakni a: tidak, gama: kacau. Jadi, tidak kacau, yang dimaksud adalah untuk
mengatur kehidupan manusia supaya tidak kacau, aman, tentram dan teratur.
Sementara
Agama, menurut Kyai Musa Al-mahfuzh yang meneliti masyarakat Bali mengatakan,
bahwa Agama adalah upacara-upacara atau cara dalam hubngan antar manusia biasa
dengan raja-raja atau pemerintah, misalnya cara mempersembahkan upeti, cara
membayar pajak, cara mempertahankan Negara, dll.
Sedangkan
kata ad-din berasal dari bahasa Arab, yang artinya: tanggungan, hutang,
peraturan yang harus dilaksanakan, hutang yang harus dibayar dan
dipertanggungjawabkan, atau juga aturan yang dibuat.
Kemudian
melihat asal muasal Agama, maka kita dapat menggolongkan Agama menjadi dua
macam Agama: Thabi’I dan Samawi. Agama Thabi’I adalah agama ciftaan manusia,
hasil renungan budidaya manusia, ia diadakan berdsarkan fikiran, perasaan, dan
khayalan, yang kemudian dijadikan suatu pegangan hidup sesuai dengan
kehendaknya sendiri.
Adapun
Agama Samawi bermakna “yang dating dari langit”, ia bukan ciftaan manusia dan
tidak patut disebut Agama. Kalaupun terpaksa dikatakan Agama, maka itu hanyalah
sekedar sebutan saja, bukan pengertian yang sebenarnya, bukan pula hakikat yang
dituju.
Karena,
yang disebut dengan Agama terbatas pada hasil budaya manusia saja, sama dengan
ilmu lain hasil karya manusia, seperti ilmu social, ekonomi, budaya, dll. Hanya
bedanya, agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Jadi, dalam tulisan
tentang Samawi ini adalah sekedar untuk perbandingan antara ciftaan manusia dan
ciftaan Allah swt. Tuhan semesta alam. (Abdul Rahman Madjie, Meluruskan Tauhid,
75)
Selanjutnya
akan dipaparkan tentang ayat-ayat Al-qur’an yang berkenaan dengan hubungan
antar Agama, yakni:
1.
Surah
Al-kafirun ayat 1-6
a.
Lafal
Ayat
ö@è%
$pkr'¯»t
crãÏÿ»x6ø9$#
ÇÊÈ
Iw
ßç6ôãr&
$tB
tbrßç7÷ès?
ÇËÈ
Iwur
óOçFRr&
tbrßÎ7»tã
!$tB
ßç7ôãr&
ÇÌÈ
Iwur
O$tRr&
ÓÎ/%tæ
$¨B
÷Lnt6tã
ÇÍÈ
Iwur
óOçFRr&
tbrßÎ7»tã
!$tB
ßç6ôãr&
ÇÎÈ
ö/ä3s9
ö/ä3ãYÏ
uÍ<ur
ÈûïÏ
ÇÏÈ
Artinya:
“Katakanlah:
“Hai orang-orang kafir! (1); aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah
(2); dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah (3); dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kalian sembah (4); dan kalian tidak pernah pula
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah (5); untukmulah agamamu, dan untukkulah
agamaku.” (6).
Menurut Quraish Shihab, surah ini turun di mekah
sebelum Nabi saw. berhijrah ke Madinah. Demikian para ulama Al-Quran
berpendapat kecuali segelintir diantara mereka. Namanya yang popular adalah
surah al-Kafirun. Nama lainnya adalah surah al-Ibadah, surah ad-Din.
Ada juga yang menamainya surah al-Muqasyqisyah (penyembuh) yakni
kandungannya menyembuhkan dan menghilangkan penyakit kemusyrikan. Nama terakhir
ini diberikan juga kepada surah Qul Huwa Allah Ahad. Di sisi lain surah Qul
Huwa Allah Ahad yang popular dengan nama surah al-Ikhlas merupakan juga
salah satu nama dari surah al-kafirun ini.[11]
Surah Al-Kafirun dinilai oleh sementara ulama
sebagai wahyu ketujuh belas yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Wahyu keenam
belas adalah surat Al-Ma’un. Didalam mushaf Alquran, surah ini merupakan surah
yang ke-109, sebelum surat Al-Kautsar.[12]
Tema utamanya adalah penolakan usul kaum musyrikin
untuk penyatuan ajaran agama dalam rangka mencapai kompromi, sambil mengajak
agar masing-masing melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya tanpa saling
mengganggu.[13]
b.
Asbab
An-Nuzul Surah Al-Kafirun
Menurut M.Quraish Shihab, ditemukan beberapa riwayat
tentang sebab turunnya (nuzul) ayat-ayat surah ini, antara lain adalah
bahwa beberapa tokoh kaum musyrikin
makkah, seperti Al-Walid bin Mughirah, Aswad bin Abdul Muthalib, Umayyah bin
Khalaf, datang kepada Rasul saw. menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan
tuntunan agama. Usul mereka adalah agar Nabi bersama umatnyamengikuti
kepercayaan mereka, dan mereka pun akan mengikuti ajaran islam. “kami menyembah
Tuhanmu –hai Muhammad –setahun dan kamu juga menyembah tuhan kami setahun.
