PEMIKIRAN HARALD
MOTZKI TENTANG HADIS
Oleh:
Enjen Zaenal Mutaqin
Fahmi Muhammad Tosin
- Biografi Harald Motzki.
Misteri adalah
kata dan natijah sementara dari penyusun terkait dengan masalah biografi Harald
Motzki, setelah melaui “kristalisasi pemikiran” dengan sarana teknologi
tradisional berupa jurnal dan majalah hingga teknologi modern berupa internet,
penyusun belum menemukan data lengkap mengenai biografi Harald Motzki. Sejauh
yang penyusun ketahui hingga saat ini, Harald Motzki adalah seorang orientalis
yang menjadi Guru Besar di Universitas Nijmegen, Belanda.
- Latarbelakang Penelitian Harald Motzki.
Pada hakekatnya
setiap orang adalah produk dari lingkungannya, dan terpengaruh oleh
sistem-sistem eksternal, yang ada dalam kondisi sosial, politik, dan budaya
sekelilingnya. Oleh karena itu, sebelum meneliti sebuah objek, terlebih dahulu
harus memiliki pandangan yang holistik, menyeluruh dan seksama tentang objek
tersebut. Dalam hal ini, biografi Harald Motzki sangat penting diketahui guna
melihat latar belakang kehidupanya. Karena biografinya belum ditemukan, maka
penyusun menganalisa latarbelakang pemikirannya dengan melihat konteks sejarah
perkembangan pemikiran orientalis secara umum. Berawal dari teori hermeneutika
ini lah, sebagai seorang orientalis, Harald Motzki jelas tidak bisa lepas dari
sistem-sistem eksternal yang ada disekitarnya, yakni pengaruh dari pemikiran
kaum orientalis sebelumnya.
Data sejarah
menunjukkan, pemikiran orientalis awal melihat keberadaan sanad sebagai masalah
yang sangat urgen dalam pembahasan hadis. Sebab, masalah sanad berkaitan
langsung dengan otentisitas hadis. Kapan awal mula pemakaian sistem sanad
digunakan? Adalah permasalahan kontroversial yang sering diperdebatkan di
kalangan kaum orientalis. Menurut Caetani dan Sprenger pemakaian sanad baru
dimulai pada masa antara Urwah (w. 94 H) dan Ibn Ishaq (w. 151 H) sehingga
sebagian besar sanad yang terdapat dalam kiab hadis adalah buatan ahli hadis
abad ke-2 atau bahkan pada abad ke-3.
Pendapat berbeda datang dari Horovitz, menurutnya pemakaian sanad dalam periwayatan sudah dimulai sejak sepertiga terakhir dari abad pertama Hijriyah, sementara menurut J. Robson dimulai pada pertengahan abad pertama.
Pendapat berbeda datang dari Horovitz, menurutnya pemakaian sanad dalam periwayatan sudah dimulai sejak sepertiga terakhir dari abad pertama Hijriyah, sementara menurut J. Robson dimulai pada pertengahan abad pertama.
Secara umum,
G. H. A. Juynboll dalam hal ini memetakan tiga pendapat yang menonjol terkait
dengan masalah awal mula pemakaian sanad dalam studi hadis. Pertama, pendapat
umum sarjana muslim yakni sejak perang sipil I di mana Usman bin affan terbunuh
Tahun 35 H. Kedua, J. Schacht, sejak perang sipil ke-3, di mana Khalifah Umayah
Walid bin Yazid terbunuh Tahun 126 H. Ketiga, pendapatnya G. H. A. Juynboll
sendiri, yakni sejak perang sipil ke-2 di mana Abdullah bin Zubair
memproklamirkan pemerintahan tandingan di Makkah Tahun 63 H.
Dari pemetaan
G.H.A. Juynboll tersebut, tampak pendapat J. Schacht yang menyatakan keberadaan
sistem sanad dimulai pada abad ke-2 H, atau paling awal akhir abad pertama.
Sumber epistemologi yang digunakan J. Schacht adalah kitab Muwata karya Imam
Malik, al-Muwata-nya al-Syaibani, dan al-Umm karya Imam Syafi’i. Dari
kitab-kitab fiqh ini lah J. Schacht meneliti kapan awal mula penggunaan sanad
hadis. Schacht dengan metode projecting back sampai pada kesimpulan bahwa hukum
Islam belum eksis pada masa awal Islam. Sebab, hadis (yang dimaksud adalah
hadis ahkam) tidak digunakan sebagai argumen dalam diskusi hukum Islam. Hukum
Islam sendiri baru diterapkan pada masa Bani Umayyah. Oleh karena itu,
keotentikan hadis layak diragukan, sebuah kesimpulan yang kemudian dipertegas
oleh Juynboll.
Diskursus
keotentikan hadis di kalangan orientalis yang berujung pada kontroversi
eksistensi hukum Islam di atas adalah tradisi yang melatarbelakangi pemikiran
Harald Motzki. Hal ini tampak ketika Motzki mencoba mengcounter pendapat J.
Schacht dengan asumsi bahwa hukum Islam telah eksis sejak abad pertama Hijriyah
sehingga jurisprudensi Islam yang didasarkan atas al-Qur'an dan hadis adalah
sumber yang otentik. Guna membuktikan kesahihan asumsinya ini, Harald Motzki
melakukan penelitian kitab al-Musannaf Karya Abdurrazzaq as-Shan’ani.
C. Kajian
Harald Motzki atas Kitab al-Musannaf Karya Abdurrazzaq as-San’ani.
1. Kitab al-Musannaf Karya Abdurrazzaq: Sebagai Objek Penelitian
Harald Motzki.
Sebelum masuk
pada pembahasan usaha Motzki tentang otentisitas hadis, pengetahuan atas
Mushannaf Abdul Razzaq dirasa penting. Hal ini dikarenakan jika riwayat yang
terdapat dalam kitab ini oyentik, maka hadis memang telah ada sejak abad
pertama hijriah. Ditinjau dari segi jenis kitab-kitab hadis, kitab ini termasuk
kitab hadis yang disusun berdasarkan bab fiqh. Hal ini dapat dilihat dari
tehnik penyusunannya yang khas, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki
tema serupa. Penulis kitab ini adalah Abdul Razzaq yang memiliki nama lengkap al-Hafiz al-Kabir Abi Bakar ‘Abd al-Razzaq Ibn
Hamman al-San’ani (w. 211H.). Ia dilahirkan pada tahun 126 H/744 M. Ia dibesarkan di Yaman dan pernah
mengenyam pendidikan di Yaman. Kitab Musannaf ‘Abd al-Razzaq sudah
dipublikasikan sejak tahun 1972 sebanyak 11 volume, yang disajikan oleh Habib
al-Rahman al-A’zami, dan diterbitkan oleh al-Majelis al-Ilmi, Beirut.(2) Kitab Musannaf ‘Abd al-Razzaq ini
memuat hadis sebanyak 21033 buah.
Ada beberapa alasan, mengapa Harald Motzki
mengambil Kitab Musannaf Abd al-Razzaq ini sebagai objek penelitiannya:
1)
Musannaf Abd
al-Razzaq ini merupakan salah satu kitab yang mewakili dari banyak kitab-kitab
hadis tertua pada abad kedua hijriah;
2)
Musannaf Abd
al-Razzaq tidak terpengaruh oleh mazhab as-Syafi’i, karena di dalamnya masih
murni mengandung materi-materi dari qaul Nabi, qaul Shahabat dan qaul Tabi’in;
3)
Musannaf Abd
al-Razzaq adalah kitab yang memuat informasi yang cukup mewakili perkembangan hukum
Islam di Makkah;
4)
Musannaf Abd
al-Razzaq adalah kitab yang lebih tua dan lebih tebal dibandingkan dengan musannaf-musannaf
yang lain.
Maka wajarlah Motzki mengambil kitab ini sebagi
objek kajiannya, karena kitab ini dianggap reppresentatif, sekaligus membuktikan
tesa yang dibangun bahwa otentisitas hadis dapat dipertanggung jawabkan. Dengan
alasan tersebut di atas, Harald Motzki menjadikan Musannaf ‘Abd
al-Razzaq sebagai sumber penelitiannya yang utama.
Dalam
penelitiannya tersebut, Motski berusaha membuktikan otentisitas hadis pada abad
pertama hijriah dengan asumsi ketika data sejarah dalam Mushannaf Abdul Razzaq
terbukti sebagai dokumen abad pertama yang otentik, maka apa yang berada di
dalamnya merupakan rekaman berbagai persolah hukum islam abad pertama. tentunya
hal ini berarti hadis juga merupakan sesuatu yang otentik, karena hukum islam
mengacu pada hadis juga.
Dari
penelusuran penyusun dapat diketahui bahwa Al-Hafiz al-Kabir Abi Bakar ‘Abd
al-Razaq Ibn Hammam as-San’ani adalah nama lengkap dari ‘Abd al-Razaq
as-San’ani. ‘Abd al-Razaq yang juga menulis kitab tafsir li al-‘Abd al-Razaq
lahir pada 126 H di daerah San’an, ia pernah berkelana dalam rangka
mengumpulkan hadis Nabi sambil berdagang di mulai dari kawasan Hijaz, Syam,
hingga kawasan Baghdad, Irak.
Salah satu dari guru ‘Abd
al-Razaq sebagaimana disebutkan Ibn Hajar al-Asqalani adalah:
أبيه وعمه وهب
ومعمر وعبيد الله بن عمر العمري وأخيه عبد الله بن عمر العمري وأيمن بن نابل
وعكرمة بن عمار وابن جريج والأوزاعي ومالك والسفيانين وزكرياء بن إسحاق المكي
وجعفر بن سليمان ويونس بن سليم الصنعاني وابن أبي رواد وإسرائيل وإسماعيل بن عياش
وخلق
Adapun murid-murid dari ‘Abd
al-Razaq antara lain:
شيخه سفيان بن
عيينة، ومعتمر بن سليمان، وأبو أسامة، وطائفة من أقرانه، وأحمد بن حنبل، وابن
راهويه، ويحيى بن معين، وعلي بن المديني، وإسحاق الكوسج، ومحمد بن يحيى، ومحمد بن
رافع، وعبد بن حميد، ويحيى بن جعفر البيكندي، ويحيى ابن موسى
Sejarah mencatat bahwa ‘Abd
al-Razaq meninggal di daerah Yaman pada pertengahan bulan Syawal Tahun 211 H.
Banyak ulama yang memberikan penilaian positif terhadap pribadi ‘Abd al-Razaq,
mereka antara lain:
a. Menurut Ibn Hajar dia adalah الأئمة الأعلام الحفاظ. ثقة حافظ,
b. Menurut ad-Daruqutni dia
adalah ثقة
c. Menurut al-Bukhari: ما حدث عنه عبد الرزاق من كتابه فهو أصح
d. Menurut Abu Zur’ah ad-Dimsyaqy
dari Ahmad bin Hanbal bahwa ‘Abd al-Razaq adalah يحفظ حديث bahkan terkadang dikatakan ثقة.
e. Menurut Siyar bin Hatim
sebagai berikut:
وأرجو أنه لا بأس
به، والذي ذكر فيه من التشيع والروايات التي رواها التي يستدل بها على أنه شيعي،
فقد روى أيضا في فضل الشيخين، وأحاديثه ليست بالمنكرة، وما كان فيه منكر، فلعل
البلاء فيه من الراوي عنه، وهو عندي ممن يجب أن يقل حديثه
f. Menurut Abu Ahmad, ‘Abd al-Razaq banyak meriwayatkan hadis
ia mengatakan حديث صالح, حسن الحديث,
معروف بالتشيع, جمع الرقائق, لا
بأس به, وأحاديثه ليست بالمنكرة.
g. Menurut Ya’qub bin Syaibah,
‘Ali bin al-Madiniy, Hisyam bin Yusuf:
كان عبد الرزاق أعلمنا وأحفظنا, ثقة ثبت.
كان عبد الرزاق أعلمنا وأحفظنا, ثقة ثبت.
Dari biografi dan komentar
beberapa ulama di atas, maka dapat disimpulkan:
Pertama, ‘Abd al-Razaq adalah
seorang periwayat yang adil dan dhabit. Adapun tingkatan adil-nya ‘Abd al-Razaq
berdasarkan kriteria yang dibangun ‘Ajjāj al-Khātib sangat bervariasi, yakni
masuk dalam tingkatan ta’dil ketiga, kelima, dan keenam. Keadilan ‘Abd al-Razaq
pada tingkatan ketiga tampak dari komentarnya Ibn Hajar, Abu Zur’ah
ad-Dimsyaqy, Ya’qub bin Syaibah, ‘Ali bin al-Madiniy, dan Hisyam bin Yusuf.
Komentar Abu Ahmad masuk dalam kriteria tingkatan ta’dil kelima. Sementara itu,
tingkatan ta’dil keenam tampak dari komentar yang diberikan oleh Siyar bin
Hatim, dan Abu Ahmad.
Kedua, dilihat
dari tangal lahir dan kematian, maka ‘Abd al-Razaq yang lahir pada 126 H dan
meninggal pada Tahun 211 H masih tergolong sebagai seorang tabi’in. Hal ini
berdasarkan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa akhir masa tabi’in
adalah tahun 150 H dan akhir masa tabi’ al-tabi’in adalah tahun 220 H.
Sejarah
menunjukkan bahwa metode penyusunan kitab-kitab hadis sangat beragam atau tidak
seragam. Para mukharij memiliki metode-metode sendiri-sendiri dalam penyusunan
sistematika dan penempatan topik masalah. Hal ini dinilai sebagai sesuatu yang
wajar oleh Syuhudi Ismail. Sebab, kegiatan penulisan hadis yang dilakukan para
ulama terdahulu lebih terkonsentrasikan pada penghimpunan hadis dan tidak pada
metode penyusunannya.
Adapun kitab
al-Musannaf karya ‘Abd al-Razaq jika dilihat dari namanya, maka kitab ini
menggunakan metode al-Musannaf. Kata al-Musannaf meskipun secara bahasa
bermakna sesuatu yang disusun, namun secara terminologis kata al-Musannaf
adalah نَفَس atau the same thing (sama) dengan istilah
muwata’ yakni sebuah metode pembukuan hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam
atau (ابواب فقهيه) bab-bab fiqh di mana
di dalamnya mencakup hadis mauquf, hadis maqtu’ yang disatukan dengan hadis
marfu’, yang oleh ulama mutaqaddimin disebut dengan al-Asnaf.
Menurut
Goldziher istilah al-Musannaf di definisikan sebagai koleksi di mana para
perawi yang dirujuk oleh isnad-isnad itu tidak menentukan urutan perkataan dan
isisnya. Namun, hubungan isi dan rujukan perkataanya pada masalah yang sama.
Materi yang menjadi pokok bahasan hadis-hadis bukan hanya umum, yang terkait
dengan ritual, melainkan juga yang terkait dengan masalah biografis, historis,
dan etis. Di antara kitab hadis yang termasuk dalam kategori al-Musannaf ini
adalah al-Jawami’, as-Sunan, al-Musannafat, al-Mustadrakat, al-Mustakhrajat.
Sementara itu,
dilihat dari setting sejarahnya, maka koleksi kitab hadis yang menggunakan
metode al-Musannaf muncul pada pertengahan abad pertama dan tersebar luas pada
pertengahan abad ke-2 H. Di antara penulis yang menyusun kitab hadis dengan
kompilasi seperti karya ‘Abd al-Razaq adalah karya Abu Bakr bin Syaibah (w. 235
H), Abu Rabi’ Sulaiman bin Abi Dawud az-Zahiri (w. 234 H). Terdapat juga
Musannaf Hammad bin Salamah (w. 181 H), Musannaf yang dinisbahkan pada Waki’ al-Jarrah
(w. 197 H).
Kitab
al-Musannaf karya ‘Abd al-Razaq ini diterbitkan oleh Majelis al-‘Ilmi, Beirut
pada Tahun 1983/ 1403 H dalam 11 (sebelas) jilid dan di tahqiq dan disajikan
kembali oleh Habib ar-Rahman al-‘Azami. Pembacan atas kitab al-Musannaf editan
Habib ar-Rahman tersebut lebih dipermudah dengan adanya satu kitab katalog yang
disusun oleh Ma’mar bin Rasyid al-Azdiy. Kitab yang sangat membantu ini terdiri
dari tiga katalog, yakni: pertama: katalog untuk lafaz hadis. Kedua, katalog
untuk istilah-istilah fiqhiyyah, dan ketiga, berisi tentang indeks atau
biografi.
Sebagaimana
yang penyusun jelaskan di atas, kitab al-Musannaf karya Abd ar-Razzaq ini
dijadikan sebagai objek penelitian bagi Harald Motzki guna membuktikan
asumsinya bahwa hukum Islam telah eksis sejak abad pertama Hijriyah.
2. Metode dan Pendekatan Harald Motzki.
Harald Motzki
tidak secara eksplisit menyebutkan langkah-langkah penelitian yang sistematis
ketika melakukan penelitian kitab Musannaf Abd ar-Razaq. Meskipun demikian,
dari data yang ada, penyusun mencoba menggambarkan metode, pendekatan, dan
langkah-langkah sistematis yang ditempuh Harald Motzki sebagai berikut:
Pertama,
sebagai langkah awal, Motzki melakkan dating yakni menentukan asal-muasal dan
umur terhadap sumber sejarah yang merupakan salah satu substansi penelitian
sejarah. Jika dating yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap sebuah
sumber sejarah terbukti tidak valid dikemudian hari, maka seluruh premis teori
dan kesimpulan yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi colleps
(roboh). Teori inilah yang menjadi epistemologi Motzki dalam merekonstruksi
sejarah awal Islam dalam karyanya The Origins of Islamic Jurisprudence.
Kedua, Motzki
tidak melakukan penelitian secara keseluruhan hadis-hadis yang terdapat dalam sumber
primernya Musannaf Abd ar-Razaq. Namun, ia menggunakan metode sampling, yakni
mengambil beberapa bagian yang diangap telah mewakili populasi dari yang
diteliti. Tujuan dari penentuan sampel ini adalah untuk menghindari kekeliruan
generalisasi dari sampel ke populasi. Motzki dalam hal ini meneliti 3810 hadis
dari keseluruhan kitab Musannaf Abd ar-Razzaq yang berjumlah 21033 hadis.
Dengan demikian ia meneliti sekitar 21% hadis.
Ketiga,
setelah data terkumpul, maka Motzki kemudian menganalisis sanad dan matn dengan
menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan traditional-historical
yakni sebuah metode yang cara kerjanya menark sumber-sumber awal dari kompilasi
yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan
diri pada materi-materi para perawi tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang
terkumpul pada topik tertentu. Jadi, traditional-historical dijadikan sebagai
alat untuk menganalisa dan menguji materi-materi dari perawi. Oleh karena itu,
penelitian struktur periwayatan yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa
materi-materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya
adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang direkayasa.
Keempat,
terkait dengan materi periwayatan (matn) hadis, Motzki mengajukan teori
external criteria dan formal criteria of authenticity sebagai alat analisa
periwayatan.
Kelima, penyusun sebut sebagai tahap aplikasi. Berangkat dari metode-metode di atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap riwayat yang terdapat dalam kitab Mus}annaf.
Kelima, penyusun sebut sebagai tahap aplikasi. Berangkat dari metode-metode di atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap riwayat yang terdapat dalam kitab Mus}annaf.
Motzki dalam
penelitiannya menemukan tiga sumber dominan yang sering dirujuk oleh Abd
ar-Razaq, yang memberikan kontribusi ribuan hadis, mereka adalah Ma’mar, Ibn
Jurayj, dan Sufyan as-Sauri. Guna membuktikan masalah ini, Motzki meneliti
empat tokoh sebagai sumber otoritas utama dari Abd ar-Razzaq, yakni Ma’mar di
mana ar-Razzaq meriwayatkan materinya sekitar 32%, Ibnu Jurayj 29%, as-Sauri
22%, dan Ibn Uyainah 4%. Sisanya adalah sekitar 13% yang berasal dari 90% tokoh
yang berbeda dan kurang dari 1% tokoh yang berasal dari abad ke-2 H seperti Abu
Hanifah 0,7%, dan Imam Malik sebesar 0,6%.
Dari pemilahan
tersebut, menurut Motzki setiap koleksi memiliki karakteristik tersendiri, dan
hampir mustahil seorang pemalsu dapat memberikan sumber yang begitu bervariasi,
apalagi jika penelitian ini difokuskan pada asal perawi dan karakter teks yang
diriwayatkan. Guna mendukung pandangannya bahwa ar-Razzaq bukan seorang
pemalsu, maka Motzki mengutip biografinya khususnya terkait dengan guru-gurunya
ar-Razzaq. Lebih lanjut, Motzki mengklasifikasikan riwayat yang terdapat dalam
Musannaf Abd ar-Razzaq sebagai berikut:
a.
Ma’mar (w. 153 H) 32%
dengan konfigurasi materi yang berasal darinya adalah Ibn Syihab az-Zuhri 28%,
Qatadah bin Diama 25%, Ayyub bin Abi Tamima 11%, orang tanpa nama (anynamous)
6%, Ibn Tawus 5%, Ma’mar 1%, 77 orang 24% jumlah total 100%.
b.
Ibn Jurayj (w. 150 H) 29%
dengan konfigurasi materi yang berasal darinya adalah ‘Ata’ ibn Rabah 39%,
orang tanpa nama (anynamous) 8%, Amr bin Dinar 7%, Ibn Syihab az-Zuhri 6%, Ibn
Tawus 5%, Ibn Jurayj 1%, 103 orang 34%, jumlah total 100%.
c. Sufyan as-Sauri (w. 161 H) 22%. Profil teks yang yang berasal
darinya mencakup pendapat hukum as-Sauri sendiri yang lebih dominan, yakni
Sufyan as-Sauri 19%, Mansur bin al-Mu’tamir 7%, Jabir bin Yazid 6%, orang tanpa
nama (anynamous) 3%, 161 informan 65%, jumlah total 100%.
d. Ibn ‘Uyayna 4% sumber hadis riwayatnya adalah Amr bin Dinar 23%,
Ibn Abi Najih 9%, yahya bin Said al-anshari 8%, Ismail bin Abi Khalid 6%, orang
tanpa nama (anynamous) 4%, 37 orang 50%, jumlah total 100%.
e. 90 orang 13% jumlah keseluruhan dari poin a hingga point e
adalah 100%.
Berdasarkan data ini Moztki menyatakan “These profile show that each source has a completeley individual face”. Profil ini menunjukan bahwa keempat koleksi teks tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Kekhasan masing-masing struktur mengindikasikan tidak mungkin seseorang melakukan pemalsuan (forge) dalam menyusun materi, akan membuat teks dengan perbedaan-perbedaan yang signifikan. Di samping itu, semakin detail dan mendalam penelusuran terhadap teks-teks tersebut mengenai kekhasan teks dan asal muasal sumber informasi, semakin signifkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai.
Berdasarkan data ini Moztki menyatakan “These profile show that each source has a completeley individual face”. Profil ini menunjukan bahwa keempat koleksi teks tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Kekhasan masing-masing struktur mengindikasikan tidak mungkin seseorang melakukan pemalsuan (forge) dalam menyusun materi, akan membuat teks dengan perbedaan-perbedaan yang signifikan. Di samping itu, semakin detail dan mendalam penelusuran terhadap teks-teks tersebut mengenai kekhasan teks dan asal muasal sumber informasi, semakin signifkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai.
Motzki sampai
pada natijah bahwa materi-materi yang disandarkan kepada Abd ar-Razzaq kepada
keempat informan utamanya adalah otentik. Gaya penyajian materi ar-Razzaq yang
kerap kali mengekspresikan keraguanya atas sumber yang pasti terhadap sebuah
hadis menunjukan sikapnya yang terbuka dan jujur. Hal ini menjadi ta’kid
keotentikannya. Sebab, tidak mungkin seorang pemalsu akan menunjukkan sikap
seperti itu yang hanya akan melemahkan riwayat yang disampaikannya.
Motzki
kemudian menganalisa lebih jauh mengenai hubungan guru antara ar-Razzaq dengan
perawi di atasnya yakni Ibn Jurayj. Distribusi otoritas yang tidak seimbang dan
keinginan Jurayj menyampaikan pendapatnya sendiri merujuk otoritas yang lebih
awal, menunjukkan bahwa ia bukan pemalsu. Hal ini didukung oleh pengujian
sumber Jurayj meliputi: perbedaan isi (misal, pengunaan ra’yu didistribusikan
secara tidak seimbang); perbedan pengunaan riwayat guru-murid, anak-bapak,
maula-patron, perbedaan proporsi hadis dari nabi, sahabat, dan tabi’in;
perbedaan penggunaan isnad dan perbedaan terminologi periwayatan (misal,
penggunaan istilah ‘an atau sami’tu).
Lebih lanjut,
Motzki memfokuskan dari sumber yang sering diikuti Jurayj, yakni ‘Ata’. Dalam
hal ini ia menggunakan teori External Criteria dan argument internal formal
criteria of Authenticity yang merupakan dua alat analisa yang dihasilkan ketika
Motzki meneliti penyandaran (transformasi ilmu) yang dilakukan Jurayj kepada
‘Ata’. External Criteria dibagi menjadi dua, yakni pertama, Magnitude (banyak
sanad dan penyebarannya).
Dalam konteks
ini, proporsi sumber Jurayj (lihat sub b di atas) betentangan dengan asumsi
bahwa ia adalah pemalsu. Sebab ia memilih cara yang sangat complicated dengan
menyandarkan materi hukumnya kepada sumber yang ia sebutkan. Jika ia pemalsu,
tentunya ia akan memilih satu atau beberapa informan saja dari fuqaha’ atau
perawi terkenal.
Motzki menjelaskan bahwa magnitude (besarnya) distribusi transmisi Jurayj didapatkan karena ia pernah tinggal di Makkah yang memungkinkan ia bertemu dengan sejumlah sarjana, terutama ketika memasuki musim haji. Kedua, adalah genres (gaya atau style peyampaian). Dalam hal ini Jurayj mennjukkan otentisitas materi yang disampaikannya.
Motzki menjelaskan bahwa magnitude (besarnya) distribusi transmisi Jurayj didapatkan karena ia pernah tinggal di Makkah yang memungkinkan ia bertemu dengan sejumlah sarjana, terutama ketika memasuki musim haji. Kedua, adalah genres (gaya atau style peyampaian). Dalam hal ini Jurayj mennjukkan otentisitas materi yang disampaikannya.
Motzki membagi
genre menjadi dua, responsa dan dicta. Yang pertama adalah jawaban atas
pertanyaan, baik dari ibn Jurayj (langsung atau tidak langsung) maupun dari
orang lain (dengan atau tanpa identitas). Misal, pertanyaan Jurayj: Jurayj
berkata; “saya bertanya kepada ‘Ata’ tentang … ia berkata…”. Sebaliknya, yang
kedua dicta adalah pernyataan (qaul atau hadis) yang tidak didahului oleh
pertanyaan dan bisa mengandung pendapat sendiri atau dari orang lain berupa
kutipan dan deskripsi dari selain ‘Ata’, misalnya hadis atau atsar. Dilihat
dari frekwensi gaya pertanyaan (direct, indirect, anonymous, and not-
anonymous), menunjukkan jika Jurayj tidak melakukan projection back atau telah
mengatribusikan pendapatnya kepada generasi sebelumnya. Dengan bahasa
sederhana, analisis Motzki atas gaya penyajian materi ‘Ata’ oleh Jurayj
menunjukkan implausibility asumsi bahwa ia telah melakukan pemalsuan. Sementara
dilihat dari kualitas dan kuantitas responsa ‘Ata’ atas pertanyaan Jurayj
menunjukkan keduanya terdapat korelasi historis yang panjang.
Motzki juga
menggunakan teori argument internal formal criteria of authenticity yang
menunjukkan keotentikan materi Jurayj dengan ‘Ata’. Ia kemudian
menginventarisir enam hal yang ia kategorikan sebagai internal formal criteria
of authenticity, yakni pertama, Jurayj tidak hanya menyajikan pendapat hukum
dari generasi sebelumnya, namun juga menyajikan pendapat hukumnya sendiri.
Kedua, ia tidak hanya menyajikan materi dari ‘Ata’, melainkan juga memberikan
tafsir, komentar, dan bahkan kritik terhadap materi tersebut.
Motzki
membayangkan tidak rasional Jurayj membuat teks sendiri, kemudian
menyandarkannya secara palsu kepada ‘Ata’, dan pada saat bersamaan ia memberi
komentar dan kritik. Ketiga, Jurayj terkadang mengekspresikan ketidakyakinannya
atas maksud dan perkataan ‘Ata’. Keraguan Jurayj dinilai Motzki sebagai sesuatu
yang positif, yakni sebagai bukti kejujurannya dalam memproduksi ajaran dari
gurunya. Keempat, terkadang Jurayj meriwayatkan materi ‘Ata’ dari orang lain.
Kelima, ia menyajikan materi secara tepat dan verbatim. Keenam, ia terkadang
menunjukan kelemahan sumber informasinya.
Berangkat dari
dua External Criteria dan enam point argument internal formal criteria of
Authenticity di atas, Motzki menyimpulkan; pertama, materi Ibn Jurayj dari
‘Ata’ yang diabadkan dalam Musannaf Abd ar-Razzaq adalah benar-benar sumber
otentik. Kedua, sumber tersebut dapat dikatakan sebagai historically reliable
source untuk fase perkembangan hukum di Makkah pada dekade pertama abad ke-2 H.
Motzki
melanjutkan penelitian dan analisanya mengenai sejauhmana ‘Ata’ menerima
materinya. Menurutnya, hirarki sumber otoritas ‘Ata’ adalah Sahabat nabi 15%,
al-Qur'an 10%, anynamous traditions 3%, dan okoh yang semasa dengannya 1,5%.
Penelitian
Motzki menunjukkan bahwa Ibn ‘Abas adalah di antara sahabat yang sering dirujuk
oleh ‘Ata’. Adapun analisanya adalah: pertama, dalam responsa, rujukan ‘Ata’v
kepada ibn ‘Abbas hanya bersifat supplementary dan Confirmative untuk mendukung
pendapat ‘Ata’. Artinya, rujukan ‘Ata’ kepada ‘Abbas atau sahabat lain tidak
dimaksudkan untuk memberkan “muatan otentisitas” pada pendapat hukumnya.
Realita ini oleh Motzki dipahami sebagai indikasi kredibilitas ‘Ata’. Kedua,
secara umum, ‘Ata’ mengutip Ibn ‘abbas secara langsung (direct references),
meskipun tidak menutup kemungkinan ia mengutip secara tidak langsung (indirect
references). Ketiga, dalam beberapa kasus, ‘Ata’ merujuk Ibn ‘Abbas bukan untuk
mengkonfirmasikan pendapatnya, melainkan untuk berbeda pendapat dengannya.
Keempat, di samping sebagian besar riwayat ‘Ata’ dari Ibn ‘Abbas menurut legal
dicta, terdapat pula sejumlah teks yang memuat qisas. Dalam qisas ini ‘Ata’
mempresentasikan dirinya sebagai murid Ibn ‘Abbas. Hal ini menurut Motzki
“kriteria isi” tersebut menunjukkan otentisitasnya. Kelima, mengingat jumlah
hadis Nabi yang allegedy diriwayatkan oleh Ibn ‘Abas dalam literatur hadis yang
sangat besar (sekitar 1.660 hadis), maka ‘Ata’ tidak mengutip dalam materi
hukumnya. Dengan kata lain, materi ‘Ata’ dari Ibn ‘Abbas yang terekam dalam
Mus}annaf , status Ibn ‘Abbas bukan sebagai perawi hadis Nabi. Melainkan materi
tersebut otentik dari pendapatnya Ibn ‘Abbas sendiri.
Dari kelima
hal ini, Motzki berpendapat bahwa ada indikasi otentisitas riwayat ‘Ata’ dari
Ibn ‘Abas. Selain dari materi ‘Ata’ yang didapat dari Ibn ‘Abbas, Motzki juga
menganalisa dari materi ‘Ata’ yang lain, yakni ‘Umar, abu Hurairah, Jabir dan
lain-lain. Motzki melihat ada indikasi kuat kejujuran ‘Ata’ dalam penyebutan
bsumber otoritasnya. Sampai di sini, maka Motzki berkesimpulan bahwa Musanaf
karya Abd ar-Razzaq adalah dokumen hadis otentik abad pertama Hijriyah.
D. Analisa Kritis atas Epistemologi Harald Motzki.
Penggunaan
Moztki terhadap teori dating (menentukan umur dan asal muasal terhadap sumber
sejarah) yang di dasarkan atas sumber orisinil berupa kitab Musannaf karya Abd
ar-Razzaq ditambah dengan metode isnad cuma analisis dengan pendekatan traditional-historical merupakan
penelitian yang dapat dipertangungjawabkan secara akademisi. Hal ini berbeda
jauh dengan analisis historisnya Schacht yang didasarkan atas interpretasi
terhadap fenomena semata sebagaimana tampak dalam projecting back (penyandaran
ide kepada tokoh yang memiliki otoritas-nya). Meskipun demikian, jika dicermati
lebih mendalam teori yang dibangun oleh Motzki sebenarnya sudah ada dalam
kajian ilmu hadis dalam Islam. Misal teorinya tentang traditional-historical
dapat disejajarkan dengan ilmu al-rijal al-hadis dan teorinya tentang external
criteria dan argument internal formal criteria of authenticity dalam
periwayatan hadis dapat disejajarkan dengan teori al-tahammul wa al-‘ada
al-hadis.
Dalam memahami
sebuah teks, menarik bila kita menelaah pemikiran Julia Kristeva, seorang
pemikir post-strukturalis Perancis. Dalam kedua bukunya: Revolution in Poetic
Language (Kristeva: 1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to
Literature and Art (Kristeva: 1979). Ia memperkenalkan istilah
‘intertekstualitas’ sebagai kunci untuk menganalisis sebuah teks. Menurutnya,
relasi dalam sebuah teks tidaklah sesederhana relasi-relasi antara ‘bentuk’ dan
‘makna’ atau ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified) sebagaimana
dipertahankan oleh semiotika konvensional. Sebaliknya, Kristeva melihat
pentingnya dimensi ruang dan waktu. Sebuah teks dibuat di dalam ruang dan waktu
yang konkret. Karena itu mesti ada relasi-relasi antara satu teks dengan teks
lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks dengan teks sebelumnya di dalam
garis waktu.
Hal ini lah
yang terlupakan dari kajian Motzki, di mana ia terlalu “asyik” dengan kajian
teks dalam Musannaf dan jarang sekali ia melakukan interpretasi sejarah di luar
teks. Pemberian porsi yang sebanding antara keduanya dengan mensintesakan
secara kreatif antara teori Schacht dengan teori Motzki dapat dijadikan sebagai
salah satu solusi untuk mengatasi kelemahan ini, agar pemahaman terhadap teks
(al-Qur'an dan hadis) tidak tercerabut dari konteks kesejarahannya.
Bidang kajian
Motzki yang hanya terbatas pada kitab Musannaf karya Abd Razzaq menjadi titik
lain dari kelemahan kajiannya. Sebab, bisa saja hasil penemuan Motzki berbicara
lain ketika diteliti melalui dating kitab hadis yang lain. Memang, tidak ada
sebuah karya yang dihasilkan dari buah pikiran manusia yang sempurna tanpa ada
kekurangan sedikitpun. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan oleh Motzki
masih terbuka bagi para peneliti yang lain, yang tentunya hal ini membawa implikasi
yang positif bagi perkembangan kajian ilmu hadis. Salah satu contoh apa yang
dilakukan oleh Yasin Dutton yang melakukan dating terhadap kitab al-Muwata’
karya Imam Malik.
E. Kesimpulan.
Dating yang
dilakukan Motzki terhadap kitab Al-Musannaf Karya Abdurrazzaq As-Shan’ani,
dengan menggunakan metode isnad cum analisis dan pendekatan
traditional-historical menunjukan bukti bahwa materi-materi yang disandarkan
Abd ar-Razzaq kepada keempat informan utamanya adalah otentik. Karenanya, kitab
tersebut dinilai sebagai dokumen hadis otentik abad pertama Hijriyah, sekaligus
sebagai bukti nyata bahwa hukum Islam telah eksis sejak masa itu. Temuan Motzki
ini sekaligus menggugurkan teori seniornya G.H.A. Juynboll J. dan projecting
back-nya Schacht yang menyatakan keberadaan sistem sanad dimulai pada abad ke-2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar