Selasa, 30 Oktober 2012

Maqāsid dalam Pemahaman Hadis; Bedah Pemikiran Hadis Ibnu ‘Āsyur dalam Maqāsid Syarī’ah al-Islāmiyyah[1]


         * Zaenal Mutaqin

Abstrak
Ibn Āsyūr merupakan guru kedua [al-mu ‘allim al-tsāni] dalam maqāshid al-syarī‘ah, setelah al-Syāthibi. Dalam perkembangan kontemporer, pemikiran maqāshid al-syarī‘ah telah meluas mulai dari lapangan fiqh, ushūl al-fiqh, tafsir dan bahkan strategi kebijakan perusahaan/negara. Tulisan ini berusaha membedah konsep maqāshid al-syarī‘ah Ibn Āsyūr dalam bukunya Maqāshid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah, terutama relasinya dengan model pemahaman hadis. Ketika maqāshid al-syarī‘ah menjadi asumsi awal, pra-pemahaman, dan perspektif tentunya hasil penilaian akan berbeda jika kita menggunakan perspektif lain. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam pemikiran Ibn Āsyūr seperti yang akan dikaji dalam tulisan ini.    



A.    Pendahuluan
Secara umum, umat Islam yang hidup di negara-negara mayoritas muslim maupun mereka yang hidup di negeri Barat yang tentu saja mereka merupakan minoritas, seluruhnya membutuhkan konstruksi ke[ber]agamaan yang berbeda. Jika dulu masyarakat muslim hanya mengenal satu sistem politik, sekarang kaum muslimin di hadapkan pada sistem politik yang menghendaki kesamaan seluruh warga negara di depan hukum. Tidak ada lagi pembedaan antara warga negara berdasar identitas keagamaan. Belum lagi jika dihadapkan pada sistem sosial yang dianut mayoritas dan kemajuan teknologi di sisi lain. Untuk kepentingan ini dibutuhkan pendekatan yang selain tidak mengabaikan tradisi yang telah berkembang di lingkungan umat Islam, pendekatan baru tersebut selayaknya dapat mengakomodir kepentingan kontemporer umat Islam.
Di antara yang tawaran yang ditampilkan ialah pendekatan maqasidi. Suatu pendekatan yang cukup popular saat ini. Pendekatan ini ingin menjadikan maqasid sebagai titik pijak, mekanisme penalaran dan standar nilai bagi produk penalaran. Pendekatan ini berkembang dalam beragam disiplin keislaman seperti tafsir, hadis, fiqh maupun filsafat hukum Islam.
Pro dan kontra muncul mengiringi kehadiran pendekatan ini. Dalam lapangan fiqh, pendekatan maqasid yang memunculkan kecenderungan baru dengan apa yang disebut fiqh minoritas. Diskurus ini ditolak oleh Sa’id Ramadhān al-Būthi, namun diterima oleh Thaha Jābir al-Ulwāni, Yusuf al-Qaradhāwi dan lainnya. Dalam penafsiran, maqasid menyeruak dalam tafsir maqasidi seperti dapat dilihat dalam karya monumental Muhammad al-Thahir Ibnu ‘Āsyur yang bertitelkan al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Berbeda dengan hadis yang sepertinya belum banyak yang menggarapnya secara khusus. Kecuali artikel tulisan Dr. Umar b. Shalih b. Umar yang berjudul Mulakkhash al-Fiqh al-Maqshadi li al-Hadīts al-Nabawi ‘Inda Ibni ‘Āsyur.
Terdapat tiga poin yang dapat diambil dari artikel yang membahas relasi Maqasid Syariah dengan hadis Nabi menurut Ibnu ‘Āsyur tersebut. Pertama, tentang perhatian dan usaha Ibnu Asyur dalam menentukan relasi antara maqasid syariah dan hadis. Kedua, penentuan kriteria yang valid [muktabarah] untuk memahami hadis Nabi. Ketiga, mempromosikan efektifitas pola pemahaman maqasidi terhadap hadis Nabi untuk menghindari pemahaman yang tidak benar [ibrāz atsar al-maqāshid al-syar’iyyah fi fahmi ibni ‘āsyur li al-ahādits al-nabawiyyah].[2]
Makalah ini akan mengeksplorasi sedikit lebih jauh tentang relasi antara maqasid dengan hadis Nabi dalam pemikiran Ibnu Asyur. Tokoh yang dipandang sebagian peletak dasar paradigma maqasid sebagai pendekatan. Sebagai sumber utama, penulis menggunakan kitab anggitan Ibnu ‘Āsyur yang khusus membahas maqasid syariah secara teoritik.
Pembahasan dimulai dengan melihat biografi Ibnu Asyur, perjalanan intelektual, karir dan karya-karyanya. Ada baiknya jika semua kita bahas secara singkat. Karena, pembahasan tentang karya pokoknya dalam bidang Maqāsid Syariah Al-Islāmiyyah sudah menanti kita. Selanjutnya, seperti diangkat dalam tema, pembahasan akan dibatasi pada relasi teori maqasid Ibnu ‘Āsyūr dengan hadis. Kajian ini akan memperlihatkan kepada kita bagaimana Ibnu ‘Āsyūr berinteraksi dan memahami hadis-hadis Nabi. 

B.       Biografi Muhammad al-Thāhir ibn Āsyūr
Dalam jagat keilmuan Islam Tunisia, keluarga ‘Āsyūr mempunyai sejarah panjang. Paska runtuhnya Andalus Islam, keluarga ‘Āsyur yang bermigrasi itu telah mempunyai nama yang terhormat di negeri perantauannya. Dimulai oleh Muhammad ibn Āsyur [w. 1110 H.] yang lari dari Andalus karena tekanan politik dan berhijrah ke Tunisia. Keluarga ini mendapatkan posisi yang lebih terhormat terutama pada seratus tahun berikutnya, ketika Muhammad al-Thāhir ibn Āsyur [1230 H.], kakek dari tokoh yang sedang kita bicarakan biografinya, memegang posisi penting dalam bidang keagamaan dan politik; peradilan Islam, fatwa, guru besar, pengawas keuangan bayt al-māl, dan anggota dewan.[3] Kealiman Muhammad al-Thāhir ibn Āsyur al-Jadd ini, dilanjutkan oleh anak cucunya. Di mana salah satunya adalah Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, penulis al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Maqāshid al-Syarīah al-Islāmiyyah sekaligus guru besar Universitas al-Zaytūnah yang sedang kita bicarakan.[4]   
Sedangkan tokoh yang kita kaji bernama lengkap Muhammad al-Thāhir ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr. Ia lahir pada 1296 H./1879 M. di kota Mursi, sebuah kota yang indah di pinggiran pantai Laut Tengah, kurang lebih 20 kilometer dari kota Tunis. Ia tumbuh di tengah keluarga yang dekat dengan ilmu agama dan negara.[5] Kemungkinan, kehidupan dan keluarga seperti ini yang pada akhirnya membuat Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr terkenal sebagai seorang agamawan yang nasionalis, sekalipun fatwanya kontroversial.[6] 
Perjalanan intelektualnya dimulai dengan belajar dan menghafal al-Quran di Masjid Sayyid Abi Hadid, Tunis kepada guru al-Quran terkemuka al-Muqri’ Muhammad al-Khayyari. Kemudian menghafal kitab-kitab matan standar seputar kaidah-kaidah bahasa Arab lainnya sebagai prasyarat masuk ke perguruan tinggi al-Zaytūnah. Ia diasuh secara langsung oleh al-Syaikh Ahmad ibn Badr al-Kāfi. Dan pada umur empat belas tahun, Muhammad al-Thāhir berhasil lolos masuk ke al-Zaytūnah. Di perguruan ini ia mendapatkan mata kuliah nahw, balāghah, lughah, mantiq, ilmu kalam, fiqh, farā’idh, ushūl al-fiqh, hadīts dan tārīkh. Di antara guru-guru yang berpengaruh terhadap kemunculan sosok Muhammad al-Thāhir adalah:
1.      Muhammad al-‘Aziz ibn Muhammad al-Habib ibn Muhammad al-Thayyibibn al-Wazir Muhammad ibn Muhammad Bu’atur, kakek dari jalur ibunya (ilmu-ilmu kemasyarakatan dan politik kenegaraan).
2.      Umar ibn al-Syaikh (mengajar al-Muthawwal ‘ala Matn al-Talkhīsh, Syarah al-Asymūni ‘ala al-Khulāshah, Mughni al-Labīb, al-Mahalli ‘ala Jam’ al-Jawāmi’, Tafsīr al-Baidhāwi).
3.      Syaikh Salim Buhajib (Mengajar Syarh al-Qasthālani ‘ala al-Bukhāri, al-Zarqāni ‘ala al-Muwattha’ dan lainnya)
4.      Muhammad al-Najjar (Penyusun kitab Majmū’ al-Fatāwa, Bughyat al-Musytāq fi Masā’il al-Istihqāq, dan Fiqh Abi Hurayrah).
5.      Shalih al-Syarif (lawan polemik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Ibnu Asyur belajar Tafsīr al-Kassyāf dan akidah darinya) 
6.      Muhammad al-Nakhli (pakar ilmu naqli dan aqli).
Selain dibentuk oleh tradisi keilmuan perguruan al-Zaytūnah, pemikiran Muhammad al-Thāhir juga dipengaruhi oleh dua reformis dari Mesir, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Pembaruan-pembaruan yang digagas oleh Muhammad al-Thāhir paling tidak searus dengan gagasan kedua tokoh reformis ini. Ide pembaruan (al-ishlāh) dapat dilihat dalam peran-peran akademis, produksi fatwa keagamaan, peradilan Islam yang dimainkannya. Terutama pembaruan ushūl fiqh di mana ia mendaku maqasid sebagai basis perspektifnya. Secara khusus, bukunya yang berjudul maqāshid al-syarīah al-islāmiyyah merupakan karya utamanya dalam bidang dasar-dasar maqasidi.   
Pembaruan yang ditawarkannya dapat dilihat dalam banyak karya-karya dan kontroversialitas yang muncul selama ia menjalani kariernya. Di antara karya-karyanya:

1.      Al-Tahrīr wa al-Tanwīr  atau lebih lengkapnya Tahrīr al-Ma’na al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aqli al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd [pembebasan dan pencerahan, pembebasan pengertian yang benar dan pencerahan nalar baru melalui tafsir al-Quran yang agung]
2.      Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah [prinsip-prinsip syariat Islam]
3.      Ushūl al-Nizhām al-Ijtimā’I fī al-Islām [prinsip struktur sosial dalam Islam]
4.      Alaisa al-Subh bi Qarīb [Bukankah Subuh Sudah Dekat?]
5.      Al-Waqf wa Atsaruhu fi al-Islām [Wakaf dan Fungsinya dalam Islam]
6.      Kasyf al-Mughattha min al-Maāni wa alfāzh al-wāqi’ah fi al-Muwattha’ [Mengungkat yang Tertutup dari Makna-makna dan lafaz yang teradapat dalam kitab al-Muwattha’]
7.      Qisshat al-Mawlid [Kisah Maulid]
8.      Hawāsyi ‘ala al-Tanqīh Li Syihāb al-Dīn al-Qarrāfi fi Ushūl al-Fiqh [Syarah kitab Tanqih karya Syihabuddin al-Qarrafi]
9.      Radd ala Kitāb al-Islām wa Ushūl al-Hukm Ta’līf Ali Abdurrāziq dan puluhan lainnya.[7]
Dalam karirnya, Ibnu ‘Āsyūr cukup cemerlang. Kedudukannya sebagai rektor perguruan tinggi al-Zaytūnah pada tahun 1945 M., digunakan sebaik-baiknya untuk mewujudkan visi pembaruannya. Di antaranya didirikannya pusat penelitian, penataran dosen-dosen al-Zaytūnah agar menggunakan metode yang sesuai dengan teori-teori pendidikan. Dan untuk pertama kali diadakan ujian untuk mendapatkan ijazah setingkat Aliyah Kejuruan di empat pusat kota Shafaqisy, Qairawan, Qafshah dan Susah. Selain itu, didirikan dua cabang perguruan al-Zaytūnah, Perguruan al-Murādi dan perguruan al-Husayni. Ibnu ‘Āsyūr juga memprakarsai berdirinya pesantren Mahasiswa. Sampai akhir jabatannya, telah berhasil didirkan 27 pondokan.[8]
Sebagai seorang mufti, bahkan Syaikh al-Islām al-Māliki, Ibnu ‘Āsyūr pernah mengeluarkan fatwa yang kontroversial dengan ulama-ulama semazhabnya. Pada tahun 1910 M., disahkan undang-undang yang mengatur kebolehan pindah kewarganegaraan orang Tunisia menjadi Prancis, Negara yang sedang menjajahnya. Hal ini dilakukan untuk melebur identitas pribumi Tunisia-Muslim ke dalam kebudayaan nasional Negara kolonial. Undang-undang semacam ini juga dilakukan oleh Itali kepada penduduk Libya, dan Prancis kepada penduduk al-Jazair. Sebagai politik kolonial, para ulama malikiyyah tidak menyetujuinya. Mereka memfatwakan haram pindah kewarganegaraan.[9] Namun, berbeda dengan maenstream yang kuat saat itu, Ibnu ‘Āsyūr justru membolehkannya. Atas fatwanya ini, ia dituduh anti-nasionalisme.        

C.           Ilmu Maqāshid al-Syarīah: Melampaui Ushūl Fiqh
Di antara gagasan yang ditawarkan oleh Ibnu ‘Āsyūr adalah dijadikannya maqāshid al-syarī’ah sebagai instrumen penting dalam pengambilan hukum Islam. Lebih dari itu, menurutnya maqāshid al-syarī’ah harus menjadi ilmu yang independen [mustaqill] dari ilmu ushūl al-fiqh. Hal ini ditegaskan dalam bukunya yang berjudul Maqāshid al-Syarīah al-Islāmiyyah. Ia mengatakan,
Jika kita hendak mengkodifikasi suatu prinsip-prinsip absolut untuk memahami agama, menjadi keharusan bagi kita untuk memahami problem-problem ushūl al-fiqh, kemudian kita rekonstruksi dalam konteks tadwīn, lalu kita uji menggunakan ukuran penalaran kritis, kita buang bagian-bagian aneh yang menjadi anomali.. kita sebut ilmu baru tersebut dengan nama ilmu maqāshid al-syarī’ah.. dan kita akan tinggalkan ilmu ushūl al-fiqh sesuai fungsinya sebagai metode menyusun argumentasi fiqh..[10]
Buku ini memang secara khusus membicarakan maqāshid al-syarīah. Mulai dari dasar-dasar filosofis-metafisisnya, landasan tradisionalnya, perilaku maqashidi ulama salaf, metode penentuan kriteria maqashid, pengujian maqashid, pemetaan ragam maqashid, dan implementasi maqashid dalam ranah muamalah. Sekalipun tidak khusus membicarakan hadis, buku ini juga melibatkan hadis dalam beberapa aspek. Baik hadis sebagai sumber maqashid, hadis sebagai objek pembacaan maqashid, dan implementasi petunjuk hadis berdasar maqashid. Karena alasan inilah buku ini, penulis pilih sebagai sumber primer dalam penelitian metode pemahaman hadis kontemprer dari karya-karya lain Ibnu ‘Āsyūr.   

D.           Pengertian Maqashid.. Pandangan Ibnu ‘Āsyūr..
Sebagai ilmu yang independen, maqāshid al-syarīah penting dipelajari oleh para ahli fiqh. Baik yang sudah mencapai derajat mujtahid tertinggi maupun yang belum. Ibnu ‘Āsyūr membuat sub bab khusus tentang urgensi ilmu maqāshid ini. Lalu apakah yang disebut maqāshid al-syarīah. Secara kebahasaan [etimologis], maqāshid al-syarīah disusun dari dua kata; maqāshid dan al-syarīah. Maqāshid merupakan bentuk jamak [plural] dari kata maqshad yang berarti tujuan atau sesuatu yang dituju. Sedangkan al-syarīah diambil dari kata syin-ra’-‘ain, yang menurut Ibnu Fāris berarti sesuatu yang terdapat dalam satu belahan panjang [syai’un yuftah fi imtidādin yakūnu fīhi]. Syarīah dalam masyarakat Arab badui yang berarti sumber air yang menjadi jujug-an para musafir di padang pasir, mengandung pengertian di atas.[11] Di mana sumber air dimaksud berbentuk sejenis sungai yang mulai mengering, memanjang dan menyimpan air di celah-celahnya. Ia sejenis oase. Syarīah dalam terminologi agama diartikan dengan hukum-hukum yang diundangkan oleh Tuhan untuk hamba-Nya, agar mereka menjadikannya sebagai petunjuk. Atau dengan ungkapan lain, hukum-hukum yang termuat dalam al-Quran dan sunnah al-Nabawiyyah.[12] Hukum-doktrin agama memang sering menjadi labuhan manusia, baik untuk sekadar menenangkan hati, mendapatkan pencerahan batin, menata kehidupan sosial maupun demi suatu kepentingan politik yang dianggap lebih baik. Sehingga makna jujug-an dapat dijumpai dalam terma syarīah.
Sedangkan pengertian yang diinginkan oleh kata maqāshid al-syarīah kurang lebih tujuan-tujuan hukum-hukum syariat, atau tujuan doktrin-doktrin yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah. Tujuan syariat atau tujuan Quran dan Sunnah tidak lain merupakan tujuan Tuhan [maqāshid al-syārī] yang menurunkan keduanya. Artinya, mengetahui tujuan syariat, Quran atau sunnah, sama dengan mengetahui tujuan Tuhan. Lebih tegas, al-Raysūni menyatakan bahwa tujuan di sini bersifat abstrak, karena ia berbentuk makna, hadaf dan gharadh yang tergolong konsep-konsep abstrak.[13] Sedangkan Ibnu ‘Āsyūr mendefinisikan  maqāshid al-syarīah:
Makna dan hikmah yang diperhatikan [dijadikan acuan] oleh pembuat hukum [syāri’] dalam setiap aktifitas legislasinya, atau pada umumnya saja sekira perhatiannya tidak tertentu dibatasi pada salah satu aspek hukum.[14]
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa maqāshid al-syarīah merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan penetapan hukum, dan nilai itu bersifat universal dalam arti tidak terkhusus pada satu dua kasus hukum. Nilai tersebut seperti hifzh al-māl [menjaga harta kekayaan]. Penjagaan kekayaan merupakan nilai yang menjadi acuan penetapan hukum haram pada tindakan yang bersifat merampas hak milik orang lain secara salah. Seperti dengan cara manipulasi [gharar] dan eksploitatif-menindas [riba], atau cara-cara yang dapat menghantarkan manusia kepada kondisi destruktif [mafsadah]. Nilai tersebut bersifat universal dengan pengertian berlaku dan menjadi nilai dasar yang melandasi setiap transaksi ekonomi. Menjaga harta adalah makna dan hikmah yang dijadikan acuan oleh pembuat hukum dan bersifat universal. Para ulama telah mencoba meneliti nilai-nilai seperti apa yang merupakan maqāshid al-syarīah. Pemetaan pertama dilakukan oleh al-Juwayni [419-478 H], bahwa terdapat tiga tipologi maqāshid; dharūriyāt [primer], hājiyat [sekunder] dan tahsīniyat [tersier].[15] Sedangkan al-Ghazāli [450-505 H.] mencetuskan lima nilai dasar maqāshid; hifzh al-dīn, hifzh al-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh al-māl dan  hifzh al-nasl atau yang lebih populer disebut kulliyāt al-khams. Kemudian, pada abad ke-8, al-Syāthibi [w. 771 H] membedakan antara maqāshid yang berdimensi individual [‘aini] dan komunal [kifā’i].[16] Dan pada awal abad ke-20, Ibnu Āsyūr menambahkan beberapa nilai yang dinilai universal dalam syariat. Di antaranya kesetaraan [al-musāwah], naturalis [al-fithrah] yang terejawantahkan dalam prinsip toleran [al-samāhah], moderat [wasath], dan mengedepankan kemudahan [al-taysīr].
Menurut Ibnu Āsyūr pula, tujuan umum syariat adalah menjaga harmoni umat serta kelanggengan kebaikan di dalamnya dengan menitik beratkan kepada kebaikan individu manusia [hifzhu nizhām al-ummah wa istidāmat shalāhihi bi shalāhi al-muhaymin ‘alayhi wa huwa nau‘ al-insān]. Kebaikan pada diri manusia meniscayakan kebaikan akalnya, perbuatannya, serta kebaikan alam sekitarnya.[17]     
   
E.            Mekanisme Penetapan Maqāshid Al-Syarīah.. Menuju Standarisasi Maqāshid..
Uraian pada paragraf di atas menunjukkan bahwa nilai yang dianggap sebagai maqāshid mengalami pergeseran-pergeseran. Di mana antara satu ulama dengan ulama lainnya mempunyai kategorisasi yang berbeda-beda. Namun, yang paling banyak diikuti adalah model yang ditawarkan al-Ghazāli dengan kulliyāt al-khams-nya. Tidak ada penjelasan langsung dari al-Ghazāli mengapa hanya ada lima prinsip dasar saja dalam syariah. Baru di tangan Sayf al-Dīn al-Āmidi [551-631 H.], seperti dikutip Jamaluddin Athiah, dijelaskan bahwa kenyataanlah yang menunjukkan hal tersebut. Bahwa prinsip dasar tidak lebih dari lima hal yang telah disebut di atas.[18]  
Apakah hal ini menunjukkan bahwa maqāshid bersifat relatif? Dengan mengutip perkembangan kontemporer tentang nilai-nilai yang dianggap sebagai maqāshid, seperti keadilan, persamaan, kebebasan dan hak-hak sosial-ekonomi-politik, Jamaluddin Athiah menyatakannya secara tidak tegas.
Dalam konteks pemikiran Ibnu Āsyūr, maqāshid al-syarīah mempunyai mekanisme penetapannya sendiri. Sehingga pemikiran yang dimunculkan tidak sekadar wacana bebas yang tidak berdasar pada metodologi berfikir yang kuat. Ibnu Āsyūr membuat mekanisme penetapan yang tidak mengabaikan tradisi keilmuan salaf di satu sisi, dan kondisi kontemporer di sisi lain. Untuk menentukan suatu nilai layak diplot sebagai maqāshid Ibnu Āsyūr menawarkan beberapa mekanisme [thuruq]:
Pertama, melalui mekanisme induktif pada “cara kerja syariat”.  Ibnu Āsyūr memetakan objek induksi pada dua kategori: [1] hukum-hukum syariat yang diketahui alasan hukumnya melalui mekanisme masalik al-‘illah dan [2] dalil-dalil hukum yang mempunyai kesamaan alasan. Contoh dalam riwayat Malik di bawah ini,

عن عبد الله بن يزيد أن زيدا أبا عياش أخبره أنه سأل سعد بن أبي وقاص عن البيضاء بالسلت فقال له سعد أيتهما أفضل قال البيضاء فنهاه عن ذلك وقال سعد :سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يسأل عن اشتراء التمر بالرطب فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أينقص الرطب إذا يبس فقالوا نعم فنهى عن ذلك
“Dari Abdullah binYazid bahwa Zaid, bapak dari Ayyasy memberitahunya bahwa dia bertanya kepada Sa‘d bin Abi Waqqāsh tentang al-Baydha’ yang ditukar dengan al-sulti. Sa‘d bertanya, “Mana yang lebih utama di antara keduanya? Abu Ayyasy berkata, “al-Baydha’. Kemudian Sa‘d melarang jual-beli tersebut. Dan Sa‘d berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bertanya tentang pembelian Tamr dengan Ruthab. Lalu Rasulullah bertanya, ‘Apakah Ruthab akan berkurang [dibanding Tamr] ketika kering?’ Mereka [para sahabat] menjawab, ‘Ya’. Kemudian Rasulullah melarang jual beli semacam itu.[19]
Dalam hadis di atas terdapat larangan jual beli tamr dan ruthab. Nabi tidak menyebutkan alasan pelarangan secara eksplisit. Namun, ketika kita ikuti alur perbicangannya, tampaklah bahwa alasan larangan Nabi adalah ketidaktahuan ukuran salah satu komoditas yang diperjualbelikan. Alasan ini ditemukan melalui penelitian terhadap indikator yang terdapat dalam narasi tanya-jawab. Dalam ushūl al-fiqh cara semacam ini dikenal dengan nama  maslak al-īmā [penelusuran alasan hukum melalui isyarat, tanda, indikator yang dikandung suatu teks]. Melalui mekanisme yang sama, kita dapat menemukan alasan diharamkannya penipuan dalam transaksi jual beli seperti dalam hadis,
3939 - حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرُونَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ ذَكَرَ رَجُلٌ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ يُخْدَعُ فِى الْبُيُوعِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ ». فَكَانَ إِذَا بَايَعَ يَقُولُ لاَ خِيَابَةَ.   
Dari Abdullah ibn Mubārak bahwa dia mendengar Ibnu ‘Umar berkata, “Seorang laki-laki melapor kepada Nabi saw. bahwa dirinya sering ditipu dalam jual-beli. Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa saja yang bertransaksi denganmu katakan padanya, ‘Tidak ada rayuan-penipuan’.’ Maka setiap laki-laki tersebut bertransaksi, ia selalu mengatakan, ‘Tidak ada rayuan-penipuan!’”[20]
Sama seperti sebelumnya, hadis yang dikutip di atas menunjukkan larangan melakukan penipuan dalam transaksi jual beli. Sekalipun tidak eksplisit. Melalui teori maslak al-īmā dicetuskan bahwa penipuan dilarang dalam semua bentuknya. Dengan melakukan penelitian terhadap kasus-kasus hukum di mana terdapat pelarangan di dalamnya karena alasan penipuan, disimpulkan suatu nilai universal yang menjadi tujuan [maqshad], yakni penghapusan praktik penipuan dalam segala macam transaksi. Sebagai kelanjutannya, setiap transaksi yang mengandung indikasi, atau penipuan baik dalam harga, komoditas, atau masa transaksi dihukumi sebagai transaksi yang ilegal-tidak sah.[21]
Kedua, melalui petunjuk tekstual al-Quran. Untuk ini, Ibnu Āsyūr mensyaratkan tidak adanya kemungkinan lain dari pengertian tekstual suatu ayat al-Quran. Jikalaupun ada, namun tidak signifikan, maka kemungkinan tersebut tidak dianggap. Seperti ketika kata kutiba dalam ayat kutiba ‘alaykum al-shiyām kamā kutiba.. dimaknai sebagai ditulis [di atas kertas umpanya], namun kemungkinan ini tidak dapat diterima. Contoh nilai universal yang ditetapkan berdasar pengertian tekstual ayat al-Quran adalah kemudahan [yurīd allāh bikum al-yusra wa lā yurīd bikum al-‘usra], kebencian terhadap kerusakan  [wa allāhu lā  yuhibbu al-fasād], memakan harta orang lain secara ilegal [wa lā ta’kulū amwālakum baynakum bi al-bāthil], menjauhi permusuhan [innamā yurīd al-syaythānu an yūqia baynakum al-‘adāwata wa al-baghdhā fī  al-khamri wa al-maysir], mengedepankan kelapangan [wa mā ja’ala ‘alaykum fī al-dīn min haraj].[22]     
Ketiga, melalui petunjuk sunnah mutawatirah. Sunnah mutawatirah yang dapat dijadikan sumber maqāshid ada dua; mutawatir ma‘nawi dan mutawatir ‘amali. Mutawatir ma‘nawi harus didasarkan pada kesaksian para sahabat kebanyakan, disertai pengamalan yang diyakini berasal dari Nabi saw.[23] Menurut Ibnu Āsyūr, ajaran prinsip agama [al-ma‘lūm min al-dīn bi al-dharūrah] atau yang mendekatinya merupakan bagian dari sunnah yang seperti ini.  Ibnu Āsyūr mencontohkan kejadian yang pernah dialami al-Imām Mālik saat mendengar Syuraih mengeluarkan fatwa ketidakabsahan al-husbsu atau sedekah jariah. al-Imām Mālik mengatakan, “Semoga Allah merahmati Syurayh. Ia berfatwa di negerinya [Kufah] dan belum pernah berkunjung ke Madinah. Sehingga dia dapat melihat atsar-atsar para pembesar agama; istri-istri Nabi, sahabat dan tabiin pada masa setelahnya. Selain praktik al-hubs [shadaqah jariah] yang mereka lakukan. Ini, sedekah Rasulullah berjumlah tujuh kebun kurma. Hendaknya, seseorang tidak berbicara jika tidak tahu.” Menurut Ibnu Āsyūr, praktik mutawatir ma‘nawi semacam ini [yang menjadi bagian dari ajaran agama yang tidak dapat ditawar-tawar] banyak terdapat dalam bidang ibadah.[24]
Sedangkan mutawatir amali yang dihasilkan dari seorang sahabat secara personal yang menyaksikan amalan Nabi secara berulang-ulang, sekira dari keseluruhan amal tersebut dapat diambil nilai universal yang dapat diplot sebagai  maqāshid.[25] Sebagai contoh hadis riwayat al-Bukhāri di bawah ini;
6127- حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ ، عَنِ الأَزْرَقِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ : كُنَّا عَلَى شَاطِئِ نَهْرٍ بِالأَهْوَازِ قَدْ نَضَبَ عَنْهُ الْمَاءُ فَجَاءَ أَبُو بَرْزَةَ الأَسْلَمِيُّ عَلَى فَرَسٍ فَصَلَّى وَخَلَّى فَرَسَهُ فَانْطَلَقَتِ الْفَرَسُ فَتَرَكَ صَلاَتَهُ وَتَبِعَهَا حَتَّى أَدْرَكَهَا فَأَخَذَهَا ثُمَّ جَاءَ فَقَضَى صَلاَتَهُ وَفِينَا رَجُلٌ لَهُ رَأْىٌ فَأَقْبَلَ يَقُولُ انْظُرُوا إِلَى هَذَا الشَّيْخِ تَرَكَ صَلاَتَهُ مِنْ أَجْلِ فَرَسٍ فَأَقْبَلَ فَقَالَ مَا عَنَّفَنِي أَحَدٌ مُنْذُ فَارَقْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَقَالَ إِنَّ مَنْزِلِي مُتَرَاخٍ فَلَوْ صَلَّيْتُ وَتَرَكْتُ لَمْ آتِ أَهْلِي إِلَى اللَّيْلِ وَذَكَرَ أَنَّهُ صَحِبَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَرَأَى مِنْ تَيْسِيرِهِ.              
Abu Nu\‘aim dari Hammad ibn Zayd dari al-Azraq ibn Qays yang berkata, “Kami berada di tepi suatu sungai di daerah al-Ahwaz dan air telah habis. Kemudian Abu Barzah al-Aslami datang mengendarai kuda. Lalu dia salat dan melepaskan begitu saja kudanya. Kemudian kudanya lari, lalu dia meninggalkan salatnya dan mengejar kudanya hingga berhasil menangkapnya dan mengikatnya. Kemudian dia menunaikan salatnya. Di antara kita ada seorang yang ahli berpendapat, lalu ia mendatangi Abu Barzah dan berkata, ‘Lihatlah orang tua ini. Ia meninggalkan salatnya karena seekor kuda.’ Abu Barzah berpaling kepadanya dan berkata, ‘Tidak seorang pun mengkritikku sejak aku berpisah dari Rasulullah saw.’ Ia melanjutkan, ‘Rumahku jauh, jika aku tetap salat dan membiarkan kudaku, aku tidak akan sampai ke keluargaku hingga waktu malam.’ Ia menandaskan, bahwa dirinya bersahabat dengan Nabi saw. dan menyaksikan kemudahan yang diberikannya.[26]
Melalui kesaksian yang berulang oleh seorang sahabat, dapat ditemukan suatu nilai yang dianggap sebagai maqāshid. Dalam konteks hadis di atas, nilai itu adalah mengedepankan kemudahan.
Tiga metode di atas bukanlah [pem]batasan yang pasti. Karena, harus diakui bahwa masih banyak cara untuk menggali maqāshid. Salah satunya, seperti disuguhkan Ibnu Āsyūr dalam salah satu bab dalam bukunya tentang cara-cara ulama salaf menentukan tujuan syariat yang tidak dapat penulis kutip dalam pembahasan ini. Selain metode tajribah [eksperimental] maupun logika empiris [waqi \‘i], seperti yang dipakai oleh al-Syāthibi dan al-Āmidi.

F.            Disparitas Posisi Nabi: Membaca Author.. Menemu-Kencani Maqāshid Hadis Nabi..
Salah satu cara yang dipakai oleh Ibnu Āsyūr untuk mendeteksi maqāshid, ialah dengan cara melihat posisi Nabi ketika menyabdakan sesuatu. Disparisasi [pembedaan dan pemilahan] posisi Nabi penting diungkap terlebih dahulu sebelum menafsirkan sabda beliau. Hal ini di latar belakangi oleh beragamnya identitas yang me[di]lekat[kan] pada diri Nabi. Di samping sebagai manusia biasa dengan identitas publik dan domestiknya, Muhammad saw. juga seorang Nabi. Pada level publik, Muhammad saw. memegang kekuasaan tertinggi Madinah, seorang hakim yang memutus sengketa warga masyarakatnya, mufti dalam bidang keagamaan, dan sebagai penyampai risalah Tuhan. Identitas yang rumit ini perlu dipilah dahulu sebelum seseorang menafsirkan sabdanya.
Ide disparisasi posisi pertama kali dikenalkan oleh pakar ushūl al-fiqh mazhab Māliki, Syihāb al-Dīn al-Qarrāfi dalam kitabnya Anwār al-Burūq. Dalam tesisnya tersebut, al-Qarrāfi membedakan posisi Nabi kepada tiga kategori; Nabi sebagai hakim [qādhi], Nabi sebagai mufti bidang keagamaan/tabligh [mufti wa  muballigh al-risālah], dan Nabi sebagai kepada pemerintahan [al-imām]. Tiga posisi di atas berimplikasi pada dampak/muatan hukum sabda Nabi. Setiap sabda atau tindakan yang muncul dalam konteks pengajaran agama [tabligh atau ifta’], maka berlaku secara universal hingga hari kiamat. Implikasi hukumnya dapat berupa keharusan atau kebolehan menjalankan jika dalam bentuk perintah [instruktif], keharusan menjauhi bila dalam bentuk larangan. Dan setiap sabda yang muncul dalam konteks kenegaraan [al-imāmah], maka tidak seorang pun boleh melakukannya tanpa kewenangan dari pemimpin politik. Sedangkan sabda yang muncul dalam konteks peradilan, tidak seorang pun boleh menengeksekusi-laksanakan tanpa ada keputusan dari hakim terlebih dahulu.[27]
Ibnu Āsyūr memetakan bahwa di antara sekian banyak sabda Nabi yang berhasil dikodifikasikan, dapat dipilah kepada tiga tipologi; [1] yang jelas kategorinya, [2] dan yang masih belum jelas kategorinya. Kategori yang jelas dalam konteks kenegaraan seperti pengiriman pasukan, pengelolaan keuangan Negara, baik dalam segi “penggalian” maupun pendistribusian, pengangkatan wakil/konsul, dan pembagian harta rampasan. Dalam konteks peradilan dapat dilihat dalam kasus ketika Nabi menghadapi persengketaan antara dua orang warga masyarakatnya tentang suatu klaim kekayaan, penjatuhan sanksi fisik berdasar saksi atau sumpah, dan keputusan terkait suatu kejahatan yang terjadi. Sedangkan dalam konteks fatwa keagamaan atau tabligh risalah dapat dilihat dalam kasus pengajaran ritual peribadatan, baik melalui sabda, tindakan, atau jawab atas sebuah pertanyaan keagamaan. Sabda yang keluar dalam konteks ini masuk pada kategori fatwa keagamaan atau risalah yang wajib dipatuhi oleh setiap umatnya.[28]      
Sedangkan posisi Nabi yang tidak begitu jelas dapat dilihat dalam contoh di bawah ini.
 1424 - حدثني يحيى عن مالك عن هشام بن عروة عن أبيه ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :من أحيا أرضا ميتة فهي له
Dari Yahya ibn al-Layts dari Mālik dari Hisyām ibn ‘Urwah dari ayahnya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa menghidupkan bumi mati, maka ia menjadi miliknya.”[29]
Para ulama berbeda pendapat tentang posisi Nabi dalam hadis di atas. Dalam konteks fatwa atau kebijakan publik seorang pemimpin? Al-Syāfi’I dan Ahmad memahami dalam konteks fatwa, sehingga pesan hukumnya diberlakukan secara universal sekalipun tanpa ada izin dari penguasa. Setiap orang boleh mengelola tanah tak bertuan, dan ia berhak memilikinya [tanpa akta kepemilikan sekalipun]. Berbeda dengan Abū Hanīfah yang melihatnya dalam konteks kebijakan publik, sehingga pesan hukumnya tidak boleh sembarangan diberlakukan tanpa restu dari pemerintah. Warga masyarakat tidak diizinkan mengelola dan memiliki tanah tak bertuan yang dikelolanya tanpa wewenag dari Negara.
Contoh lain dapat dilihat dalam riwayat berikut:
4574 - حَدَّثَنِى عَلِىُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِىُّ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِى سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لاَ يُعْطِينِى مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِى وَيَكْفِى بَنِىَّ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ. فَهَلْ عَلَىَّ فِى ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
Dari Ali ibn Hujr dari Ali ibn Mushir dari Hisyām ibn ‘Urwah dari ayahnya dari Āisyah yang berkata, “Hindun binti ‘Utbah, istri Abū Sufyān menemui Rasulullah saw. lalu berkata, ‘Abu Sufyan adalah laki-laki yang sangat pelit. Ia tidak memberikan nafkah yang dapat mencukupiku dan anak-anakku kecuali jika aku mengambil tanpa sepengetahuannya. Apakah saya mendapat dosa karena itu?’ lalu Rasulullah bersabda, ‘Ambilah hartanya secara baik-baik sekira dapat mencukupimu dan anak-anakmu.’[30]
Para ulama berbeda pendapat tentang hadis di atas. Sebagian berpendapat sabda di atas muncul dalam konteks fatwa. Sehingga setiap orang dibenarkan mengambil haknya tanpa sepengetahuan pihak yang bersengketa dengannya. Sebagian lagi melihatnya dalam konteks keputusan hukum. Sehingga tidak dibenarkan pengambilan hak tanpa ada mandat dari hakim.      
Tiga kategori ini  dikembangkan Ibnu Āsyūr menjadi dua belas. Meliputi: tasyrī, fatwā, qadhā’, al-imārah, al-hudā, al-Shulh, isyārah ‘ala al-mustasyīr, al-nashīhah, takmīl al-nufūs, ta‘līm al-haqā’iq al-‘āliyyah, al-ta’dīb, dan tajarrud ‘an al-irsyād.[31]
                            
                   
G.           Akhiran...
Pada bagian akhir ini, kita dapat mengambil beberapa catatan tentang relasi antara maqāshid al-syarī‘ah dengan Hadis. Pertama, Hadis diposisikan sebagai sumber maqāshid. Kedua, terdapat mekanisme khusus untuk membangun konsep maqāshid berdasar Hadis, termasuk dalam jenis Hadis yang digunakan. ketiga, pembacaan model maqāshid dapat memberikan perspektif baru tanpa keluar dari teks.
Sebagai penutup, penulis berharap dapat melanjutkan penelitian terkait maqāshid al-syarī‘ah sebagai instrumen pembacaan Hadis perspektif Ibn Āsyūr. Karena, penelitian ringkas ini hanya dapat mengungkap sedikit dari tumpukan metode Ibn Āsyūr dalam membaca Hadis.        




REFERENSI

Umar, Dr. Umar bin Shalih bin, Mulakkhash al-Fiqh al-Maqshadi li al-Hadīts al-Nabawi, www.alsunnah.com, diakses pada tanggal 3April 2012.

Ghali, Dr. Balqasim al-, Syaikh al-Jāmi al-A’zham Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr: Hayātuhu wa Ātsaruhu  (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1996)

Maisāwi, Muhammad al-Thāhir al-, dalam pengantarnya terhadap karya Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Oman: Dar al-Nafa‘is, 2001).

Āsyūr, Muhammad al-Thāhir ibn, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Tunis: Dar al-Salam, 2009).

Faris bin Zakariya, Abu al-Husain Ahmad bin, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr).

Raysūni, Ahmad al-, Maqāshid al-Syarī’ah Ta’rīfāt wa Muqaddimāt: Muhādharat fī Maqāshid al-Syarī’ah li al-Ustādz al-Raysūni, artikel didownload dari situs www.addustour.com, pada tanggal 20 Mei 2012.         

Athiah, Dr. Jamaluddin, Nahwa Taf‘īl Maqāshid al-Syarī‘ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001).




[1] Makalah dipresentasikan dalam diskusi pada mata kuliah Metode Syarah Hadis yang diampu oleh  Mujiyo M.ag. Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pernah berguru di Pondok Pesantren Mansyaul Huda Kadipaten, dan saat ini sedang ikut ngaji hadis pada International Institute for Hadith Sciences Darus-Hadits Indonesia-Malaysia Bandung
[2] Umar b. Shalih b. Umar, Mulakkhash al-Fiqh al-Maqshadi li al-Hadīts al-Nabawi, www.alsunnah.com, diakses pada tanggal 3April 2012.
[3] Dr. Balqasim al-Ghali, Syaikh al-Jāmi al-A’zham Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr: Hayātuhu wa Ātsaruhu  (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1996), Hlm. 32
[4] Dr. Balqasim al-Ghali, Syaikh al-Jāmi al-A’zham..., hlm. 37
[5] Dr. Balqasim al-Ghali, Syaikh al-Jāmi al-A’zham..., hlm. 37
[6] Muhammad al-Thāhir al-Maisāwi dalam pengantarnya terhadap karya Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Oman: Dar al-Nafa‘is, 2001), hlm. 19-25
[7] Dr. Balqasim al-Ghali, Syaikh al-Jāmi al-A’zham..., hlm. 70
[8] Dr. Balqasim al-Ghali, Syaikh al-Jāmi al-A’zham..., hlm. 59
[9] Fatwa itu muncul berdasarkan pertanyaan: ketika seseorang “memeluk” kewarga-bangsaan yang berbeda aturan hukumnya dari hukum-hukum syariat Islam, kemudian dia berhadapan dengan hakim syar’I, dia mengucap dua kalimat syahadat dan menyatakan dirinya Islam dan tidak mengakui agama selain Islam, apakah dia berhak mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang diperoleh umumnya kaum muslimin selama hidupnya? Apakah dia berhak disalati jenazahnya dan dikubur di pekuburan Islam?
[10] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, (Tunis: Dar al-Salam, 2009), hlm. 7
[11] Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr),  jilid III, hlm. 262
[12] Ahmad al-Raysūni, Maqāshid al-Syarī’ah Ta’rīfāt wa Muqaddimāt: Muhādharat fī Maqāshid al-Syarī’ah li al-Ustādz al-Raysūni, artikel didownload dari situs www.addustour.com, pada tanggal 20 Mei 2012.         
[13] Bandingkan dengan Ahmad al-Raysūni, Maqāshid al-Syarī’ah Ta’rīfāt wa Muqaddimāt.. www.addustour.com.
[14] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid..., hlm. 55
[16] Lihat analisis Dr. Jamaluddin Athiah dalam Nahwa Taf‘īl Maqāshid al-Syarī‘ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), hlm. 94
[17] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid..., hlm. 68
[18] Jamaluddin Athiah dalam Nahwa Taf‘īl..., hlm.  91, bandingkan dengan Sayf al-Dīn al-Āmidi, al-Ihkam fī Ushūl al-Ahkām, jilid hlm.
[19] Malik ibn Anas, al-Muwattha’
[20] Muslim ibn Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim,
[21] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid..., hlm. 20
[22] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid..., hlm. 21
[23] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid..., hlm. 19-23
[24] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid..., hlm. 22. Penulis belum dapat memahami apakah dalam contoh yang dikutip Ibnu Āsyūr bertujuan menggali maqāshid, atau sekadar mencontohkan teori sunnah mutawatirah. Sepertinya, Ibnu Āsyūr memaksudkan yang terakhir ini.     
[25] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid..., hlm. 22
[26] Abū Abdillāh Muhammad bin Ismāīl al-Bukhāri, al-Jām‘ al-Shahīh,  
[27] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid..., hlm. 29
[28] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid..., hlm. 30
[29] Muwattha’ Malik.
[30] Muslim.
[31] Muhammad al-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid..., hlm. 31

2 komentar:

  1. assalam...
    jangan malu2in Tafsir Hadits UIN Bandung kang...
    ini tulisan temen saya kok di copy paste....
    parah ini...
    ini link tulisan temen saya

    http://dunia-hadis.blogspot.com/2012/10/maqasid-dalam-pemahaman-hadis-bedah.html

    BalasHapus
  2. agar cerdas dikit donk dalam berkarya.....

    salam Tafsir Hadits...

    BalasHapus