Kalau agamamu benar, kami mendapatkan keuntungan karena kami juga menybah
Tuhanmu dan jika agama kami benar, kamu juga tentu memperoleh keuntungan.”
Demikian lebih kurang usul kompromi mereka[14].
Mendengar usulan tersebut Nabi menjawab tegas : “Aku
berlindung kepada Allah dari tergolong orang-orang yang mempersekutukan Allah.”
Usul kaum musyrikin itu ditolak oleh Rasulullah saw. karena tidak mungkin dan
tidak logis pula terjadi penyatuan agama-agama. Setiap agama berbeda dengan
agama yang lain dalam ajaran pokoknya maupun dalam perinciannya. Karena itu
lanjut Quraish Shihab, tidak mungkin perbedaan-perbedaan itu digabungkan dalam
jiwa seseorang yang tulus terhadap agama dan keyakinannya. Masing-masing
penganut agama harus yakin sepenuhnya dengan ajaran agama atau kepercayaannya.
Selama mereka yakin, mustahil mereka akanmembenarkan ajaran yang tidak sejalan
dengan ajaran agama atau kepercayaannya.[15]
Kita jangan marah bila non-Muslim menilai
ajaran-ajaran Islam bertentangan dengan ajarannya, jangan marah jika mereka
menilai ajaran Islam salah. Sebaliknya, penganut ajaran agama dan kepercayaan
lain, jangan pula marah jika umat islam menilai ajaran mereka itu sesat. Yang
penting, dalam kehidupan masyarakat, kita tidak saling mempersalahkan, walaupun
masing-masing yakin sepenuhnya dari dalam lubuk hatinya bahwa agama
masing-masinglah yang direstui Tuhan. Kalau yang diupayakan dengan ushul
kompromi ini atau usul-usul liannya adalah kerukunan hidup bermasyarakat, maka
jalan yang sebaiknya ditempuh adalah apa yang dinyatakan pada akhir ayat dalam
surah ini: Bagimu agamamu (silahkan yakini dan laksanakan) dan bagiku
agamaku (biarkan aku meyakini dan melaksanakannya).[16]
Sedangkan menurut tafsir Al-Azhar, Asbabun-nujul
ayat diatas ialah: ketika pemuka Quraisy musyrikin menemui Nabi dengan
bermaksud mencari “damai”. Yang mendatangi Nabi itu menurut riwayat Ibnu Ishaq
dari Said bin Mina, ialah Al-walid bin Al-mughirah, Al-ash bin wail, Al-ashwad
bin Al-muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka kemukakan usul damai: “Ya
Muhammad ! mari kita berdamai, kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah,
tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah apa yang kami sembah, dan
di dalam segala urusan di negeri kita ini, engkau turut serta bersama kami.
Kalau seruan yang engkau bawa ini memang ada baiknya daripada apa yang ada pada
kami, supaya turutlah kami merasakannya dengan engkau. Dan jika pegangan kami
ini yang lebih benar daripada apa yang engkau serukan itu maka engkau pun telah
bersama mersakannya dengan kami, sama mengambil bahagian padanya”. Inilah
usulan yang mereka kemukakan. Maka tidak berapa lama turunlah ayat Al-kafiruuun
tersebut.[17]
c.
Tafsiran Ayat (berdasarkan Tafsir Al-Misbah)
Menurut
al-Biqa’i, karena pada akhir surah lalu (al-Kautsar) telah dinyatakan bahwa
siapa yang membenci Nabi Muhammad maka dia tidak berarti sama sekali, maka
sudah sewajarnya jika Nabi saw. mengarahkan semua perhatian kepada Allah dan
mensyukuri Nikmat-Nya. Karena itu pula pada surah ini beliau diajar untuk
berucap kepada para pembencinya itu bahwa: Katakanlah hai Nabi Muhammad
kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin yang telah mendarah daging kekufuran dalam
jiwa mereka bahwa: Wahai orang-orang kafir yang menolak keesaan Allah dan mengingkari kerasulanku, aku sekarang
hingga masaang tidak akan menyembah apa yang sedang kamu sembah.
Ayat 1-2
ö@è%
$pkr'¯»t
crãÏÿ»x6ø9$#
ÇÊÈ
Iw
ßç6ôãr&
$tB
tbrßç7÷ès?
ÇËÈ
“Katakanlah: “Hai orang-orang
kafir! (1); aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah (2).
Kata
( @è%
) qul/ katakanlah, dicantumkan pada awal ayat diatas – walau jika
kitamendiktekan sesuatu kepada orang lain agar dia mengucapkan sesuatu, kita
tidak harus mengulangi kata “katakanlah”, hal ini menunjukan bahwa
Rasulullah saw. tidak mengurangi sedikitpun dari wahyu yang beliau terima,
walaupun dari segi lahiriah kelihatannya itu tidak berfungsi. Di sisi lain kita
tidak dapat berkata bahwa pencantuman kata qul tidak mengandung makna.
Menurut Quraish Shihab, ada ajaran-ajaran Islam yang tidak harus dikumandangkan
keluar. Kita tidak harus berteriak sekuat tenaga untuk mempermaklumkan bahwa Inna
ad-dina ‘inda Allah al-Islam (QS. Al-Imran [3]: 19) yakni hanya agama Islam
yang diterima Allah, karena memproklamirkan ini dapat mengandung makna
mempersalahkan agama-agama lain. Cukup kita yakina hal tersebut di dalam jiwa.[18]
Di
sisi lain dapat dikatakan bahwa Islam memperkenalkan dua macam ajaran. Pertama nazhari
(teoritis) – meminjam istilah Mahmud Syaltut, dan kedua ‘amali
(praktis). Yang nazhari atau teoritis berkaitan dengan benak dan
jiwa sehingga ajaran ini harus
difahami sekaligus diyakini. Ini menjadikan sisi ajaran tersebut bersifat ke
dalam bukan ke luar. Apabila sumber dan interpretasi ajaran ini
dipastikan kebenarannya maka ia dinamai ,aqidah yakni sesuatu yang pasti
tidak mengandung interpretasi lain. Sedang yang ‘amali adalah yang
berkaitan dengan pengamalan dalam dunia nyata, inilah yang dinamai Syari’ah.[19]
Nah,
di sini timbul pertyanyaan, apakah ajaran mutlak, setelah diyakina sebagai
kebenaran mutlak, harus pula dimutlakkan pelaksanaannya terhadap pihak lain
dalam dunia nyata? Apakah ia harus dinyatakan keluar? Menurut Quraish Shihab,
Ajaran yang pasti setelah diyakini kebenaran mutlak, tidak harus dinyatakan
keluar kecuali bila ada hal-hal yang mengundang kehadirannya keluar.[20]
Di
sinilah antara lain peranan kata qul (“katakanlah!”) dalam berbagai
ayat-ayat Alquran. Kata qul terulang dalam Alquran sebanyak 332 kali,
yang secara umum dapat dikatakan bahwa kesemuanya berkaitan dengan persoalan
yang hendaknya menjadi jelas dan nyata bagi pihak-pihak yang bersangkutan agar
mereka dapat menyesuaikan sikap mereka dengan sikap umat Islam.[21]
Kata
( crãÏÿ»x6ø9$ ) al-Kafirun terambil dari kata
( Ïÿ»x6
) kafara yang pada mulanya berarti menutup. Al-Quran menggunakan
kata tersebut untuk berbagai makna yang masing-masing dapat difahami sesusai
dengan kalimat dan konteksnya.
Kata ini dapat berarti:
a) Yang mengingkari keesaan Allah dan
kerasulan Muhammad saw., seperti yang dimaksud oleh ayat: (QS. Saba’ [34]: 3)
b) Yang tidak mensyukuri nikmat Allah,
seperti pada QS. Ibrahim [14]: 7)
c) Tidak mengamalkan tuntunan ilahi walau
mempercayainya, seperti QS. Al-Baqarah [2]: 85)
Masih
ada arti lain dari kata kufur, namun disimpulkan bahwa secara umum kata
itu menunjukan kepada sekian banyak sikap yang bertentangan dengan tujuan
kehadiran/ tuntunan agama.[22]
Yang
dimaksud dengan orang-orang kafir pada ayat pertama surah ini adalah
tokoh-tokoh kaum kafir yang tidak mempercayai keesaaan Allah serta tidak
mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw. sementara ulama merumuskan bahwa semua
kata kufur dalam berbagai bentuknya yang terdapat dalam ayat-ayat yang
turun sebelum nabi berhijrah, kesemuannya bermakna orang-orang musyrik atau
sikap-sikap mereka yang tidak mengakui kerssulan Nabi Muhammad saw. atau
meninggalkan ajaran-ajaran pokok Islam.[23]
Kata
( ßç6ôãr&
) a’budu menurut Quraish Shihab
berbentuk kata kerja masa kini dan masa yang akan datang (mudhari’) yang
mengandung arti dilakukannya pekerjaan
dimaksud pada sat ini, atau masa yang akan datang atau secara terus
menerus. Dengan demikian nabi Muhammad saw.
diperintahkan untuk menyatakan bahwa: Aku sekarang dan dimasa
datang bahkan sepanjang masa tidak akan
menyembah, tunduk atau taat kepada apa yang sedang kamu sembah wahai kaum
musyrikin.[24]
Ayat
3
Iwur
óOçFRr&
tbrßÎ7»tã
!$tB
ßç7ôãr&
ÇÌÈ
“Dan
kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah (3).”
Setelah
ayat yang lalu memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk menyatakan bahwa beliau
tidak mungkin untuk masa kini dan akan datang menyembah sembahan kaum
musyrikin, ayat di atas melanjutkan bahwa: Dan tidak juga kamu
wahai tokoh-tokoh kaum musyrikin akan menjadi penyembah-penyembah apa yang
sedang aku sembah.
Jika
demikiian menurut Quraish Shihab, ayat ketiga ini mengisyaratkan bahwa mereka
itu tidak akan mengabdi atau pun taat kepada Allah, Tuhan yang sekarang dan di
masa yang akan datang disembah oleh Rasulullah saw. Pernyataan ini tidak
bertentangan dengan kenyataan sejarah yang berduyun-duyunnya penduduk Mekah
yabg tadinya kafir itu memeluk agama Islam dan menyembah apa yang disembah oleh
Rasulullah saw. Karena seperti yang telah dikemukakan di atas, ayat ini
ditunjukan kepada tokoh-tokoh kafir mekah yang ketika itu datang kepada
Rasulullah saw. menawarkan kompromi, dan yang dalam kenyataan sejarah tidak
memeluk agama Islam bahkan sebagian dari mereka mati terbunuh karena
kekufurannya.[25]
Ayat
1-3 di atas berpesan kepada Nabi Muhammad saw. untuk menolak secara tegas usul
kaum musyrikin. Bahkan lebih dari itu, ayat-ayat tersebut bukan saja menolak
usulan yang mereka ajukan sekarang tetapi juga menegaskan bahwa tidak mungkin
ada titik temu antara Nabi saw. dengan tokoh-tokoh tersebut, karena kekufuran
sudah demikian mantap dan mendarah daging dalam jiwa mereka. Kekeraskepalaan
meeka telah mencapai puncaknya sehingga tidak ada sedikit harapan atau
kemungkinan, baik masa kini maupun masa yang akan datang untuk bekerjasama
dengan mereka.[26]
Ayat 4-5
Iwur
O$tRr&
ÓÎ/%tæ
$¨B
÷Lnt6tã
ÇÍÈ
Iwur
óOçFRr&
tbrßÎ7»tã
!$tB
ßç6ôãr&
ÇÎÈ
“Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kalian sembah (4); dan kalian tidak pernah pula
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah (5).”
Setelah
ayat yang lalu menegaskan bahwa tokoh-tokoh kafir itu tidak akan menyembah di
masa datang apa yang sedang disembah oleh Nabi saw., ayat di atas melanjutkan
bahwa: Dan tidak juga aku akan menjadi penyembah di masa datang dengan
cara yang selama ini kamu telah sembah, yakni aneka macam berhala. Dan
tidak juga kamu wahai tokoh-tokoh kaum musyrikin akan menjadi
penyembah-penyembah dengan cara yang aku sembah.
Sementara
Quraish Shihab mengatakan, mufasir berpendapat bahwa kandungan ayat 4 surah ini,
tidak berbeda dengan kandungan ayat 2, demikian juga kandungan ayat 5 sama
dengan jandungan 3. Pendapat ini kurang tepat karena tanpa kesulitan akan dapat
melihat perbedaan redaksi ayat 2 dan 4.[27]
Dalam
rangka memahami perbedan itu, kita harus mengarahkan pandangan kepada kata (Lnt6tã)
‘abadtum (dalam bentuk kata kerja masa lampau) yang digunakan oleh ayat
4 dan kata ( tbrßç7÷ès?)
ta’budun yang berbentuk kata kerja masa kini dan akan datang yang
digunakan oleh ayat 2. Lebih jauh bila kita memperhatikan ayat 3 dan 5 yang keduanya berbicara tentang apa yang
disembah atau ditaati oleh penerima wahyu ini (Nabi Muhammad saw.), kita
temukan bahwa redaksinya sama, yakni kedua ayat itu menggunakan kata (ßç6ôãr&)
a’budu dalam bentuk kata kerja masa kini dan datang.[28]
Kesan
pertama yang diperoleh berkaitan dengan perbedaan tersebut bahwa bagi Nabi
saw., ada konsistensi dalam objek pengabdian dan ketaatan, dalam arti yang
beliau sembah tidak berubah-ubah. Berbeda halnya dengan orang-orang kafir itu,
rupanya apa yang mereka sembah hari ini dan esok berbeda dengan dengan apa yang
mereka sembah kemarin. Nah disini letak perbedaan antara ayat-ayat tersebut.
Ayat 2 dan 4 bermaksud menegaskan bahwa Nabi saw. tidak mungkin akan menyembah
ataupun taat kepada sembahan-sembahan mereka baik yang mereka sembah hari ini
dan besok, maupun yang pernah mereka senbah kemarin. Jika demikian wajar jika
Nabi saw. diperintahkan untuk menyatakan bahwa tidak sembahan yang mereka
sembah hari ini, tidak yang kemarin dan tidak juga yang besok, yang bisa di
taaati oleh pemeluk agama islam. Karena sembahan kami sejak semula hingga zaman
yang tak terbatas adalah Allah swt. demikian perbedaan kandungan ayat 2-3
dengan kandungan ayat 4-5, yang secara sepintas diduga sama.[29]
Adapun
perbadaan ayat ketiga dan kelima yang redaksinya persis sama. Keduannya
berbunyi: wa la antum ‘abiduna ma a’bud, maka sementara ulama
membadakannya dengan memberi arti yang berbeda terhadap kata ($tB
) ma, pada masing-masing ayat. Antara lain huruf ($¨B)
yang berarti apa yang, dan keika itu dalam istilah kebahasaan ia dinamai
ma maushulah, dan bisa juga berfungsi mengubah kata yang menyartainya
sehingga kata tersebut menjadi kata jadian, dan ketika itu dinamai
dengan ma masdariyyah. Menurut Quraish Shihab, ma pada ayat
ketiga (demikian juga pada ayat kedua) berarti apa yang, sehingga wa
la antum ‘abiduna ma a’bud berarti kamu tidak akan menjadi penyembah apa
yang sedang dan akan saya sembah.sedangkan ($¨B)
ma pada ayat kelima (demikian pula keempat) adalah masdariyyah,
sehingga kedua ayat ini berbicara tentang cara beribadat: “Aku tidak pernah
menjadi penyembah dengan (cara)
penyembahan kamu, kamu sekalian pun tidak akan menjadi penyembah-penyembah
dengan cara penyembahanku.” Cara kaum muslimin menyembah adalah berdasarkan
petunjuk Ilahi, sedang cara mereka adalah berdasarkan hawa nafsu mereka.
Demikianlah terlihat dengan jelas bahwa tidak ada pengulangan dalam ayat-ayat
di atas.[30]
Ayat 6
ö/ä3s9
ö/ä3ãYÏ
uÍ<ur
ÈûïÏ
ÇÏÈ
“Untukmulah
agamamu, dan untukkulah agamaku.” (6).
Setelah
menegaskan tidak mungkinnya bertemu dalam keyakinan ajaran Islam dan kepercayaan Nabi Muhammad saw. dengan
kepercayaan kaum yang mempersekutukan Allah, ayat di atas menetapkan cara
pertemuan dalam kehidupan bermasyarakat yakni: Bagi kamu secara khusus agama
kamu. Agama itu tidak menyentuhku sedikitpun, kamu bebas untuk
mengamalkanya sesuai kepercayaan kamu dan bagiku juga secara khusus agamaku,
aku pun mestinya memperoleh kebebasan untuk melaksanakannya, dan kamu tidak
akan disentuh sedikit pun olehnya.
Menurut
Quraish Shihab, kata ( ûïÏ )
din dapat agama, atau balasan, atau kepatuhan.
Sementara ulama memahami kata tersebut disini dalam arti balasan. Antara
lain dengan alas an bahwa kaum musyrikin Mekah tidak memiliki agama. Mereka
memahami ayat di atas dalam arti masing-masing kelompok akan menerima balasan
yang sesuai. Bagi mereka ada balasannya, dan bagi Nabi pun demikian.[31]
Didahulukannya
kata ( /ä3s9
) lakum dan ( Í<u
) liya berfungsi menggambarkan kekhususan, karena itu pula
masing-masing agama biarlah berdiri sendiri dan tidak perlu dicampurbaurkan.
Tidak perlu mengajak kami untuk menyembah sembahan kalian setahun agar kalian
menyembah pula Allah. Kalau ( ûïÏ
) din diartikan agama, maka ayat ini tidak berarti bahwa Nabi
diperintahkan mengakui kebenaran anutan mereka. Ayat ini hanya mempersilahkan
mereka menganut apa yang mereka yakini. Ayat 6 di atas, merupakan pengakuan
timbal balik, bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. Sehingga dengan
demikian masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan
baik, tanpa memutlakan pendapat kepada oran lain tetapi sekaligus tanpa
mengabaikan keyakinan masing-masing.[32]
Al-qurthubi meringkas
tafsir seluruh ayat ini begini:
“Katakanlah
olehmu wahai utusanku, kepada kafir-kafir itu, bahwasanya aku tidaklah mau
diajak menyembah berhala-berhala yang kamu sembah dan puja itu, kamu pun
rupanya tidaklah mau menyembah Allah saja sebagaimana yang aku lakukan dan
serukan. Malahan kepada Allah saja sebagaimana yang aku lakukan dan serukan.
Maka kalau kamu katakan bahwa kamu pun menyembah Allah jua, perkataan itu
bohong, karena kamu adalah musyrik. Sedangkan Allah itu tidak dapat
dipersyaratkan dengan yang lain. Dan ibadat kita pun berlainan. Aku tidak
menyembah kepada tuhanku sebagaimana kamu menyembah berhala. Oleh sebab itu
agama kita tidaklah dapat diperdamaikan atau dipersatukan, “bagi kamu agama
kamu, bagiku adalah agamaku pula”. Tinggilah dinding yang membatas, dalamlah
jurang di antara kita.
Surat
ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad saw bahwasanya
akidah tidaklah dapat diperdamaikan.
Kesimpulan
Awal
surah ini menanggapi usul kaum musyrikin untuk berkompromi dalam akidah dan
kepercayaan tentang Tuhan. Usul tersebut ditolak dan akhirnya ayat terakhir
surah ini menawarkan bagaimana sebaiknya perbedaan tersebut disikapi. Demikian
bertemu akhir ayat sunah ini dengan awalnya. Maha Benar Allah da segala
firman-nya, dan sungguh serasi ayat-ayat nya, demikian Wa Allah A’lam.
2.
Surah
Al-Baqarah ayat 256
a.
Lafal
ayat
Iw
on#tø.Î)
Îû
ÈûïÏe$!$#
(
s%
tû¨üt6¨?
ßô©9$#
z`ÏB
ÄcÓxöø9$#
4
`yJsù
öàÿõ3t
ÏNqäó»©Ü9$$Î/
-ÆÏB÷sãur
«!$$Î/
Ïs)sù
y7|¡ôJtGó$#
Íouróãèø9$$Î/
4s+øOâqø9$#
w
tP$|ÁÏÿR$#
$olm;
3
ª!$#ur
ììÏÿx
îLìÎ=tæ
ÇËÎÏÈ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
b.
Asbab An-Nuzul Surah Al-Baqarah ayat 256
Dalamriwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat di atas (Q.S. al Baqarah [2]: 256) berkenaan dengan
al-Hushain dari golongan Ansar, suku Bani Salim bin ‘Auf yang mempunyai dua
orang anak yang beragama Nasrani, sedang diasendiri seorang Muslim.
Ia
bertanya kepada Nabisaw.: “Bolehkah saya paksa ke dua anak itu, karena mereka tidak
taat kepadaku, dan tetapi ingin beragama Nasrani?: Allah menjelaskan jawabannya
dengan ayat tersebut bahwa tidak ada paksaan dalam Islam.
DiriwayatlanolehIbnuJarirdariSa’idatau
‘Ikrimah, yang bersumberdariIbnu ‘Abbas
c.
Tafsiran
Ayat (berdasarkan Tafsir Al-Misbah)
Setelah
jelas bagi setiap orang, melalui ayat yang lalu, bahwasannya akidah tidaklah
dapat diperdamaikan, maka ayat ini menambahkan bahwa tidak ada paksaan dalam
agama. Allah tidak memaksa manusia menganut agama-Nya, meskipun Allah dapat
memaksa makhluk-Nya dengan kekuasaan-Nya yang tidak terkalahkan.
Tidak
ada paksaan dalam menganut agama. Mengapa ada
paksaan, padahal Dia tidak membutuhkan sesuatu; mengapa ada paksaan, padahal sekiranya
Allah mengkjendak, nicaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja) (QS.
Al-Maidah [5]: 48). Perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan
dalam menganut agama adalah menganut aqidahnya. Ini berarti jika seseorang
telah memilih satu aqidah, katakana saja aqidah Islamiyah, maka dia terikat
dengan tuntunan-tuntunannya dan berkewajiban melaksanakan perintah-perintahnya.
Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapannya. Dia tidak bolehberkata, “
Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atu tidak, berzinah atau
nikah”. Karena bila dia telah menerima aqidahnya, maka dia harus melaksanakan
tuntunannya.[33]
Kembali
kepada penegasan ayat ini, tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama.
Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaaian. Agamanya dinamai
Islam yakni damai.kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan
menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut
keyakinan agama islam.
Ayat ini menggunakan kata ( ô©9$ ) rusyd
yang mengandung makna “jalan lurus”.Kata ini pada akhirnya bermakna “ketetapan mengelola
sesuatu serta kemantapan dan kesinambungan dalam ketetapan itu”. Ini bertolak belakang
dengan ( Óxöø9$ ) al-gayy,
yang terjemahannya adalah jalan sesat. Jika demikian, yang menelusuri jalan
lurus itu pada akhirnya melakukan segala sesuatu dengan tepat, mantap, dan berkesinambungan.
Tidaka dapaksaan dalam menganut agama, karena telah
jelas jalan yang lurus. Itusebabnya, sehingga orang giladan yang belumdewasa,
atau yang tidak mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau
tidak menganutnya, karenab agi mereka apa yang dinamakan jalan jelas itu belum
diketahuinya. Tetapi anda jangan berkata bahwa anda tidak tahu jika anda
mempunyai potensi untuk mengetahui tetapi potensi itu tidak anda gunakan. Di
sinianda pun dituntut karena telah menyia-nyi akan potensi yang anda miliki.
Ada juga yang memahami ayat di atas
dalam arti: Jalan yang benar, jelas juga perbedaannya dengan alan yang sesat,
karena telah jelas bahwa yang ini membawa manfaat dan itu mengakibatkan
madarat. Jika demikian tidak perlu ada paksaan, karena yang dipaksa adalah yang
enggan tunduk akibat ketidaktahuan.
Yang enggan memeluk agama ini
hakekatnya terbawa oleh rayuan Thagut ,sedangkan yang memeluknya adalah
yang ingkar dan menolak ajakan Thagut, dan mereka itulah yang memiliki
pegangan yang kukuh. Karena itu, barang siapa yang ingka rkepada Thagut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhya ia telah berpegang teguh kepada buhul
tali yang amatkuat yang tidak akan putus.
( Nqäó»©Ü9$
) Thagut,terambildariakar kata yang berarti “malampauibatas”. Biasanya
digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan, dajjal, penyihir,
yang menetapkan hukum yang bertentangan dengan ketentuan ilahi, tirani,
semuanya digelar dengan Thagut. Yang memeluk agama Islam harus menolak
ajakan mereka semua. Ini harus didahulukan sebelum mengakui keesaan Allah.
Bukankah syahadat yang diajarkan adalah mendahulukan penegasan bahwa Tiada
Tuhan yang berhakdisembah, baru segera disusul dengan kecuali Allah? Memang,
menyingkirkan keburukan harus lebih dahulu dari pada menghiasi diri dengan
keindahan.
Berpegang teguh pada buhul tali yang
amat kuat adalah berpegang teguh, disertai dengan upaya sungguh-sungguh, bukan
sekedar berpegangs ebagaimana dipahami dari kata (7|¡ôJtGó$#)Istamsaka,
yang menggunakan huruf-huruf sin dan ta bukan (
7|¡ôJ
) masaka. Tali yang dipegangnya pun amat kuat, dilanjutkan dengan
pernyataan tidak akan putus, sehingga pegangan yang berpegang itu amat kuat,
materi tali yang dipegangnya kuat, danh asil jalinan materi tali itu tidak akan
putus.
KesungguhanuntukmemeganggantunganitudisebabkankarenaayunanThagutcukupkuat,
sehinggadiperlukankesungguhandankekuatan.
Kata( )‘urwahyangdiatasditerjemahkandengangantungantaliadalahtempattanganmemegangtali,
seperti yangdigunakan pada timba guna mengambil air dari sumur. Ini memberi
kesan bahwa yang berpegang dengan gantungan itu bagaikan menurunkan timba untuk
mendapatkan air kehidupan.
Kesimpulan
Allah menjelaskan dan menegaskan
bahwasnnya tidak ada paksaan di dalam Islam dan tidak adapaksaan dalam menganut
agama. Mengapa? Karena Allah tidak membutuhkan sesuatu melainkan kita yang
membutuhkan sesuatu dari Allah yaitu dengan berpegang teguh padab uhul tali
yang sangat kuat, dan tidak akan pernah putus, asalkan disertai dengan
upayasungguh-sungguhdalammelaksanakannya.Dan ayatinijugamerupakan perumpamaan
keadaan seseorang yang beriman. Betapapun sulitnya keadaan, walau ibarat
menghadap kesuatu jurang yang amat curam, dia tidak akan jatuh binasa, karena
dia berpegang dengan kukuh pada seutas tali yang juga amat kukuh. Bahkans
eandainya ia terjerumus masuk ke dalam jurang itu, ai masih dapat naik atau
ditolong, karena ia tetap berpegang pada tali yang menghubungkannya dengan
sesuatu di atas, bagaikan timba yang di pegangu jungnnya. Timba yang diturunkan
mendapatkan air dan ditarik keatas. Demikian juga seorang mukmin yang
terjerumus kedalam kesulitan. Memang dia turun atau terjatuh, tetapi sebentarl
agi dia akan keatas membawa air kehidupan yang bermanfaat untuk dirinya dan
orang lain.
3.
Surah
al-Imran ayat 64
a.
Lafal
ayat
Di
dalam tafsir Al-Misbah karangan prof. Dr. Quraish Shihab dijelaskan, ayat ini
berkaitan dengan kesungguhan dan keinginan Nabi Muhammad saw. agar orang-orang
Nasrani menerima ajakan Islam, maka Allah swt. memerintahkan beliau untuk
mengajak mereka dan semua pihak dari Ahl al-Kitab termasuk orang-orang Yahudi
agar menerima satu tawaran yang sangat adil, tetapi kali ini dengan cara yang
lebih simpatik dan halus dibanding dengan cara yang lalu. Ajakan ini, tidak
member sedikit pun kesan kelebihan pun bagi beliau dan umat Islam, beliau
diperintah Allah mengajak dengan bekata: “Wahai Ahl al-Kitab,” demikian
panggilan mesra yang mengakui bahwa mereka pun dianugrahi Allah kitab suci
tanpa menyinggung perubahan-perubahan yang mereka lakukan, “Marilah menuju
ke ketinggian. Kata ketinggian dipahami dari kata ( ) ta’alaw yang terambil dari kata
yang berarti tinggi. Marilah menuju ketinggian, yaitu suatu kalimat ketetapan
yang lurus, adil yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
karena itulah yang diajarkan oleh para nabi dan rasul yang kita akui bersama,
yakni tidak kita sembah kecuali Allah, yakni tunduk patuh lagi tulus
menyembah-Nya semata dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun
serta dengan sedikit persekutuan pun, dan tidak pula sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tihan-tuhan selain Allah, yakni kita
tidak menjadikan para pemimpin agama kita menghalalkan atau mengharamkan
sesuatu yang tidak dihalalkan atau diharamkan oleh Allah. Jika mereka
berpaling menolak ajakan ini – walaupun hal penolakan mereka diragukan
mengingat jelasnya bukti-bukti. Ini dipahami dari kata ( ) in yang digunakan ayat ini – maka
katakanlah: ‘saksikanlah, ketahuilah dan akuilah bahwa kami adalah
orang-orang muslim yang berserah diri kepada Allah’, sebagaimana yang
diajarkan oleh Nabi Ibrahim as.”[34]
Pernyataan terakhir dalam ayat ini
dipahami oleh sementara mufasir bermakna, “jika mereka berpaling menolak ajaran
ini, maka semua dalil telah membuktikan kekeliruan kalian, dan dengan demikian
kalian harus mengakui bahwa kami – bukan kalian – orang-orang yang benar-benar
muslim, yakni menyerahkan diri kepada Allah sebagaimana yang diajarkan oleh
Ibrahim as. Dan diwasiatkan olehnya.”
Pernyataan ini juga dapat bermakna,
“Kalau kalian berpaling dan menolak ajakan ini, maka saksikan dan akuilah bahwa
kami adalah orang-orang muslim, yang akan melaksanakan secara teguh apa yang
kami percayai. Pengakuan kalian akan eksistensi kami sebagai muslim – walau
kepercayaan kita berbeda – menuntut kalian untuk membiarkan kami melaksanakan
tuntutan agama kami. Karena kami pun sejak dini telah mengakui eksistensi
kalian tanpa kami percaya apa yang kalian percayai. Namun demikian kami
mempersilahkan kalian melaksanakan agama dan kepercayaan kalian.” ( ) lakum dinukum wa liya din / bagimu
agamamu dan bagiku agamaku.[35]
4.
Surah
al-Imran ayat 103
a.
Lafal
ayat
Kata ( ) i’tashama terambil
dari kata ( ) ashama, yang
bermakna menghalangi. Penggalan ayat ini mengandung perintah untuk
berpegang kepada tali Allah yang berpungsi menghalangi seseorang terjatuh. Kata
( ) habl yang berarti tali,
adalah apa yang digunakan mengikat sesuatu guna mengangkatnya ke atas atau
menurunkannya ke bawah agar sesuatu tidak terlepas atau terjatuh. Seperti tulis
fakhruddin ar-Razi, setiap orang yang berjalan pada jalan yang sulit, khawatir
tergelincir jatuh, tetapi jika dia berpegang pada tali yang terulur pada kedua
ujung jalan yang dilaluinya, maka dia akan merasa aman untuk tidak terjatuh,
apalagi jika tali tersebut kuat dan cara memegangnya pun kuat. Yang memilih
tali yang rapuh, atau tidak berpegang teguh – walau talinya kuat – kemungkinan
besar akan tergelincir sebagaimana dialami oleh banyak orang. Tali yang
dimaksud oleh ayat ini adalah ajaran agama, atau al-Quran. rasul saw.
melukiskan al-Quran dengan sabdanya: ( ) huwa habl Allah
al-matin/ Dia adalah tali Allah yang kukuh.
BAB
III
SIMPULAN
Pada
pembahasan diatas dapat kita ambil kesimpulan yang berkenaan dengan hubungan
antar agama diantaranya:
Pertama,
kita sebagai umat Islam harus senantiasa menghormati dan saling menolong
terhadap non-muslim, asal jangan tolong menolong dalam hal akidah.
Kedua,
, bahwa Islam ditegakkan untuk rahmat
seluruh alam sebagaimana ucapan Nabi Muhammad saw “saya tidak diutus untuk
menjadi pengutuk, tetapi saya diutus mengajak dan membawa rahmat”.
Ketiga,
keinginan Nabi Muhammad saw. agar orang-orang Nasrani menerima ajakan Islam,
maka Allah swt. memerintahkan beliau untuk mengajak mereka dan semua pihak dari
Ahl al-Kitab termasuk orang-orang Yahudi agar menerima satu tawaran yang sangat
adil, tetapi Ahli-kitab senantiasa selalu ingin menyesatkan kaum muslimin
dengan tipu dayanya. Seperti dalam surah Ali-imran ayat 64 yang menyatakan
bahwa Nabi Ibrahim adalah orang kafir.
Keempat,.
perintah untuk berpegang kepada tali Allah yang berpungsi menghalangi seseorang
terjatuh.
[1] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran, Mizan, Bandung,
1996, h. 211
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.h. 219
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Mizan, Bandung, 2005,
h. 379
[9] Ibid h. 380
[10] Ibid.
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Quran” Juz’Amma , Lentera Hati, Jakarta, 2002, h. 573
[12] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran Al-Karim “Tafsir Surat-surat
Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu”, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997,
h. 632
[13] Opcit. M. Quraish Shihab,
Tafsi Al-misbah,h. 573
[14] Opcit. M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran Al-Karim ‘Tafsir
Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, h. 633
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[18] Opcit. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan,
dan Keserasian Al-Quran” Juz ‘Amma, Lentera Hati, Jakarta, 2002, h 576.
[19] Ibid.
[20] Opcit. M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran Al-Karim ‘Tafsir
Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, h. 636
[21] Ibid.
[22] Opcit. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan, Kesan,
dan Keserasian Al-Quran” Juz ‘Amma, Lentera Hati, Jakarta, 2002, h 577
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid
[27] Ibid. hlm. 579
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid. hlm. 581
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Ibid. Juz 2, hlm. 115
[35] Ibid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar